Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ramdansyah
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan melakukan analisis normatif terhadap penyederhanaan partai politik di Indonesia. Inkonsistensi pengaturan partai politik di setiap rezim pemerintahan menjadi latar belakang penulisan tesis. Kebijakan penyederhanaan partai di era Presiden Sukarno dilakukan dengan melakukan pembubaran partai. Di era Presiden Suharto melakukannya dengan penggabungan (fusi) partai. Pada era Orde Reformasi dilakukan pembebasan dan pembatasan sekaligus. Inkonsistensi kebijakan memunculkan perlakuan diskriminatif terhadap partai politik. Perlakuan tersebut dalam bentuk peraturan perundangan dan pelaksanaannya. Sebagai studi kasus penelitian ini dilakukan terhadap Partai Idaman. Partai baru berdiri ini dijadikan studi kasus karena melakukan upaya hukum uji materi terkait pasal diskriminatif verifikasi partai politik dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) di Mahkamah Konstitusi (MK). Hasil penelitian ini menunjukan pengaturan partai politik di era reformasi berjalan inkonsisten dan diskriminatif. Pengaturan diskriminatif tidak hanya terjadi pada UU Pemilu, tetapi juga pengaturan dalam bentuk peraturan pelaksanaanya di Komisi Pemilihan Umum. Pengaturan dan pelaksanaan yang diskriminatif bertentangan dengan hak dasar yang diatur dalam konstitusi. Adanya perlindungan dalam bentuk upaya hukum terhadap pengaturan diskriminatif dan pelaksanaannya digunakan Partai Idaman dengan melakukan upaya hukum di setiap tahapan yang dilalui melalui pengadilan sesuai kompetensinya. Sebagai saran dalam penelitian ini disampaikan pandangan bahwa pengaturan penyederhanaan partai politik di Indonesia seharusnya memiliki arah yang jelas. Peta jalan (road map) dalam jangka panjang, konsisten dan non diskriminatif. Pelaksanaan pengaturannya juga harus dilakukan dengan memperhatikan asas-asas penyelenggaraan Pemilu. Penggunaan sistem informasi dalam bentuk perangkat keras dan lunak yang menjadi dasar penilaian lulus verifikasi partai politik juga disarankan memenuhi standar dan kualifikasi yang sesuai dan didaftarkan di Kementerian Komunikasi dan Informasi. ......The thesis aims to conduct a normative analysis of the simplification of political parties in Indonesia. The inconsistency of the regulation of political parties in each government regime is the background of the writing of the thesis. The simplification of party policies in President Sukarno era was carried out by dissolving parties. In President Suharto era was done through party fusion. In the latest era or the Reform era, both liberation and restrictions were carried out. Policy inconsistencies lead to discriminatory treatment of political parties. Such treatment is in the form of regulations and their implementation. As a case study, this research was conducted on Partai Idaman. This emerging party was used as a case study relate to its activity to carried out legal efforts to test material related to the discriminatory article on verification of political parties in Law No. 7 of 2017 concerning General Elections (Elections) in the Constitutional Court (MK). The results of this study indicate that the regulation of political parties in Reform era is inconsistent and discriminatory. Discriminatory arrangements do not only occur in the Election Law, but also in the form of implementing regulations in the Election Commission. Discriminatory arrangements and practices are contrary to the basic rights stipulated in the constitution. The existence of protection in the form of legal remedies against discriminatory arrangements and its implementation is used Partai Idaman by conducting legal remedies at each stage that is passed through the court in accordance with its competence. As a suggestion in this study, the view was made that the regulation of simplification of political parties in Indonesia should have a clear direction. The long run roadmap is needed, but consistent and non-discriminatory. The implementation of the regulation must also be carried out with due regard to the principles of organizing elections. The use of information systems in the form of hardware and software which is the basis for evaluating passing political party verification is also recommended to meet appropriate standards and qualifications and be registered at the Ministry of Communication and Information.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Okta Rini
Abstrak :
Pasal 83 KUHAP yang mengatur mengenai upaya hukum terhadap putusan praperadilan, pada ayat (1) nya menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding sedangkan ayat (2) nya menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Pada kenyataannya, masih ada putusan praperadilan yang bukan menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan upaya hukum. Hal inilah yang terjadi dalam kasus Lam Yenny Lamengan VS Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Melihat kasus ini, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana pengaturan mengenai upaya hukum terhadap putusan praperadilan di Indonesia menurut peraturan perundang-undangan yang ada serta (2) permasalahan apa yang timbul dalam praktek penerapan praperadilan terkait upaya hukum dikaitkan kasus penerimaan permintaan banding dalam kasus Lam Yenny Lamengan VS Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan metode kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian ini berupa penjabaran mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan analisis mengenai permasalahan yang timbul dalam praktek penerapannya dikaitkan dengan kasus Lam Yenny Lamengan VS Kepala Kepolisian Wilayah Besar Kota Surabaya. Article 83 Code of Criminal Procedure, regulates about the legal remedies against the decision of praperadilan, in paragraph (1) states that the decision of praperadilan cannot be appealed, while in paragraph (2) states that the decision of praperadilan which establish the invalidity of the termination of investigation or prosecution may be requested for the final decision in the High Court of Justice in the jurisdiction concerned. In fact, there is still a decision of praperadilan which not establish the invalidity of the termination of investigation or prosecution proposed for legal remedies such as in the case of Lam Yenny Lamengan vs Head of Surabaya?s Police District. The questions in this research are (1) how the arrangement of legal remedies against the decision of praperadilan according to the regulation that exist in Indonesia and (2) what is the problem that arise from the practical application of praperadilan related to legal remedies in the case of Lam Yenny Lamengan vs Head of Surabaya?s Police District. This research is a normative legal research using literatures and interview. The result in this research is a description of legal remedies that can carried out on the decision of praperadilan based on the regulation that exist in Indonesia and also the analysis of the problem that arise from the practical application of praperadilan related to legal remedies in the case of Lam Yenny Lamengan vs Head of Surabaya?s Police District.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S573
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Wahyu Christ Dewandaru
Abstrak :
Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa tidak ada upaya hukum apapun yang dapat dilakukan terhadap Putusan PKPU. Pembatasan upaya hukum ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya asas kepastian hukum terhadap Kreditor dan berkaitan juga dengan sifat dari Forum PKPU yang berdimensi cepat (speedy trial). Namun, diterbitkannya Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 menyebabkan dapat dilakukannya Kasasi sebagai upaya hukum atas Putusan PKPU dengan (2) syarat, yakni permohonan PKPU harus diajukan oleh Kreditor dan rencana perdamaian dari Debitor ditolak oleh Kreditor. Kasasi berfungsi untuk melindungi Debitor dari Kreditor yang memiliki niat jahat yang dengan sengaja mempailitkan Debitor melalui Forum PKPU dan sebagai mekanisme kontrol bilamana terjadi kekeliruan atau kesalahan penerapan hukum oleh Hakim pada pengadilan tingkat bawah. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan penelitian analisis-deskriptif melalui pendekatan kualitatif dan melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah didapatkan kesimpulan bahwa MK tidak memiliki tujuan untuk mengesampingkan ketentuan mengenai upaya hukum Putusan PKPU dalam UUK-PKPU, melainkan suatu upaya untuk melakukan progresivitas hukum atas upaya hukum Putusan PKPU di Indonesia dimana Forum PKPU banyak dijadikan sebagai strategi bisnis yang tidak sehat. ......Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of UUK-PKPU state that no legal action can be taken against the PKPU Decision. This limitation of legal remedies aims to ensure the fulfilment of the principle of legal certainty for Creditors and is also related to the nature of the PKPU Forum which has a speedy trial dimension. However, the issuance of Constitutional Court Decision No. 23/PUU-XIX/2021 resulted in the possibility of Cassation as a legal remedy for PKPU decisions with (2) conditions, namely that the PKPU application must be submitted by a Creditor and the Debtor's peace plan is rejected by the Creditor. Cassation serves to protect the Debtor from malicious creditors who deliberately bankrupt the Debtor through the PKPU Forum and as a control mechanism in the event of errors or misapplication of law by Judges at the lower court level. The author uses the juridical-normative method with descriptive-analytical research through a qualitative approach and analyses the existing problems based on the applicable provisions. The result of this research is the conclusion that the Constitutional Court does not have the aim to override the provisions regarding legal remedies for PKPU Decision in UUK-PKPU, but rather an effort to make legal progressivity on legal remedies for PKPU Decision in Indonesia where PKPU Forum is widely used as an unhealthy business strategy.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hisar Johannes
Abstrak :
Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK-PKPU”), telah mengatur bahwa tidak dikenal adanya upaya hukum terhadap putusan PKPU. Bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 23/PUU-XIX/2021 yang telah menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UUK-PKPU tersebut sebagai inkonstitusional bersyarat pun nyatanya tidak menyebabkan perubahan pada praktek Peradilan, dimana terhadap putusan PKPU tetap tidak dapat diajukan upaya hukum. Di luar itu tidak dapat dipungkiri bahwa dalam suatu perkara di Pengadilan, terdapat berbagai alasan yang bisa saja menyebabkan pihak Termohon PKPU tidak hadir ke dalam persidangan meski telah berulang kali dipanggil secara sah dan patut sesuai ketentuan Hukum Acara Perdata, misalnya alamatnya Termohon yang terbaru tidak diketahui atau secara operasional perusahaan Termohon telah pindah ke tempat yang baru tapi domisili hukum belum diubah, sehingga relaas panggilan sidang tersebut tidak pernah diterima langsung oleh Termohon PKPU. Dalam hal Termohon PKPU tidak pernah hadir selama persidangan tersebut, maka Termohon menjadi kehilangan kesempatan untuk membela diri dan Majelis Hakim menjadi memiliki hak untuk dapat menjatuhkan putusan PKPU secara verstek (tanpa dihadiri Termohon PKPU). Dalam keadaan tersebut, maka Termohon PKPU secara hukum berubah statusnya menjadi Debitor PKPU yang mau tidak mau harus mengikuti seluruh proses PKPU selanjutnya tanpa diperkenankan untuk melakukan upaya hukum apapun, termasuk perlawanan verzet sebagaimana yang berlaku di dalam perkara perdata pada umumnya. Lebih lanjut, keadaan PKPU tersebut juga suatu waktu juga dapat berujung pada status kepailitan jika Debitor PKPU keliru bersikap dan gagal berdamai dengan para kreditor di dalam proses PKPU, sehingga Debitor PKPU dinyatakan pailit dan akibatnya harus segera dimulai pemberesan oleh Kurator karena sudah tidak ada kesempatan lagi bagi debitor untuk menawarkan perdamaian. Hal demikian ini tentu saja bisa menjadi malapetaka bagi kelangsungan suatu bisnis yang mungkin saja masih memiliki prospek cukup baik tapi harus hancur hanya karena perkara permohonan PKPU yang dimulai cukup oleh 2 kreditor saja tanpa diketahui perkaranya oleh si debitor karena telah berpindah alamat secara operasional. ......Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment ("UUK-PKPU"), have stipulated that there is no known legal remedy against PKPU decisions. Even the Indonesian Constitutional Court Decision No. 23/PUU-XIX/2021 which has declared Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of the UUK-PKPU as conditionally unconstitutional has no effect for judicial practice, where legal action cannot still be taken against PKPU decisions. Apart from that, it cannot be denied that sometimes in a particula civil case, there are various reasons which could cause the PKPU Defendant does not attend the hearing even though he has been repeatedly summoned in legal and approptiate way folowing the Civil Procedure Law, for example the Defendant's most recent address is unknown or the Defendant’s company has operationally moved to a new location but the legal domicile has not been changed yet, so that the court summons was never received directly by the Defendant. If the PKPU Defendant has never attended the trial, the Defendant loses the opportunity to defend himself and the Panel of Judges has the right to hand down the PKPU decision in verstek way (without the presence of the PKPU Respondent). In these circumstances, the PKPU Defendant legally has turned become a PKPU Debtor who inevitably must follow the entire subsequent PKPU process without being permitted to take any legal action, including verzet option as applies in general civil cases. Furthermore, the PKPU situation can also lead to bankruptcy status at some point if the PKPU Debtor misbehaves and fails to reconcile with the creditors in the PKPU process, so that the PKPU Debtor is declared bankrupt and as a result, the Curator must immediately start resolving its asset because there is no longer chance for debtors to offer composition plan. Of course, this could be a disaster for a running business which may still have quite good prospects but must be destroyed just because the PKPU case initiated by only 2 creditors while the debtor has no idea about the case, because it has changed the operational address.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adia Misqa Imtiyaz Rohman
Abstrak :
Terdapat konsekuensi hukum terkait pengalihan dan pengubahan bentuk bangunan cagar budaya yang dikuasai secara pribadi, yang tidak bisa dilakukan tanpa izin pemerintah yang berwenang. Sengketa TUN berkaitan dengan penetapan status bangunan cagar budaya tanpa izin ditemukan di Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg dengan pihak penggugat para ahli waris Alrmarhum ES melawan Bupati Sumedang. Tesis ini berbasis metode penelitian doktrinal, dengan mengangkat dua pembahasan masalah yakni permasalahan mengenai kesesuaian penerbitan penetapan status bangunan cagar budaya pada putusan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta perlindungan hukum yang dapat dilakukan pemilik bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tanpa persetujuan. Sesuai peraturan perundang-undangan yaitu UU Administrasi Pemerintahan dan UU PTUN serta UU Cagar Budaya, penetapan status cagar budaya pada putusan PTUN Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg cacat prosedur dan substansi. Tersedia penyelesaian sengketa TUN melalui upaya administratif (antara lain berupa keberatan dan banding administrasi) dan gugatan ke PTUN. Masih dapat ditemukan kekosongan hukum dalam penetapan bangunan cagar budaya sehingga seharusnya pemilik dilibatkan dalam proses penetapannya dan selain diberitahukan penetapannya pada pemilik tanah status cagar budaya juga harus dicatatkan dalam buku tanah. Hal ini menjadi sorotan guna terselenggaranya kepastian hukum sebagai perlindungan hak kepada penguasa bangunan. Peraturan perundang-undangan hanya mengatur tentang pendaftaran cagar budaya, sehingga pengaturan mengenai pendataan dan publikasi cagar budaya perlu diatur lebih lanjut dan membutuhkan kerjasama antara BPN dan Dinas Budaya. Penting juga untuk memperhatikan keterlibatan profesi Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas bangunannya. ......Legal consequences exist related to the transfer and change of form of privately controlled cultural heritage buildings. The dispute relating to determining the status of cultural heritage buildings was found in the Bandung State Administrative Court (PTUN) Decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg between the bulding owner against the Regent of Sumedang. Based on doctrinal research methods, this thesis spotlights specifically about the conformity of publication of the determination of the status of cultural heritage buildings based on applicable laws and regulations and the legal protection that can be done by cultural heritage building owner without owner’s approval. Based on the Government Administration Law and PTUN Law as well as the Cultural Heritage Law, the determination of cultural heritage status in the Bandung PTUN decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg is procedurally and substantively flawed. TUN settlements are available through administrative measures (including approval and administrative appeals) and lawsuits to the PTUN. Legal vacuum exists in determining cultural heritage buildings, so apart from involvement of the owner in the determining process and notifying the owner with the result, the status of cultural heritage land must also be recorded in the land book. This is highlighted in order to emphasize legal certainty as a protection for the rights of building owners. Legislative regulations only regulate the registration of cultural heritage, so regulations regarding data collection and publication of cultural heritage need to be regulated and require cooperation between BPN. It is also important to pay attention to the involvement of the Notary profession and Land Deed Officials.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radinka Gabriella
Abstrak :
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 telah mengeluarkan putusan yang membuka kesempatan untuk mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan PKPU, di mana putusan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan yang mengatur bahwa terhadap putusan PKPU tidak dibuka upaya hukum apapun kecuali ditentukan lain oleh UU Kepailitan. UU Kepailitan semula menetapkan untuk tidak membuka upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU agar penyelesaian PKPU tidak berlarut-larut serta PKPU dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembentukannya, yaitu untuk menghindarkan debitor dari kepailitan, tetapi dalam perkembangannya, dengan tidak dibukanya upaya hukum apapun atas mekanisme PKPU, sering disalahgunakan oleh kreditor beritikad tidak baik yang dengan sengaja menggunakan mekanisme PKPU sebagai ajang untuk memailitkan debitor agar debitor tidak dapat melakukan perlawanan hukum apapun, maka dari itu penelitian ini juga akan melakukan perbandingan dengan Amerika Serikat terkait dengan mekanisme kepailitan dan PKPU terkait dengan upaya hukum terhadap kedua mekanisme tersebut. Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana peneliti akan melakukan analisis yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, serta pendapat para ahli terhadap upaya hukum kasasi atas putusan PKPU. Penelitian ini menyimpulkan idealnya terhadap putusan PKPU tetap tidak dibuka upaya hukum apapun dan untuk menghindari adanya kreditor beritikad tidak baik, maka pengajuan permohonan PKPU hendaknya diajukan oleh debitor selaku pihak yang memahami kondisi keuangan usahanya.  ......The Constitutional Court based on Constitutional Court Decision Number 23/PUU-XIX/2021 has issued a decision that opens the opportunity to file a cassation legal remedy for PKPU decisions, where the decision is not comply with Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of the Bankruptcy Law which regulates that PKPU decisions are not allowed any legal remedies unless otherwise provided by the Bankruptcy Law. In addition to causing discrepancies with what has been regulated in the Bankruptcy Law, it also causes discrepancies with the bankruptcy case settlement process which is carried out with a fast process.The Bankruptcy Law originally stipulated not to open any legal remedies against PKPU decisions so that the PKPU settlement would not be protracted and PKPU could be implemented in line with the purpose of its establishment, which is to prevent debtors from bankruptcy, but in the development with the non-opening of any legal remedies for the PKPU mechanism, often abused by the bad faith creditors who deliberately use the PKPU mechanism as a platform to bankrupt the debtor so that the debtor cannot carry out any legal defense, therefore this research will also conduct a comparison with the United States related to the mechanism of bankruptcy and PKPU related to legal remedies for both mechanisms. This research will use normative juridical research methods, where researchers will conduct analysis related to laws and regulations, legal theories, and expert opinions on cassation legal remedies on PKPU decisions. This research concludes that ideally the PKPU decision should not be opened for any legal remedy and to avoid bad faith creditors, the PKPU application should be submitted by the debtor as a party who understands the financial condition of their business.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexia Sonia Danusubroto
Abstrak :
Berkaitan dengan penanganan tindak pidana, khususnya dalam tindak pidana ekonomi saat ini tidak hanya terfokus pada tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan, namun juga terhadap korporasi ataupun organ korporasi. Guna mencegah terus dilakukannya tindak pidana, terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yakni salah satunya pemblokiran rekening. Dalam undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi, pemblokiran rekening menjadi kewenangan yang diberikan kepada penyidik dalam tahap penyidikan yang dimana dalam KUHAP kewenangan penyidik terbatas pada pelaksanaan upaya paksa. Dengan tidak diaturnya pemblokiran rekening sebagai suatu upaya paksa, menjadikannya sulit bagi pihak ketiga yang dalam hal ini korporasi untuk dapat melakukan upaya hukum berkaitan dengan pemblokiran rekening milik korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh organ korporasi untuk kepentingan pribadinya. Penelitian ini membahas mengenai apakah pemblokiran rekening dapat dikategorikan sebagai suatu upaya paksa menurut konsep KUHAP, serta bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh korporas untuk dapat memperoleh kembali rekening yang diblokir. Dengan menggunakan penelitian doctrinal dan perbandingan hukum, diketahui bahwa pemblokiran rekening memiliki konsep serupa dengan upaya paksa dalam pengaturan KUHAP yang dimana saat ini upaya hukum yang dapat dilakukan oleh korporasi atas rekening yang diblokirnya hanya sebatas pada pengajuan gugatan perdata secara mandiri atau penggabungan dengan penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh organ korporasi. Dengan demikian, menjadi hal yang penting untuk mengatur pemblokiran rekening sebagai suatu upaya paksa dalam pengaturan perundang-undangan hukum acara di Indonesia guna menghasilkan pengaturan yang lebih detail beserta dengan segala upaya hukumnya. ......In connection with the handling of criminal acts, especially in economic crimes, currently not only focuses on criminal acts committed by individuals, but also on corporations or corporate organs. In order to prevent criminal acts from continuing to be commited, there are several efforts made by law enforcement officials, one of which is account blocking. In the laws on money laundering and corruption, account blocking is the authority given to investigators in the investigation stage, where in the Criminal Procedure Code the authority of investigators is limited to the implementation of forced act. By not regulating account blocking as a forced act, it makes it difficult for third parties (in this case are corporations) to be able to take legal remedies related to the blocking of corporate-owned accounts for criminal offenses committed by corporate organs for their personal interests. This thesis discusses whether account blocking can be categorized as a forced act according to the concept of KUHAP, as well as how legal remedies can be taken by corporations to be able to recover blocked accounts. By using doctrinal research and comparative law, it is known that account blocking has a similar concept to coercion in the Criminal Procedure Code, where currently the legal remedies that can be taken by corporations are limited to filing civil lawsuits independently or combining with the handling of criminal cases committed by corporate organs. Thus, it is important to regulate account blocking as a coercive measure in the statutory regulation of procedural law in Indonesia in order to produce a more detailed regulation along with all legal remedies.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library