Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hastrina Mailani
Abstrak :
Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang tersering, sebagian dapat bersifat agresif dengan kemungkinan rekurensi yang lebih tinggi. Diperlukan parameter klinikopatologik yang dapat memprediksi terjadinya rekurensi dan progression meningioma sehingga dapat dilakukan strategi tatalaksana yang lebih agresif dan follow-up ketat. Penilaian ekspresi Ki-67 pada meningioma diharapkan dapat menjadi salah satu prediktor rekurensi dan progression tumor. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi Ki-67 pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression dengan yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kasus kontrol. Populasi penelitian adalah pasien yang telah didiagnosis sebagai meningioma dengan pemeriksaan histopatologi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM dari tanggal 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2021. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression serta yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan menggunakan antibodi primer anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data kemudian dievaluasi untuk menentukan ekspresi Ki-67.Didapatkan 34 kasus meningioma yang terdiri atas 17 kasus dengan rekurensi dan progression serta 17 kasus tanpa rekurensi dan progression. Median ekspresi Ki-67 pada kelompok yang mengalami rekurensi dan progression (2,1%)  lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalami rekurensi dan progression (0,5%). Ekspresi Ki-67 berkaitan dengan kejadian rekurensi dan progession meningioma dengan adjusted odds ratio sebesar 4,2. Nilai titik potong yang direkomendasikan adalah sebesar 0,95%. Ekspresi Ki-67 merupakan faktor prediksi kejadian rekurensi dan progression pada meningioma. ......Meningioma represents the most frequent primary intracranial tumor, and some subtypes may demonstrate aggressive characteristics with a correspondingly elevated risk of recurrence andprogression. To predict the likelihood of recurrence and progression, clinical and pathological parameters are essential. More aggressive treatment strategies and strict follow-up can be implemented using these parameters. Proliferation assesment using Ki-67 expression is expected to be one of the predictor of tumor recurrence and progression. This study aims to evaluate Ki-67 expression in meningioma with recurrence and progression and those without recurrence and progression. This was an analytic case control study including specimens diagnosed as meningioma recorded in archives of Anatomical Pathology Departemen, FMUI/CMH from January 1st. 2019 to December 31th, 2021. Consecutive sampling method was used. Ki-67 immunostaining was conducted using anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data was analyzed statistically to evaluate Ki-67 expression. Thirty-four cases were selected, consisted of 17 cases with recurrence and progression and 17 cases without recurrence and progression. Median expression of Ki-67 in meningioma with recurrence and progression (2,1%) was higher than median expression of Ki-67 in meningioma without recurrence and progression (0,5%). Ki-67 expression was associated with recurrence and progression in meningioma (aOR=4,2) Recommended cut off value to predict recurrence and progession in this study was  0,95%. Ki-67 expresssion was independent factor for recurrence and progession of meningioma.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Tjuatja
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi. ......Aims: Identifying the role of the Ki-67 proliferation index as a prognostic factor in estimating radiation therapy response in meningiomas. Methods: A systematic review of PubMed, Scopus, EBSCOhost/CINAHL was performed following the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses guideline. Data extraction was completed manually from selected studies. Results: 465 of the literature were compiled from a literature search for the two study questions and finally, 15 articles met the eligibility criteria. Twelve studies demonstrated that Ki-67 proliferation index had a significant correlation with the grade in meningiomas. Meanwhile, two studies reported that in meningiomas treated with radiation therapy a higher Ki-67 proliferation index would provide better local control than a lower Ki-67 proliferation index. One other study found no correlation between Ki-67 and radiation response. Conclusion: Ki-67 proliferation index has a unidirectional correlation with the grade of meningioma. A total of two out of 3 studies on the correlation of Ki-67 with radiation response in meningiomas reported that higher Ki-67 responded better to radiation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sayyid Abdil Hakam Perkasa
Abstrak :
Pengantar Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) diyakini berperan dalam infiltrasi meningioma ke tulang yang mengakibatkan hiperostosis. Studi prospektif ini diharapkan dapat mempelajari biomarker tersebut dan hubungannya dengan sifat infiltratif meningioma. Metode Penelitian ini bersifat prospektif dengan melakukan pengambilan sampel tumor bersama dengan tulang yang berdekatan melalui operasi. Pewarnaan hematoxylin dan eosin dilakukan untuk mengidentifikasi infiltrasi tumor ke calvaria dari spesimen tulang yang berdekatan. Uji imunohistokimia (IHK) sampel tumor dilakukan untuk menentukan intensitas MMP-9, yang diklasifikasikan menjadi empat kategori: negatif, lemah, sedang, dan kuat. Hasil Tiga puluh kasus meningioma menjalani kraniotomi pengangkatan tumor. Terdapat 18 (60%) sampel dengan hiperostosis, dan 17 (94,4%) diantaranya menginfiltrasi tengkorak. Tidak ada sampel dengan pewarnaan IHK negatif. Enam belas (59,26%) sampel tumor memiliki intensitas ekspresi MMP-9 sedang, ekspresi lemah ditemukan pada tiga sampel (11,11%), sedangkan intensitas kuat ditemukan pada delapan kasus (29,63%). Hasil kami menunjukkan hubungan yang signifikan antara infiltrasi tumor ke tulang dengan hiperostosis, tetapi intensitas MMP-9 tidak berkorelasi signifikan dengan hiperostosis dan infiltrasi tumor. Kesimpulan Sebagai salah satu enzim proteolitik, kami menemukan bahwa MMP-9 bukanlah faktor yang signifikan untuk infiltrasi meningioma ke tulang. ......Introduction Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) is believed to play a role in meningioma infiltration to the bone that results in hyperostosis. This prospective study is expected to learn about the biomarker and its relationship with the infiltrative nature of meningiomas Method A prospective analysis was conducted to retrieve meningioma samples along with adjacent bone through surgery. Hematoxylin and eosin staining was performed to identify tumoral infiltration to the calvaria from adjacent bone specimens. Immunohistochemical (IHC) tests of tumor samples were conducted to determine MMP-9 intensity, classified into four categories: negative, weak, moderate, and strong Results Thirty meningioma cases underwent craniotomy tumor removal. There were 18 (60%) samples with hyperostosis, and 17 (94.4%) of them infiltrated the skull. There was no sample with negative IHC staining. Sixteen (59.26%) tumor samples had moderate intensity expression of MMP-9, weak expression was found in three (11.11%) samples, while strong intensity was found in eight (29.63%) cases. Our result showed a significant relationship between tumor infiltration to the adjacent bone with hyperostosis, but the intensity of MMP-9 was not significantly correlated with hyperostosis and tumor infiltration. Conclusion As one of the proteolytic enzymes, we found that MMP-9 was not a significant factor for meningioma infiltration to the adjacent bone.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Giovano Andika Pradana
Abstrak :
Tujuan: Menilai kesintasan hidup (OS) dan kesintasan bebas progresivitas (PFS) pasien meningioma intrakranial yang menjalani radioterapi di RSCM dan mengetahui faktor klinis yang dapat dijadikan faktor prognostik. Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif yang menyertakan 61 subjek meningioma intrakranial yang terdiagnosis secara radiologis maupun histopatologis yang menjalani radioterapi di IPTOR RSCM pada Januari 2014 – Desember 2019. Hasil: OS 1, 2, dan 3 tahun adalah 98,1%, 87,8%, dan 77,1%. PFS 1, 2, dan 3 tahun adalah 84%; 72,4%; dan 58,2%. Faktor yang memperburuk OS adalah jenis kelamin laki-laki (p <0,001), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor di konveksitas/falx/parasagittal (p <0,016), tumor derajat II dan III (p <0,001) dan BED ≥85,74 Gy3,7. Faktor yang memperburuk PFS adalah jenis kelamin laki-laki (p = 0,027), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor konveksitas/falx/parasagittal (p = 0,002), tumor derajat III (p <0,001), volume GTV ≥46,35 cm3 (p = 0,026), dan BED ≥85,74 Gy3,7 (p = 0,02). Pada analisis multivariat, faktor independen yang mempengaruhi OS adalah jenis kelamin, dan faktor yang mempengaruhi PFS adalah jenis kelamin dan KPS. Kesimpulan: Jenis kelamin merupakan faktor prognostik independen terhadap OS pasien meningioma yang menjalani radioterapi. ......Aims: To assess overall survival (OS) and progression-free survival (PFS) of patient with intracranial meningioma who underwent radiotherapy in RSCM and to find clinical factors that contribute as prognostic factors. Methods: Patient with radiologically or pathologically-confirmed intracranial meningioma who underwent radiotherapy in our department from January 2014 to Decemer 2019 were retrospectively analyzed. Results: OS in 1, 2, and 3 year were 98,1%; 87,8%; dan 77,1%; and PFS in 1, 2, dan 3 year were 84%; 72,4%; dan 58,2%. Male (p <0,001), KPS <70 (p <0,001), convexity/falx/parasagittal tumor (p <0,016), WHO grade II dan III tumor (p <0,001) and BED ≥85,74 Gy3,7 were associated with poor OS. Male (0,027), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor convexity/falx/parasagittal (p = 0,002), WHO grade III (p <0,001), GTV volume ≥46,35 cm3 (p = 0,026), and BED ≥85,74 Gy3,7 (p = 0,02) were associated with poor PFS. Male is independent factor associated with poor OS in multivariate analysis, wherase male and KPS <70 were associated with poor PFS. Conclusions: Male is an independent prognostic factor affecting OS and PFS in meningioma patients underwent radiotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Amelia Ganefianty
Abstrak :

Abstrak

 

Meningioma merupakan tumor intrakranial primer yang paling umum terjadi, terhitung sepertiga dari semua tumor yang menyerang sistem saraf pusat. Meningioma dapat mempengaruhi beberapa dimensi kehidupan seperti fisiologis, psikologis, dan sosial. Pembedahan adalah penatalaksanaan utama pada pasien meningioma. Kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma dalam waktu 3 bulan hingga 1 tahun pasca pembedahan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Sebanyak 118 pasien meningioma pasca pembedahan yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien meningioma pasca pembedahan memiliki kualitass hidup kurang baik (79,7%). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah usia (p=0,014), grade tumor (p=0,0001), status fungsional (p=0,0001), fatigue (p=0,001), illness perception (p=0,0001), dan dukungan sosial (p=0,001). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah status fungsional dengan nilai OR 6,728 (CI 95%= 1,655; 27,348). Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan acuan bagi perawat dalam mengembangkan pengkajian keperawatan pada pasien meningioma pasca pembedahan terkait kualitas hidup.

 Kata kunci: kualitas hidup; pasien meningioma; pasca pembedahan


Abstract

 

Meningioma is the most common primary intracranial tumor, accounting for one third of all tumors that attack the central nervous system Meningioma can affect several domains of life such as physiological, psychological, and social life. Surgery is the main management in meningioma patients. The aim of this study was to investigate the factors influencing quality of life in meningioma patients after surgery. This study was a cross sectional analytic design involved. A total of 118 postoperative meningioma patients were selected by purposive sampling technique. The results of this study indicate that the majority of patients have low quality of life (79.7%). Factors related to quality of life were age (p = 0.014), tumor grade (p = 0,0001), functional status (p = 0,0001), fatigue (p = 0,001), illness perception ( p = 0,0001), and social support (p = 0,001). Multivariate analysis showed that the most dominant factor associated with the quality of life was functional status (OR 6.728). This study is to provide input to nurses as reference in developing nursing assesment in  meningioma patients after surgery related quality of life.

Key words: meningioma; patient, quality of life; surgery

2019
T53218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Diyana
Abstrak :
Peran reseptor progesteron pada meningioma masih diperdebatkan. Namun ekspresi reseptor ini cenderung memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prognosis yang mempengaruhi luaran meningioma. Telaah sistematis ini mengevaluasi berbagai studi yang menilai hubungan ekspresi reseptor progesteron terhadap derajat meningioma, serta luaran klinis berupa rekurensi, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), dan overall survival (OS) pada pasien meningioma. Berdasarkan hasil telaah sistematis ini, ekspresi reseptor progesteron mempunyai hubungan terbalik dengan peningkatan derajat meningioma. Ekspresi reseptor progesteron positif juga memberikan luaran yang lebih baik pada pasien pasca operasi. Studi mengenai respons radiasi terkait reseptor progesteron masih sangat jarang. ......The role of progesterone receptors in meningiomas is still debatable. However, the expression of these receptors tends to provide a good prognosis. Various studies have been conducted to identify progesterone receptors as a prognostic factors. This systematic review evaluates various studies assessing relation of progesterone receptor expression to the grade of meningioma and clinical outcomes in the form of recurrence, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), and overall survival (OS). Based on the results of this systematic review, progesterone receptor expression has an inverse relation with an increased grade. Positive progesterone receptor expression also have a better outcome in postoperative patients. Studies of the radiation response associated with progesterone receptors are rare.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Rhiveldi Keswani
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi. Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial. Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471) Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi. Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi. Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial. Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471) Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi. Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi. Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial. Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471) Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.
ABSTRACT
Introduction: Sphenoorbital meningioma is an exophytic tumor mass that infiltrates rthe bone at sphenoid wing, lateral orbital wall, orbital roof, and extending to superior orbital fissure. The classic triad of clinical features are proptosis, decrease visual acquity, and opthalmoplegia. Nowadays we have not eavaluating patient?s outcome after surgery. In the research, we would like to know the clinical characterisitc of the patient with sphenoorbital menigioma before and after surgey. Patients and Methods: The cross sectional study was performed. Subjects was the patiens with sphenoorbital meningioma who came to our clinic on January 2014 ? December 2015. All the patiens underwent craniectomy and lateral orbitotomy. We evaluated the visual acquity and proptotic index before and after surgery by measuring the protuded eye in a axial CT Scan. Result: There were 66 samples in this study, 65 of the samples were female. With afe range 31 to 64 years. The mean proptotic index pre-operative is 18,27 and the post operative is 16,43. With mean proptotic index reduction is 1,84 (p<0,05). Post Operative visual acquity were improved only 3 (9,7%) samples (p=0,0471) Conclusions: The sphenoorbital patients after surgery was showed markedly improvement in proptosis index. Hence the visual acquity were not markedly improved after surgery.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kumara Wisyesa
Abstrak :
Latar Belakang. Meningioma memiliki jumlah kasus yang cukup banyak dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien karena adanya gejala nyeri dan gangguan emosional. Karena itu, penting diketahui luaran dari hasil tindakan operasi pada pasien meningioma. Penulis menggunakan instrumen EORTC QLQ C-30 untuk menilai kualitas hidup pasien dengan meningioma sphenoorbita setelah operasi. Metode. Penelitian ini adalah studi cross sectional. Subyek adalah penderita meningioma dengan hiperostosis sphenoorbita yang dilakukan pembedahan di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Oktober hingga Desember 2016 sebanyak 40 orang. Data diambil dari rekam medis pasien dan kuesioner EORTC QLQ-C30 yang mencakup status kesehatan global, fungsi fisik, fungsi peran, fungsi emosional, fungsi kognitif, fungsi sosial, dan gejala-gejala klinis. Hasil. Berdasarkan perhitungan skor EORTC QLQ-C30 didapatkan adanya kenaikan yang bermakna secara statistik p-value ......Background. Meningioma has a considerable number of cases and can affect patients quality of life due to pain and emotional disturbance. Therefore, it is important to know the outcome of surgical procedures in patients with meningioma. The authors use the EORTC QLQ C 30 instrument to assess the quality of life of patients with sphenoorbital meningioma after surgery. Method. This study was a cross sectional study. The subjects were patients with meningioma with hyperostosis sphenoorbita who underwent surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital from October to December 2016 as many as 40 people. Data were taken from the patient's medical record and the EORTC QLQ C30 questionnaire. Results. Based on the calculation of EORTC QLQ C30 score, there was a statistically significant increase p value
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rhudy Marseno
Abstrak :
Latar Belakang: Meningioma adalah tumor intrakranial yang lazim dijumpai sebagai tumor jinak karena pertumbuhannya yang lambat, memiliki tingkat kelangsungan hidup yang cukup tinggi, dan memiliki peluang besar untuk dilakukan pembedahan secara lengkap.1,2 Namun, komplikasi dan disabilitas jangka panjang sering terjadi yang dapat menurunkan kualitas hidup.2 Penelitian ini meneliti luaran jangka panjang status neurologis pasca pembedahan dan bagaimana hubungan antara tingkat ekstensi pembedahan terhadap status neurologis pasca pembedahan meningioma di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Metode: Penelitian kohort historis terhadap 142 pasien dengan menggunakan rekam medis dan data registrasi onkologi dari Departemen Bedah Saraf RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2014 hingga Desember 2021. Tingkat ekstensi pembedahan dikategorikan menjadi (1)Tingkat reseksi tinggi dan (2)Tingkat reseksi rendah. Fungsi saraf kranialis, motorik, dan sensorik dikategorikan menjadi (1) Defisit tambahan atau persisten dan (2)Tidak ada defisit atau perbaikan. Penelitian ini menggunakan data yang diolah secara deskriptif dan analitik. Hasil: Sebagian besar responden yang menjalani pembedahan memperoleh tingkat reseksi tinggi (62%). Berdasarkan follow up 2 tahun pasca pembedahan, sebagian besar responden tetap tidak terdapat defisit atau mengalami perbaikan fungsi nervus kranialis (67,6%), fungsi motorik (95,1%), dan fungsi sensorik (99,3%) dibandingkan sebelum pembedahan. Analisis bivariat menunjukkan bahwa proporsi kejadiannya tetap tidak terdapat defisit atau mengalami perbaikan fungsi nervus kraniaisl (p = 0,114) dan fungsi motorik (p = 0,295) pasca pembedahan pada responden dengan angka reseksi tinggi. Kesimpulan: Terdapat peningkatan status neurologis, yaitu fungsi nervus kranialis, motorik dan sensorik, yang lebih baik diperoleh pada tingkat ekstensi pembedahan tinggi (Simpson grade I-II) daripada tingkat ekstensi pembedahan rendah (Simpson grade III- V), meskipun secara statistik perbedaannya tidak signifikan. ......Background: Meningioma, is an intracranial tumor that is commonly found as a benign tumor because of its slow growth, has a fairly high survival rate, and has a great chance for complete removal.1,2 However, complications and long-term disabilities often occur which can reduce the quality of life.2 This study examines the long-term outcome of postoperative neurological status and how the relationship between the degree of surgical extension and the postoperative neurologic status of meningioma at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital as a National Referral Hospital in Indonesia. Methods: Historical cohort of 142 patients using medical records and oncology registration data from the Department of Neurosurgery Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2014 to December 2021. The degree of Surgical extension was categorized into (1) High resection rates and (2) Low resection rates. Cranial nerve, motor, and sensory functions were categorized into (1) Additional or persistent deficit and (2) No deficit or had improved. The study used data that was processed descriptively and analytically. Results: Most of the respondents underwent surgery obtained a high resection rate (62%). Based on the 2-year follow-up after surgery, respondents still had no deficit or had improved cranial nerve function (67.6%), motor function (95.1%), and sensory function (99.3%) compared with before surgery. Bivariate analysis showed that the proportion of the occurrence was still no deficit or had improved cranial nerve function (p = 0.114) and motor function (p = 0.295) after surgery in respondents with a high resection rate. Conclusion: There was an improvement in neurological status, namely cranial nerve function, motor and sensory, which was better obtained at a high level of surgical extension (Simpson grade I-II) than at a low level of surgical extension (Simpson grade III-V), although statistically, the difference was not significant.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>