Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imam Hermanda
"Tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil. Saat melakukan tindak pidana, anak dipandang tidak mandiri secara kejiwaan, dan bukan pula miniatur orang dewasa. Anak yang menjadi pelaku pidana juga dapat dipandang sebagai korban, yakni korban dari keadaan disekitarnya. Dalam sistem peradilan pidana, mediasi penal dilatar belakangi pemikiran yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide "penal reform" itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana.
Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara, serta untuk penyederhanaan proses peradilan, salah satu caranya adalah dengan mekanisme "mediasi penal". Keadilan restoratif memfokuskan keadilan bagi korban sesuai keinginan dan kepentingan pribadi, tetapi tetap membuat pelaku bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya. Keadilan restoratif menawarkan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat. Aparat penegak hukum, pelaku, dan korban bisa bersepakat untuk mengalihkan kasus tersebut agar tidak dibawa hingga ke proses pemeriksaan dipengadilan jika pelakunya adalah anak-anak. Berdasarkan semua hal diatas, maka skripsi ini akan membahas mengenai studi perbandingan kasus mengenai penerapan mediasi penal dalam penanganan Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Berhadapan Dengan Hukum.

Law enforcement purpose was not to apply the law, but rather to achieve order, peace, tranquility, in a harmonious society and fair. When doing crime, psychiatric child was not independent, and it was not a miniature adult. Children who become perpetrators of crime can also be seen as victims, the victims of circumstances around it. In the criminal justice system, penal mediation against the background of thought associated with the ideas of criminal law reform (penal reform), and problems associated with pragmatism. Background ideas "penal reform" that among other things the protection of victims of an idea, the idea of harmonization, the idea of restorative justice, the idea to overcome the stiffness/formality in the existing system, the idea of avoiding the negative effects of the criminal justice system and criminal system that exists today, particularly in search of an alternative to the criminal.
Background of pragmatism among others to reduce stagnation or accumulation case, as well as to simplify the process of justice, one way is the mechanism 'penal mediation'. Restorative justice focuses justice for the victims at will and self-interest, but still makes the perpetrator responsible for his crime. Restorative justice offers recovery for all parties involved. Law enforcement officers, the offender, and the victim can agree to transfer the case not to be brought up to the inspection process in court if the perpetrators are children. Based on all the above, then this paper will discuss the Application of Penal Mediation Settlement In Case Crime Carried Out By Children Against the Law (Comparison Case Study of Court Decisions).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aruan, Bonita Irene
"Penelitian ini menelaah tentang bagaimana konsep Keadilan Restoratif seharusnya dimaknai dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Masih dimaknainya konsep Keadilan Restoratif sekedar sebagai penghentian perkara serta adanya pemahaman oleh Aparat Penegak Hukum yang menilai bahwasanya mekanisme Keadilan Restoratif yang membuka ruang dialog antara korban dan pelaku secara langsung atau Victim-offender Mediation sebagai satu-satunya mekanisme untuk mencapai Keadilan Restoratif seringkali menjadi penghalang untuk dapat diterapkannya konsep Keadilan Restoratif secara tepat dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Disamping itu, adanya ketimpangan relasi kuasa yang nyata dan potensi terjadinya reviktimisasi terhadap korban sedianya juga menjadi faktor lain yang menjadi penghambat keberhasilan penerapan konsep Keadilan Restoratif. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, penelitian ini hendak membahas 3 (tiga) pertanyaan penelitian diantaranya: Pertama, mengenai bagaimana konsep Keadilan Restoratif dimaknai dalam penanganan suatu perkara pidana. Kedua, bagaimana seyogyanya konsep Keadilan Restoratif harus dimaknai dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Ketiga, bagaimana pengimplementasion konsep Keadilan Restoratif pada penanganan kasus kekerasan seksual oleh Aparat Penegak Hukum di Indonesia melalui putusan serta kasus aktual yang ditangani. Guna memperluas khazanah pengetahuan, penelitian ini juga akan turut melakukan analisis terhadap penerapan konsep Keadilan Restoratif di beberapa negara seperti Kanada, Victoria, Belgia dan Selandia Baru. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa prinsip Keadilan Restoratif sedianya masih dapat diterapkan dalam penanganan kasus kekerasan seksual dengan beberapa catatan sebagai berikut: Pertama, harus dipahaminya Keadilan Restoratif tidak hanya sebatas sebagai mekanisme penghentian perkara; Kedua, Victim-Offender Mediation (Mediasi Penal) bukanlah satu-satunya mekanisme Keadilan Restoratif yang dapat diterapkan dalam kasus kekerasan seksual dan tidak selalu dapat diterapkan dalam setiap penanganan kasus kekerasan seksual mengingat pada faktanya setiap korban kekerasan seksual memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda; dan Ketiga, fasilitator Keadilan Restoratif yang menangani kasus kekerasan seksual harus dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan mumpuni terutama berkaitan dengan dinamika kontrol dalam kekerasan seksual.

This research examines how the concept of Restorative Justice should be interpreted in addressing cases of sexual violence. The prevailing interpretation of Restorative Justice merely as case termination, coupled with the understanding by Law Enforcement Authorities that the Restorative Justice mechanism, which facilitates direct dialogue between victims and offender or also known as Victim-offender Mediation, is often seen as the sole mechanism to achieve Restorative Justice frequently acts as a barrier to the accurate implementation of the Restorative Justice concept in handling sexual violence cases. Additionally, the existence of power imbalances and the potential for revictimization of the victims are other factors that hinder the success of implementing the Restorative Justice concept. By conducting normative research, this study aims to answer three research questions. First, how the concept of Restorative Justice is interpreted in handling criminal cases. Second, how the concept of Restorative Justice should ideally be interpreted in handling sexual violence cases. Third, how the implementation of the Restorative Justice concept in handling sexual violence cases by Law Enforcement Authorities in Indonesia is carried out through decisions and actual cases handled. To expand the knowledge base, this research also analyzes the application of Restorative Justice concept in several countries such as Canada, Victoria, Belgium, and New Zealand. The results of this research show that Restorative Justice principles should still be applicable in handling sexual violence cases, with the following considerations: First, it is essential to understand that Restorative Justice is not merely a mechanism for case termination; second, Victim-offender Mediation is not the only Restorative Justice mechanism that can be applied in sexual violence cases, and it may not always be the right choice given the fact that every victim of sexual violence has different psychological conditions; and third, a Restorative Justice facilitator in handling sexual violence cases must be equipped with comprehensive knowledge and proficiency, especially regarding the dynamics of control in sexual violence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diny Arista Risandy
"ABSTRAK
Mediasi tidak lagi hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di ranah perdata, melainkan dalam perkembangannya dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana tertentu. Mediasi sebagai alternatif model penyelesaian perkara pidana ini dikenal dengan istilah mediasi penal. Indonesia telah mengimplementasikan konsep mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yakni melalui Diversi dan dalam penanganan perkara-perkara pidana tertentu di tingkat penyidikan oleh aparat kepolisian. Namun demikian, masyarakat hukum adat di beberapa daerah di Indonesia pada dasarnya juga telah menerapkan konsep mediasi penal sejak lama, Aceh menjadi salah satunya. Tinjauan Yuridis dalam penelitian ini difokuskan pada bagaimana mekanisme dan kedudukan mediasi penal di Aceh dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia serta kekuatan hukum hasil mediasi penal yang dijalankan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mediasi penal yang dijalankan di Aceh terintegrasi di dalam Peradilan Adatnya yang berasaskan musyawarah damai sesuai ajaran Islam, dimana Peradilan Adat ini merupakan tahap pendahuluan bagi penyelesaian perkara pidana tertentu. Apabila telah diupayakan penyelesaian di dalam Peradilan Adat namun tidak berhasil, maka pihak-pihak terkait dapat membawanya ke jalur Peradilan Formal Negara. Putusan yang dihasilkan oleh Peradilan Adat di Aceh memiliki kekuatan hukum yang mengikat langsung bagi para pihak yang telah menyatakan secara tegas menerima putusan tersebut.

ABSTRACT
Mediation is no longer used only for civil cases settlement, but has now been used for particular criminal cases settlement as well. Mediation as the alternative model of criminal cases settlement is known as penal mediation. Indonesia has implemented the concept of penal mediation in Juvenile Criminal Justice System through Diversion and in the dealing of particular criminal cases at the level of investigation by police officers. However, indigenous people in several areas in Indonesia basically have also implemented the concept of penal mediation since quite a long time, Aceh is one of them. Juridical review in this research is focused on how the mechanism and the position of penal mediation in Aceh in Indonesian Criminal Justice System are, also the legal force of the implementation of penal mediation in Aceh. This is a normative legal research which is conducted through literature and desk study. The results of this research show that the implementation of penal mediation in Aceh is integrated in their Customary Justice which is based on the principle of peaceful deliberation according to the teaching of Islam, where the Customary Justice they have is a preliminary stage for particular criminal cases settlement. If a settlement had been attempted through the Customary Justice but was unsuccessful, then the related parties could bring their cases for settlement through the Formal Justice. The decisions made by the Customary Justice in Aceh have a direct legal binding for the parties who have expressed their acceptance of the decisions explicitly."
2017
S65601
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Akbar Magistra Putra
"Seiring dengan adanya pembaharuan hukum, khususnya dalam tujuan pemidanaan yang bersifat memuaskan hak dan kewajiban seluruh pihak menjadikan istilah ADR diserap ke dalam sistem hukum acara pidana. ADR di dalam sistem hukum acara pidana dikenal dengan istilah mediasi penal yang merupakan pengejawantahan dari konsep restorative justice. Dewasa ini, salah satu aparatur penegak hukum yang sering kali menerapkan mediasi penal adalah Polri, khususnya melalui fungsi Bhabinkamtibmas. Hal ini merupakan pengaktualisasian dari telah dihapuskannya wewenang penyidikan pada Polsek dan peluncuran Polisi RW yang keduanya sengaja diprogramkan untuk mengorientasikan fungsi kepolisian untuk membina dan menjaga kamtibmas melalui tindakan preemtif dan preventif. Padahal, ketentuan-ketentuan mengenai mekanisme mediasi penal sejatinya belum diatur secara letterlijk bagi Bhabinkamtibmas. Secara lahiriah, fungsi Bhabinkamtibmas sejatinya adalah untuk melaksanakan fungsi kepolisian berupa pembinaan dan penjagaan kamtibmas. Namun, saat ini juga dituntut untuk membantu penyelengaraan fungsi-fungsi kepolisian di Polri lainnya, yakni salah satunya adalah fungsi reskrim dalam hal penyelesaian perkara di luar pengadilan. Hal tersebut dapat ditemui secara parsial pada aturan internal kepolisian di Polri yang menyebutkan bahwa Bhabinkamtibmas dapat “menyelesaikan perkara ringan” dan “memediasi antar pihak” dalam penanganan tindak pidana, sehingga tuntutan ini berkaitan dengan adanya penerapan mediasi penal oleh Polri. Atas dasar tersebut, salah satu bentuk persoalan yang sering kali menjadi landasan bagi Bhabinkamtibmas dalam menerapkan mediasi penal adalah pada penanganan konflik horizontal. Di sisi lain, tuntutan bagi Bhabinkamtibmas tersebut nyatanya tidak selaras dengan adanya pembekalan pengetahuan, kompetensi, dan keterampilan dalam hal sebagai mediator dalam adanya penanganan konflik. Hal tersebut terbukti dengan adanya penanganan konflik horizontal melalui penerapan mediasi penal yang dilakukan oleh Bhabinkamtibmas di Polsek Serpong yang hingga saat ini belum mencapai kesepakatan damai, sehingga mengakibatkan terganggunya kamtibmas. Oleh karena itu, melalui metode penelitian yang bersifat normatif berdasarkan studi literatur, penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara menyeluruh mengenai persoalan penerapan mediasi penal oleh Polri, khususnya bagi Bhabinkamtibmas. Berdasarkan persoalan tersebut, Penulis menggagas adanya usulan sertifikasi konflik mediator bagi Bhabinkamtibmas dalam upaya optimalisasi mediasi penal oleh Polri.

As part of legal reforms, particularly in the area of punishment that takes into account the rights and obligations of all parties involved, the criminal procedural law system incorporated the term ADR. This later came to be known as penal mediation embodying the concept of restorative justice which has been implemented by The Indonesian National Police (Polri) through the role of Bhabinkamtibmas. It discusses the implementation of changes in the investigative authority at the Sector Police Station and the introduction of the RW Police, whose goal is to redefine the role of the police in promoting and preserving public safety through preemptive and preventive actions. However, there has been an absence of specific regulations in place for Bhabinkamtibmas regarding the penal mediation mechanism. Apart from their main duty to ensure public safety, Bhabinkamtibmas is expected to support the police in carrying out their functions, including criminal investigations to resolve cases without going to court. As stated in the internal police rules, they have the authority to “handle minor cases” and “mediate between parties” in criminal acts. Practically, there have been some problems with the horizontal conflict management suggesting that Bhabinkamtibmas lack the necessary knowledge, competence, and skills required to effectively mediate conflicts. This can be seen from the resolution of horizontal conflicts through penal mediation conducted by Bhabinkamtibmas at Serpong Sector Police Station, which has not yet to achieve a compromise, leading to issues in security and public order. Using normative research methods and drawing on literature studies, this study aims to offer a comprehensive understanding of the challenges surrounding the implementation of penal mediation by the National Police, with a particular focus on Bhabinkamtibmas. Based on these problems, the author initiated an initiative to certify conflict mediators within the Bhabinkamtibmas to enhance the effectiveness of Polri penal mediation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library