Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cowan, Marjorie Kelly
San Francisco: Benjamin Cummings , 2002
616.01 COW m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tias Hastutie
"Antibiotika golongan sefalsoporin merupakan salah satu antibiotika yang banyak digunakan oleh pasien ICU RSUP Fatmawati Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengevalusi penggunaan antibiotika golongan sefalosporin pada pasien ICU. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey yang bersifat deskriptif analitis retrospektif-prospektif. Data dikumpulkan dari Catatan Medis dan hasil pemeriksaan laboratorium (uji kultur dan sensitivitas) pasien ICU yang dirawat pada bulan Januari-September 2006.
Hasil penelitian ini menunjukkan 323 pasien ICU (68,43%) menggunakan antibiotika golongan sefalosporin. Antibiotika golongan sefalosporin yang banyak digunakan adalah seftazidim 32,68%, seftriakson 29,05% dan sefpirom 14,50%. Pada evaluasi penggunaan antibiotika golongan sefalosporin terdapat 17,96% ketidaktepatan dosis.
Hasil uji kultur dan sensitivitas menunjukkan bahwa antibiotika golongan sefalosporin telah mengalami resistensi yaitu sefaleksin (73,24%), sefotiam (71,83%), sefotaksim (63,38%), seftriakson (60,56%) dan sefpirom (60,34%). Data diuji dengan metode kai Kuadrat dan hasil yang diperoleh menunjukkan ada hubungan bermakna antara tingkat penggunaan antibiotika golongan sefalosporin dengan resistensi kuman terhadap antibiotika golongan sefalosporin di ICU RSUP Fatmawati.
Cephalosporin is the most frequently antibiotics used at Intensive Care Unit, Fatmawati Hospital Jakarta. The objective of this study is to know the description and to evaluate the cephalosporin use at Intensive Care Unit. The study conducted with analytical descriptive retrospective-prospective method. The data collected from Medical Record and laboratory test result (Culture and Sensitivity Test) of ICU patient during January until September 2006.
The result of this study indicated that 323 patient (68,43%) used cephalosporin. The most frequently cephalosporin used by ICU patient was ceftazidime 32,68%, followed by ceftriaxone 29,05% and cefpirome 14,50%. Evaluation of cephalosporin used indicated 17,96 % an incorrect doses of cephalosporin.
The result of Culture and Sensitivity Test showed that cephalosporin has been resistance including cefotiam (71,83%), cefotaxime (63,38%), ceftriaxone (60,56%) and cefpirome (60,34%). The data from the study examined with Chi Square Test Method and the result show that there was a correlation between the level of cephalosporin use and the resistance of microbe to cephalosporin at Intensive Care Unit, Hospital Jakarta.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S32869
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Fitriah Afianti
"ABSTRACT
High anthropogenic activity in Jakarta Bay is believed to contribute a fairly high contamination as evidenced by microbial contaminants such as Coliform and Escherichia coli. The high density of Coliform and E. coli indicators of domestic contamination in Jakarta Bay as a result of an increase in the resident number who bring the flow of water to the springhead of the Jakarta Bay. It can be said that the polluted waters of Jakarta Bay and marine biota should be cultivated in this area as green shell should not consumed, because it can infect and cause gastrointestial disease. For that purpose, a research of microbial pollutants was conducted in Jakarta Bay in July 2015, and the results showed a very high density, expecially in the West."
Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI, 2017
575 OSEANA XLII:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adityarini
"Acetonitrile is an organic, derivative of carboxylic acid, and toxic compound. This compound has been widely used in pharmaceutical and chemical industries. Nowadays, there are more interests in acetonitrile-degrading microbes for their potential in chemical syntheses and biological detoxification of nitrile-containing wastes.
The aim of this study were to isolate, select, and characterise the isolate from industrial effluents which has the best degrading capability and its acetonitrile-degrading enzyme. Cultures were grown on mineral medium with microelements and acetonitrile was added as sole source of energy, carbon, and nitrogen. Analysis to characterise the acetonitrile-degrading enzyme had been conducted with whole cells of the selected isolate. Decreasing of acetonitrile concentration and formation of its degrading products were determined by gas chromatography and ammonia analysis was done by Nessler's method.
Isolate D5, identified as Corynebacterium sp., was able to grow on high concentration acetonitrile (up to 5 % v/v) and exhibited the highest specific growth rate (p) among 29 isolates which could grow on acetonitrile. When Corynebacterium D5 grew on 2 % (vlv) acetonitrile, the doubling time was 6 hours 40 minutes, the specific growth rate (p.) was 0.1 h-1, and the acetonitrile decreasing rate was 3.99 mM/h. Increasing of acetonitrile concentration would extend the doubling time, decline the maximum growth and specific growth rate (M), and biomass production. The products of acetonitrile degradation by Corynebacterium D5 were acetamide, acetic acid, and ammonia. The highest maximum growth of Corynebacterium D5 showed when 13-aminopropionitrile was used as a substrate.
Corynebacterium D5 degraded 5 % (v/v) acetonitrile with degrading rate of 0.906 µmol min-' (mg dry weight cells)-'. Corynebacterium D5 hydrolysed acetonitrile by two-step reaction catalysed by nitrile hydratase and amidase. The acetamide forming rate [0.399 pmol min' (mg dry weight cells)-' ] was higher than acetic acid forming rate [0.198 µcool min-' (mg dry weight cells)'' ] and the maximum acetamide concentration formed (about 239 mM) was also higher than maximum acetic acid concentration formed (about 145 mM). Nitrite hydratase activity of Corynebacterium D5 was found to be higher than amidase activity. Maximum nitrite hydratase activity was found out at pH 6 and at 30 °C, while maximum amidase activity was found out at pH 7 and up to 60 °C the activity still increase. Nitrite hydratase of Corynebacterium D5 was totally inhibited by 5 mM Hg2+, whereas amidase was slightly inhibited by 10 mM Co2+."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usman Chatib Warsa
"

Perkembangan mikroba atau jasad renik yang resistan atau kebal pada antibiotika yang sering digunakan untuk pengobatan infeksi, telah menjadi masalah besar didalam pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun di masyarakat. Bersamaan dengan berkembangnya penyakit baru akhir-akhir ini, ramai dipublikasikan adanya bentuk baru evolusi kuman yang sulit ditanggulangi dengan obat antibiotika yang biasa dipergunakan untuk pengobatan, yang kemudian disebut sebagai "Superbugs" atau "Killerbugs" atau "Killer Microbes"(1,2,3). Kejadian mikroba resistan terhadap kemoterapi telah dilaporkan terjadi pada berbagai jenis bakteri, jamur, virus maupun parasit. Saat ini bakteri yang resistan antibiotika prevaiensinya paling besar, sehingga pada kesempatan ini saya akan membahas secara singkat masalah ini. Contoh mikroba resistan lain misalnya pada jamur/fungi (Candida sp. resistan pada flukonasol), virus (HIV resistan pada zidovudin), dan parasit (Trichomonas sp. resistan pada metronidasol dan Plasmodium falsifarum resistan pada kloroquin)(4).

Telah diteliti oleh para ahli penyakit infeksi, bahwa pada penderita dengan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri resistan antibiotika, akan menyebabkan penyakit makin berat, makin lamanya masa sakit dan lebih lama tinggal di rumah sakit bagi penderita yang dirawat, juga menyebabkan gejala sisa atau sequelae yang lebih besar, meningkatnya angka kematian/mortalitas, serta biaya pengobatan yang meningkat karena makin mahalnya obat pilihan alternatif(5). Sebaliknya peningkatan resistansi juga dipengaruhi oleh beberapa kemajuan yang didapat dari kehadiran dan efektivitas pengobatan dengan antibiotika itu sendiri, antara lain dimungkinkannya prosedur operasi yang lama dan banyak komplikasi pada penderita immunosupresi, usia lanjut atau penderita yang sakit berat; dapat dilakukan transplantasi; dan dapat digunakannya peralatan dan alat bantu yang kompleks. Kehadiran antibiotika berspektrum luas yang dapat digunakan pada tindakan profilaksis dan pengobatan, memberikan kemungkinan tindakan medik yang lebih kompleks dan dahulu sulit dilakukan(6,7).

Meningkatnya prevalensi bakteri resistan terhadap antibiotika, mengharuskan pertimbangan yang lebih besar didalam melakukan evaluasi risiko tindakan medik yang sudah ada. Ini termasuk tindakan operasi metode baru yang membutuhkan waktu lama; penggunaan instrumentasi dan alat bantu dengan teknologi baru; tindakan pada penderita menurunnya imunokompeten, sakit berat dan sakit kronik; pada kondisi di mana kurangnya fasilitas pada pendidikan dan pelatihan kontrol infeksi; tidak mempunyai fasilitas laboratorium mikrobiologi untuk pemeriksaan tes kepekaan antibiotika, guna mendeteksi adanya resistansi; tidak adanya standar teknik antiseptik yang baik; pada densiti komunitas yang padat; sanitasi buruk di sekitar tempat tinggal.

"
Jakarta: UI-Press, 2004
PGB 0223
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Nies Andekayani Enaldy
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian
Pembawa mikroba patogen merupakan suatu keadaan yang sangat berpengaruh dan beresiko tinggi bagi seorang tenaga penjamah makanan / Food handler, dimana pada keadaan itu tenaga kerja tersebut berada dalam fungsi tubuh sehat tetapi mengandung bibit penyakit dan dapat menularkannya atau mengakibatkan orang lain sakit.
Penelitian tentang upaya penurunan prevalensi pembawa mikroba patogen pada tenaga kerja di bagian Food and beverage suatu hotel belum banyak dilakukan di luar negeri, terutama di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor - faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pembawa mikroba patogen tersebut pada pekerja di bagian F & B hotel X Jakarta. Prevalensi tersebut diketahui berdasarkan pemeriksaan usap dubur.
Disain penelitian adalah riset operasional terhadap 123 subyek penelitian. Pengumpulan data dasar dilakukan dengan menggunakan kuesioner / wawancara, pemeriksaan usap dubur pertama, pengambilan contoh makanan, contoh usap alat, contoh air bersih dan contoh air kolam renang. Intervensi yang dilakukan berupa penyuluhan, terapi antibiotika untuk 42 orang pekerja yang + (positif) mikroba pada pemeriksaan usap dubur pertama.
Evaluasi dengan melihat perubahan sikap dan perilaku pekerja serta penurunan prevalensi pembawa mikroba patogen pada pemeriksaan usap dubur kedua.
Hasil dan Kesimpulan
Dari 123 subyek penelitian pada pemeriksaan usap dubur pertama didapatkan 42 orang (34.14%) positif mengandung mikroba atau menjadi pembawa mikroba patogen. Setelah dilakukan intervensi dengan pemberian terapi antibiotika yang sesuai, didapatkan penurunan prevalensi pembawa mikroba patogen menjadi 23 orang (18,69%).
Faktor yang dapat menyebabkan seseorang tenaga kerja menjadi pembawa mikroba patogen adalah riwayat penyakit yang pernah diderita selama satu tahun terakhir sebelum pemeriksaan, sedangkan faktor lain tidak menunjukkan hubungan yang bermakna.
Dari pemeriksaan sampel lingkungan tidak menunjukkan adanya kontaminasi dengan mikroba patogen.

ABSTRACT
Operational Research Decreasing the Prevalence of Microbe Pathogen Carrier among Employees of Food and Beverage Department Hotel X, Jakarta 1997Scope and Methodology
Microbe pathogen carriers are potential hazards in food handlers, since they were functionally healthy, but sometime were reservoir agents for healthy people.
The design of study is an operational research with the objective to improve the health of workers in the sub department F & B in hotel X. The specific objectives of this study were to identify the prevalence of microbe carriers, to decrease the prevalence and to identify relationship between prevalence of several risk factors.
Until now there were no study reported had been carried out on this issue among employees of food and beverage department of hotels in Indonesia.
Results and Conclusions
Out of 123 subjects, 42 persons (34,14%) were tested positively in the first rectal swab examination as microbe pathogen carriers. Post intervention by giving appropriate antibiotic therapy, there was a decrease in the prevalence to 23 persons (18,69%).
The major factor that might significantly influenced the condition of microbe pathogen carriers was nourishment besides personal hygiene, sex, age, marital status, education, and working period.
Samples were takes also for environmental factors, such as tableware swabs, food samples, water samples, pool water samples showed no contamination with microbe pathogen.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Syafaat Nur
"Kualitas udara di ruang ICU perlu diperhatikan karena kerentanan pasien akan penyakit dan menghindarinya dari infeksi nosokomial. Beberapa indikator dari pencemar udara dalam ruang adalah konsentrasi bakteri dan konsentrasi jamur. Pengambilan sampel bakteri dan jamur di udara menggunakan alat EMS serta media kultur TSA untuk bakteri dan media kultur PDA untuk jamur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi bakteri dan jamur berdasarkan besarnya intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur. Intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur terhadap konsentrasi bakteri memiliki korelasi Spearman Rank sebesar -0,043; 0,033; -0,194 dan korelasi analisi regresi linear sebesar -0,115; 0,017; -0,168. Intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur terhadap konsentrasi jamur memiliki korelasi Spearman Rank sebesar -0.231; 0,062; -0,095 dan korelasi analisi regresi linear sebesar -0,265; 0,072; -0,192.

Air quality in ICU Room need to be considered as susceptibility to disease and avoid nosocomial infection. Some indicators of indoor air pollutants are bacteria and fungi. Using EMS and TSA as a media culture for bacteria and PDA as a media culture for fungi. In this study, the concentrations of bacteria and fungi were analyzed based on intensity of ray, humidity, and temperature. Intensity of ray, humidity, and temperature in the room have a relationship with the concentration of bacteria with the Spearman Rank correlation coefficient of -0.043; 0.033; -0.194 and with linear regretion analysis correlation coefficient of -0.115; 0.017; -0.168. Intensity of ray, humidity, and temperature in the room have a relationship with the concentration of fungi with the Spearman Rank correlation coefficient of -0.231; 0.062; -0.095 and with linear regretion analysis correlation coefficient of -0.265; 0.072; -0.192.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S54939
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Telah dilakukan uji sitotoksik metabolit sekunder kapang endofit 1.2.11 tanaman Bruce javanica (L) merr."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi Pudjilestari Sudarmono
"Telah dilakukan uji sitotoksik metabolit sekunder kapang endofit 1.2.11 tanaman Brucea javanica (L. ) Merr. Sampel tanaman diambil dari Cianjur, bagian tanaman yang digunakan adalah buah. Uji sitotoksik dilakukan terhadap sel Ruji, NS-l, sel HeLa dan sel Vero. Pengamatan dilakukan selama 24 jam dan 48 jam dengan menghitung sel ludup menggunakan metode tripan biru. Penghitungan l CM dilakukan secara aritmatikal dengan rumus Ricd and Muench. Untuk melihat mekanisme kerja pada proses sitotoksik dilakukan teknik pengecatan DNA menggunakan etidium bromida dan acridine orange. Dari penelitian ini diperoleh lCft) terhadap sel Raji 58,35 fjg/ml, 88,39yg/ml; IC50sel NS-1 162,09 pg/ml, 66,24 p. g/ml; IC^ sel HeLa 361,21 pg/ml, 219,97 pg/ml. IC^sel Vero 1075.18 ug/ml, 656,82 ng/ml. Pengamatan dilakukan dalam waktu 24 jam dan 48 jam. Mekanisme kerja dari metabolit sekunder kapang endofit 1.2. 11 terhadap sel NS-1 cenderung melalui mekanisme apoptosis. (Med J Indones 2006; 15:137-44)

Cytotoxic assay of secondary metabolite endophytic fungus 1.2.11 from Brucea javanica (L.) Merr has been carried out. Brucea Javanica fruit collected from Cianjur was used in this experiment. Cytotoxic assay was done on Raji, NS-1, HeLa and Vero cells. The observation was done for 24 hours and also for 48 hours. I CM was calculated using the Rich and Muench theory. To observe the working mechanism ofcytotoxic process, DNA staining with etidium bromide and acridine orange was conducted. The cytotoxic assay of endophytic fungi 1.2.11 showed an ICft) of 58.35p.g/ml, 88.39 pg/ml on Raji ceil; 162.09 pg/ml, 66.24 pg/ml on NS cell; 361.21 fjg/ml, 219.97 fjg/ml on HelM cell; and lastly 1075.18 fjg/ml, 656.82 /jg/ml on Vero cell after 24 and 48 hour incubation respectively. The results of this study showed that secondary metabolite of endophytic fungus 1.2.11 has selective cytotoxic effect towards cancer cell and also showed that it might cause apoptosis in NS-1 cell. (Med J Indones 2006; 15:137-44)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-137
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yusra
"Dalam rangka penjualan rumah susun atas satuan-satuan rumah susunnya, dewasa ini banyak dilakukan dengan cara membuat perjanjian pengikatan jual bell satuan rumah susun. Hal ini dilakukan karena Undang-Undang Nomor I6 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Undang Undang Rumah Susun) menetapkan persyaratan bagi rumah susun sebelum dapat diperjualbelikan. Pada prakteknya, dengan alasan ekonomis penjualan unit-unit satuan rumah susun sudah dilakukan, walaupun belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Rumah Susun, yaitu dengan cara membuat perjanjian pengikatan jual beli.
Perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun ini pada umumnya sudah dibuat dalam bentuk standar (Kontrak Standar) yang sudah ditentukan oleh pihak pengembang selaku penjual. Konsumenlpembeii tinggal menyetujui atau tidak, tanpa bisa menegosiasikan isi perjanjian sesuai kehendak para pihak. Apabila setuju, "take it", tetapi kalau tidak setuju "just leave it".
Kontrak standar yang dibuat secara sepihak oleh pengembang yang mempunyai kedudukan lebih dominan tersebut seringkali memuat klausula-klausula yang sudah baku yang isinya lebih mengakomodir kepentingan pelaku usaha (dalam hal ini pengembang/penjual), tetapi mengeliminir kepentingan pihak konsumen/pembeli, sehingga pihak konsumen dirugikan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Perlindungan Konsumen), pada dasarnya sudah mengatur mengenai ketentuan klausula baku (dalam Pasal 18). Namun dalam pelaksanaannya, klausula-klausula baku yang dimuat dalam perjanjian pengikatan jual beli, khususnya pengikatan jual bell satuan rumah susun masih melanggar ketentuan baku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>