Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Destia Nur Arafah
"Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terdapat pergeseran representasi maskulinitas dalam film perang, di mana citra tradisional prajurit “ideal” yang maskulin telah sedikit demi sedikit tergantikan oleh citra tentara yang lebih “feminin.” The Yellow Birds (2017) adalah sebuah film Hollywood kontemporer mengenai perang yang mengangkat isu maskulinitas dalam dunia militer dengan menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer. Makalah penelitian ini akan menganalisis konstruksi dan representasi maskulinitas yang diangkat oleh film tersebut dengan meneliti fitur-fitur eksplisit dan implisit, seperti simbol, penggunaan bahasa, dan aksi, yang muncul selama film berlangsung. Analisis dilakukan dengan menerapkan berbagai teori yang berkaitan dengan isu maskulinitas, seperti konsep maskulinitas militer, dan teori yang berhubungan dengan setiap fitur yang dianalisis, seperti simbolisme dan penggunaan bahasa oleh pihak atasan utuk menunjukkan kekuasan terhadap bawahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa film The Yellow Birds berusaha menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer dengan cara memanusiakan tokoh prajurit, mengkritik institusi militer, dan menampilkan tokoh prajurit sebagai korban dari maskulinitas hegemonik militer.

A number of research has found that there has been a shift in the representation of masculinity in war movies, in which the image of traditional masculine “ideal” soldier has gradually been replaced by the image of a more “feminine” soldier. The Yellow Birds (2017) is a contemporary Hollywood war movie which grapples with the issue of masculinity by challenging the notion of hegemonic military masculinity. This research paper will analyze the movie’s construction and representation of masculinity by examining the explicit and implicit elements, such as symbols, language use, and actions, which appear throughout the movie. To do so, it employs various theories and concepts related to the issue, such as the concept of military masculinity, and those related to each of the features of the movie, such as symbolism and the use of language as a means by the superior to demonstrate power over the subordinates. This research demonstrates that the movie attempts to contest hegemonic military masculinity by means of humanizing the characters, criticizing the military institution, and presenting characters as victims of hegemonic military masculinity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Retno Sulistyowati
"Perkembangan media yang digunakan oleh kapital mengarah ke industrialisasi media. Media tidak hanya informatif tapi juga 'mengarahkan' melalui tindakan mencela dan memuji. sebagai majalah wanita, Cosmopolitan masih berputar disekitar etika, tips-tips seksual dan kecantikan. Melalui representasinya terhadap laki-laki yang dianggap ideal, Cosmopolitan memunculkan the other, sebagai kelas yang marjinal dan imperfection. Namun sebagai sebuah bangsa yang memiliki akar kebudayaannya sendiri, bagaimanakah pembaca majalah tersebut 'membaca'nya?
Melihat gejala di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1) memahami pemaknaan khalayak perempuan bekerja terhadap konsep maskulinitas; 2) memperoteh alasan mengapa tidak ada perubahan ekspektasi, terhadap laki-laki pada perempuan bekerja; 3) mengetahui praktek sosio-kultural media dan khalayak pembacanya.
Metode yang digunakan adatah analisis wacana paradigma kritis dan reception studies. Analisa wacana dalam paradigma kritis berfokus pada konstelasi kekuasaan yang terjadi pada produksi dan reproduksi makna, dan individu tidak dianggap sebagai subyek yang netral dan mandiri dalam menafsirkan segala sesuatu menurut pikirannya karena pengetahuan yang dimilikinya adalah suatu konstruksi social. Sementara studi resepsi adatah studi yang berfokus pada bagaimana individu-individu memaknai pesan-pesan yang disampaikan media (berita, produk-produk artistik dsb)
Dari anlisis yang dilakukan terhadap teks linguistik dan gambar yang menjadi obyek dari penelitian, garis besar yang dapat ditarik adalah pertama, maskulinitas selain sebuah ide, is juga sebuah representasi phallus yang diwakili antara lain oleh tubuh dan fashion. Bahwa tubuh bisa digunakan untuk mengatasi performance anxiety terhadap kemampuan seksualnya dan bagaimana fashion bisa digunakan sebagai representasi maskulin karena simbol-simbol yang ada dibalik fashion tersebut. Meskipun untuk menjadi menjadi maskulin laki-laki harus memenuhi ekspektasi lain dari sekedar representasi.
Representasi hanya salah satu bagian kecil dari common-sense knowledge yang menuntut untuk dipenuhi. Kedua, Iaki-laki masih harus tetap memenuhi standar kompetensi sebagai kepala keluarga, bekerja, memiliki performance seksual yang tinggi. Kompetensi laki-laki adatah syarat untuk masuk dalam paternal law, dalam hukum paternal yang melibatkan institusi dan struktur. Ketiga, ketidakmampuan lelaki memenuhi standar menjadikannya sebagai the other dan marjinal oleh karenanya. Celah inilah yang dilihat oleh media untuk memasuki wilayah privat tersebut melalui komoditas yang diproduksinya. Dari keempat, melalui komoditas inilah industri tidak lain adalah alat dari paternal law itu sendiri. Karena komoditas tidak sekedar barang yang diperjualbelikan melainkan membawa simbol yang di dalamnya yang memberikan Iegitimasi pada struktur dan institusi yang dominan. Melalui habitus, yaitu definisi dan kategorisasi, konsumen tidak memiliki alternatif untuk menciptakan definisinya sendiri. Untuk menggerakkan industri penciptaan simbol dilakukan secara terus menerus. Identitas menjadi produk instant yang dapat dipertukarkan. Sebagaimana pola maskulinitas yang sirkular, simbol-simbol ini juga mengikuti periodenya sendiri. Bagaimana maskulinitas didefinisikan pada suatu periode dari perspektif fashion, tubuh, gaya hidup dan pendidikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sejumlah persamaan term maskulinitas yang ditandai dengan dominant/preffered reading tentang peran laki-laki dalam keluarga yakni sebagai pencari nafkah. Sementara untuk seksualitas, terjadi negoisasi karena bagi responden terdapat sejumlah norma yang membatasi mereka. Oppositional reading terdapat pada teks mengenai tubuh dan identitas maskulin yang ditawarkan industri. Mereka tidak sepaham dengan media kalau maskulinitas identik dengan superioritas seksual, tubuh berotot dan simbol-simbol identitas maskulin. Menurut responden, kemampuan membangun dan memelihara keiuarga-Iah yang menjadikan laki-laki dianggap maskulin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Amanda Putri
"Makalah ini merupakan penelitian mengenai perbedaan penggunaan bahasa vernakular dan standar antara lakilaki dan perempuan dengan menggunakan metode kajian pustaka. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam berbicara, baik dalam aspek fonologi, tata bahasa, maupun kosa kata. Selain itu, menurut beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat kecenderungan penggunaan bentuk bahasa yang berbeda: laki-laki dianggap lebih sering menggunakan bahasa vernakular, sementara perempuan lebih cenderung memilih bentuk standar. Makalah ini juga akan membahas mengenai faktor-faktor yang mungkin menjadi dasar kecenderungan tersebut, di antaranya kesadaran akan status sosial, ekspektasi masyarakat terhadap kedua gender, dan maskulinitas. Tidak hanya alasan, makalah ini juga akan membahas konsekuensi yang mungkin terjadi karena penggunaan kedua bentuk bahasa yang berbeda tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa laki-laki lebih sering menggunakan bahasa vernakular dan perempuan lebih senang menggunakan bahasa standar karena beberapa faktor, yang kemudian akan memberikan beberapa konsekuensi.

This paper is a research focusing on the differences in using vernacular and standard language between men and women by using literature review. Men and women have some distinctions in speaking, not only in phonological aspect, but also in grammar and vocabulary. Furthermore, according to some research conducted, there are different tendencies in language forms use: men are considered to use vernacular forms more often, while women tend to choose standard forms. This paper will also discuss about some factors that might be the reasons behind those tendencies, which are the social status awareness, society?s expectation towards both gender, and masculinity. Not only the reasons, this paper will also discuss about the consequences that might happen because of the different use of language forms mentioned. This research concludes that men use vernacular forms more often indeed, and women prefer standard forms because of some factors, which will be followed by some consequences.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Hari Farisca
"ABSTRAK
Iklan merupakan sebuah sumber untuk mendapatkan informasi. Di antara konten-konten yang ditayangkan oleh iklan, banyak yang menggambarkan konsep maskulinitas. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana iklan merepresentasikan konsep maskulinitas dan bagaimana iklan mengkonstruksi maskulinitas di benak khalayak. Untuk itu digunakan analisis semiotika dengan melihat tanda-tanda yang ditampilkan oleh iklan, terlebih melihat makna denotasi dan konotasinya. Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa representasi maskulinitas dapat dilihat dari makna denotasi tampilan fisik dan makna konotasi tampilan sikap pria maskulin yang masih menggunakan stereotip lama masyarakat Indonesia. Konstruksi maskulinitas yang digambarkan oleh iklan televisi telah membentuk pola gaya hidup baru bagi kaum pria. Gaya hidup yang terbentuk itu adalah gaya hidup konsumtif.

ABSTRACT
Advertising is one of the ways to get information. Among the contents in advertising, many of them illustrate the concept of masculinity. The purpose of this academic paper is to explain how advertising represents the concept of masculinity and how advertising constructs the masculinity concept in the audiences rsquo s mind. For that reason, the writer uses semiotic analysis meaning of denotation connotation to see signs displayed by advertising. The results of this paper show that the depiction of masculinity still represents the old stereotype about masculinity in Indonesian society. This representation can be seen from the denotative meaning psysical appearance and connotative meaning attitude of masculine men in the advertising. The construction of masculinity that is illustrated by television advertisement has formed a man rsquo s new lifestyle which is consumtive."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sexton, Jared, autho
Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan, 2017
791.436 2 SEX b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Qurrota Ayuni Perwiradmoko
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat pemaknaan dari BTS ARMY terhadap rekonstruksi maskulinitas yang dilakukan oleh K-Pop Idol BTS. Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa K-Pop Male Idol merekonstruksi maskulinitas dan rekonstruksi maskulinitas oleh K-Pop Male Idol tersebut dikonsumsi oleh para penggemar perempuan. Namun, dalam studi-studi tersebut masih belum menjelaskan mengenai pandangan maupun pemaknaan para penggemar tersebut mengenai rekonstruksi maskulinitas yang terjadi, terutama jika dikontekskan pada konstruksi maskulinitas di Indonesia. Penelitian ini berargumen bahwa beragam produk budaya populer Korea atau Hallyu, yang dalam konteks penelitian ini adalah musik dan konten BTS yang tersebar melalui berbagai media digital, yang menampilkan konstruksi maskulinitas yang berbeda dari konstruksi maskulinitas yang hegemonik di masyarakat Indonesia, yang pada akhirnya mampu membuat BTS ARMY menegosiasikan pemaknaan maskulinitas yang berbeda dengan maskulinitas hegemonik di masyarakat mereka. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu adalah pendekatan kualitatif dengan melakukan reception analysis pada konten BTS dengan cara melakukan wawancara mendalam pada BTS ARMY terkait dengan image maskulinitas BTS yang dibawakan melalui konten-konten yang diproduksinya. Hasil temuan menemukan bahwa BTS menampilkan rekonstruksi maskulinitas dengan mematahkan norma yang selama ini ada pada maskulinitas yang menghegemoni, dengan cara mereka berpenampilan dan berperilaku melalui musik dan kontennya yang tersebar melalui berbagai media digital. Terkait dengan rekonstruksi tersebut BTS ARMY mendapatkan pemahaman baru mengenai konsep maskulinitas yang berbeda dari maskulinitas hegemonik yang ada di masyarakatnya.

This study have an aim to see the reception analysis from BTS ARMY towards the reconstruction of masculinity that BTS do. The previous studies showed that the K-Pop Male Idol have reconstructed the meaning of masculinity, and also see how the masculinity reconstruction that the K-Pop Male Idol did has been consumed by the fangirls. However, those studies have not explained about how the fangirls point of view about the reconstruction of masculinity, especially if it is contexted in Indonesia’s masculinity construction. This study argues that the various product of Korean popular culture or Hallyu, which in the context of this research is BTS’s musics and content that is spread through a lot of digital media, that shows masculinity construction which different from the hegemonic masculinity construction in Indonesian society, which in the end is able to make BTS ARMY negotiate the meaning of the masculinity that is different from their society’s hegemonic masculinity. The research method is a qualitative approach by conducting a reception analysis to the BTS content by conducting an indepth interviews to BTS ARMY related to the BTS masculinity image that is delivered through the content that they produced. The findings found that, BTS showing a reconstruction of masculinity by breaking the norms which in all this time exist in the hegemonic masculinity, by how the way they look and behaving through their musics and contents which was spread through various digital media. So by through it, the informant ARMY precisely gain a new comprehension about masculinity concept which is different than the hegemonic masculinity that exists in their society. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Anjani
"Munculnya fenomena maskulinitas baru di Cina tidak lepas dari pengaruh budaya pop Asia Timur lainnya, seperti Jepang dan Korea. Berkembangnya fenomena maskulinitas baru yang digambarkan oleh para idol pria di Cina dengan penampilan yang mengarah pada sisi feminin dianggap oleh kalangan konservatif di Cina sebagai bentuk maskulinitas yang “menyimpang”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena xiao xian rou sebagai bentuk maskulinitas baru di Cina. Penelitian ini juga mengkaji bentuk represi pemerintah dan negosiasi yang dilakukan oleh para idol serta respon masyarakat Cina dalam menanggapi fenomena tersebut. Penulis menggunakan metode penelitian studi pustaka dengan mengumpulkan berbagai literatur terkait dengan topik maskulinitas di Cina. Hasil temuan menunjukkan bahwa keberadaan maskulinitas baru tersebut menimbulkan represi dari berbagai pihak, terutama pemerintah Cina, melalui kebijakan yang membatasi penampilan feminin para idol di media. Represi ini direspon dengan tiga bentuk negosiasi dari para idol di Cina antara lain: 1) tunduk secara penuh pada aturan pemerintah; 2) bernegosiasi dengan penampilan sewajarnya; dan 3) melakukan upaya resistensi. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya dalam menempatkan posisi mereka atas berbagai represi yang didapatkan. Fenomena maskulinitas baru ini direspon secara beragam dan dinamis oleh masyarakat Cina, serta akan terus dikonstruksi di tengah dominasi maskulinitas hegemoni.

The emergence of new masculinity phenomenon in China cannot be separated from the influence of other East Asian pop cultures, such as Japan and Korea. The development of new masculinity phenomenon depicted by male idols in China with their looks that tend to be feminine is considered as a form of ‘deviant’ masculinity by the Chinese conservatives. This study aimed to analyze the xiao xian rou phenomenon as a new form of masculinity in China. It also examined the forms of government repression and negotiation done by the idols and Chinese community’s responses to the phenomenon. The researcher used literature review as a research method by collecting some literature related to masculinity topics in China. The results of study indicated that the existence of new masculinity had caused repression from some parties, especially the Chinese government, through a policy that limited the feminine looks among idols in the media. This repression was responded to by three kinds of negotiation from the Chinese idols, including: 1) fully complying with government regulations; 2) negotiating with proper looks; and 3) committing resistance efforts. These things were done as an effort to place their positions against the repressions they received. The new masculinity phenomenon has been responded to in various and dynamic ways by Chinese community, and will keep being reconstructed amid the hegemony of masculinity dominations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Kenvaleriano Syahputra
"Maskulinitas Toksik adalah istilah yang mulai digunakan pada tahun 1980-an untuk menggambarkan sikap dan perilaku yang diharapkan dari pria yang dapat berdampak negatif pada diri mereka sendiri dan masyarakat. Di dunia media sosial saat ini, terdapat banyak pengaruh yang memiliki pandangan yang bervariasi, dengan beberapa yang mempromosikan maskulinitas beracun. Sifat dari pengaruh media sosial adalah ide-ide mereka dapat ditransmisikan kepada audiens yang luas dan mungkin mempengaruhi pandangan dunia dan pengambilan keputusan sejumlah orang dalam audiens tersebut. Salah satunya adalah Andrew Tate, seorang guru bimbingan diri, motivator, dan pengaruh yang mendapatkan ketenaran melalui TikTok dan YouTube. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pandangan Andrew Tate tentang maskulinitas dan bagaimana ia menyusun pesannya untuk mempengaruhi pengikutnya. Studi kasusnya adalah Andrew Tate, seorang pria yang mendapatkan ketenaran dari TikTok dan kemudian diundang ke sejumlah podcast yang penuh dengan pernyataan yang mengafirmasi maskulinitas beracun. Data yang akan dianalisis diambil dari podcast Standout.TV, PBD Podcast, dan Adin Ross yang mengundang Andrew Tate untuk berpartisipasi dalam segmen mereka. Temuan penelitian menunjukkan pandangan misoginis Andrew Tate tentang maskulinitas dan bagaimana ia menyusun pesannya untuk mendapatkan ketenaran dan keuntungan dari pengikutnya

Toxic masculinity is a phrase that started being used in the 1980’s to describe the attitudes and behaviors that are expected from men that could have a negative impact on men themselves and society. In today’s world of social media, there are a lot of influencers that have varying views, with some that promotes toxic masculinity. It is the nature of social media influencers that their ideas can be transmitted over a large audience and possibly influence the worldview and decision making of a number of people in that audience. One of whom is Andrew Tate, a self-help guru/ motivator/ influencer that reached fame through TikTok and YouTube. This article aims to examine Andrew Tate’s view on masculinity and how he constructs his message to influence his followers. The case study will be Andrew Tate, a man who found fame from TikTok and later was invited to a number of podcasts filled with statements that affirm toxic masculinity. The data that will be analyzed is taken from the podcast from Standout.TV, PBD Podcast, and Adin Ross that invited Andrew Tate to take part in their segment. Research findings show Andrew Tate’s misogynistic views on masculinity and how he constructs his message assertively, rationalizing his rebuttals and gaining fame and profit from his followers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Erick Bintang Sulaiman
"Breaking Bad AMC, 2008-103 , sebuah drama seri televisi yang menceritakan seorang tokoh utama yang bernama Walter White. Walter adalah seseorang pria keluarga yang berwatak halus dan santun dan pada akhirnya berubah menjadi seorang kriminal yang kejam. Dia memiliki tujuan untuk menyokong finansial keluarganya dan juga untuk membuktikan ke laki-lakiannya. Dari Breaking Bad, dapat dilihat bagaimana konsep hegemoni maskulinitas berkorelasi kepada kekerasan yang merepresentasikan toxic masculinity. Tujuan dari riset ini adalah untuk menunjukan dan mengidentifikasi bagaimana Walter White merepresentasikan bahwa hegemoni maskulinitas bisa merusak hubungan dalam keluarga dan juga hubungan kepada publik atau orang disekitarnya. Diremehkan sebagai pria dari orang sekitarnya mengarahkan saya untuk mengkontekstualisasi Walter White sebagai studi kasus dan representasi konvensional seorang pria yang tertekan akan sebuah standar sosial tentang bagaimana menjadi pria lsquo;sejati rsquo;. Aspek yang di eksplorasi dari riset ini adalah karakterisasi dari Walter White yang mencakup kepribadian, peran sosial, dan interaksi dengan orang di sekitarnya. Riset-riset sebelumnya berfokus pada Breaking Bad adalah tentang argumentasi dan membuktikan bahwa maskulinitas Walter White adalah hasil dari konstruksi sosial dan sebagai kritik terhadap maskulinitas. Belum ada riset yang membahas tentang toxic masculinity yang direpresentasikan oleh Walter White di serial televisi ini. Riset ini mengungkapkan elemen-elemen karakteristik Walter White yang menggambarkan konsep tentang toxic masculinity sebagai akibat dari tidak tercapainya standar maskulinitas pria yang dimana Walter merasa terpinggirkan karena tidak menjadi sosok pria yang ideal dan sesuai standar ekspektasi sosial.

Breaking Bad AMC, 2008-2013 , a crime drama television series that told a story of Walter White, a mild-mannered and underachieving family man who later became a violent criminal drug kingpin in order to fulfill his family financial future as well as his manliness. From Breaking Bad, we can see how the concept of hegemonic masculinity links men towards violence that represents toxic masculinity. The goal of this research is to show and examined how Walter White portrayed hegemonic masculinity can be destructive for a man rsquo;s public and domestic matters. The emasculation of Walter White by his public and domestic matters leads me to contextualize the character of Walter White as a case study and as a conventional representation of men who are oppressed by the pervasive idea of how a man is supposed to be. The aspects explored were Walter White rsquo;s characteristic that includes personality traits, social roles, and interaction between his public and domestic affairs. Previous research focused on Breaking Bad were to argue and examine how Walter rsquo;s masculinity is constructed and as a critique of masculinity. Due to lack of study that examined the consequences of toxic masculinity that is represented through Walter White, this research reveal the characteristic elements of Walter White immaculately depicted the concept of toxic masculinity as result of marginalized ways of being a man."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Kiasatina
"Tubuh yang atletis dan dan berotot menjadi komponen yang penting bagi laki-laki gay. Laki-laki gay yang maskulin, menarik, dan berotot lebih disukai daripada laki-laki yang memilikiberat badan berlebih, lemah, dan tidak menarik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana menjadi muscular atau berotot memainkan peran penting dalam kehidupan gay. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menjadi berotot memainkan peran penting dalam gagasan picking up atau mencari pasangan untuk laki-laki gay dengan tubuh yang serupa. Gay lebih menyukai laki-laki maskulin, dengan menggunakan istilah seperti manly, macho, dan maskulin. Adanya hegemoni maskulinitas melanggengkan dominasi laki-laki terhadap laki-laki dan juga menentukan bagaimana seharusnya menjadi laki-laki, sehingga muncul pandangan pada akhirnyalaki-laki seharusnya menjadi maskulin terlepas dari statusnya sebagai gay. Pada akhirnya dalam hubungan gay seharusnya terjadi antar laki-laki dengan sesama laki-laki. Sehingga menjadi “laki- laki” merupakan suatu kebutuhan dalam dunia gay. Mereka harus mempertahankan tubuh yang berotot, keras, dan hipermaskulin untuk mempertahankan rasa maskulinitas dan tidak dikaitkan dengan femininitas. Pengaturan laki-laki gay yang ideal tidak hanya terjadi di antara laki-laki gay, tetapi juga dalam masyarakat heteroseksual yang lebih luas. Terdapat anggapan masyarakat dapatlebih menoleransi laki-laki gay asalkan mereka tidak menantang tatanan gender antara maskulin dan feminin. Penelitian ini melihat bagaimana laki-laki gay kelas menengah merawat tubuhnya dalam bentuk pembentukan otot, yang mana beperan untuk memunculkan maskulinitasnya. Laki- laki gay dapat bertahan di tengah lingkungan yang berpegang pada nilai-nilai heteronormatif dan memelihara keberadaannya di dalam dunia gaynya melalui identitas maskulin yang dimilikinya. Laki-laki gayseperti mengejar gambaran “maskulin” dengan mewujudkan citra tubuh yang ideal untuk dapat diterima baik oleh lingkungan gaynya maupun masyarakat pada umumnya. Namun kemudian gayakan dihadapkan dengan kekhawatiran akan citra tubuh sebagai konsekuensi dari gambaran tubuhyang berotot dan atletis yang ada pada budaya gay

Athletic and muscular body is an important component for gay men. Masculine, attractive, and muscular gay men are more preferred over overweight, weak, and unattractive men. This studyaims to explain how being muscular plays an important role in gay life. The results of this study indicate that being muscular plays an important role in the idea of picking up or finding a partner for gay men with similar bodies. Gay men prefer masculine men, using terms such as manly, “macho”, and masculine. The existence of hegemony masculinity perpetuates the dominance of men over men and also determines how men should be, Therefore, men should be masculine regardless of their status as gay. In the end, gay relationships should occur between men and fellowmen. So being a “man” is a necessity in the gay world. They must maintain a muscular, hard, andhypermasculine body to maintain a sense of masculinity and not be associated with femininity. The ideal gay male arrangement does not only occur among gay men, but also in the wider heterosexual society. There is an assumption that society can be more tolerant of gay men as longas they do not against the gender order between masculine and feminine. This study looks at how middle class gay men take care of their bodies in the form of muscle building, which plays a role in bringing out their masculinity. Gay men can survive in an environment that adheres to heteronormative valuesand maintain their existence in the gay world through their masculine identity. Gay men seem to pursue a "masculine" image by creating an ideal body image to be accepted both by their gay environment and by society in general. But then, gay men will be faced with body image concernsas a consequence of the muscular and athletic body image that exists in gay culture"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>