Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Arinia Kholis Putri
"Latar belakang: Keratosis seboroik (KS) merupakan salah satu tumor jinak epidermis yang paling sering ditemukan. Pada penelitian baru mengenai KS, vitamin D berperan melalui banyak mekanisme nongenomik, termasuk ekspresi protein dan mutasi gen FGFR3. Defisiensi vitamin D mengakibatkan gangguan proliferasi dan diferensiasi, sehingga mempengaruhi jumlah dan ukuran lesi KS. Di sisi lain pajanan matahari juga merupakan faktor yang mempengaruhi baik kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) maupun terhadap munculnya lesi KS. Pengukuran pajanan sinar matahari dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan sun index. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan antara kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran lesi KS.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar serum 25-Hydroxyvitamin D dan sun index (indeks pajanan matahari) dengan jumlah dan ukuran lesi keratosis seboroik pada wajah di Poliklinik Kulit dan Kelamin, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 50 pasien KS yang direkrut secara consecutive sampling pada bulan Desember 2018 hingga Mei 2019. Pasien yang memenuhi kriteria akan dilakukan anamnesis dan pengisian kuesioner sun index, pemeriksaan fisis, penilaian jumlah dan ukuran terbesar lesi KS di wajah dengan FotoFinder® dan dermoskopi, serta pemeriksaan laboratorium kadar serum 25(OH)D. Dilakukan analisis data untuk mengetahui korelasi kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah dengan uji Pearson jika sebaran data normal atau uji Spearman jika sebaran data tidak normal.
Hasil: Median kadar serum 25(OH)D SP sebesar 10,3 (3,9-24,2) ng/mL. Median nilai sun index adalah 1,3 (0,3-16,2). 94% SP mengalami defisiensi kadar serum 25(OH)D dan 6% mengalami insufisiensi kadar serum 25(OH)D. Terdapat korelasi bermakna dengan kekuatan sedang antara kadar serum 25(OH)D dengan sun index (p=0,009, r=0,367). Median jumlah lesi KS pada wajah sebesar 28 (8-87) lesi dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Median ukuran terbesar lesi KS sebesar 3,5(1-9,5) mm dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Tidak terdapat korelasi antara kadar serum 25(OH)D dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p=0,178, r=0,194 dan p=0,164, r=0,2). Terdapat korelasi bermakna antara sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p<0,001, r=0,517 dan p<0,001, r=0,451)
Kesimpulan: Kadar serum 25(OH)D ditemukan di bawah nilai normal (defisiensi dan insufisiensi) pada seluruh SP. Hasil penelitian membuktikan bahwa semakin tinggi kadar serum 25(OH)D, tidak menyebabkan semakin sedikit jumlah dan semakin kecil ukuran lesi KS di wajah. Namun semakin tinggi nilai sun index, maka akan menyebabkan semakin banyak jumlah dan semakin besar ukuran lesi KS di wajah

Background: Seborrheic keratoses (SK) is one of the most common benign epidermal tumors. Recent study on SK, vitamin D is involved through many nongenomic interactions, including changes in protein and mutations in the FGFR3 gene. Decreased on vitamin D causes disorder of proliferation and differentiation, thus affecting the number and size of SK lesions. On the other hand, sun exposure is also a factor that affects the levels of 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) as well as the SK lesions. Measurement of sunlight exposure can be done in various ways, one of them is by using the sun index. Until now there has been no research on the relationship between 25(OH)D serum and sun index with the number and size of SK lesions.
Objective: To assess the relationship of 25-hydroxyvitamin D levels and sun index (sun exposure index) with number and size of seborrheic keratoses lesions on the face in Dermatovenereology Clinic , Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital.
Methods: This cross-sectional study involved 50 SK patients that recruited by consecutive sampling in December 2018 to May 2019. Patients who met the criteria will be analyzed and filled in with the sun index questionnaire, physical examination, assessment of the number and size of SK lesions on the face with FotoFinder® and dermoscopy, and laboratory tests for 25(OH)D serum levels. Data analysis was performed to determine the correlation of serum 25 (OH) D and sun index levels with the number and size of SK lesions on the face with Pearson test if the data distribution is normal or Spearman test if the data distribution is not normal.
Result: The median 25(OH)D serum level is 10.3 (3.9-24.2) ng/mL. The median sun index value is 1.3 (0.3-16.2). 94% of SP had deficiencies and 6% experienced insufficiency of serum 25(OH)D levels. There was a significant correlation with moderate strength between 25(OH)D serum levels and sun index (p = 0.009, r = 0.367). The median number of SK lesions on the face was 28 (8-87) lesions and increased according to the increase in age groups. The median largest size of SK lesions was 3.5 (1-9.5) mm and increased according to the increase in age groups. There is no correlation between 25(OH)D serum levels and the largest number and size of SK lesions on the face (p = 0.178, r = 0.194 and p = 0.164, r = 0.2). There is a significant correlation between the sun index and the largest number and size of SK lesions on the face (p <0.001, r = 0.517 and p <0.001, r = 0.451)
Conclusion: 25(OH)D serum levels were found below normal (deficiency and insufficiency) in all subject. The results showed that the higher 25(OH)D serum levels did not cause the smaller the number and the smaller the size of KS lesions on the face. But higher sun index value correlate on the number and size of SK lesions on the face.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Wijaya
"Incidence of esophageal adenocarcinoma is increasing in western countries and has poor prognosis due to late diagnosis. Barren's esophagus is considered as premalignant lesion in which some of squamous epithelium in distal esophagus has been replaced by metaplastic columnar ephithelium. It occurs as complication of longstanding gastroesophageal reflux.
Endoscopic examination is very important for early detection especially in patients with chronic symptoms of gastroesophageal reflux disease (GERD) for more than 5 years. Aggressive antireflux treatment may reduce the risk of esophageal carcinoma. However, no single therapeutic modality had been proven superior compare to others, but until now surgery remains the most popular treatment of choice in the management of Barren's esophagus.
"
2005
IJGH-6-2-August2005-42
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marsal
"LATAR BELAKANG Tumor otak dapat menyebabkan gangguan psikologik, fisik, dan sosial. Depresi merupakan salah satu dari sekian banyak Manifestasi psikiatrik pada penderita tumor otak. Perkiraannya sangat bervariasi, studi yang dilakukan oleh David KW (2002) dengan menggunakan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorder edisi ke IV (DSM IV) didapatkan prevalensi depresi pada penderita tumor otak sebesar 28%. Dan Guy Pelletier (2002) menemukan prevalensi depresi pada penderita tumor otak 7,9% sampai 39%. Depresi dapat mempercepat progresifnya kanker dan mortalitas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan letak tumor otak dengan depresi. METODE Penelitian ini dilakukan dengan sistem potong lintang deskriptif ; analiljk pada 46 penderita tumor otak primer. Kemudian dilakukan pemeriksaan NP I dengan menanyakan sesuai kuesioner NP I pada caregiver. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik neurologik dan melihat hasil pemeriksaan CT scan otak I MRI. HASIL Dari 46 penderita tumor otak didapatkan 21 orang laki-laki dan 25 orang perempuan. Usia kurang dari 40 tahun 19 orang dan 40 tahun ke atas 27 orang. Mengalami keluhan sakit kepala 39 orang dan muntah 19 orang. Didapatkan 20 penderita (43,4%) mengalami depresi dengan rincian depresi sedang 50%, depresi berat 35% sisanya depresi ringan 15%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, usia, sakit kepala dan muntah. Hubungan depresi dengan letak lesi : dari 20 penderita dengan lokasi tumor di hemisfer kinan didapatkan 6 orang (30%) mengalami depresi. Sedangkan dari 26 penderita dengan lokasi tumor di hemisfer kidal mengalami depresi 14 orang (53,8%). KESIMPULAN Penderita dengan tumor di hemisfer kidal mempunyai risiko 2,722 kali untuk mengalami depresi dibanding dengan di hemisfer kinan Tapi pada uji statistik tidak terdapat hubungan berrnakna antara lokasi tumor dengan depresi pad a penderita tumor otak.

BACKGROUND Brain tumor may result in physical, social and psychological disorders. Depression as one of some psychiatric manifestation with patient who had brain tumor. Approximately, it highly varied, study worked by David KW (2002) using Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, fourth - edition (DSM IV) had found depression prevalence of brain tumor of 28%. And Dan Guy Pelletier (2002) discovered prevalence with brain tumor victims from 7,9% through 39%. Progressively, depression may accelerate cancer and mortality. This research is aimed at knowing correlation among brain tumor location with depression. METHOD This research is conducted by descriptive and analytical cross section system to 46 victims of primary brain tumor. Subsequently, it is conducted NP I examination by asking according to ·NP I questioner to caregiver. Then, physically, it had been conducted neurolqgical examination and see brain CT scan assessment I MRI. RESULTS . From 46 brain tumor victims had been discovered 21 males and 25 females. Less than 40 years old is. 39 and more than 40 years old is 27 persons which of 39 . persons had headache and 19 person vomited. It is found that which of 20 victims {43.4%) had depression comprising middle depression is 50%, heavy depression is 35% and its residue (15%) is mild depression. Significantly, there was no correlation among gender, age, headache and vomit. Correlation among depression and lesion location : From 20 victims with tumor location at right hemisphere had been found 6 victims (30%) had depression. Whereas 26 victims with tumor location at left hemisphere which of 14 victims (53.8%) had depression. CONCLUSION Victims who had tumor at -left hemisphere had 2.722 fold had depression than who had tumor in left hemisphere. But, Significantly, from statistical test there was ·no correlation among tumor location and depression to brain tumor victims."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tandyo Triasmoro
"Pendahuluan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah CD4, infeksi HPV, faktor risiko, dan terjadinya lesi prakanker pada pasien terinfeksi HIV.
Metode: Studi potong-lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo, Indonesia. 80 subjek penelitian dikumpulkan dari bulan Juli-Oktober 2021. Data subjek penelitian dikumpulkan menggunakan kuesioner terstruktur, meliputi usia, pendidikan, paritas, inisiasi seksual dini, jumlah pasangan seksual, riwayat merokok, riwayat kontrasepsi oral, riwayat penyakit menular seksual, dan jumlah CD4 terendah. Pemeriksaan sitologi, kolposkopi, dan tes HPV-DNA dilakukan pada seluruh subjek penelitian, dan 11 subjek melakukan pemeriksaan lanjutan histopatologi karena ditemukan abnormalitas pada pemeriksaan awal. Penginputan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan IBM SPSS versi 25. Analisis bivariat, perhitungan odd ratio dan p value dilakukan untuk mengidentifikasi jumlah CD4, HPV-DNA, dan faktor risiko yang terkait dengan lesi prankanker serviks.
Hasil: Dari data penelitian didapatkan bahwa 81,2% memiliki jumlah CD4 yang baik, dengan rata-rata jumlah CD4 sebesar 437,05 sel/mm3. Sebagian besar subjek memiliki HPV-negatif; namun, terdapat 22,2% subjek yang diketahui HPV-positif, memiliki lesi prakanker. Penelitian kami juga menemukan bahwa jumlah CD4 (p=0,01, OR 7,625; CI 95% 1,744-33,331) dan HPV-DNA (p<0,01, OR 12,286; CI 95% 1,456–103,65) secara signifikan berhubungan dengan lesi prakanker serviks. Kami juga menemukan korelasi antara inisiasi seksual dini dan hasil sitologi (p=0,05, OR 6,4; CI 95% 1,1306–36,2292).
Kesimpulan: Jumlah CD4 yang rendah dan HPV-DNA positif berhubungan dengan perkembangan lesi prakanker. Pasien terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah juga dikaitkan dengan hasil HPV-DNA positif. Inisiasi seksual dini, sebagai faktor risiko kanker serviks, diketahui meningkatkan hasil skrining yang tidak normal. Oleh karena itu, metode skrining co-testing direkomendasikan sebagai strategi untuk mencegah kanker serviks pada semua pasien terinfeksi HIV.

Introduction: This study aimed to determine the association between CD4 count, human papillomavirus (HPV) infection, risk factors, and the occurrence of precancerous lesions among HIV-infected patients.
Methods: This cross-sectional study was conducted at the Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Indonesia. All samples were collected between July and October 2021, and 80 HIV-infected subjects were included in the study. All participant data were collected using a structured questionnaire, including age, education, parity, early sexual initiation, number of sexual partners, history of smoking, history of oral contraception, history of sexually transmitted diseases, and the lowest CD4 count. Cytological examination, Colposcopy, and HPV DNA tests were performed on all participants, and 11 subjects underwent biopsy due to abnormalities. Data entry and analysis were performed using IBM SPSS 25th version. Bivariate analysis was performed, and odds ratios and p-values were computed to identify the CD4 count, HPV DNA, and risk factors associated with histopathology results.
Results: Among the participants, 81.2% had a good CD4 count, with a mean CD4 count of 437.05 cells/mm3. Most of the subjects were HPV-negative; however, 22.2% of HPV-positive subjects had precancerous lesions based on histopathologic results. Our study found that CD4 count was correlated with precancerous lesions (p=0.01, OR 7.625; CI 95% 1.744-33.331) and HPV DNA was significantly associated with cervical precancerous lesions (p<0.01, OR 12.286; CI 95% 1.456–103.65). Another finding was the correlation between early sexual initiation and cytology results (p = 0.05, OR 6.4; CI 95% 1.1306–36.2292).
Conclusion: Low CD4 counts and HPV DNA positivity are associated with the development of precancerous lesions. HIV-infected patients with low CD4 counts were also associated with positive HPV DNA results. Early sexual initiation, as a risk factor for cervical cancer, was found to increase abnormal screening results. Therefore, co-testing screening methods are recommended as a strategy to prevent cervical cancer in all HIV-infected patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rusmiati Dwi Rohanawati
"ABSTRAK
Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini difokuskan pada siklus kehidupan dimulai
dari hamil sampai dengan lansia yang dikenal dengan Continuum of Care. Pada
pelaksanaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun 2018 disepakati tiga upaya
kesehatan di antaranya adalah penangan tuberkulosis, pencegahan stunting, dan
imunisasi. Ada beberapa faktor yang saling berhubungan dengan kejadian stunting salah
satunya adalah faktor kesehatan gigi dan mulut pada balita. Tujuan dari penelitian ini
yaitu untuk mengetahui analisis kejadian karies white spot dan hubungannya dengan
status gizi di puskesmas purwadadi kabupaten ciamis 2019. Penelitian menggunakan
metode mixed methods dengan disain Cross secsional dan eksplenatory yang didahului
analisis data kuantitatif pada 36 balita dan dilanjutkan dengan wawancara mendalam
kepada informan. Variabel independen penelitian yaitu umur balita, jenis kelamin,
asupan asi eklusif, susu formula, umur ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan
keluarga, pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut, dan sarana fasilita. Variabel kovariat
yaitu karies white spot dan variabel dependen yaitu status gizi balita. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kejadian karies white spot pada balita
yaitu umur dan konsumsi susu formula. Tidak Ada hubungan antara karies white spot
dengan status gizi pada balita. Namun, faktor risiko balita dengan karies white spot
mempunyai peluang 1,12 kali mengalami status gizi tidak normal. Dari hasil wawancara
menyatakan bahwa setiap kasus yang terjadi di lapangan diwajibkan melapor dan
berkoordinasi antar petugas untuk tindakan selanjutnya. Pemberian edukasi secara
konseling dilakukan secara berkesinambungan.

ABSTRACT
Health development in Indonesia is currently focused on the life cycle starting from
pregnancy to the elderly, known as Continuum of Care. At the implementation of the
National Health Work Meeting in 2018 it was agreed that three health efforts included
tuberculosis treatment, stunting prevention, and immunization. There are several factors
that are interrelated with the incidence of stunting, one of which is dental and oral health
factors in infants. The purpose of this study was to determine the analysis of the
incidence of white spot caries and their relationship with nutritional status in Purwad
Puskesmas in Ciamis District 2019. The study used mixed methods with cross-sectional
and explanatory designs which were preceded by quantitative data analysis in 36 infants
and continued with in-depth interviews with informants . The independent variables of
the research are toddler age, sex, exclusive breastfeeding, formula milk, mother's age,
mother's education, mother's occupation, family income, maintenance of dental and oral
health, and facility facilities. The covariate variable is white spot caries and the
dependent variable is the toddler's nutritional status. The results of this study stated that
the factors that influence the incidence of white spot caries in infants are age and
consumption of formula milk. There is no relationship between white spot caries and
nutritional status in infants. However, risk factors for infants with white spot caries have
a 1.12 times chance of experiencing abnormal nutritional status. The results of the
interviews stated that each case that occurred in the field was required to report and
coordinate between officers for further action. The provision of counseling education is
carried out on an ongoing basis."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Wahyuni
"ABSTRAK
Latar Belakang: Lesi koroner kompleks berkaitan dengan prognosis buruk SKA. Pentingnya revaskularisasi awal untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. PLR berkaitan dengan kompleksitas lesi buruk dan diharapkan menjadi acuan dalam identifikasi dini lesi koroner kompleks.
Tujuan: Mengetahui akurasi diagnostik dan nilai titik potong PLR sebagai penapis lesi koroner kompleks baik pada kelompok usia ≤45 tahun dan >45 tahun.
Metode: Sebuah studi potong lintang secara retrospektif di ICCU RSUPN-CM. Data diambil dari rekam medis pasien SKA dewasa dan menjalani angiografi koroner dari Januari 2012 ? Juli 2015. Akurasi diagnositik dinilai dengan menghitung sensitivitas dan spesifisitas. Nilai titik potong ditentukan menggunakan kurva ROC.
Hasil: Proporsi pasien SKA dengan lesi koroner kompleks 47,2%. Nilai titik potong optimal pada pasien usia ≤45 tahun adalah 111,06 dengan sensivitas 91,3% dan spesifisitas 91,9. Pada kelompok usia >45 tahun nilai titik potong optimal pada angka 104,78 dengan nilai sensivitas 91,7% dan spesifisitas 58,6.
Simpulan: Nilai titik potong PLR optimal pada kelompok usia ≤45 adalah 111,06 dan kelompok usia >45 tahun adalah 104,78 dengan akurasi diagnositik masing-masing AUC 93,9% (p <0,001) dan AUC 77,3% (p <0,001).

ABSTRACT
Background: A Complex coronary lesion is related to poor prognosis in ACS patient. The importance of early revascularization is to decrease mortality and complications. Inflammatory marker such as PLR related to complex coronary lesions and expected to be a tool that can assist physicians and cardiologists to stratify patients who have high probability for having a complex coronary lesion.
Aim: Evaluate the diagnostic accuracy of PLR in identifying a complex coronary lesion in ACS patient. The other aim was to identify the proportion of complex coronary lesion and cut-off point of PLR between ≤45 years old group and >45 years old group subjects.
Method: This is a cross sectional retrospectively study in ACS patients hospitalized in ICCU of RSUPN-CM from January 2012 until July 2015. The inclusion are adult ACS patients and who underwent coronary. The diagnostic accuracy was determined by calculating the sensitivity, specificity, PPV, NPV, Positive LR, and Negative LR. The cut-off point was determined using ROC curve.
Results: The proportion of complex coronary lesion was 47,2%. The optimal cut-off point in ≤45 years old group was 111,06 with sensitivity and specificity respectively 91,3% and 91,9%. The optimal cut-off points in >45 years old groups was 104,78 with sensitivity and specificity respectively 91,7% and 58,6%.
Conclusion: The optimal cut-off point of ≤45 years old groups is 111,06 and for >45 years old group is 104,78. The diagnostic accuracy of PLR in ≤45 years old groups was very good (AUC 93,9%, p value <0,001), while in >45 years old group was moderate (AUC 77,3%, p value <0,001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Widya Lestari
"ABSTRAK
Latar belakang: Enhancer of Zeste homolog 2 (EZH2) merupakan kelompok protein grup polycomb yang berperan penting dalam regulasi epigenetik dan berkaitan erat dengan tumorigenesis. EZH2 ekspresinya meningkat pada kanker payudara. Peningkatan ekspresi EZH2 dapat memprediksi peningkatan risiko keganasan. Columnar cell lesion (CCL) merupakan lesi proliferatif, sering ditemukan seiring dengan meningkatnya deteksi dini kanker payudara dengan mammografi. Lesi ini terbagi atas columnar cell change (CCC), columnar cell hyperplasia (CCH), flat epithelial atypia (FEA). CCL menjadi penting setelah dikaitkan dengan risiko menjadi karsinoma payudara, serta hubungannya dengan lesi jinak dan lesi ganas payudara lainnya. Penanda prediktif CCL dibutuhkan untuk memilah CCL yang berpotensi menjadi ganas, sehingga dapat digunakan untuk deteksi dini kanker payudara kelak. Bahan dan cara: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang, deskriptif dan analitik. Sampel terdiri atas masing-masing 25 kasus CCL tanpa karsinoma dan CCL dengan karsinoma. Dilakukan pulasan EZH2 secara imunohistokimia dan penilaian dilakukan menggunakan H score dengan modifikasi oleh dua pengamat secara independen. Hasil: Hasil penilaian dua pengamat menyimpulkan nilai tidak ada perbedaan bermakna antar pengamat (p 0,655). Median H score EZH2 pada CCL tanpa karsinoma lebih tinggi secara bermakna (p 0,002) dibandingkan EZH2 dengan karsinoma, dinyatakan tinggi bila H score ≥ 100,16 (dengan sensitivitas 40,00). Kecenderungan sebaran median H score EZH2 didapatkan lebih tinggi pada FEA dengan nilai H score 119,03, diikuti CCH sebesar 103,63 dan CCC sebesar 100,07. Median H score EZH2 pada FEA tanpa karsinoma lebih tinggi (218,26) daripada CCL dengan karsinoma (101,53). Kesimpulan: Ekspresi EZH2 pada CCL tanpa karsinoma lebih tinggi dibandingkan CCL dengan karsinoma, terdapat kecenderungan ekspresi EZH2 yang lebih tinggi pada FEA dibandingkan CCH dan CCC pada semua kasus dan masing-masing kedua kelompok. Ekspresi EZH2 pada FEA tanpa karsinoma lebih tinggi dibandingkan FEA dengan karsinoma. EZH2 diduga berperan dalam karsinogenesis CCL yaitu terutama pada tahap transformasi.

ABSTRACT
Background: Enhancer of Zeste homolog 2 (EZH2) is a group of polycomb which has an important role in epigenetic regulation and is related to tumorigenesis. The expression of EZH2 is increasing in breast cancer. Overexpression of EZH2 can predict the risk of malignant. Columnar cell lesion (CCL) is a proliferatif lesion, and it is increasingly found with the increasing breast screening by mammography. This lesion divided consisted of columnar cell change (CCC), columnar cell hyperplasia (CCH), flat epithelial atypia (FEA). CCL become important related to the risk for carcinoma, and the relation with others benign lesion and maligna lesion. The predictive sign of CCL needed to assess CCL transformation become malignancy. Methods: This was cross sectional study. The sampling consisted of 25 CCL cases without carcinoma and 25 CCL cases with carcinoma. EZH2 immunostainning was assesed using H score by two independent observers. Result: The H score between two observers showed high concordance (p 0,655). Median EZH2 H score in CCL without carcinoma is significantly higher (p 0,002) than CCL with carcinoma, is high if H score ≥ 100,16 (with sensitivity 40,00). Inclination distribution of median H score EZH2 resulted higher in FEA with H score 119,03, followed by CCH 103,63 and CCC 100,07. Median EZH2 H score in FEA without carcinoma (218,26) higher than CCL with carcinoma (101,53). Conclusion: The expression of EZH2 in CCL without carcinoma is higher than CCL with carcinoma, and it shows higher tendency of EZH2 expression in FEA compared by CCH and CCC in all cases and in each group. The expression of EZH2 in FEA without carcinoma is higher than FEA with carcinoma. Hence EZH2 is predicted has a role in malignant transformation and the carcinogenesis of CCL."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chaerin
"Atternaria solani adalah jamur nekrotof penyebab tiga gelaja penyakit pada tanaman tomat. Pengelolaan pathogen ini dengan menggunakan varietas tahan memerlukan informasi keragaman genetic A. solani. Penelitian bertujuan untuk mengisolasi A. solani dari daerah produksi utama tomat dan kentang di Indonesia dan mempelajari keragaman keganasan dan genetiknya. Sebanyak 22 isolat A. solani diisolasi dari daun-daun tomat dan kentang bergejala hawar dini di Jawa Tengah dan Jawa Barat. A. alternate juga diperoleh dari daun tomat bergejala hawar dini di Jawa Barat dan Sumatra Utara, sehingga di Indonesia penyakit ini mungkin disebabkan oleh lebih dari satu spesies Alternaria. Uji ketahanan empat genotype tomat terhadap isolat . A. solani terpilih di rumah kaca menunjukan bahwa isolate local lebih agresif dalam menyebabkan penyakit hawar dini dan lesion batang dibandingkan dengan isolate asal Amerika Serikat. Implikasinya adalah galur galur tomat introduksi harus diuji terhadap isolate local untuk mendapatkan gen ketahanan yang efektif. Pengelompokan genotif marka amplified fragment length polymorshipsm (AFLP) hasil amplikasi DNA menggunakan kombinasi primer EcoRI+AG dan Msel+C memisahkan 28 isolat A. solani asal Indonesia dan Taiwan dari isolate asl Amerika Serikat, yang sesuai dengan pemisah derajat keganasan antara isolate local da isolate Amerika Serikat. Tiga gerombol genotype marka AFLP yang tidak berkaitan dengan asal geografis isolate terbentuk di antara isolat Indonesia dan Taiwan. Keragaman genetic yang rendah antar isolate A. solani Indonesia menunjukan adanya struktur populasi klonal yang tersebar luas. Keberhasilan program pemulihan local ketahanan tomat terhadap A. solani memerlukan ketersediaan koleksi isolate local yang terkterisasi keganasan dan genetiknya dengan bai agar diperoleh gen ketahanan yang efektif. "
Jakarta: Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, 2017
630 IJAS 11:2 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Doli Mauliate
"Pendahuluan: Lesi muskuloskeletal pelvis merupakan kasus langka dengan prognosis buruk. Prosedur diagnostik yang cepat, akurat dan resiko komplikasi minimal sangat dibutuhkan pada kondisi tersebut. CT guided biopsy menjadi salah satu pilihan utama. Untuk itu dilakukan studi demografi terhadap pasien dengan lesi muskuloskeletal pelvis di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo serta evaluasi ketepatan diagnosis yang diperoleh melalui prosedur CT guided biopsy.
Metode: Penelitian ini merupakan studi demografi dan uji diagnostik prosedur CT guided biopsy pada lesi muskuloskeletal pelvis di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, yang dilaksanakan secara cross sectional. Data dikumpulkan menggunakan rekam medis pasien selama periode Juni 2007-Juni 2017. Analisis uji diagnostik menggunakan Fischer exact test, dengan standar baku pembanding berupa hasil histopatologi dari biopsi terbuka berupa prosedur eksisi terhadap lesi.
Hasil: Didapatkan 101 penderita lesi muskuloskeletal pelvis menjalani pengobatan selama periode 2007-2017. Ketepatan diagnosis CT guided biopsy dibanding hasil biopsi terbuka pada lesi muskuloskeletal pelvis adalah 86,36% dalam membedakan jenis, 90,9% dalam membedakan sifat keganasan, 85% dalam membedakan lesi primer muskuloskeletal maupun metastasis, dan 90% dalam membedakan lesi tulang maupun jaringan lunak. Berdasarkan lokasi lesi pada pelvis, ketepatan diagnosis CT guided biopsy tertinggi pada Zona I (83,3%), sedangkan berdasarkan ukuran, lesi berukuran >250ml memberikan ketepatan diagnosis 88,89-100%.
Pembahasan: Data demografi menunjukkan gambaran mirip dengan literatur dan dapat digunakan sebagai data dasar dalam menegakkan diagnosis lesi muskuloskeletal pelvis. Dalam evaluasi ketepatan diagnosis, CT guided biopsy dibanding biopsi terbuka pada lesi muskuloskeletal pelvis memiliki ketepatan yang tinggi secara statistik sehingga menunjukkan reliabilitas kuat dan dapat diterapkan sebagai prosedur baku dalam menegakkan diagnosis.

Introduction: Pelvic musculoskeletal lesion is rare, mostly malignant with bad prognosis. Since early diagnosis of these cases require rapid, accurate, and safe diagnostic procedure, CT guided biopsy are common choice of treatment option. Since no data registered on pelvic musculoskeletal lession yet assembled, we performed demographic study on pelvic musculoskeletal lesion in Cipto Mangunkusumo hospital combined with diagnostic test of CT guided biopsy on pelvic musculoskeletal cases.
Methods: This is a demographic study and diagnostic test on CT guided biopsy performed on pelvic musculoskeletal lesion, performed cross sectionally, using medical record from June 2007-June 2017. Sampling procedure performed based on inclusion and exclusion criteria, and evaluated with Fischer exact test, p value <0,05. Histopathologic result after open biopsy described as gold standard.
Results: During present decade, 101 patients with pelvic musculoskeletal lesion treated in Cipto Mangunkusumo hospital. Compared to open biopsy, the accuracy of CT guided biopsy were 86,36% on determining type of lesion, 90,9% on determining type of malignancy, 85% on determining primary lesion to a metastasis lesion, and 90% on determining bone to a soft tissue lesion. Based on location of lesion, Zone I provide best accuracy (83,3%) while based on size, lesion sized >250% has best accuracy (88,89-100%).
Discussion: Demographic data of this study found similar to literature. These distribution data help diagnostic procedure especially in Cipto Mangunkusumo hospital. High diagnostic accuracy of CT guided biopsy, support that the procedure is strongly reliable, and reasonably considered as a standard operational procedure on diagnostic of pelvic musculoskeletal lesion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>