Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Immawati
"ABSTRAK
Sindrom Nefrotik (SN) merupakan gangguan ginjal terbanyak yang dijumpai
pada anak. Anak dengan SN sebagian besar mengalami kekambuhan yang akan
mempengaruhi kualitas hidup anak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kekambuhan anak SN. Desain
penelitian adalah potong lintang pada 86 sampel dengan teknik consecutive
sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis data
menggunakan analisis univariat, bivariat dengan uji Chi Square dan analisis
multivariat dengan analisis regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan
penyakit ISPA merupakan variabel yang paling berhubungan dengan kejadian
kekambuhan (p value = 0,016, α 5 %). Pendidikan kesehatan perlu diberikan
kepada keluarga secara adekuat untuk mencegah kekambuhan pada anak

ABSTRACT
Nephrotic syndrom (SN) is the most common kidney disorder that find in
children. Children with SN largely relapse which will affect the quality of life of
children. The purpose of this study was to identify the factors related to the
incidence of relapse in children with nephrotic syndrome. The study design was
cross sectional in 86 sample with consecutive sampling technique. Gathering data
using questionnaire. Analysis using univariate, bivariate with Chi Square tests and
multivariate analysis with logistic regression analysis. Results showed that the
respiratory disease (ISPA) is the most variabel associated with incidence of
relapse (p value 0,016, α 5 %). Adequate health education important to be given to
the parent to prevent relapse."
2015
T45742
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monalisa Heryani
"Pendahuluan: Gejala sindroma nefrotik (SN) adalah proteinuria massif. Penambahan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEi) atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) membantu menurunkan proteinuria pasien SN yang telah mendapat steroid. Belum ada penelitian mengenai efektivitas dan keamanan kombinasi ACEi+ARB dalam penatalaksanaan pasien SN sensitif steroid (SNSS) relaps sering atau SN dependen steroid (SNDS). Metode: Penelitian kohort retrospektif yang menggunakan data rekam medis anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo 2014-2018. Hasil: Dari 63 pasien yang dievaluasi, 33 pasien menggunakan ACEi+ARB dan 30 pasien menggunakan ACEi. Tidak terdapat perbedaan bermakna onset tercapainya proteinuria negatif (ACEi+ARB minggu ke-3 vs ACEi minggu ke-4, p=0.125). Tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi pasien yang mencapai proteinuria negatif dalam 4 minggu terapi (ACEi+ARB 72.7% vs ACEi 63.3%, RR=1.148; IK95%: 0.815-1.619, p=0.424). Tidak terdapat perbedaan efek samping yang bermakna dalam hal hipotensi, peningkatan ureum dan kreatinin, hiperkalemia dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna efektivitas dan keamanan kombinasi ACEi+ARB dibandingkan ACEi sebagai antiproteinuria pada pasien anak SNSS relaps sering atau SNDS.

Introduction: Symptoms of nephrotic syndrome (NS) is a massive proteinuria. The addition of Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEi) or Angiotensin Receptor Blocker (ARB) can help to reduce proteinuria in NS patients who received steroids. There has been no study on the effectiveness and safety of ACEi+ARB combinations in the management of patients with frequent relapse NS (FRNS) or steroid-dependent NS (SDNS). Method: A retrospective cohort study using data collected from medical record of pediatrics with FRNS or SDNS at Cipto Mangunkusumo Hospital between 2014-2018 was conducted. Results: Out of the 63 patients who were evaluated, 33 patients were in ACEI+ARB while 30 other patients were in ACEi. There was no significant difference in the onset of negative proteinuria (3 weeks in ACEi+ARB vs 4 weeks in ACEi, p=0.125. There was no significant difference in the proportion of patients who achieved negative proteinuria in 4 weeks therapy (ACEi+ARB 72.7% vs ACEi 63.3%, RR=1,148; 95% CI: 0.815-1,619, p=0.424). There was no significant difference between ACEi+ARB and ACEi groups in the occurrence of hypotension, hyperkalemia, increased of creatinine serum, and decreased of glomerular filtration rate. Conclusion: There was no significant difference in the effectiveness and safety of the use of ACEi+ARB compared to ACEi as antiproteinuric in patients with FRNS or SDNS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I. G. N. Wila Wirya
"ABSTRAK
1. Gejala Kinis dan kelainan patologi anatomis penderita sindrom nefrotik dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab dan disebut idiopatik atau primer apabila penyebabnya belum diketahui.
Istilah 'lipoid nephrosis' mulai digunakan oleh Munk pada tahun 1913 untuk menjelaskan keadaan sejumlah penderita dengan edema proteinuria berat, hipoproteinemia dan hiperlipidemia. Pemeriksaan mikroskop cahaya pada jaringan ginjal penderita menghasilkan glomerulus tanpa kelainan, namun terlihat kelainan pada tubulus proksimal dengan titik-titik lemak di dalam selnya yang dianggap bersifat 'degeneratif'.
Pada observasi selanjutnya ternyata bahwa gejala-gejala yang sama dapat juga terjadi pada penderita dengan berbagai penyakit sistemik termasuk lupus eritematosus sistemik, diabetes mellitus dan amiloidosis. Gejala-gejala klinis ini timbul sebagai akibat adanya proteinuria yang berat apapun penyebabnya, oleh karena itu sebagai pengganti istilah ?liphoid nephrosis' disepakati untuk memakai istilah sindrom nefrotik (Epstein, 1917).
Umumnya sindrom nefrotik dibagi atas 2 golongan besar, yaitu yang primer atau idiopatik dan sekunder. Sindrom nefrotik primer penyebabnya belum diketahui dengan pasti, sedangkan yang sekunder ditimbulkan oleh berbagai penyakit utamanya, misalnya diabetes mellitus, malaria lain-lain.
Menurut Schlesinger dkk. (1966) frekuensi sindrom nefrotik di negara Barat adalah 2 per tahun per 100.000 orang anak di bawah umur 16 tahun. Sindrom nefrotik Kelainan Minimal (KM) merupakan kelainan terbanyak pada anak, yaitu 76,4% menurut ISKDC (international Study of Kidney Disease in Children, 1978), 52,2% pada sari Habib dan Kleinknecht (1971), dan 64,3% pada seri yang dilaporkan oleh White dkk. (1970).
Kasus yang dikumpulkan penulis pada penelitian ini merupakan penderita yang tidak selektif, datang sendiri, belum pernah diobati diterima dari berbagai rumah sakit maupun sejawat di Jakarta. Penderita yang telah diobati sebelumnya tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini.
Selanjutnya penulis akan membandingkan hasil penelitian sendiri dengan ISKDC oleh karena hasil penelitian badan ini juga mencerminkan penelitian penderita sindrom nefrotik yang prospektif, tidak selektif, belum diobati dan diterima dari berbagai pusat penelitian di dunia (10 negara di Eropa. Amerika Utara, Israel, dan Jepang).
Sebelum tahun 1970 di Indonesia belum ada laporan mengenai penderita sindrom nefrotik anak di dalam kepustakaan. Demikian juga mengenai pengobatan terhadap penderita-penderita ini belum mengikuti saran yang dianjurkan oleh ISKDC (1967), sehingga hasilnya tidak dapat dibandingkan atau dinilai dengan hasil laporan dari luar negeri.
Selama 10 tahun (1970-1979) pengamatan penulis pada para penderita sindrom nefrotik primer pada anak yang berobat ke Bagian IKA FKUI/RSCM di Jakarta, banyak yang menunjukkan kelainan tidak khas. Banyak di antara mereka disertai gejala hematuria, hipertensi serta kadar ureum darah atau kreatinin serum yang meninggi. Pada sindrom nefrotik murni kelainan-kelainan tersebut umumnya tidak ditemukan. Berdasarkan observasi tersebut di atas penulis beranggapan bahwa kasus-kasus yang ditemukan itu merupakan kasus sindrom nefrotik yang termasuk golongan bukan kelainan minimal (BKM)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
D423
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Margareta L. Toruan
"Katarak subkapsular posterior (SKP) dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) adalah komplikasi okular tersering akibat penggunaan kortikosteroid oral. Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan jangka panjang. Di Indonesia, tidak data mengenai hubungan antara dosis dan lama terapi terhadap kedua komplikasi tersebut pada anak sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif, lama terapi dengan kejadian katarak SKP maupun peningkatan TIO pada anak SNI di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini merupakan studi potong lintang pada anak SNI usia 4-18 tahun yang mendapat terapi kortikosteroid oral minimal enam bulan secara terus menerus. Pemeriksaan mata lengkap dilakukan untuk mengevaluasi katarak SKP, tajam penglihatan dan peningkatan TIO. Dari 92 anak yang dianalisis, terdapat 19,6% anak yang menderita katarak SKP, 12% anak dengan peningkatan TIO dan satu anak dengan best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. Median dosis kumulatif kortikosteroid oral adalah 12.161 mg (rentang 1.795-81.398) dan median lama terapi adalah 23 bulan (rentang 6-84). Terdapat hubungan antara dosis kumulatif (P=0,007) dan lama terapi (P=0,006) terhadap kejadian katarak SKP dengan titik potong optimal 11.475 mg dan 24 bulan. Jenis kelamin perempuan akan meningkatkan kejadian katarak SKP sebesar empat kali dibandingkan lelaki (PR=4; IK 95%=1,57-13,38; P=0.001). Penelitian ini menunjukkan makin tinggi dosis kumulatif dan/atau makin lama terapi kortikosteroid oral, maka makin besar angka kejadian katarak SKP (nilai batasan ≥ 11.475 mg dan ≥ 24 bulan). Dosis kumulatif dan lama terapi tidak berhubungan dengan kejadian peningkatan TIO.

Posterior subcapsular cataract (PSC) and raised intraocular pressure (IOP) are the most common ocular complications due to administration oral corticosteroid. These can occur in high dose and long term use. In Indonesia, no data regarding correlation between dose, therapeutic duration and both complications in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). The aim of this study was to determine the correlation between cumulative dose, therapeutic duration with the occurrence of PSC and raised IOP in children with INS at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). This is a cross-sectional study of children with INS aged 4-18 years who received oral corticosteroid therapy for at least six months continuously. A complete eye examination was performed to evaluate PSC, raised IOP and visual acuity. Of the 92 children analyzed, 19.6% had PSC, 12% had IOP elevation and one child with best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. The median cumulative dose of oral corticosteroids was 12,161 mg (range 1,795-81,398) and the median duration of therapy was 23 months (range 6-84). There were association between cumulative dose (P=0.007) and duration of therapy (P=0.006) to the occurrence of PSC with cut off value 11,475 mg and 24 months. Female sex will increase the occurence of PSC four times compared to male (PR=4; 95% CI=1.57-13.38; P=0.001). This study revealed that the higher cumulative dose and/or the longer of oral corticosteroid therapy, the higher occurence of PSC (cut off value ≥ 11.475 mg and ≥ 24 months). Cumulative dose and therapeutic duration were not associated with the occurence of raised IOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Maharani Tristanita Marsubrin
"Latar belakang. Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal yang sering ditemukan pada anak. Komplikasi SN terkait perjalanan penyakit, terapi, fisik dan psikososial yang memengaruhi kualitas hidup.
Tujuan. Mendapatkan gambaran tentang kualitas hidup anak SN yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan faktor yang berhubungan.
Metode. Studi deskriptif analitik dengan desain potong lintang di poliklinik nefrologi dan rawat inap Departemen IKA RSCM periode April 2012 - Desember 2013. Subjek berusia 2-18 tahun. Penilaian kualitas hidup menggunakan PedsQLTM 4.0 modul generik dan pola asuh menggunakan Kuesioner Pola Asuh Anak (KPAA).
Hasil. Seratus pasien SN mengikuti penelitian dan didapatkan gangguan kualitas hidup berdasarkan laporan orangtua dan laporan anak 19%. Usia 5-7 tahun, usia 13-18 tahun, status sosioekonomi rendah, dan kondisi relaps jarang pada SN sensitif steroid (SNSS) merupakan faktor risiko gangguan kualitas hidup pada laporan orangtua (p<0,05) dengan rasio prevalens secara berurutan 5,22, 7,5, 3,48, 10,33. Penggunaan steroid saat penelitian memiliki hubungan dengan kualitas hidup berdasarkan laporan orangtua (p<0,05). Tingkat pendidikan ayah yang semakin rendah merupakan faktor risiko gangguan kualitas hidup pada laporan anak (p<0,05) dengan rasio prevalens 5,22. Lama diagnosis memiliki hubungan dengan kualitas hidup pada laporan orangtua dan anak (p<0,05). Status sosioekonomi dan pola asuh merupakan faktor risiko gangguan kualitas hidup.
Simpulan. Usia prasekolah, remaja, kondisi relaps jarang, penggunaan steroid, lama diagnosis, tingkat pendidikan ayah semakin rendah, status sosioekonomi dan pola asuh akan memengaruhi kualitas hidup anak SN. Gangguan kualitas hidup pada pasien SN merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam tata laksana.

Background. Nephrotic syndrome (NS) is the most common kidney disease in children. Complication of NS is associated with course of disease, therapy, and psychosocial condition affecting the quality of life (QoL).
Aim. Describing the QoL in children with NS and its associated factors in pediatric outpatient clinic and ward in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method. Cross sectional study was performed in pediatric nephrology clinic and ward in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, from April 2012 to December 2013. Subjects were 2 to 18 years old. Quality of life was assessed using PedsQLTM 4.0 generic module and parenting style was assessed with Kuesioner Pola Asuh Anak.
Results. One hundred subjects participated in this study and QoL impairment was reported in 19% subjects based on report from parents and children. Factors associated with impairment QoL from parent's report were age group 5 - 7 years old, age group 13 - 18 years old, low socioeconomic status, and infrequent relapse condition in steroid sensitive NS (P<0.05), with prevalence ratio 5.22, 7.5, 3.48, 10.33, respectively. Steroid use was also associated with QoL according to parent’s report (P<0,05). Lower father's education was risk factor for QoL impairment according to patient's report (P<0,05) with prevalence ratio 5.22. Duration of diagnosis was associated with QoL according to parent’s and patient’s report (P<0,05). Socioeconomic status and parenting style were risk factors of QoL impairment in children with NS.
Conclusion. Preschool age, teen age, infrequent relapse, steroid use, duration of diagnosis, low father’s education, socioeconomic status, and parenting style are associated with QoL in children with NS. Quality of life impairment is important in management of children with NS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Fahlevi
"Latar belakang: Diketahui sekitar 10-30% anak sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) mengalami varian patogenik (SNRS monogenik) dan kejadian ini lebih tinggi pada SNRS primer dibandingkan SNRS sekunder. Adanya varian patogenik yang terkonfirmasi dapat membantu memprediksi gejala klinis, berpengaruh terhadap terapi yang diberikan, memberikan informasi untuk konseling genetik, serta berpotensi untuk diagnosis antenatal atau pra-gejala. Di Indonesia, penelitian terkait pola mutasi genetik pada anak dengan SNRS primer masih sangat terbatas.
Tujuan: Mengetahui pola mutasi genetik pada anak dengan SNRS primer di RSCM.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode studi prevalens dan potong lintang untuk mendeteksi pola varian genetik subjek dengan SNRS primer dan mengetahui hubungannya dengan profil klinis subjek. Pemeriksaan genetik yang dilakukan adalah whole exome sequencing (WES).
Hasil: Dari 60 subjek, diperoleh 16 subjek yang merupakan SNRS dengan varian (26,7%) dan semuanya berusia <12 tahun, terbanyak di bawah 3 tahun (9 dari 16 subjek). Probable disease-causing variant terkait sindrom nefrotik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pada gen LAMA5, COL4A4, COL4A3, TBC1D8B, dan TRPC6 dengan masing-masing 2 subjek, serta pada gen ANLN, FN1, NUP93, AVIL, INF2, CUBN, dan COQ8B/ADCK4 dengan masing-masing 1 subjek. Tidak didapatkan hubungan secara signifikan antara temuan varian dengan faktor demografi (usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan konsanguinitas), manifestasi klinis (respons terhadap siklosporin dan laju filtrasi glomerulus), dan hasil biopsi ginjal.
Kesimpulan: SNRS dengan varian ditemukan sebanyak 26,7% dari seluruh subjek dengan SNRS primer. Pola varian bersifat acak dan terbanyak ditemukan pada gen terkait sindrom Alport yaitu pada 4 dari 16 subjek. Pasien SNRS primer dengan usia <3 tahun terindikasi untuk dilakukan pemeriksaan genetik.

Background: Approximately 10-30% of children with steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS) have a pathogenic variant (monogenic SRNS) and this rate is higher in primary SRNS compared to secondary SRNS. The presence of confirmed pathogenic variants can help to predict clinical symptoms, affect the treatment, provide information for genetic counseling, and have the potential for antenatal or pre-symptomatic diagnosis. In Indonesia, research related to genetic mutation patterns in children with primary SRNS is still very limited.
Objective: To determine the genetic mutation patterns in pediatric subjects with primary SRNS.
Methods: This study used prevalence and cross-sectional study methods to detect the variant in primary SRNS subjects and determine its relationship with the clinical profile of the subjects. The genetic test performed was whole exome sequencing (WES).
Results: Out of 60 subjects, we found 16 subjects (26,7%) were SRNS with variants and all below 12 years-old, most were below 3 years-old (9 out of 16 subjects). Detected probable disease-causing variants related to nephrotic syndrome in this study were LAMA5, COL4A4, COL4A3, TBC1D8B, and TRPC6 genes each in 2 patients, and ANLN, FN1, NUP93, AVIL, INF2, CUBN, and COQ8B/ADCK4 genes each in 1 patient. No significant relationship was determined between variant finding and demographic factors (age, sex, family history, and consanguinity), clinical manifestations (response to cyclosporine and glomerular filtration rate), or kidney biopsy results.
Conclusion: We found 26,7% SRNS with variants in primary SRNS subjects. Variant patterns are scattered with most genes found were related to Alport syndrome in 4 out of 16 subjects. Primary SRNS patients below 3 years-old are indicated for genetic testing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Karlina Halim
"ABSTRAK
Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita dilakukan selama 6 enam minggu sejak tanggal 1 Maret sampai dengan 11 April 2017. Tujuan kegiatan ini adalah agar mahasiswa memahami peranan, tugas dan tanggung jawab apoteker di Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016; memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku profesional dan pengalaman nyata untuk melakukan praktek profesi dan pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit; dan memiliki gambaran nyata tentang permasalahan praktik kefarmasian serta mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan praktek kefarmasian di Rumah Sakit. Kegiatan pelayanan farmasi klinis yang sudah dilakukan Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita diantaranya pengkajian dan pelayanan resep, pelayanan informasi obat, rekonsiliasi, visite, dan dispensing sediaan steril. Tugas khusus yang diberikan berjudul Analisis Drug Related Problem pada Pasien Anak Z dengan Diagnosa Sindrom Nefrotik di Ruang Rawat Inap Gambir RSAB Harapan Kita. Pelayanan farmasi klinik belum dilakukan sepenuhnya dikarenakan jumlah sumber daya manusia yang tidak memadai.

ABSTRACT
Internship at Children 39 s and Mother 39 s Hospital Harapan Kita held for six 6 weeks from March 1st to April 11th 2017. The internship was intended to make pharmacist students understand the role, duties and responsibilities of pharmacists in hospitals appropriate with the Regulation of the Minister of Health No. 72 in 2016 have insight, knowledge, skills, professionalism and real experience to do pharmaceutical practice in hospital have a real experience of the problems pharmacy practice and learn the strategies and activities that can be done in order to develop the pharmaceutical practice in hospital. Clinical pharmacy activities that are conducted in Children 39 s and Mother 39 s Hospital Harapan Kita such as assessment and prescription care, drug information care, reconciliation, visite, and dispensing sterile preparations. Special assignment was given that titled Analysis of Drug Related Problems in Pediatric Z Children with Diagnosis of Nephrotic Syndrome in the Gambir Room Children 39 s and Mother 39 s Hospital Harapan Kita. However, the activities carried out clinical pharmacy not yet fully due to the amount of human resources inadequate."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Intan Fitriana
"Latar belakang: Prevalens late steroid resistance (LSR) makin meningkat pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Fungsi ginjal yang menurun dapat memperburuk prognosis LSR. Penelitian terkait mengenai faktor risiko LSR pada anak (SNI) masih terbatas, padahal pengenalan terhadap faktor risiko ini diperlukan untuk deteksi dini dan mengotimalkan terapi.
Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik anak yang didiagnosis SNI awitan inisial seperti jenis kelamin, usia awitan SNI, hipertensi, kadar hemoglobin, albumin, ureum, laju filtrasi glomerulus, hematuria mikroskopik dan jangka waktu sejak dinyatakan remisi dan telah menyelesaikan pengobatan inisial terhadap terjadi relaps pertama kali dapat menjadi faktor risiko LSR pada anak dengan SNI.
Metode penelitian: Penelitian kasus-kontrol dengan penelusuran retrospektif yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di FKUI-RSCM, RSUP. Fatmawati dan RSUP. Dr. Mohammad Hoesin periode Maret-Mei 2018 yang terbagi menjadi kelompok LSR dan SNSS. Pengambilan rekam medis anak dengan diagnosis SNI yang melakukan kunjungan pengobatan di poli nefrologi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian: Dilakukan analisis pada 100 anak dengan LSR dan 100 anak dengan SNSS. Anak laki-laki didapatkan lebih banyak daripada anak perempuan pada dua kelompok dengan median usia 4,12 (1,0-17,40) tahun. Faktor yang secara bermakna berpengaruh terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI pada analisis bivariat adalah: kadar ureum ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53) dan adanya hematuria mikroskopik (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47).
Simpulan: Faktor risiko yang berperan terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI adalah kadar ureum ≥ 40 mg/dL dan terdapat hematuria mikroskopik.

Background: Prevalence of late steroid resistance (LSR) tends to be increased in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). Renal function deterioration may worsen the prognosis. Previous studies about the risk factors for LSR in children with INS were still limited, while early detection is the most important thing to do proper treatment.
Objectives: to determine whether age of onset, sex, hypertension, hemoglobin level, albumin, ureum, filtration glomerular rate, microscopic hematuria, and first relaps may influence the occurrence of LSR in children with INS. Methods. Case control study with restrospective medical record investigation was performed in INS children who visited to dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Fatmawati and dr. Mohammad Hoesin General Hospital, during March-May 2018. Case and control group was children with LSR and sensitive steroid. Bivariate and multivariate analysis to identify significant risk factors.
Results: There were each 100 children with LSR and steroid sensitive. No different of sex ratio in each group with median of age 4,12 (1,0-17,40) years old. Factors which associated significantly with LSR on bivariate analysis were ureum level ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53), microscopic hematuria (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47), and glomerular filtration rate (OR 1,43 IK 95% 0,79-2,57). Factors which associated significantly with LSR on multivariate analysis include ureum level ≥ 40mg/dL (OR 2,199; IK 95% 1,19-4,04), microscopic hematuria (OR 2,05; IK 95% 1,08-3,88).
Simpulan: Risk factors associated with LSR in INS are ureum level ≥ 40 mg/dL and microscopic hematuria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Akbariyyah
"Latar belakang: Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulopati yang tersering ditemukan pada anak. SNRS sering mengalami penurunan fungsi ginjal dan dalam perjalanan penyakitnya dapat mengalami gagal ginjal tahap terminal. Data mengenai kesintasan dan faktor-faktor yang memengaruhi penurunan fungsi ginjal pada SNRS anak di Indonesia masih terbatas.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesintasan fungsi ginjal dalam lima tahun pertama pengobatan serta faktor-faktor yang memengaruhi
Metode: Penelitian ini merupakan studi prognostik dengan rancangan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis pasien yang terdiagnosis dengan SNRS pada bulan Januari 2012 hingga Desember 2022. Subjek yang diteliti adalah anak berusia 1 - 18 tahun saat terdiagnosis dengan SNRS. Faktor yang diteliti untuk kesintasan dan faktor penurunan fungsi ginjal adalah usia awitan, hematuria saat awitan, hipertensi saat awitan, respon terhadap terapi imunosupresi, jenis histopatologi, dan fungsi ginjal saat awitan.
Hasil: Sebanyak 212 anak terdiagnosis sindrom nefrotik resisten steroid dengan median usia 7 tahun (IQR 3-12 tahun), dan 65,1% berjenis kelamin laki-laki. Jenis histopatologi yang ditemukan terbanyak yaitu GSFS sebesar 57%. Sebanyak 51,9% mengalami hipertensi saat awitan nefrotik, dan pada 32,7% pasien ditemukan hematuria saat awitan nefrotik. Proporsi fungsi ginjal saat awitan yaitu masing-masing 68.9%, 12.7%, 5.7%, 4.7%, 4.2%, dan 3.8% pada kategori fungsi ginjal G1, G2, G3a, G3b, G4, dan G5. Secara umum pasien mengalami tren penurunan fungsi ginjal selama periode pemantauan, dengan kesintasan ginjal sebanyak 53,3% pada tahun pertama pemantauan, 47,2% di tahun kedua, 43,9% di tahun ketiga, 41,5% di tahun keempat, dan 40,6% di tahun kelima. Uji regresi Cox menemukan bahwa usia awitan di atas 6 tahun (HR 1,638; IK95% 1,132 – 2,370; p=0,009), hematuria saat awitan (HR 1,650; IK95% 1,135 – 2,400; p<0,009), dan respon buruk terhadap terapi imunosupresi (HR 1,463; IK95% 1,009 – 2,120; p=0,045) merupakan prediktor penurunan fungsi ginjal.
Kesimpulan: Usia awitan di atas 6 tahun, hematuria awitan, dan respon buruk terhadap terapi imunosupresi merupakan prediktor penurunan fungsi ginjal pada anak dengan SNRS.

Background: Nephrotic syndrome is the most common manifestation of glomerulopathy in children. SNRS often has decreased kidney function and during the course of the disease may develop end stage renal disease. However, data on survival kidney function and prognostic factors are still lacking.
Objective: This study aimed to evaluate the first five year survival rate and prognostic factors of outcome.
Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital which included patients aged 1 to 18 years at diagnosis from Januari 2012 to December 2022. Subjects were followed for 1 to 5 years up to December 2023. Factors analyzed for renal function decline were age at onset, hematuria and hypertension at onset, response to immunosuppression therapy, type of histopathology and renal function at onset. Results: A total of 212 patients with SNRS were included with median age of 7 (IQR 3- 12 years) and 65.1% were male patients. The majority of histopathology type was GSFS (57%). 51,9% had hypertension at SNRS onset, and 32,7% hematuria was found at the onset of SNRS. The proportion of kidney function at onset was 68.9%, 12.7%, 5.7%, 4.7%, 4.2%, and 3.8% in the G1, G2, G3a, G3b, G4, and G5 kidney function categories, respectively. In general, patients experienced a trend of decreasing kidney function during the monitoring period, with renal survival 53,3% in the first year monitoring, 47,2% in the second year, 43,9% in the third year, 41,5% in the fourth year, and 40,6% in the fifth year. Cox regression analysis found that age of onset over 6 years (HR 1.638; 95%CI 1.132 – 2.370; p=0.009), hematuria at onset (HR 1,650; IK95% 1,135 – 2,400; p<0,009), and bad response to immunosuppressive therapy (HR 1,463; IK95% 1,009 – 2,120; p=0,045) were predictors of decreased kidney function.
Conclusion: Age of 6 years or older at onset, onset hematuria, and bad response to immunosuppressive therapy were independent predictors of worsening kidney function in children with SRNS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Toruan, Yulia Margareta L.
"Katarak subkapsular posterior (SKP) dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) adalah komplikasi okular tersering akibat penggunaan kortikosteroid oral. Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan jangka panjang. Di Indonesia, tidak data mengenai hubungan antara dosis dan lama terapi terhadap kedua komplikasi tersebut pada anak sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif, lama terapi dengan kejadian katarak SKP maupun peningkatan TIO dan faktor yang memengaruhinya pada anak SNI di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini merupakan studi potong lintang pada anak SNI usia 4-18 tahun yang mendapat terapi kortikosteroid oral minimal enam bulan secara terus menerus. Pemeriksaan mata lengkap dilakukan untuk mengevaluasi katarak SKP, tajam penglihatan dan peningkatan TIO. Dari 92 anak yang dianalisis, terdapat 19,6% anak yang menderita katarak SKP, 12% anak dengan peningkatan TIO dan satu anak dengan best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. Median dosis kumulatif kortikosteroid oral adalah 12.161 mg (rentang 1.795-81.398) dan median lama terapi adalah 23 bulan (rentang 6-84). Terdapat hubungan antara dosis kumulatif (P=0,007) dan lama terapi (P=0,006) terhadap kejadian katarak SKP dengan titik potong optimal 11.475 mg dan 24 bulan. Jenis kelamin perempuan akan meningkatkan kejadian katarak SKP sebesar empat kali dibandingkan lelaki (PR=4; IK 95%=1,57-13,38; P=0.001). Penelitian ini menunjukkan makin tinggi dosis kumulatif dan/atau makin lama terapi kortikosteroid oral, maka makin besar angka kejadian katarak SKP (nilai batasan ≥ 11.475 mg dan  ≥ 24 bulan). Dosis kumulatif dan lama terapi tidak berhubungan dengan kejadian peningkatan TIO.

Posterior subcapsular cataract (PSC) and raised intraocular pressure (IOP) are the most common ocular complications due to administration oral corticosteroid. These can occur in high dose and long term use. In Indonesia, no data regarding correlation between dose, therapeutic duration and both complications in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). The aim of this study was to evaluate the correlation between cumulative dose, therapeutic duration with the occurrence of PSC and raised IOP and factors associated with these complications in children with INS at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH).
This is a cross-sectional study of children with INS aged 4-18 years who received oral corticosteroid therapy for at least six months continuously. A complete eye examination was performed to evaluate PSC, raised IOP and visual acuity. Of the 92 children analyzed, 19.6% had PSC, 12% had raised IOP and one child with best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. The median cumulative dose of oral corticosteroids was 12,161 mg (range 1,795-81,398) and the median duration of therapy was 23 months (range 6-84). There were associaton between cumulative dose (P=0.007) and duration of therapy (P=0.006) to the occurrence of PSC with cut off point 11,475 mg and 24 months. Female sex will increase the occurence of PSC four times compared to male
(PR=4; 95% CI=1.57-13.38; P=0.001). This study revealed that the higher cumulative dose and/or
the longer of oral corticosteroid therapy, the higher occurence of PSC (cut off point ≥ 11.475 mg and ≥ 24 months). Cumulative dose and therapeutic duration were not associated with the occurence of raised IOP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library