Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Susanti Febri
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kolestasis adalah penyumbatan atau terhambatnya aliran empedu dari hati ke duodenum, dibagi menjadi intra dan ekstrahepatik. Kolestatis ekstrahepatik terutama disebabkan oleh obstruksi. Pankreatikoduodenektomi merupakan terapi pembedahan pilihan, dapat menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis saluran cerna. Perubahan ini menimbulkan maldigesti dan malabsorpsi, menyebabkan malnutrisi, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak mendapat dukungan nutrisi.Presentasi kasus : Empat kasus kolestasis ekstrahepatik, dengan keluhan ikterus di seluruh badan, nyeri perut. Tiga kasus 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan , disebabkan keganasan dan 1 kasus karena striktura CBD jinak. Semua pasien menjalani pembedahan, dengan lama operasi berkisar antara 3 sampai 9 jam. Pemenuhan protein dan asam amino terutama asam amino rantai cabang, diupayakan maksimal, yang diperoleh dari kombinasi makanan cair polimerik dan putih telur. Lemak dibatasi maksimal 30 dari energi yang diberikan, dengan kandungan medium-chain triglycerides MCT tinggi. Pankreatikoduodenektomi menimbulkan perubahan pada organ saluran cerna, dengan gejala mual dan perut begah setelah makan, dapat diatasi dengan penyesuaian cara pemberian, jumlah dan bentuk nutrisi tiap kondisi pasien. Selama perawatan di RS, secara umum asupan makanan dan kondisi klinis pasien membaik, serta pulang dengan perbaikan kondisi klinis.Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik pada pasien dengan kolestasis, dapat membantu terapi bedah dan medikamentosa untuk memperoleh outcome pasca bedah dan memperbaiki kualitas hidup pasien.
"
"
ABSTRACT
Background Cholestasis is a blockage or obstruction of the flow of bile from the liver to the duodenum, divided into intrahepatic and extrahepatic. Extrahepatic cholestasis mainly due to the obstruction. Pancreaticoduodenectomy surgery is the treatment of choice, can cause anatomical and physiological changes in the gastrointestinal tract. These changes maldigesti and malabsorption, causing malnutrition, as well as increased morbidity and mortality if not received nutritional support.Case Presentation Four cases of extrahepatic cholestasis, jaundice throughout the body, abdominal pain. Three cases 1 male and 2 female , due to malignancy and 1 case for the CBD benign stricture. All patients underwent surgery, with long operating range from 3 to 9 hours. Fulfillment of protein and amino acids, especially branched chain amino acids, maximum effort, which is obtained from a combination of a polymeric liquid food and egg white. Fat is limited to maximum 30 of the energy supplied, containing medium chain triglycerides MCT high. Pancreaticoduodenectomy cause changes in the organs of the gastrointestinal tract, with symptoms of nausea and abdominal discomfort after eating, can be overcome by adjusting the mode of administration, the amount and form of nutrients each patient 39 s condition. During treatment in hospital, in general, food intake and clinical condition of the patients improved, as well as return to the improvement of clinical conditions.Conclusion The clinical nutrition medical therapy in patients with cholestasis, can help surgical and medical therapy to obtain post surgical outcomes and improve the quality of life of patients."
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alberta Novianti
"Kolestasis merupakan terhambatnya aliran empedu ke duodenum. Kolestasis dapat menyebabkan beberapa masalah terhadap penderita, salah satunya kulit menjadi kering akibat defisiensi vitamin yang larut dalam lemak terutama vitamin E. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menggambarkan masalah kerusakan integritas kulit pada anak dengan kolestasis intrahepatik. Intervensi utama yang dilakukan untuk mengatasi masalah integritas kulit adalah mengkaji keadaan kulit klien, memandikan pasien menggunakan sabun dengan moisturizer dan air hangat dan mengoleskan minyak zaitun pada daerah kulit yang kering sambil dilakukan masase ringan. Evaluasi tindakan keperawatan menunjukkan hasil yang efektif bahwa setelah diberikan intervensi dengan mengoleskan minyak zaitun, kulit yang semula kering semakin membaik serta tidak ada lesi.

Cholestasis is blocked by the flow of bile into the duodenum. Cholestasis can cause some problems to the patient, one of which the skin becomes dry due to deficiency of fat soluble vitamins, especially vitamin E. The writing of this paper aims to describe the problem of skin integrity in children with intrahepatic cholestasis. The main interventions to address skin integrity issues are to assess the client 39 s skin condition, bath the patient using soap with a moisturizer and warm water and apply olive oil to dry areas of the skin while doing a little massage. Evaluation of nursing actions showed an effective result that after being given intervention a drying skin by applying olive oil is getting better and no lesions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Deasy Irwanto
"Latar Belakang: Kolestasis adalah hambatan atau supresi sekresi empedu. Kolelitiasis dan obstruksi bilier akibat keganasan merupakan kasus kolestasis yang sering ditemui. Kolestasis dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan berbagai komplikasi. Selain pembedahan, terapi nutrisi adalah pendekatan tata laksana pada pasien kolestasis untuk mempertahankan status nutrisi dan kapasitas fungsional.
Kasus: Pasien dalam serial kasus ini terdiri atas tiga pasien laki-laki dan satu perempuan, berusia 36-55 tahun dengan diagnosis kolestasis akibat keganasan dan postcholecystectomy syndrome (PCS) dengan riwayat kolelitiasis. Satu pasien dengan keganasan dan dua pasien dengan PCS menjalani operasi bypass biliodigestif dan rekonstruksi, sedangkan satu pasien menjalani perbaikan kondisi klinis sebelum pembedahan. Terapi nutrisi yang diberikan meliputi diet tinggi protein dan rendah lemak dengan nutrien spesifik berupa MCT dan BCAA. Pada kasus pertama terapi nutrisi diberikan pascabedah. Selama perawatan ada kecurigaan leakage anastomosis, tetapi keluaran klinis membaik. Pasien kedua mendapat terapi nutrisi prabedah dan mengalami perbaikan kondisi klinis. Kedua pasien tidak mencapai target nutrisi walaupun toleransi makanan cair baik. Kasus ketiga dan keempat mendapat terapi nutrisi pra dan pascabedah dan pada akhir masa pemantauan, dapat mempertahankan status nutrisi. Pada keempat pasien, kapasitas fungsional dapat dipertahankan, bahkan mengalami perbaikan.
Kesimpulan: Terapi nutrisi yang optimal dapat memberikan keluaran klinis yang baik pada pasien kolestasis. Pemberian nutrien spesifik berupa MCT dan BCAA diperlukan untuk meningkatkan toleransi asupan, mempertahankan status nutrisi, dan memperbaiki kapasitas fungsional pasien kolestasis.

Background: Cholestatis is obstruction or suppression of bile secretion. Cholestasis may cause nutritional disturbance and other complication. Besides surgery, nutritional therapy is needed in cholestasis patient for maintaining nutritional status and functional capacity.
Cases: Four cases (three male and one female) of cholestasis with range of age between 36-55 years old are included in this case series. They were diagnosed with cholestasis because of cancer and post-cholecystectomy syndrome (PCS) with cholelithiasis history. One patient with cancer and two patients with PCS had the biliodigestive bypass surgery and reconstruction, while one patient was restoring her clinical condition before surgery. All patients were given high protein and low fat diet, with specific nutrient such as MCT and BCAA. The first patient received nutrition therapy during postoperative phase. During monitoring, he was suspected with leakage anastomosis, but in the end the outcome was good. Second patient got nutritional therapy in preoperative phase and got better clinical condition. Both patients couldnt reach the nutritional target although their tolerance of ONS was good. The third and the fourth patient got nutritional therapy in pre and postoperative phase and had maintained their nutritional status. In all patients, the functional capacity could be maintained and improved.
Conclusion: Optimal nutritional therapy is needed in cholestasis patients to get better clinical outcomes. Specific nutrients such as MCT and BCAA improve the nutritional tolerance, maintain the nutritional status, and improve the functional capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tjandraningrum
"Kolestasis merupakan salah satu manifestasi gangguan bilier yang terjadi akibat gangguan aliran empedu dari hati ke duodenum. Kolestasis diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya menjadi kolestasis akut dan kronis. Tatalaksana nutrisi pada kolestasis bertujuan untuk mengatasi defisiensi nutrien yang umumnya terjadi tetapi terdapat perbedaan dalam tatalaksana tersebut, tergantung penyebab kolestasis dan kondisi klinis pasien. Selain itu nutrisi perioperatif pada kolestasis yang menjalani pembedahan diperlukan untuk mencegah risiko komplikasi pasca bedah dan gangguan saluran cerna akibat tindakan pembedahan.
Dilaporkan 4 kasus kolestasis, dua kasus kolestasis akut dan dua kasus lainnya kolestasis kronis. Kasus 1 dan 2, berturut-turut adalah kolestasis akut e.c. kolelitiasis multipel dan kolestasis akut e.c. kolesistolitiasis multipel. Kasus 3 adalah kolestasis kronis e.c. kista duktus koledokus dan kasus 4 kolestasis kronis e.c. adenokarsinoma ampula Vateri. Pasien kasus 3 berusia 2 tahun 3 bulan, sementara kasus 1, 2 dan 4 berusia antara 22 tahun sampai 45 tahun. Pada semua kasus terdapat riwayat nyeri perut bagian atas, sklera ikterik dan peningkatan kadar bilirubin, fosfatase alkali dan -GT.
Keempat kasus menjalani pembedahan untuk mengatasi keadaan kolestasis tersebut. Tatalaksana nutrisi perioperatif yang adekuat pada kasus 1, 2 dan 4 dapat mencegah risiko komplikasi pasca bedah dan pada kasus 3 dapat memperbaiki komplikasi pasca bedah berupa wound dehiscence. Pasca bedah, kondisi klinis keempat pasien membaik, terlihat dari berkurangnya keluhan nyeri perut bagian atas, berkurangnya ikterik pada sklera dan perbaikan kapasitas fungsional. Toleransi asupan seluruh pasien membaik, ditunjukkan oleh kemampuan pasien untuk mengonsumsi makanan sesuai kebutuhan energi dan nutriennya.
Berdasarkan kepustakaan dan pengalaman tatalaksana nutrisi keempat pasien tersebut, pada kolestasis diperlukan tatalaksana nutrisi yang adekuat yaitu pada perioperatif dan pasca rawat. Edukasi pasien tentang pemilihan jenis makanan dan cara pemberiannya berguna untuk mencegah kekambuhan.

Cholestasis is one manifestation of biliary disorders caused by interruption flow of bile from the liver to the duodenum. Cholestasis classified becomes acute and chronic cholestasis. Management of nutrition on cholestasis aims to improve nutrient deficiency that commonly occur but there is a difference in the treatment of these, depending on the cause of cholestasis and the clinical condition of the patient. Additionally perioperative nutrition on cholestasis who underwent surgery is needed to prevent the risk of post-surgical complications and gastrointestinal disorders caused by surgery.
Reported 4 cases of cholestasis, cholestatic two cases of acute and chronic cholestasis two other cases. Cases 1 and 2, respectively acute cholestasis ec kolelitiasis multiple and acute cholestasis e.c. kolesistolitiasis multiple. Case 3 is a chronic cholestatic e.c. koledokus duct cysts and 4 cases of chronic cholestasis ec adenocarcinoma of the ampulla of Vater. 3 case patients aged 2 years and 3 months, while cases 1, 2 and 4 are aged between 22 years to 45 years.. In all cases there is a history of upper abdominal pain, sclera jaundice and elevated levels of bilirubin, alkaline phosphatase, and -GT.
The four cases underwent surgery to resolve the situation cholestasis. Management of perioperative nutrition adequate in cases 1, 2 and 4 can prevent the risk of postoperative complications and in case 3 may improve post-surgical complications such as wound dehiscence. Post-surgery, four patients improved clinical condition, as seen from the reduced upper abdominal pain, jaundice in the sclera reduction and improved functional capacity. Tolerance intake of all patients improved, indicated by the patient?s ability to eat food and energy needs nutrient.
Based on the literature and experience of nutritional management of the four patients, the treatment of cholestasis is necessary that adequate nutrition in perioperative and post-hospitalization. Educating patients about the choice of food and the way of administration is useful to prevent a recurrence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Mey Rina
" ABSTRAK
Latar belakang. Sepsis masih menjadi masalah di bidang neonatalogi sampai saat ini karena
dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Kolestasis merupakan salah satu morbiditas
yang terjadi selama sepsis. Angka kematian dan lama perawatan di rumah sakit akan
meningkat pada sepsis neonatorum yang disertai kolestasis. Asam ursodeoksikolat (AUDK)
dilaporkan dapat memperbaiki luaran kolestasis pada dewasa dan anak. Penelitian mengenai
manfaat AUDK pada neonatus masih terbatas, sampai saat ini belum ada penelitian tentang
manfaat AUDK pada kolestasis terkait sepsis (KTS).
Tujuan. Mengetahui pengaruh AUDK terhadap penurunan parameter fungsi hati (bilirubin
total/direk/indirek, AST, ALT, GGT), angka kematian, dan lama rawat neonatus dengan
KTS.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang dilakukan di Divisi
Neonatologi Departemen IKA FKUI-RSCM dari Januari - Oktober 2012. Neonatus yang
memenuhi kriteria inklusi dibagi secara random menjadi 2 kelompok (AUDK atau plasebo).
Asam ursodeoksikolat diberikan 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari. Parameter
fungsi hati di evaluasi setelah 7 hari pengobatan. Luaran utama adalah penurunan nilai
bilirubin total/direk/indirek, AST, ALT, dan GGT. Luaran tambahan adalah angka kematian
dan lama rawat. Analisis statistik untuk luaran utama dan lama rawat dilakukan dengan uji
t/uji Mann-Whitney. Perbedaan kematian di analisis dengan uji x2 dan perbedaan survival
dengan metode Kaplan Meier.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 37 subjek, 19 subjek pada kelompok AUDK dan 18 subjek
pada kelompok plasebo. Perbedaan perubahan parameter fungsi hati antara kelompok AUDK
dan kelompok plasebo tidak bermakna [bilirubin total (2,2 ± 2,9 vs 1,7 ± 4,6; p= 0,080),
bilirubin direk (1,1 ± 2,3 vs 0,6 ± 3,6; p= 0,080), bilirubin indirek [0,4 (0,1-5,6) vs 0,9 (0,1-
4,1); p= 0,358], ALT (0,5 [(-80,0) – (21,0)] vs -2,0 [(-167,0) – (85,0)]; p= 0,730), AST (43,0
(14,0-297,0) vs 150,0 (24,0-840,0); p= 0,081), and GGT (125,0 (48,0-481,0) vs 235,0 (56,0-
456,0); p= 0,108)], tetapi perubahan nilai bilirubin total, bilirubin direk, dan AST cenderung
lebih baik pada kelompok AUDK. Penurunan nilai bilirubin total terjadi pada 85,7% subjek
kelompok AUDK dan 64,3% pada kelompok plasebo. Nilai bilirubin direk menurun pada
78,6% subjek kelompok AUDK dan 64,3% subjek kelompok plasebo. Penurunan nilai AST
terdapat pada 57% subjek kelompok AUDK dengan penurunan terbesar 72 U/L, sedangkan
pada kelompok plasebo 57% subjek mengalami peningkatan nilai AST dengan peningkatan
tertinggi 473 U/L. Kematian terjadi pada 10,5% subjek di kelompok AUDK dan 27,7% di
kelompok plasebo (p=0,232). Dari analisis kesintasan tidak terdapat perbedaan survival
antara kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan rentang waktu lama rawat antara
kelompok AUDK (15-70) hari dan kelompok plasebo (10-88) hari (p=0,148).
Simpulan : Pemberian AUDK 30 mg/kg/hari selama 7 hari cenderung menurunkan nilai
bilirubin total, bilirubin direk, AST, serta angka kematian meskipun secara statistik tidak
terbukti bermakna. Hal ini masih mungkin disebabkan oleh power yang kurang pada
penelitian ini. Penelitian ulang perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan
durasi pemberian AUDK yang lebih panjang.

<ABSTRACT
Background. Sepsis is still an important issue in Neonatology field since it is related with
high mortality and morbidity. Cholestasis is one of the morbidities that related with sepsis.
Mortality and length of hospital stay will be increased in neonatal sepsis that associated with
cholestasis. Efficacy of ursodeoxycholic acid (UDCA) in cholestasis has been reported from
adult and pediatric population, however there is no publication regarding the efficacy of this
drug in neonates with sepsis associated cholestasis.
Objectives. To investigate the role of UDCA in liver function parameter (total, direct,
indirect bilirubin, AST, ALT, GGT), mortality, and length of hospital stay in neonates with
sepsis associated cholestasis.
Methods. A randomized controlled trial were done in Neonatology Division, Pediatric
Department, Cipto Mangunkusumo Hospital from January to October 2012. Neonates that
fulfilled the inclusion criteria, randomized into UDCA group and placebo group. We gave
ursodeoxycholic acid 30 mg/kg BW/day which divided into 3 doses for 7 days. Liver
function test were done after 7 days treatment. Primary outcome are an improvement of liver
function parameter and the secondary outcome are mortality rate and length of hospital stay.
Statistical analysis with t test/ Mann-Whitney test was done for primary outcome and length
of hospital stay, x2 test for differences of mortality, and Kaplan Meier method for survival
analysis.
Result. There were 37 subject, 19 subject in UDCA group and 18 in placebo group. There
were no significant differences of liver function parameter between UDCA group and
placebo [total bilirubin (2.2 ± 2.9 vs 1.7 ± 4.6; p= 0.080), direct bilirubin (1.1 ± 2.3 vs 0.6 ±
.6; p= 0.080), indirect bilirubin [0.4 (0.1-5.6) vs 0.9 (0.1-4.1); p= 0.358], ALT (0.5 [(-80.0) –
(21.0)] vs -2.0 [(-167.0) – (85.0)]; p= 0.730), AST (43.0 (14.0-297.0) vs 150.0 (24.0-840.0);
p= 0.081), and GGT (125.0 (48.0-481.0) vs 235,0 (56.0-456.0); p= 0.108)]. Although that,
there were a better improvement of total bilirubin, direct bilirubin, and AST in UDCA group.
Decrease of total bilirubin and direct bilirubin level occurred in 85.7% and 78.6% in UDCA
group vs 64.3% and 64.3% in placebo group. For the AST level, there was an improvement
in 57% subject UDCA with the profound declining 72 U/L; conversely, deterioration
occurred in 57% subject placebo, with the maximal increment 473 U/L. Mortality occurred
in 10.5% subject in UDCA group and 27.7% placebo group (p=0.232). There were no
differences of survival from both groups. Length of hospital stay in UDCA and placebo
group were 15-70 days and 10-88 days (p=0.148).
Conclusion: UDCA treatment 30 mg/kgBW/day for 7 days tends to decrease the total
bilirubin, direct bilirubin, AST level, and mortality, although not statistically significant.
This could be happened due to the limitation of power in this study. Future studies with
larger subject and longer duration of UDCA treatment will be needed."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatima Safira Alatas
"Latar belakang. Translokasi bakteri dari saluran cerna merupakan masalah yang penting dalam terjadinya infeksi pada pasien dengan kolestasis obstruktif serta sirosis hepatis. Pada studi ini kami bermaksud untuk mempelajari komposisi mikrobiota usus dihubungkan dengan malabsorpsi lemak dan gangguan integritas usus pada anak dengan kolestasis kronis. Metode. Sampel feses dari bayi/anak dengan kolestasis dan anak sehat dikumpulkan untuk dilakukan evaluasi terhadap jumlah sel lemak, komposisi mikrobiota usus serta integritas ususnya.
Hasil. Lima puluh tujuh bayi/anak (27 kolestasis dan 30 anak sehat) dilakukan evaluasi. Terdapat perbedaan bermakna pada berat badan, P=0.001; status nutrisi, P=<0.0001; serta konsumsi susu formula dengan bahan dasar middle chain triglyceride, P=<0.0001. Selain itu juga ditemukan bahwa komposisi lemak pada feses serta kadar fecal calprotectin lebih tinggi pada kelompok kolestasis dibandingkan dengan anak sehat, P=<0.0001 dan P=0.021. Sesuai dengan hasil tersebut ditemukan pula perbedaan yang bermakna di antara kedua grup tersebut pada komposisi Bifidobacteria sp. and E. Coli sp., P=0.005.
Kesimpulan. Ditemukan perbedaan yang bermakna pada berat badan, status nutrisi, komposisi lemak feses, kadar fecal calprotectin serta profil mikrobiota usus antara kelompok bayi dengan kolestasis dengan bayi sehat. Diperlukan studi lanjutan untuk mempelajari interaksi antara saluran cerna dan hati pada kolestasis.

Background. Bacterial translocation from the gastrointestinal tract is central to current concepts of endogenous sepsis in obstructif cholestasis and cirrhosis. In this study we evaluate gut microbiota profile and their correlation with fat malabsorption and gut integrity. Methods. We evaluate feces sampels from chronic cholestasis and healthy infants to know their fat malabsorption, gut microbiota composition, and gut integrity, then compare between the 2 groups.
Results. Fifty-seven infants (27 cholestasis and 30 healthy) were evaluated. There were significant difference in mean body weight 7932.39 (SD: 3416.2) VS 11453.3 (SD: 4012.3) grams, P=0.001; nutritional status, P=<0.0001, and middle chain triglyceride dominant infant formula, P=<0.0001. Feces evaluation showed a significant hinger fat composition (+2 and +3), P=<0.0001 and fecal calprotection level in cholestatic groups (81.32 (SD:61.6) VS 47.37 (SD:47.3) microgram/g faeces), P=0.021. In accordance with fecal calprotectin level, there were a significant difference between the 2 groups in composition of Bifidobacteria sp. and E. Coli sp., P = 0.005.
Conclusions. Significant differences were found in body weight, nutritional status, feces fat composition, fecal calprotection level and gut microbiota profile between chronic cholestasis and healthy infants. Further studies needed to evaluate the interaction between gut and liver axis in infants with cholestasis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firda Fairuza
"Latar belakang. Kolestasis terkait sepsis (KTS) masih merupakan permasalahan medis di negara berkembang disebabkan tingginya morbiditas, mortalitas dan lama rawat. Inflamasi usus akibat disfungsi sawar usus diduga berperan dalam KTS sehingga perlu dibuktikan perannya terhadap terjadinya KTS. Inflamasi dan permeabilitas mukosa usus dapat dinilai melalui kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin (AAT) pada tinja.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara terjadinya KTS pada sepsis neonatorum dengan inflamasi dan gangguan permeabilitas usus yang dinilai dengan peningkatan kadar kalprotektin dan α-1-antitripsin dalam tinja. Metode. Studi kohort prospektif di ruang rawat inap Perinatologi dan Neonatal Intensive Care Unit Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Juni 2012- Oktober 2013. Delapan puluh neonatus diambil secara consecutive sampling dari 271 subjek proven sepsis yang dirawat pada periode studi ini, terbagi menjadi 2 kelompok (KTS dan sepsis tidak kolestasis) masing-masing 40 subjek. Dilakukan pemeriksaan kadar kalprotektin dan AAT tinja.
Hasil penelitian. Tidak ditemukan perbedaan antara KTS dan sepsis tidak kolestasis dalam ekskresi kalprotektin tinja [KTS vs. sepsis tidak kolestasis, median (rentang) 104,4 (25 sampai 358,5) vs. 103,5 (5,4 sampai 351) μg/g; p = 0,637] dan alfa-1 antitripsin tinja [median (rentang) 28 (2 sampai 96) vs. 28 (2 sampai 120) mg/dL; p = 0,476). Tidak ditemukan peningkatan bermakna kadar kalprotektin tinja dengan nilai p = 0,63 (IK 95% 0,4 sampai 3,6) dan kadar AAT tinja dengan nilai p=0,152 (IK 95% 0,4 sampai 3,3).
Simpulan. Kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin tinja tidak terbukti dapat memprediksi kejadian KTS pada sepsis neonatorum. Tidak ada bukti proses inflamasi usus yang terjadi pada KTS melalui peningkatan permeabilitas paraselular usus. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai patogenesis inflamasi usus yang terjadi melalui peningkatan permeabilitas trans-selular dan kerusakan enterosit usus pada KTS.

Background. Sepsis-associated cholestasis (SAC) remain a medical problem in developing countries due to high morbidity, mortality and length of hospital. Intestinal inflammation as the causes of intestinal barrier dysfunction are suspected play a role in SAC, so it is necessary to prove its contribution to SAC. Intestinal inflammation and increased permeability were assessed through faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin (AAT) concentrations.
Objective. To determine the association between SAC in sepsis neonatorum with intestinal inflammation and permeability were assessed through increased faecal calprotectin and AAT levels.
Methods. This was cohort prospective study at Perinatologi and Neonatal Intensive Care Unit Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital during June 2012 to October 2013. Eighty neonates were obtained by consecutive sampling, of which 271 proven sepsis hospitalized in this period, devided 2 groups (SAC and non cholestasis sepsis) respectively 40 subjects. Faecal calprotectin and AAT concentrations was measured.
Results. There was no significant association between SAC and faecal calprotectin excretion [SAC vs. non cholestasis sepsis, median (range) 104.4 (25 to 358,5) vs. 103.5 (5.4 to 351) μg/g; p = 0.637] and faecal AAT [median (range) 28 (2 to 96) vs. 28 (2 to 120) mg/dL; p = 0.476). Increased faecal calprotectin (CI 95% 0.4 to 3.6; p = 0,63) and AAT (CI 95% 0.4 to 3.3; p=0.152) did not differ significantly between the two groups.
Conclusions. Faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin concentrations is not associated with SAC in sepsis neonatorum. There is no evidence of intestinal inflammation causes increased paracellular intestinal permeability in SAC. Further research is needed on the pathogenesis of intestinal inflammation in SAC which may result in increased intestinal permeability by transcellular and enterocyte damage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library