Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diannovi Nugraha Sahid
"Perdagangan internasional tidak akan dapat terjadi tanpa adanya akses ke pasar domestik dari negara lain. Terbukanya akses pasar ini selain memberikan keuntungan, juga menjadi ancaman baik secara ekonomis maupun secara agamis terutama bagi negara-negara dengan penduduk beragama Islam, salah satunya Indonesia. Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, 87% penduduk Indonesia beragama Islam.
Secara ekonomis, kehadiran produk-produk tersebut menjadi saingan produk-produk lokal, sedangkan secara agamis kehadiran produk-produk tersebut semakin menambah daftar makanan yang disangsikan kehalalannya oleh umat Islam. Sebab, produk-produk tersebut dibuat oleh negara-negara Barat yang sudah terbiasa menggunakan babi dan alkohol dalam proses produksinya.
Demi memberikan perlindungan kepada konsumen-konsumen beragama Islam dari produk-produk yang diragukan kehalalannya, terutama produkdaging sapi impor, maka pemerintah Indonesia membuat seperangkat kebijakan yang bertujuan agar produk-produk daging sapi impor disertifikasi dan dilabelisasi halal sebelum masuk ke pasar Indonesia. Menurut Hukum World Trade Organization, negara-negara anggota dibebaskan untuk membuat kebijakan domestik demi melindungi konsumen maupun pasar dalam negerinya. Perangkat kebijakan ini dapat diberlakukan selama tidak menimbulkan hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan internasional.
Penelitian ini membahas mengenai kebijakan-kebijakan sertifikasi dan labelisasi halal yang diberlakukan Indonesia sebagai Technical Barrier to Trade atas daging sapi dan produk daging sapi yang diimpor ke Indonesia, penerapannya dan keselarasannya dengan Agreement on Technical Barrier to Trade atau TBT Agreement World Trade Organization. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejauh ini, permasalahan sengketa atas produk daging sapi masih minim jumlahnya dan masih bisa diselesaikan.

International trade can not occur without access to domestic markets of other countries. In addition to providing benefits,the opening of this market access also becomes a threat both economically and religiously, especially for countries with a Muslim population, such as Indonesia. As is known, Indonesia is the country with the largest Muslim population in the world, 87 % of Indonesia's population is Muslim.
Economically, the presence of such products is rival with local products, while religiously presence of these products adds to the list of sanctioned halal food by Muslims. Especially since these products are made by Western countries who are already accustomed to using pork and alcohol in the production process.
In order to provide protection to Muslim consumers, especially imported beef products, the Indonesian government established a set of policies that aim products imported beef to be halalcertified before entering into the Indonesian market. According to the Law of the World Trade Organization, member states are free to make domestic policies to protect consumers as well as its domestic market. This policy can be applied as long as not to cause unnecessary obstacles to international trade.
This study discusses the policies of halal certification and labeling imposed by Indonesia as Technical Barrier to Trade on beef and beef products imported to Indonesia, its application and its alignment with the Agreement on Technical Barrier to Trad , or TBT Agreement of the World Trade Organization. The results showed that so far, the problem of a dispute over beef products is still minimal in number and still be resolved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hugo Satryo Mulyono
"Standardisasi dan labelisasi produk pangan olahan termasuk produk susu whey protein merupakan hal yang penting, dikarenakan konsumen dapat memilih sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menjaga keamanan konsumen terhadap pelaku usaha yang memproduksi susu protein lokal maupun import, agar terhindar dari peristiwa yang merugikan konsumen. Selain itu, mengetahui peran BPOM dan BSN serta memastikan kualitas dan kepatuhan pelaku usaha terhadap standar yang ditetapkan, meningkatkan regulasi yang berlaku, serta membandingkan pengaturan dan pengaplikasiannya yang berlaku di negara Amerika Serikat. Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal berdasarkan norma yang berlaku, peraturan di Indonesia, perbandingan pengaturan di Amerika Serikat, serta teori-teori yang relevan dengan fakta yang terjadi. Jenis data yang digunakan adalah jenis data sekunder berupa studi kepustakaan yang mengacu pada hukum positif di Indonesia, diantaranya yaitu KUHPer, UUPK, UU Pangan, UU Kesehatan, dan peraturan terkait lainnya. Adapun hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa Indonesia tidak mengatur secara khusus terkait dengan labelisasi seperti klaim struktur/fungsi, klaim gizi tambahan, transparansi label, pembaharuan standar terhadap klasifikasi produk susu protein secara spesifik, dan sistem pengawasan terhadap peredaran produk susu protein di pasar dalam negeri yang berbeda dengan Amerika Serikat melalui pengimplementasian regulasi yang lebih spesifik. Oleh karena itu, penulis melalui penelitian ini menyarankan pemerintah, lembaga otoritas, dan pelaku usaha untuk meningkatkan dan mengadopsi regulasi yang berlaku di Amerika Serikat untuk diaplikasikan di Indonesia dengan tujuan masyarakat selaku konsumen teredukasi dan meningkatkan transparansi produk susu protein agar mendapatkan kepercayaan masyarakat serta membuka peluang untuk meningkatkan daya jual produk.

Standardization and labeling of processed food products including whey protein milk products are important, because consumers can choose according to their own needs. The main objective of this research is to maintain consumer safety against business actors who produce local and imported protein milk, in order to avoid events that harm consumers. In addition, knowing the role of BPOM and BSN and ensuring the quality and compliance of business actors with established standards, improving applicable regulations, and comparing the regulation and its application that applies in the United States. The method in this research uses a doctrinal approach based on applicable norms, regulations in Indonesia, regulatory comparisons in the United States, and theories relevant to the facts that occur. The type of data used is secondary data in the form of literature studies that refer to positive law in Indonesia, including the Civil Code, Consumer Protection Act, Food Law, Health Law, and other related regulations. The results of this study indicate that Indonesia does not regulate specifically related to labeling such as structure/function claims, additional nutrition claims, label transparency, standard updates to the specific classification of protein milk products, and a supervisory system for the circulation of protein milk products in the domestic market which is different from the United States through the implementation of more specific regulations. Therefore, the author through this research suggests that the government, authority institutions, and business actors improve and adopt regulations that apply in the United States to be applied in Indonesia with the aim of educating the public as consumers and increasing the transparency of protein milk products in order to gain public trust and open up opportunities to increase product marketability."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Exza Pratama
"ABSTRAK
Perdagangan Internasional merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari di era globalisasi ini, setiap negara memiliki ketentuan yang berbeda dalam kaitanya dengan perdagangan internasional, salah satunya adalah Perlindungan terkait dengan Publik Moral yang diatur dalam pengecualian umum Pasal XX a GATT. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim memiliki kepentingan dalam memberikan perlindungan moral terhadap masyarakatnya melalui jaminan produk halal meliputi proses sertifikasi dan labelisasi halal. Dalam Sengketa No 484 antara Brasil dan Indonesia terkait larangan impor ayam dan produk ayam, penerapan sertifikasi dan labelisasi halal dianggap bertentangan dengan ketentuan pasal III:4 GATT terkait dengan national treatment, serta jaminan halal dan ketentuan SPS. Namun, disisi lain sertifikasi dan labelisasi halal juga erat kaitanya dengan pengaturan perjanjian TBT karena mengatur masalah teknis dari suatu produk. Hasil dari penulisan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, Penerapan sertifikasi dan labelisasi dalam perdagangan internasional merupakan suatu hal yang harus dilindungi yang erat kaitanya dengan moral publik. Kedua, Penerapan sertifikasi dan Labelisasi halal tidaklah bertentangan dengan ketentuan Perdagangan Internasional tentang Pasal III:4 GATT terkait national treatment, serta pengaturan terkait labelisasi seperti perjanjian TBT dan perjanjian tekait seperi Perjanjian SPS. Dari permasalahan diatas dapat diamati bahwa perlu adanya suatu pengaturan khusus terkait dengan Sertifikasi dan labelisasi halal dalam ketentuan WTO dan Pengaturan yang lebih jelas dalam Peraturan Perundang-Undangan.

ABSTRACT
International Trade is a thing that cannot be avoided in this era of globalization, each country has different provisions in relation to international trade, one of which is the Moral provision set in the general exception under Article XX a GATT. Indonesia as the world 39 s largest Muslim country has an interest in providing moral justice to its people through a halal guarantee through the process of certification and halal labeling. In Dispute number 484 between Brazil and Indonesia concerning the prohibition of chicken and chicken products importation, the implementation of halal certification and labeling is considered contrary to the provisions under Article III 4 GATT is related to national treatment and the provisions of halal and SPS provisions. However, on the other hand halal certification and labeling are also closely related to TBT agreement due to the technical problem requirements of a product. The results of this writing can be drawn some conclusions. First, the application of certification and labeling in international trade is a matter that must be protected which is closely related to public morality. Second, the implementation of Halal Certification and Labeling with the provisions of International Trade on Terms and Conditions. From the above obstacles can be observed the need for a special arrangement related to Halal Certification and Labeling in the provisions of the WTO and the more clear arrangements in the Laws and Regulations. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library