Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Leny Puspadewi
"Penelitian tentang oposisi di Indonesia masih sedikit jumlahnya. Penelitian ini penting karena sebenarnya berbagai oposisi telah ada sejak awal Orde Baru, tetapi kebanyakan masih gagal membentuk oposisi yang kuat. Ada dua kelompok yang tetap bertahan untuk melakukan oposisi yaitu mahasiswa dan buruh. Sementara peristiwa pendudukan gedung MPR/DPR RI pada bulan Mei 1998 oleh para mahasiswa yang ikut serta menyebabkan Soeharto mundur merupakan peristiwa penting yang menarik untuk diamati. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai gerakan mahasiswa 1998 yang berperan sebagai oposisi di Indonesia.
Penelitian ini difokuskan pada gerakan mahasiswa Indonesia khususnya di Jakarta pada tahun 1998 yang melontarkan tuntutan reformasi menyeluruh atau reformasi total. Permasalahan yang diajukan mengenai tipe oposisi yang diperankan oleh gerakan mahasiswa 1998 dan faktor-faktor signifikan yang mendorong munculnya tipe oposisi tersebut. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dipinjam teori oposisi yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl dan definisi oposisi yang dikemukakan oleh Karel van het Reve untuk melihat gerakan mahasiswa 1998 melakukan oposisi, dan tipe oposisi yang diajukan oleh H. Gordon Skilling digunakan unluk menganalisa tipe oposisi yang dilakukan gerakan mahasiswa 1998.
Dengan menggunakan teknik wawancara dan studi pustaka, dikumpulkan data-data yang kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif. Dari analisa tersebut penulis menemukan bahwa: tipe oposisi yang dilakukan gerakan mahasiswa 1998 adalah oposisi integral dan dua faktor signifikan yang mendorong gerakan mahasiswa 1998 melakukan oposisi integral adalah (1) kegagalan pemerintah Orde Baru untuk mengatasi krisis ekonomi dan (2) kepastian terlaksananya agenda SU MPR Maret 1998."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5681
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maelissa, S.H.
"Perlawanan pasukan Pattimura pada tahun 1829 di Saparua merupakan kelanjutan Perang Pattimura 1817. Sebab musabab yang mendasari Perang Pattimura juga menjadi alasan bagi pasukan Pattimura untuk melakukan aksi. Semula mereka bersama Kapitan Pattimura telah minum sumpah (angkat janji setia melalui tetesan darah yang diminum bersama) untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari wilayahnya, di Bukit Saniri dalam suatu musyawarah besar. Janji setia kepada Kapitan yang mereka kagumi dan ketaatan pada tanah tumpah darah yang melahirkan mereka, memberikan pilihan hidup atau mati untuk perjuangannya. Mereka menyaksikan pemimpin-pemimpinnya mati digantung di depan benteng Victoria oleh penguasa untuk menakut-nakuti rakyat, karena itu mereka akan lebih berhati-hati dalam mengatur strategi.
Organisasi pemerintahan negeri sesudah perang Pattimura tidak dapat menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat karena telah diawasi secara ketat melalui Stb. 1824. No. 19. a. tentang pemerintahan negeri. Satu-satunya wadah yang dapat dijadikan sebagai kendaraan untuk menyatukan persepsi dan menyalurkan aspirasi adalah organisasi tradisional masyarakat yang disebut Kewang. Kewang adalah satu-satunya organisasi tradisional masyarakat yang lepas dari pengamatan Hindia Belanda. Pemimpinnya disebut Latukewano atau raja hutan, pengelola disebut Sina Kewano dan para anggota disebut Ana Kewano atau anak Kewang.
Para Kewang (pemuda negeri anggota Kewang) berhubungan secara rahasia antar sesama mereka dari berbagai negeri untuk saling menyampaikan dan melengkapi informasi. Untuk itu mereka sering mengadakan rapat di hutanhutan. Hasil pertemuan dilaporkan kepada para serdadu Saparua yang berada di Ambon. Para serdadu ini mempunyai sikap yang sama terhadap Pemerintah Hindia Belanda, hanya saja mereka bernasib lebih baik karena tidak dicurigai.
Tatkala terdengar berita bahwa mereka akan dikirim ke luar daerah (Ambon) untuk berperang di Jawa dan Sumatera mereka memutuskan bahwa itulah saat yang tepat untuk menyerang Pemerintah Hindia Belanda. Mereka tidak mau meninggalkan tanah tumpah darah mereka dan dipisahkan dari keluarga. Karena itu mereka intensifkan komunikasi dengan para Kewang dan sisa-sisa pasukan Pattimura yang berada di Saparua. Mereka menyurat dan menyampaikan berita ini kepada pasukan Pattimura di Saparua yang dipimpin Izaak Pollatu, Marsma Sapulette dan Tourissa Tamaela. Ketiga orang itu selain sebagai pemimpin kelompok yang telah siap melawan Belanda juga adaiah kepala Kewang dari negeri-negeri Tuhaha, Ulath dan Porto di pulau Saparua.
Rapat-rapat makin diintensifkan antara lain di rumah Izaak Pollatu, kemudian di Marsma Sapulette. Mereka membahas surat dari serdadu di Ambon dan sebagian lagi siap untuk menyerang Belanda di Saparua. Salah satu surat yang ditujukan untuk raja Saparua jatuh ke tangan residen. Akhirnya rahasia perlawanan bocor dan Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah-langkah pengamanan dan menggagalkan usaha para Kewang yang telah bertahun-tahun mempersiapkan rencana itu. Perlawanan pasukan Pattimura di Saparua tahun 1829 yang bekerjasama dengan serdadu Saparua di Ambon itu pun gagal. Mereka ditangkap dan diajukan ke pengadilan negeri di Ambon. Pergolakan rakyat di daerah ini berakhir di sini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Depictions of human reproduction is found in many megalithic buildings. The magical reproductive function is often equated between the phallus and the vulva. It tends to occur in communities that no longer has a cultural context that is consistent with the idea of megalithics. for it is very important to do a review of reproductive function approach to the concept of the symbols and the binary opposition. This is done considering means of reproduction Aas a symbol that has a different function with each other. Moreover, the concept of binary opposition developed until now."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Padmarani Novianty
"Novel Andrew and Joey, A Tale of Bali dan The Java Man keduanya merupakan karya Jamie James, seorang penulis berkebangsaan Amerika. Masing-masing novel menampilkan representasi tentang Bali serta representasi tentang Jawa yang sarat dengan muatan politis Amerika, yang menaklukan, menjinakkan atau mengecilkan Timur.
Melalui analisis yang mempergunakan pendekatan pascakolonial Edward Said, diperlihatkan bagaimana ideologi orientalisme pengarang bekerja melalui pemilihan tokoh-tokoh yang menjadi vokalisasi novel serta bagaimana tokoh-tokoh tersebut ditampilkan. Tokoh-tokoh ini kemudian menjadi suara bagi Timur dalam novel Andrew and Joey, A Tale of Bali, karena dalam novel ini tokoh dari Bali sama sekali tidak diberi kesempatan untuk bersuara.
Meski novelnya yang kedua, The Java Man menampilkan suara dari Timur, namun suara yang keluar adalah pengukuhan dari oposisi biner antara Timur dan Barat, dengan posisi yang dominan dipegang oleh Barat.

Andrew and Joey, A Tale of Bali and The Java Man, both are the works of an American writer, Jamie James. Each novel produces the representations of Bali and Java, loaded with American politics, which conquers, demeans or belittles fast.
By applying Edward Said's postcolonial approach, it is shown how the writer's orientalism works. By creating and selecting the characters which in turn becoming the.el's vocalization, the representation of Bali in Andrew and Joey, a Tale of Bali, is produced. This is then becomes the only voice of Bali since the Balinese in this novel comes to the reader only through the American's point of view.
In the second novel, the Javanese is given the chance to speak But the voice which comes out then became the validation of the binary opposition between the East and the West, in which the West holds the dominant position.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover