Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Aviantari P
Abstrak :
PENDAHULUAN: Omfalokel adalah kelainan bawaan berupa kegagalan penutupan dinding perut tetap masih ditutupi oleh selaput yang lapisan dalam terdiri dari peritoneum, lapisan luar dari amnion.Karena tidak dilapisi otot dan fascia dapat terjadi herniasi organ intrapertoneal viscera melalui defek tersebut. Dilaporkan bahwa insiden kelahiran hidup dengan predominan laki-laki, berkisar antara 1: 4.000-1: 10.000 Suatu penemuan yang mencolok pada kelainan ini adalah banyaknya ditemukan kelainan bawaan lain yang dapat berkisar antara 30%-100% yang sebagian besar berupa kelainan kardiovaskuler, traktus genitourinari, muskuloskeletal dan sistim syaraf pusat. 4 Ternyata kelainan bawaan ini atau komplikasinya seperti starvation akibat ileus lama, gagal nafas, sepsis dapat juga menyebabkan kematian yang sangat tinggi. Mortalitas dapat mencapai 80% bahkan dapat meningkat sampai 100% bila terdapat kelainan kromosom dan kardiovaskular. Peningkatan morbiditas bayi yang lahir di luar RS berhubungan dengan faktor suhu, perawatan, status hidrasi, defek, tekanan vaskular pada usus yang prolaps selama transportasi dan nutrisi. Makalah ini mencoba menganalisis penyebab morbiditas dan mortalitas kasus Omfalokel di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo termasuk kelainan kongenital lain dan faktor resiko seperti ukuran defek, berat badan lahir rendah, waktu dimulainya terapi, omfalokel yang pecah. yang dirawat di divisi Bedah Anak Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, antara Januari 1999 sampai dengan Desember 2003.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Salsabila
Abstrak :
Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem imun dengan tahap akhir berupa AIDS (acquired immunodeficiency syndrome). Penyebab kematian pada penderita HIV dapat dikelompokkan menjadi terkait AIDS dan tidak terkait AIDS. Sejak digencarkannya pemberian ARV, beberapa penelitian menunjukkan penurunan tren mortalitas serta perubahan tren penyebab mortalitas menjadi penyakit yang tidak terkait dengan AIDS. Penelitian terbaru diperlukan untuk mengevaluasi penyebab kematian pada pasien HIV rawat inap di RSCM selama periode 2020-2023. Metode Penelitian deskriptif observasional dengan metode kohort retrospektif ini menggunakan data rekam medis rawat inap RSCM periode Juli 2020-Juni 2023. Variabel yang diamati diantaranya adalah luaran, status terapi ARV, dan penyebab kematian. Hasil Dari total 497 pasien yang dianalisis dalam penelitian ini, proporsi mortalitas pasien sebesar 21,1% dengan proporsi tertinggi pada tahun 2020 (25,9%) dan mengalami penurunan hingga tahun 2023. Penyebab mortalitas didominasi oleh penyebab terkait AIDS (76,2%), dengan penyebab terbanyak berupa syok sepsis (20%). Sebanyak 81,6% pasien yang tidak pernah/putus terapi ARV mengalami kematian akibat penyebab terkait AIDS. Kesimpulan Proporsi mortalitas pasien HIV rawat inap RSCM mengalami penurunan dari tahun 2020 hingga 2023. Penyebab mortalitas masih didominasi oleh penyebab terkait AIDS, khususnya pada kelompok tidak pernah/putus terapi. ......Introduction Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a virus that attacks the immune system, with the final stage being Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). The causes of death in HIV patients can be categorized as AIDS-related and non-AIDS-related. Since the intensification of ARV administration, several studies have indicated a shift in the trend of mortality causes towards non-AIDS related cause of death. New research is needed to evaluate the causes of death in HIV inpatients at RSCM during the period 2020-2023. Method This observational descriptive study with a retrospective cohort design utilizes medical records data of hospitalized patient at RSCM from July 2020 to June 2023. Observed variables include outcomes, ARV therapy status, and causes of death. Results Of the total 495 patients analyzed in this study, the patient mortality rate was 21.1%, with the highest mortality rate in 2020 (25,9%) and continue to decrease until 2023. Mortality causes were predominantly AIDS-related (76,2%), with the most common cause being septic shock (20%). A total of 81,6% of patients who never/discontinued ARV therapy experienced death due to AIDS-related causes. Conclusion The proportion of mortality in HIV inpatients at RSCM has decreased from 2020 to 2023. The causes of mortality are still predominantly AIDS-related, especially in the group with no/interrupted therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Effendi
Abstrak :
Latar Belakang Sepsis masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dini dan inisiasi bundle care dapat memperbaiki luaran pasien dengan sepsis. Namun, akurasi diagnosis sepsis masih sulit. Bakteremia Gram-negatif memiliki risiko syok sepsis lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk. Tujuan penelitian adalah mengetahui peran skor qSOFA, prokalsitonin, serta gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin untuk memprediksi mortalitas pasien sepsis bakteremia Gram-negatif. Metode Penelitian kohort retrospektif dan prospektif menggunakan data rekam medik dan registri pasien sepsis Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM melibatkan pasien berusia >18 tahun yang dirawat di RSCM selama Maret 2017-Oktober 2020. Data yang diekstraksi adalah karakteristik sampel, data pemeriksaan klinis dan laboratorium, serta luaran yaitu mortalitas dalam perawatan rumah sakit selama 28 hari pemantauan. Hasil 128 subyek penelitian terdiri atas 50,8% pasien laki-laki dengan median usia 48 (RIK 46-51) tahun. Mortalitas pasien dengan bakteremia Gram-negatif terjadi pada 51,6% dengan kesintasan kumulatif 48,4% (SE 0,96%). Peran skor qSOFA terbaik untuk memprediksi mortalitas dalam 28 hari perawatan dengan (AUROC 0,74; IK95% 0,66-0,82). Prokalsitonin menunjukkan performa yang buruk (AUROC 0,45; IK 95% 0,36-0,54) dalam memprediksi mortalitas pasien bakteremia Gram-negatif di RSCM. Bila dibandingkan dengan hasil nilai titik potong skor qSOFA, nilai AUROC skor qSOFA ditambah prokalsitonin, tidak berbeda bermakna AUROC 0,74 vs AUROC 0,75. Kesimpulan Performa skor qSOFA merupakan sistem skor terbaik dalam memprediksi mortalitas pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. Performa gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin tidak memberikan penambahan performa prediktor mortalitas dalam perawatan pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. ......Background. Sepsis is a leading cause of mortality and morbidity globally. Early diagnosis and initiation of bundle care may improve the outcome. However, accurate diagnosis of sepsis is still challenging. Gram-negative bacteremia was reported to have higher risk of septic shock and poor prognosis. Aim of this study is to evaluate the role of qSOFA and procalcitonin in predicting mortality risk in patients with Gram-negative bacteremia, furthermore adding procalcitonin to the qSOFA score may improve the ability to predict mortality. Methods. This was a retrospective and prospective cohort study performed based on medical records and sepsis registry of Tropical and Infectious Disease Division, Internal Medicine Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, conducted on patients aged > 18 years of age hospitalized from March 2017 until October 2020. The following data were obtained: sample characteristics, laboratory parameters, and 28-day mortality outcomes during hospitality. Results. 128 patients were enrolled. There are 50.8% male patients with median (IQR) of age 48 (46-51) years. Mortality rate of Gram-negative bacteremia is 51.6% with cumulative survival 48.4% (SE 0.96%). The role of qSOFA score to predict 28-day mortality rate is (AUROC 0.74; 95% CI 0.66-0.82). Procalcitonin shows poor performance in predicting mortality of patients with Gram-negative bacteremia (AUROC 0.45, 95% CI 0.36-.0.54). Combining qSOFA score with procalcitonin does not improve the ability to predict the 28-day mortality risk (AUROC 0.75, 95% CI 0.66-0.84). Conclusion. qSOFA score shows good performance in predicting mortality of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia. By adding procalcitonin does not improve its ability to predict mortality risk of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aljira Fitya Hapsari
Abstrak :
COVID-19 merupakan infeksi virus yang menjadi pandemi dunia dengan dampak kesehatan masyarakat yang terjadi secara global. Sepanjang tahun 2020, Indonesia tercatat sebanyak 743.198 kasus konfirmasi pada tingkat nasional dengan 22.138 kematian akibat COVID-19. Upaya pengendalian COVID-19 dilakukan dari tingkat regional sampai nasional dan puskesmas memiliki peran untuk melakukan deteksi, pencegahan dan respon pengendalian COVID-19 di masyarakat. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran epidemiologi, morbiditas dan mortalitas kasus konfirmasi COVID-19 di Puskesmas Kecamatan Pulogadung tahun 2020 dengan metode cross-sectional deskriptif. Hasil analisis univariat menunjukkan 2915 kasus konfirmasi COVID-19 dengan kasus bulanan terbanyak pada bulan Desember (34,3%), lebih banyak terjadi pada perempuan (53,7%), paling banyak terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun (21,9%), paling banyak terjadi pada kelurahan Cipinang (21,2%), memiliki riwayat kontak erat (98,5%). Distribusi kasus konfirmasi COVID-19 berdasarkan klasifikasi gejala menunjukkan bahwa terdapat 13,9% kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik), 71,6% dengan gejala ringan dan 14,5% dengan gejala sedang. Gejala yang paling banyak adalah batuk (28,3%) pada seluruh kelompok usia dengan perbedaan distribusi gejala lain berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin. CFR sebesar 2,4% dengan perbedaan CFR berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin.Tempat perawatan paling banyak adalah fasilitas dan rumah sakit COVID-19 (52,2%). Analisis bivariat menunjukkan hubungan signifikan antara kelompok usia kasus konfirmasi COVID-19 ≥60 tahun (p=0,000) dengan kejadian gejala sedang, hubungan yang signifikan pada usia ≥60 (p=0,000) dan kelompok usia 50-59 tahun (p=0,002) dengan kejadian kematian, hubungan yang signifikan antara gejala sedang dengan kejadian kematian (p=0,000). ......COVID-19 is a viral infection that has become a global pandemic resulting in global public health impacts. Throughout 2020, Indonesia recorded 743,198 confirmed cases at the national level with 22,138 deaths due to COVID-19. Efforts to control COVID-19 are carried out from the regional to the national level. Primary healthcare facilities have a role to detect, prevent and respond to COVID-19 control in the community. The purpose of this study is to describe the epidemiology, morbidity and mortality of COVID-19 confirmed cases at the Pulogadung Subistrict Health Center in 2020 with a descriptive cross-sectional method. The results of the univariate analysis showed 2915 \ COVID-19 confirmed cases with the most monthly cases in December (34.3%), more in women (53.7%), most occurring in the 20-29 year age group (21.9 %), mostly occurred in Cipinang (21.2%), had a history of close contact (98.5%). The distribution of confirmed cases of COVID-19 based on symptom classification showed that there were 13.9% confirmed cases without symptoms (asymptomatic), 71.6% with mild symptoms and 14.5 percent with moderate symptoms. The most common symptom was cough (28.3%) in all age groups with differences in the distribution of other symptoms by age group and gender. CFR is 2.4% with differences in CFR by age group and gender. The most common places for treatment are COVID-19 facilities and hospitals (52.2%). Bivariate analysis showed a significant relationship between the age group of confirmed cases of COVID-19 ≥60 years (p=0.000) with incidence moderate symptoms, a significant relationship between age ≥60 (p=0.000) and the age group 50-59 years (p=0.002) with the incidence of death and a significant relationship between moderate symptoms and the incidence of death (p = 0.000).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Panca Satriawan
Abstrak :
Latar Belakang : Insidens Pneumonia HCAP semakin meningkat dengan angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksana optimal dapat menurunkan angka mortalitas , salah satunya Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). Pengaruh TFAD pada pasien pneumonia HCAP belum banyak diteliti. Tujuan : Mendapatkan informasi perbedaan kesintasan 30 hari pasien pneumonia HCAP dewasa terhadap TFAD. Metode : Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan pasien pneumonia HCAP RSCM periode Januari 2011-Desember 2014. Dilakukan ekstraksi data rekam medis jarak waktu pemberian dosis awal antibiotika di IGD, derajat keparahan pneumonia dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitas 30 hari. Derajat keparahan menggunakan Skor CURB-65. TFAD dikelompokkan menjadi TFAD ≤4 jam dan > 4 jam. Perbedaan kesintasan ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan diuji dengan Log-rank test, batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox?s proportional hazard regression untuk menghitung adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu. Hasil : Dari 170 subjek, dalam 30 hari sebanyak 51 subjek (40,5%) meninggal pada kelompok TFAD> 4jam dan 4 subjek (9,1%) meninggal pada kelompok TFAD ≤4jam. Median kesintasan seluruh subjek adalah 25 hari (IK95% 24-27), kelompok TFAD ≤4jam 29 hari (IK95% 27-31) dan kelompok TFAD > 4 jam 24 hari (IK95% 22-26) dengan log rank p 0,01. Kesintasan 30 hari kelompok TFAD ≤4jam sebesar 90,9% sedangkan kelompok TFAD > 4 jam 59,5%. Crude HR pada kelompok TFAD > 4 jam 5,293 (IK95% 1,912-14,652). Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok TFAD> 4 jam sebesar 7,137 (IK95% 2,504-30,337). Simpulan : Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien HCAP dewasa pada kelompok TFAD > 4 jam , semakin lama jarak waktu pemberian antibiotik awal, semakin buruk kesintasan 30-harinya. ...... Background : The incidence of pneumonia HCAP is increasing with a high mortality rate. Optimal management can reduce mortality, one of which Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). TFAD influence on pneumonia patients with HCAP has not been widely studied. Objective : Obtain information about the differences in 30-day survival adult patients with pneumonia HCAP against TFAD. Methods : A retrospective cohort study based on analysis of the patient's survival against pneumonia HCAP period January 2011 to December 2014. Extraction of data from the medical records of the interval initial dose of antibiotics in the ED, the severity of pneumonia and confounding factor, then look for the data in 30-day mortality. Severity using CURB-65 score. TFAD divided into two groups, TFAD ≤4 hours and> 4 hours. Differences in survival is shown in Kaplan Meier. The difference in survival were tested by the log-rank test, with significance limit p<0.05. Multivariate analysis with Cox's proportional hazards regression to calculate adjusted hazard ratio (and its 95% CI) with correction for confounding variables. Results : Of the 170 subjects, within a period of 30 days by 51 subjects (40.5%) died in the group TFAD> 4 hours and 4 subjects (9.1%) died in the group TFAD ≤4 hours. Mean survival of the whole subject is 25 days (IK95% 24-27), the group TFAD ≤4jam 29 days (IK95% 27-31) and group TFAD> 4 hours 24 days (IK95% 22-26) with a log-rank p 0.01 , 30-day survival in the group TFAD ≤4jam by 90.9% while the TFAD> 4 hours 59.5%. Crude HR group TFAD> 4 hours of 5.293 (1.912 to 14.652 IK95%). After adjustment for confounding variables obtained fully adjusted HR group TFAD> 4 hours amounted to 7.137 (2.504 to 30.337 IK95%). Conclusions : There are differences in 30-day survival of adult patients with HCAP group TFAD> 4 hours; the longer the interval initial antibiotic treatment, the worse the 30-day survival.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chrispian Oktafbipian Mamudi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Angka mortalitas ARDS khususnya di RSCM masih tinggi, sebesar 75,3%. Prokalsitonin dan CRP bisa dipakai sebagai prediktor mortalitas pada ARDS. Saat ini belum didapatkan penelitian yang fokus pada peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di Indonesia. Tujuan: Mengetahui peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di RSCM. Metode: Penelitian ini menggunakan disain kohort prospektif yang dilakukan secara konsekutif pada pasien ARDS di RSCM, November 2015-Januari 2016. Saat pasien didiagnosis ARDS, dalam 6-24 jam dilakukan pemeriksaan PCT dan CRP, diobservasi selama tujuh hari, lalu dilakukan analisis statistik. Data kategorikal disajikan dalam jumlah dan persentase. Data numerik dengan sebaran tidak normal disajikan dalam bentuk median dan rentang. Variabel faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas diuji dengan analisis bivariat (menggunakan uji Mann Whitney bila memenuhi persyaratan distribusi tidak normal). Untuk menentukan cutoff PCT dan CRP dipakai kurva ROC dengan mencari sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik. Hasil: Dari 66 pasien ARDS, didapatkan 40 (60,61%) meninggal dan 26 (39,39%) hidup. Uji normalitas PCT dan CRP didapatkan distribusi dari data-data tersebut tidak normal. Dengan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan p<0,05. Median PCT pada yang meninggal sebesar 4,18 (0,08-343,0) dibandingkan yang hidup sebesar 3,01 (0,11-252,30) p=0,390, AUC 0,563 (IK 95% 0,423-0,703). Median CRP pada yang meninggal sebesar 130,85 (9,20-627,78) dibandingkan yang hidup sebesar 111,60 (0,10-623,77) p=0,408, AUC 0,561 (IK 95% 0,415-0,706). Simpulan: Pemeriksaan PCT dan CRP hari pertama pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS. Kata kunci: ARDS, CRP, mortalitas, PCT
ABSTRACT
Background: The mortality rate of ARDS, specifically in RSCM is still high, that is of 75.3%. Procalcitonin and CRP can be used as mortality prediktor on ARDS. Until today there is no research focusing in the role of PCT and CRP as seventh day mortality predictor on ARDS patients in Indonesia. Objectives: To identify the role of PCT and CRP as mortality predictors on seventh day of ARDS patients in RSCM. Methods: This research used a prospective cohort design that was done consecutively on ARDS patients in RSCM during November 2015 to January 2016. When a patient was diagnosed with ARDS, within the next 6-24 hours, the PCT and CRP test were run and an observation was done for seven days, and a statistical analysis followed after. The categorical data descriptions are presented in numbers and percentage. Numerical data with abnormal distribution are presented in the forms of medians and spans. The variables of the factors that influence mortality were tested by using bivariate analysis (using Mann Whitney’s test whenever they met the conditions of abnormal distribution). To determine the PCT and CRP cutoff (values), the ROC curve is used to search for the best sensitivity and specificity. Results: Out of the 66 patients ARDS, 40 (60.61%) died and 26 (39.39%) survived. The PCT and CRP normality tests results obtained from the distribution of those data are not normal. By using the Kolmogorov-Smirnov the value of p<0.05 was obtained. The PCT median on those who died is 4.18 (0.08-343.0) compared to those who survived that is 3.01 (0.11-252.30) p=0.390, AUC 0.563 (CI 95% 0.423-0.703). CRP median on those who died is 130.85 (9.20-627.78) compared to those who survived that is 111.60 (0.10-623.77) p=0,408, AUC 0.561 (CI 95% 0.415-0.706). Conclusions:, The PCT and CRP tests on first day in this research are not yet available to be used as mortality predictor on seventh day of ARDS patients. Key words : ARDS, CRP, mortality, PCT
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hafaz Zakky Abdillah
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Anak yang menjalani operasi jantung memiliki risiko tinggi yang bermakna terhadap kejadian morbiditas dan mortalitas pasca-bedah. Penggunaan obat-obatan vasoaktif dan inotropik yang tinggi sebagai dukungan hemodinamik pasca-bedah berhubungan dengan luaran yang buruk. Status hemodinamik yang buruk, menyebabkan meningkatnya dukungan obat-obatan vasoaktif dan inotropik yang dibutuhkan.Tujuan: Melihat hubungan skor vasoaktif-inotropik / vasoactive-inotropic score VIS dengan luaran jangka pendek pasien anak pasca-bedah jantung, termasuk kematian, morbiditas, komplikasi berat, dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan komplikasi berat.Metode: Penelitian ini adalah kohort retrospektif pada 123 anak yang telah menjalani prosedur bedah jantung di cardiac intensive care unit CICU RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta pada periode Januari sampai Desember 2016. Data demografi, data pra-operasi, intra-operasi, pasca-operasi, mortalitas dan komplikasi diambil dari rekam medis. Skor vasoaktif-inotropik dihitung pada 24 jam pertama, 24 jam kedua dan total 48 jam pasca-bedah dan dianalisis hubungannya dengan komplikasi berat, selain itu juga dicatat faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya komplikasi berat.Hasil: Selama penelitian didapatkan PJB terbanyak yang dilakukan bedah jantung adalah ventricle septal defect 28,5 dan tetralogy Fallot 34,5 . Pada 123 anak yang dilakukan bedah jantung, dijumpai 32 26 anak dengan VIS tinggi. Median VIS 24 jam pertama adalah 12 2-40 , median VIS 24 jam kedua adalah 14 3-32 , dan median VIS total 48 jam adalah 11 2-29 . Obat inotropik yang paling banyak digunakan adalah dopamin 97,6 diikuti oleh milrinon 69,9 .VIS pada 24 jam pertama dengan nilai area di bawah kurva adalah 0,94.VIS yang tinggi berkaitan dengan lama rawat inap di rumah sakit lebih dari 14 hari [OR 4,1 IK 95 , 1,4-11,7 ], kematian dalam 30 hari pasca-bedah [OR 44,5 IK 95 , 9,3-212,5 ], kejadian henti jantung [OR 57,2 IK 95 , 11,9-273,9 ], pemakaian ventilator > 7 hari [OR 25,2 IK 95 , 2,9-214,5 ] dan kejadian gagal multi organ [OR 23,3 IK 95 , 4,8-113,1 ]. Komplikasi pasca-bedah jantung terjadi sebesar 40 dan komplikasi berat terjadi pada 30 anak 24,4 . Komplikasi pasca-bedah jantung terbanyak adalah low cardiac output syndrome pada 48 39 . Komplikasi berat meliputi kematian dalam 30 hari pasca-bedah terjadi pada 18 14,6 anak, henti jantung 20 16,3 anak, operasi jantung ulang 5 4,1 anak, dan gagal multi organ 13 10,6 anak. Faktor risiko yang berhubungan dengan meningkatnya komplikasi pasca-bedah jantung yang berat adalah peningkatan kadar laktat darah [OR 7,4 IK 95 2,0-26,9 ], dan skor vasoaktif-inotropik yang tinggi pasca-bedah [OR 30,5 IK 95 7,6-122,3 ].Kesimpulan: VIS tinggi pasca-bedah jantung, berhubungan bermakna dengan kematian dan komplikasi berat pasca-bedah. VIS 24 jam pertama pasca-bedah jantung merupakan pemeriksaan yang sederhana dalam memberikan informasi berharga tentang luaran pasca-bedah jantung. Faktor risiko yang berhubungan dengan komplikasi berat pasca-bedah jantung adalah peningkatan kadar laktat dan nilai VIS yang tinggi pasca-bedah.
ABSTRACT
Background Children undergoing heart surgery are at high risk for significant post operative morbidity and mortality. The use of high vasoactive and inotropic suport after cardiac surgery was associated with poor outcome. The more severe the hemodynamic state, a higher vasoactive inotropic support were needed.Objective To determine the association between vasoactive inotropic support and clinical outcome in children after cardiac surgery, including mortality, complication or morbidity, major complications, and the risk factors associated with major adverse events major complications .Methods This is a retrospective analysis of the 123 children who underwent cardiac surgery at pediatric cardiac surgery intensive care unit from January to December 2016. Multiple demographic, pre operative, intra operative, post operative variables were recorded, vasoactive inotropic score VIS were assessed at the first 24 hours, second 24 hours and 48 hours after surgery and was analyzed for association with poor outcomes. Factors associated with the risk of developing major adverse events were also identified.Results A total of 123 patients were recruited, 32 26 were administered to high vasoactive inotropic score. Median VIS at first 24 hours, second 24 hours, and 48 hours after cardiac surgery were 12 2 40 , 14 3 32 , and 11 2 29 , respectively. The most widely used vasoactive inotropic agents were dopamine 97,6 and milrinone 69,9 . VIS at first 24 hours with area under curve was 0,94. There was a significant association between high VIS and poor outcome in children after cardiac surgery including 30 day mortality OR 44,5 IK 95 , 9,3 212,5 , prolonged hospital length of stay OR 4,1 IK 95 , 1,4 11,7 , cardiac arrest OR 57,2 IK 95 , 11,9 273,9 , prolonged mechanical ventilator support OR 25,2 IK 95 , 2,9 214,5 , and multiple organ failure OR 23,3 IK 95 , 4,8 113,1 . The most complication occurred after cardiac surgery was low cardiac output syndrome 39 . Further, 30 24,4 of recruited patients had major adverse events major complications , including 30 day mortality in 18 14,6 , cardiac arrest in 20 16,3 , the need for re operation in 5 4,1 , and multiple organ failure in 13 10,6 children. Factors associated with the occurrence of major complications were increase in blood lactate OR 7,4 IK 95 2,0 26,9 and high vasoactive inotropes score after cardiac surgery OR 30,5 IK 95 7,6 122,3 .Conclusion High vasoactive inotropic score after pediatric cardiac surgery was significantly associated with mortality and other poor outcomes. VIS at first 24 hours after cardiac surgery is a simple clinical tool that can provide valuable information regarding likely length of intubation, hospital stay and poor outcomes. VIS at 24 hours performs better than VIS in the first 48 hours and total 48 hours after surgery in predicting poor short term outcomes. Increase in blood lactate, and high vasoactive inotropes score after cardiac surgery are associated with mortality and other major complications in children after cardiac surgery.
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Agung Asari
Abstrak :
Latar belakang: Operasi jantung terbuka dengan menggunakan mesin bypass kardiopulmoner (CPB) berpotensi menimbulkan respons inflamasi yang signifikan. Salah satu penyebab respons inflamasi ini adalah kontak darah dengan sirkuit ekstrakorporeal dan shear stress non-fisiologis selama operasi pompa CPB. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknik mana yang menghasilkan respons sindrom inflamasi sistemik (SIRS) yang lebih ringan. Metode: Penelitian kohort retrospektif. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) sejak Juli 2018 hingga Februari 2023. Subjek yang direkrut secara konsekutif adalah pasien dengan diagnosis penyakit jantung koroner yang menjalani operasi bedah pintas arteri koroner, baik dengan menggunakan teknik CCABG atau dengan teknik OPCAB. Setelahnya subjek dilakukan pemeriksaan IL-6 pada 6 jam pasca operasi, CRP dan PCT pada 6, 24, dan 48 jam pascaoperasi. Setelahnya, pasien dinilai keluaran SIRS dan mortalitasnya. Hasil: Total subjek penelitian ada 70 subjek, dengan perbandingan laki-laki yang menjalani OPCAB (82,9%) dan CCABG (91,4%), sisanya berjenis kelamin perempuan. Terdapat perbedaan bermakna antara SIRS dengan jenis operasi (p = 0,048). Kadar IL-6 pada 6 jam pascaoperasi menunjukkan hasil berbeda bermakna dengan jenis operasi (0,014). Pada 24 jam pascaoperasi, penanda inflamasi menunjukkan hasil berbeda bermakna pada CRP (p = 0,013) dan PCT (0,001). Sedangkan pada 48 jam pascaoperasi juga menunjukkan hasil berbeda bermakna pada CRP (p = 0,002) dan PCT (p = 0,022). Peningkatan angka kejadian aritmia pada CCABG menunjukkan perbedaan bermakna juga dengan nilai p <0,001 (IK95% 6,14(1,63-23,16)). ......Background: Open heart surgery using a cardiopulmonary bypass (CPB) machine has the potential to induce a significant inflammatory response. One of the causes of this inflammatory response is blood contact with the extracorporeal circuit and non-physiological shear stress during CPB pump operation. This study aims to determine which technique yields a milder systemic inflammatory response syndrome (SIRS) outcome. Method: This is a retrospective cohort study. Data collection was conducted at Harapan Kita Heart and Blood Vessel Hospital (RSJPDHK) from July 2018 to February 2023. Consecutively recruited subjects were patients diagnosed with coronary heart disease who underwent coronary artery bypass grafting (CABG) surgery, either using the conventional technique (CCABG) or off-pump technique (OPCAB). Subsequently, IL-6 levels were examined at 6 hours post-surgery, while CRP and PCT levels were measured at 6, 24, and 48 hours post-surgery. Following these assessments, patients were evaluated for the occurrence of systemic inflammatory response syndrome (SIRS) and mortality. Result: There were a total of 70 subjects, with a comparison of males who underwent OPCAB (82.9%) and CCABG (91.4%), the rest were female. There was a significant difference between SIRS and the type of surgery (p = 0.048). IL-6 levels at 6 hours postoperatively showed significantly different results with the type of surgery (0.014). At 24 hours postoperatively, inflammatory markers showed significantly different results for CRP (p = 0.013) and PCT (0.001). Whereas at 48 hours postoperatively it also showed significantly different results on CRP (p = 0.002) and PCT (p = 0.022). The increase in the incidence of arrhythmias in CCABG also showed a significant difference with a value of p <0.001 (95%CI 6.14 (1.63-23.16)).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rido Prama Eled
Abstrak :
Latar Belakang. Sepsis merupakan masalah besar yang menyumbang tingkat mortalitas tinggi. Hal ini diperparah dengan adanya komorbid keganasan. Dalam salah satu penelitian menyebutkan pasien sepsis dengan komorbid keganasan mempunyai resiko 2,32 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa komorbid keganasan. Untuk itu diperlukan data faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas pasien sepsis dengan komorbid keganasan agar dapat memberikan terapi yang efektif dan efisien dan menurunkan angka mortalitas. Tujuan Penelitian. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas pada pasien sepsis dengan komorbid keganasan. Metode. Penelitian dilaksanakan dengan desain kohort retrospektif . Data diambil dari rekam medis pasien sepsis dengan komorbid keganasan yang dirawat di RS Ciptomangunkusumo dan memenuhi kriteria inklusi dari tahun 2020 sampai 2022. Dilakukan uji kategorik dan dilanjutkan dengan Uji regresi log pada variabel-variabel yang memenuhi syarat. Hasil. Dari 350 subjek sepsis dengan komorbid keganasan yang memenuhi kriteria inklusi didapatkan mortalitas sebanyak 287 (82%) subjek. Pada ujia kategorik bivariat didapatkan 2 variabel yang mempunyai kemaknaan secara statistik yaitu skor SOFA dan performa status dengan nilai P masing-masing <0,001 dan <0,001. Setelah dilakukan uji log regresi didapatkan Odds Ratio 5.833 IK (3,214-10,587) untuk variabel skor SOFA dan Odds Ratio3,490 IK (1,690-7,208) untuk variabel performa status. Kesimpulan. Variabel skor SOFA dan performa status mempunyai hubungan yang bermakna terhadap mortalitas pasien sepsis dengan komorbid keganasan ......Background. Sepsis is a major problem that contributes to a high mortality rate. This is exacerbated by the presence of malignancy. In one study, sepsis patients with malignancy had a 2.32 times higher risk compared to patients without malignancy. For this reason, factors that influence mortality in sepsis patients with malignancy are needed in order to provide effective and efficient therapy and reduce mortality. Research purposes. Knowing the factors that influence mortality in sepsis patients with  malignancy. Method. The study was conducted with a retrospective cohort design. Data were taken from the medical records of sepsis patients with comorbid malignancy who were treated at Ciptomangunkusumo Hospital and met the inclusion criteria from year 2020 to 2022. A categorical test was carried out and followed by a log regression test on eligible variables. Results.  Of the 350 sepsis subjects with comorbid malignancy who met the inclusion criteria, 287 (82%) subjects had a mortality. In the bivariate categorical test, there were 2 variables that had statistical significance, namely the SOFA score and status performance with P values ​​of <0.001 and <0.001respectively. After doing the log regression test is obtained Odds Ratio 5.833 CI (3.214-1.587) for SOFA score variables and Odds Ratio 3.490 CI (1.690-7.208) for status performance variables. Conclusion. SOFA score and performance status variables have a significant relationship to the mortality of sepsis patients with comorbid malignancy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Mattarungan
Abstrak :
Latar belakang: Tuberkulosis (TBC) merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi untuk anak dan remaja dari segala usia di seluruh dunia. TBC pada remaja menunjukkan angka kematian lebih tinggi dibandingkan kelompok usia yang lebih muda. Penyebab yang sering menyebabkan hal ini adalah keterlambatan diagnosis, gaya hidup dan masalah psikososial. Hingga saat ini data mengenai angka kejadian dan prediktor mortalitas TBC pada remaja masih sangat terbatas, terutama di Indonesia yang menjadi salah satu negara dengan prevalens TBC yang tinggi.

Metode: Studi ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang melibatkan pasien usia 10-18 tahun dengan penyakit TBC di RSUPN Dr.  Cipto Mangunkusumo. Data berasal dari penelusuran rekam medis dan sistem pencatatan khsusus pasien TBC nasional (SITB) yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada periode 1 Januari 2019 hingga 1 Juni 2023

Hasil: Total jumlah subjek penelitian yang diikutsertakan adalah 319 pasien, dengan 50 pasien (15,6%) meninggal dan 269 (84,3%) pasien hidup. Prediktor mortalitas yang bermakna pada penelitian ini adalah status gizi buruk (HR 4,5; P<0,001) dan kepatuhan berobat (HR 4,8; P<0,001). Kesintasan pasien remaja TBC sensitif obat sebesar 92% pada bulan pertama dan 87% pada bulan kedua kemudian menurun hingga akhir pemantauan menjadi 83% pada bulan kelima belas.

Kesimpulan : Angka mortalitas pada remaja dengan TBC cukup tinggi terutama pada dua bulan pertama pengobatan dan dipengaruhi oleh berbagai prediktor. Intervensi perlu berfokus pada peningkatan status gizi dan kepatuhan berobat yang dapat membantu mengurangi risiko kematian. ......Background: Tuberculosis (TBC) is the leading cause of death from infectious diseases for children and adolescents of all ages worldwide. TBC in adolescents shows a higher mortality rate compared to younger age groups.Common causes include delayed diagnosis, lifestyle factors, and psychosocial issues. Currently, data on TB mortality predictors in adolescents is limited especially in Indonesia, one of the countries with a high TBC prevalence.

Methods: This retrospective cohort study involved patients aged 10-18 years with TBC at Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were derived from medical records, interviews, and the national specialized TB patient recording system that met inclusion and exclusion criteria for the period from January 1st, 2019 to January 1st, 2023.

Results:  Total of 319 patients were included in the study, with 50 patients (14.7%) died and 269 (84,3%) survived. Significant mortality predictors factors in this study were poor nutritional status (HR 4.5; P<0.001) and medication adherence (HR 4,8; P<0.001). The survival rate of adolescent patients with drug-sensitive TB was 92% in the first month and 87% in the second month, then decreased to 83% by the end of the monitoring period in the fifteenth month.

Conclusion: The mortality rate among adolescents with TB is relatively high, especially in the first two months of treatment, and is influenced by various risk factors. Interventions need to focus on improving nutritional status and medication adherence, which may help in reducing the risk of death.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>