Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pingkan Persitya Polla
"Ekonomi digital yang telah berkembang di Indonesia sejak 1 dekade terakhir telah membuka kesempatan bagi perusahaan Over The Top (OTT) non residen di Indonesia untuk mengembangkan pasarnya. Perkembangan perusahaan OTT non residen yang masif ini juga berpengaruh pada semakin tingginya pendapatan yang diperoleh bagi perusahaan tersebut. Namun, atas aktivitas tersebut tidak dapat dipajaki oleh pemerintah Indonesia karena belum adanya produk hukum yang mengatur atas aktivitas ekonomi digital tersebut yang mengakibatkan tidak timbulnya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Skripsi ini merupakan deskripsi atas kasus perusahaan OTT non residen yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data kualitatif diperoleh melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah kriteria significant digital presence bagi perusahaan OTT non residen sebagai acuan bagi pemerintah Indonesia untuk memperluas konsep BUT dan proses rancangan regulasi atas perusahaan OTT non residen di Indonesia.

The digital economy that has grown in Indonesia since the last one decade has opened the opportunity for non-resident Over The Top (OTT) company in Indonesia to develop its market. The massive development also increased the income of the non-resident OTT company. However, such activities are unable to be taxed by the Indonesian government because of the absence of legal products which ruled the digital economy activities that resulted to the absence of a Permanent Establishment (PE) status. This thesis is a description of the case of non-resident OTT companies that occurred in Indonesia. This research is a qualitative research with descriptive research type. Qualitative data were obtained through literature studies and in-depth interviews. The results of this study are the digital presence criteria for non-resident OTT companies as a reference for the Indonesian government to expand the concept of PE and the draft regulatory process for non-resident OTT companies in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Juliangga
"Tesis ini membahas tentang studi ekonomi politik komunikasi pada struktur industri Over The Top Video Streaming yang dilakukan oleh perusahaan Walt Disney. Disney sebagai korporasi media lama harus melakukan proses reorganisasi dan restrukturisasi yang dalam studi ekonomi politik disebut sebagai proses spasialisasi. Proses spasialisasi merupakan respon atas perkembangan internet yang memunculkan struktur industri baru dalam industri media dan distribusi aliran komunikasi. Lebih jauh, riset ini akan melihat bagaimana perilaku spasialisasi Disney mempengaruhi penetrasi modal khususnya Indonesia sebagai pasar utama berkaitan dengan konsumsi konten media. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian eksplanatif berbasis studi dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Disney secara sistematis menerapkan strategi reorganisasi dalam bentuk pembelian aset produksi dan perusahaan teknologi sebagai basis produksi untuk struktur industri OTT. Disney membentuk Disney+ sebagai produk utama SVOD pasca proses reorganisasi selesai. Disney juga meletakkan proxy di wilayah Asia melalui Star India sebagai basis dari operasional dan penetrasi produk Disney+ di wilayah Asia. Secara aktif Disney melakukan penetrasi modal ke Indonesia melalui kerjasama dengan agensi negara, memanfaatkan kekosongan regulasi serta melakukan investasi dalam hal produksi konten.

This research focuses on the political economy of communication study in the Over The Top industry by Walt Disney Corporation Company. As an old media institution, Disney should reorganize and restructure its corporate structures, which in the political economy of communication study is called spatialization. Spatialization responded to the internet growth and created a new industrial structure in the media industry and information communication flow. Furthermore, this research will look at how the spatialization process by Disney influences capital penetration, especially in Indonesia as a leading market in content media consumption. This is qualitative research with an explanatory model based on a document study. This research showed that Disney did a systematic reorganization strategy by acquiring production assets and technology companies as a production base for the Over The Top industry. After reorganizing, Disney produced an OTT program called Disney+ as an SVOD main product. Disney put a proxy company in Asia from Star India corporation as an operational and capital penetration base in the Asian region. Disney did an active process about capital penetration to Indonesia with cooperation with the state agency and direct investment in local production and found advantage from the loophole on OTT regulation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andree Igor Sangap Darmawan
"Pelaksanaan kewenangan Pengaturan dan Pengawasan oleh Pemerintah terhadap Penyelenggara Over The Top (OTT) mencakup penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, fasilitasi infrastruktur, promosi dan edukasi terhadap masyarakat,dan pengawasan dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pengawasan dan pengaturan tersebut meliputi pemantauan, pengedalian, pemeriksaan penelusuran dan pengamanan terhadap Penyelenggaraan Over The Top (OTT). Permasalahan mengenai Pelaksanaan kewenangan Pengaturan dan Pengawasan oleh Pemerintah terhadap Penyelenggara Over The Top (OTT) dikarenakan belum memilikinya peraturan pelaksana khusus terkait penyelenggaraan tersebut sehingga menimbulkan berbagai permasalahan dalam Penyelenggara Over The Top (OTT). Penyelenggara Over The Top (OTT) yang merupakan Penyelenggara Sistem Elektronik yang memberikan layanan aplikasi atau konten melalui internet dalam pelaksanaannya belum memiliki peraturan yang jelas dan lengkap sehingga permasalahan muncul seperti kedudukan dengan Penyelenggara Telekomunikasi, perlindungan data pribadi dan prosedur pemberiaan sanksi administratif. Terkait dengan metode penelitian yang digunakan dalam penilitian ini adalah yuridis normatif mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil penilitian sebagai bentuk dari kewenangan pemerintah dalam mengatur dan mengawasi Penyelenggara Over The Top (OTT) diperlukan pembentukan peraturan pelaksana khusus terkait Penyelenggara Over The Top (OTT) sehingga memberikan pengaturan dan pengawasan yang jelas dan lengkap pada Penyelenggara Over The Top (OTT).

The implementation of the authority of Regulation and Supervision by the Government to the Organizer Over The Top includes policy determination, policy implementation, infrastructure facilitation, promotion and education to the community, and supervision carried out by the Ministry of Communication and Informatics. Such monitoring and arrangements include monitoring, tracking, tracking and securing the Implementation of Over The Top . Problems regarding the implementation of regulatory authority and supervision by the Government to the Organizer Over The Top because it does not have specific implementing regulations related to the implementation so as to cause various problems in the Organizer Over The Top . Over The Top Operator which is an Electronic System Operator that provides application services or content through the Internet in its implementation does not have clear and complete regulations so that problems arise such as the position with the Telecommunication Operator, protection of personal data and procedures for imposing administrative sanctions. Related to the research method used in this study is normative juridical reference to the legal norms contained in the legislation . Based on the results of the study as a form of government authority in regulating and supervising the Organizer Over The Top required the establishment of special implementing regulations related to Over The Top so as to provide clear and complete arrangements and supervision to the Organizer Over The Top."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prawito
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang adanya fenomena konvergensi di sektor telekomunikasi dan teknologi informasi yang berupa layanan Over-the-Top OTT . OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan diatas jaringan milik operator. Data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia APJII menyatakan hampir 90 trafik lari keluar negeri untuk mengakses data. Dari sisi konektivitas, karena harus melayani trafik keluar negeri, operator pun harus membeli bandwidth internasional seharga US 218 juta per tahun. Dari sisi pajak malah ada potensi yang tak bisa diraup dari pemain asing sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun. Hal ini terasa memberatkan bagi operator telekomunikasi di Indonesia dan diwaktu yang bersamaan terdapat potensi pendapatan negara yang hilang. Karenanya Pemerintah berupaya membuat regulasi untuk mengatur layanan OTT dengan menerapkan tanggungjawab yang tepat bagi penyelenggara OTT tersebut untuk menjaga industri telekomunikasi di Indonesia agar tetap kondusif karena OTT dapat disalurkan karena adanya infrastruktur penyelenggara telekomunikasi, dan diwaktu yang bersamaan dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang baik pula bagi penyelenggaraan OTT di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa RPM OTT tersebut adalah hasil kompromi dari dua Undang-Undang yang ada yaitu UU Telekomunikasi dan UU ITE. Pengaturan yang terdapat dalam RPM tersebut sudah selaras dengan kedua Undang-Undang tersebut hanya saja belum komprehensif. Sehingga Pemerintah perlu mengambil langkah strategis lebih lanjut.

ABSTRACT
This thesis discussed the phenomenon of convergence in the telecommunications sector and information technology services such as Over the Top OTT . OTT is a player that is identical as filler of operator rsquo s data pipe. OTT players is regarded as a latent danger for operators because it doesn rsquo t emit huge investment, but achieve profit above operator rsquo s network. The Association of Indonesian Internet Service Provider APJII said nearly 90 of traffic to run out of the country, the operator must purchase international bandwidth for US 218 million per year. On the tax revenue side, instead there is potency that cannot be scooped from foreign players around Rp 10 trilion to Rp 15 trilion. It feel burdensome for telecom operators in Indonesia and the same time there is a potential state revenue loss. Government therefore working to make regulations to regulate OTT services with implementing appropriate responsibilities for the OTT organizers to maintain telecommunications industry in Indonesia in order to remain conducive for OTT channeled for their infrastructure telecommunication providers, and in the same time can create a good competition climate for the implementation of OTT in Indonesia. This study is a normative legal research using legislation approach. Result of this study is that the Draft of OTT Regulation is the result of a compromise of the two laws that exist, namely the Telecommunication Act and ITE Law. The arrangements contained in the Draft of the Regulation is already aligned with the both the Act but not yet comprehensive. So, the government needs to take a strategic step further.
"
2017
T47202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mandala Anugerahwan Firstanto
"Over-The-Top OTT adalah layanan berbentuk aplikasi dan layanan komunikasi, baik komunikasi suara, text, penyiaran, konten, dll yang diakses melalui internet. Penggunaan layanan OTT meningkat pada beberapa tahun terakhir. Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan operator pada segmen voice dan SMS. Pada sisi lain, terjadi peningkatan pendapatan operator pada segmen data. Ketidakseimbangan regulasi yang mengatur antara operator telekomunikasi dan penyedia layanan OTT merupakan salah satu penyebabnya. Hingga penelitian ini ditulis, belum terdapat regulasi yang mengatur layanan OTT. Oleh karena itu, perlu adanya rumusan regulasi layanan OTT. Regulatory Impact Analysis RIA merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam perumusan regulasi. Metode ini telah digunakan oleh beberapa negara di dunia untuk merumuskan regulasi baru dan menganalisis efektifitas regulasi eksisting. Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap regulasi eksisting terkait layanan OTT serta perumusan kerangka regulasi layanan OTT VoIP dan Instant Messaging menggunakan metode RIA.
Hasil analisis menunjukkan bahwa regulasi eksisting tidak cukup untuk mengatur penyedia layanan OTT VoIP dan Instant Messaging di Indonesia, serta menunjukkan mekanisme registrasi cocok untuk mengatur penyedia layanan OTT VoIP dan Instant Messaging di Indonesia. Kerangka rumusan regulasi layanan OTT VoIP dan Instant Messaging terdiri dari bentuk regulasi, mekanisme regulasi, dan bentuk sanksi. Bentuk regulasi OTT VoIP dan Instant Messaging dapat berupa Peraturan Menteri dengan menambah penjelasan pada UU Telekomunikasi dan UU Penyiaran terkait layanan berbasis IP dan layanan aplikasi. Mekanisme regulasi adalah mekanisme registrasi dengan mewajibkan penyedia layanan OTT VoIP dan Instant Messaging dengan konsumsi bandwidth tinggi meletakkan Content Data Network di Indonesia. Bentuk sanksi adalah pemblokiran dan bandwidth throttling.

Over The Top OTT services refer to the delivery of multimedia services i.e. audio, video and messaging services over the Internet. OTT services usage has increased in recent years. This situation has an impact on the decrease of operator 39 s revenue in voice and SMS segment. On the other hand, operator 39 s revenue incrase in the data segment. The Imbalance regulations between telecom provider and OTT player is one cause. This problem need to find a solution. Regulatory Impact Analysis RIA is one of methods than can be used to formulate a regulation. This method has been used by several countries in the world to formulate new regulations and analyze the effectiveness of existing regulation. Author analyze the existing OTT regulation and formulate a regulatory framework with RIA method.
The results of the analysis indicate that the existing regulation is insufficient to regulate the OTT service provider in Indonesia. Regulatory framework of OTT regulation are as follows, OTT regulation form is Peraturan Menteri Kominfo by adding explanation in UU Telecommunications and UU Broadcasting about telecommunications, broadcasting, application, services based on IP. OTT provider will be regulated by registration method by requiring put the Content Data Network CDN in Indonsia for OTT provider with high consumption bandwidth. The sanctions for OTT provider that don 39 t comply with regulations is blocking and bandwidth throttling.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T48021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dingga Wahyudi Riansyah
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat telah menimbulkan ketidaksepadanan antara peraturan pajak dengan kegiatan ekonomi yang semakin mengarah pada digitalisasi. Ketidaksepadanan tersebut salah satunya terdapat pada ketentuan Bentuk Usaha Tetap BUT yang banyak memberikan celah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, salah satunya penyedia layanan berbasis internet over the top asing di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dan studi pustaka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyedia layanan tersebut dapat memperoleh penghasilan yang cukup signifikan dari pelanggannya di Indonesia tanpa melalui kehadiran fisik yang memenuhi kriteria BUT berdasarkan ketentuan domestik ataupun tax treaty. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui penerbitan peraturan domestik yang mengatur tentang perizinan bagi penyedia layanan berbasis internet asing apabila ingin menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. Sementara berdasarkan rekomendasi BEPS, upaya pemajakan penyedia layanan berbasis internet asing dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama adalah dengan memperluas definisi BUT berdasarkan kehadiran ekonomi yang signifikan dan melakukan amandemen pasal pengecualian BUT melalui multilateral instrument. Pendekatan yang kedua yaitu dengan mempertimbangkan pengadopsian jenis pungutan baru seperti equalisation levy.

ABSTRAK
The rapid development of information and communication technology has created a mismatch between tax regulations and economic activities that are increasingly leading to digitalization. One such mismatch is found in the provisions of Permanent Establishment PE which provides many tax gap by multinational enterprises, especially foreign internet based service providers over the top in Indonesia. This research was conducted with qualitative approach through in depth interview and literature study. The results of this study indicate that the service provider can earn significant income from its customers in Indonesia without maintaining a physical presence that meets PE criteria based on domestic or tax treaty provisions. The solution to solve such problems can be done through the issuance of domestic regulations governing licensing for foreign internet based service providers if they want to run their business activities in Indonesia. While based on the BEPS recommendation, solution to taxing internet based service providers can be done through two approaches. The first is to expand the definition of PE based on a significant economic presence and to amend the PE exemption provision through multilateral instruments. The second approach is to consider the adoption of new types of levies such as equalisation levy. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Budi Setiawan
"Abstrak
Peningkatan penggunaan ponsel cerdas dan
ketersediaan pita lebar nirkabel telah mendorong
penggunaan platform dan layanan berbasis Internet
yang sering bersaing dengan layanan serupa
berdasarkan teknologi yang lebih lama. Platform seperti
itu telah mendapatkan popularitas terutama di negaranegara berkembang karena menelepon melalui internet
jauh lebih murah daripada membuat panggilan di
jaringan telekomunikasi. Penelitian ini menunjukkan
bahwa aplikasi dan layanan online ini mengubah sektor
tradisional dan mengubah lanskap ekonomi pasar.
Meningkatnya popularitas aplikasi dan layanan
tersebut, sering disebut oleh regulator telekomunikasi
sebagai layanan "Over-The-Top" (OTT), membawa
tantangan regulasi baru bagi pemerintah. Dibutuhkan
strategi regulasi yang matang untuk dapat terus
mengembangkan ekosistem digital di Indonesia.
Keluaran dari kajian ini menghasilkan rekomendasi
untuk kebijakan terkait dengan kebijakan layanan
aplikasi dan konten pada ekosistem digital melalui
internet (Over-The-Top). Kajian ini dilakukan secara
kualitatif melalui studi literatur. Materi yang digunakan
dalam kajian ini berasal dari makalah, paparan
kebijakan dari pemangku kebijakan, buku yang terkait
dengan ekonomi digital, termasuk surat kabar, majalah,
maupun jurnal penelitian yang terkait dengan bidang
kajian. Tindak lanjut dari kajian ini adalah tersedianya
kebijakan yang tepat untuk mendukung penyediaan
layanan aplikasi dan konten pada ekosistem digital
melalui akses internet. "
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya, Perangkat, dan Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2018
607 JPPI 8:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Yusuf Romadhon Pamungkas
"Kontroversi tindakan pemblokiran akses layanan over-the-top (OTT) Netflix oleh Grup Telkom membuat masyarakat berpikir kembali apakah pemblokiran tersebut menghambat kebebasan mereka dalam memilih dan mengakses konten atau aplikasi pilihan mereka yang sah. Terlebih fakta bahwa ketiadaan prinsip netralitas internet dalam kerangka hukum telekomunikasi Indonesia yang melarang tindakan pemblokiran tersebut. Fakta tersebut ditambah dengan kecenderungan arah kebijakan telekomunikasi dan sektor industri telekomunikasi yang tidak mendukung semangat netralitas internet, serta mengingat fakta bahwa pendekatan yang diambil Pemerintah Indonesia ketika mengawasi peredaran konten yang dinilai ‘berbahaya’ sering kali jauh dari prinsip netral. Penelitian skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif dengan menganalisis bagaimana kerangka hukum telekomunikasi dapat mengatasi kasus pemblokiran Netflix oleh Grup Telkom. Mengetahui bagaimana tidak efektifnya kerangka hukum telekomunikasi Indonesia saat ini dalam mengantisipasi kasus a quo, dapat disimpulkan bahwa, tindakan pemblokiran tersebut bukan merupakan pelanggaran hukum karena keputusan pemblokiran ini sebenarnya diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan, sebaliknya, akan terlihat berbeda jika kasus a quo dianalisis dengan Open Internet Order 2015 sebagaimana diberlakukan oleh Federal Communications Commission Amerika Serikat. Demi mengantisipasi permasalahan terkait netralitas internet yang akan datang, beberapa rekomendasi hukum yang diberikan yakni dengan mengamandemen Undang-Undang Telekomunikasi dengan mengadaptasikan model pengklasifikasian common carrier dan information service, menambahkan ketentuan larangan pemblokiran, perlambatan akses, dan prioritisasi lalu lintas paket data tertentu berdasarkan kesepakatan harga, serta menambahkan kewajiban transparansi.

The controversy of Netflix blocking as an over-the-top (OTT) service by Telkom Group has made society think twice if such action degrades their freedom to choose and access the lawful content or application of their choice. Let alone the fact that there is a lack of net neutrality principle in Indonesian telecommunications regime which prohibits such action, coupling the latest development of the policy direction and telco industry side are not in favor of network neutrality spirit and given the fact that the approach that Indonesian Government takes when monitors ‘harmful’ content is far from neutral. This thesis research leverages the qualitative analysis method by analyzing how the telecommunications regime could cope with the case study of the Netflix blocking by Telkom Group. Knowing the fact that how ineffective the existing telecommunication regime is in anticipating a quo case, it can be concluded that, this said blocking activity does not fall into any form of infringement since the fact that this blocking decision is actually mandated by law, otherwise, it would be seen as different if this a quo case analyzed with the FCC’s 2015 Open Internet Order. To further anticipate this net neutrality issue, a string of recommendations offered are to amend Indonesian Telecommunications Law by incorporating common carrier and information service classification model, no-blocking, no-throttling, and no-paid prioritization rules, and also transparency rules."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fayadiva Hapsari Birowo
"Skripsi ini membahas mengenai kasus pemblokiran yang dilakukan oleh Telkom Indonesia terhadap Netflix yang telah diputuskan sengketanya oleh KPPU melalui Putusan KPPU No. 08/KPPU-1/2020. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan melakukan penelitian berbasis bahan pustaka dan wawancara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah kesesuaian tindakan pemblokiran tersebut dengan unsur-unsur dalam Pasal 19 huruf d UU Persaingan Usaha mengenai praktik diskriminasi. Skripsi ini juga akan membahas mengenai kesesuaian justifikasi yang diberikan oleh Telkom Indonesia atas tindakan pemblokiran terhadap Netflix dengan UU Persaingan Usaha serta kewenangan, tugas pokok dan fungsi dari Telkom Indonesia sebagai Internet Service Provider (ISP). Tindakan pemblokiran yang dilakukan oleh Telkom Indonesia didasarkan oleh alasan ketidaksesuaian konten yang disediakan Netflix dengan norma yang ada di Indonesia (terdapat unsur pornografi) serta belum adanya kerja sama antara Telkom Indonesia dan Netflix berkaitan dengan penyediaan jasa internet. Tindakan pemblokiran yang dilakukan oleh Telkom Indonesia memenuhi unsur-unsur dari Pasal 19 huruf D UU Persaingan Usaha. Tindakan tersebut menyebabkan adanya persaingan usaha yang tidak sehat karena memunculkan barrier to entry bagi Netflix sebagai platform OTT dalam pasar bersangkutan pengguna Telkom Indonesia. Justifikasi yang diberikan oleh Telkom Indonesia atas tindakan tersebut tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai (ISP) dan melanggar ketentuan Pasal 19 huruf d UU Persaingan Usaha. Netflix sebagai platform OTT belum dapat diwajibkan untuk melakukan sensor karena belum ada peraturan pelaksana yang mengatur secara khusus mengenai kewajiban platform OTT untuk melakukan sensor melalui Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia. Adanya batasan hukum yang jelas bagi penyelenggaraan platform OTT dapat mencegah terjadinya bentrokan seperti yang terjadi antara Telkom Indonesia dengan Netflix.

This thesis discusses the case of the blocking action taken by Telkom Indonesia against Netflix, which was resolved by the KPPU through KPPU Decision No. 08/KPPU-1/2020. The research method used is normative juridical by conducting research based on library materials and interviews. The issues discussed in this thesis include the conformity of the blocking action with the elements in Article 19 letter d of the Antitrust Law regarding discriminatory practices. This thesis will also discuss the justification provided by Telkom Indonesia for the blocking action against Netflix in relation to the Business Competition Law, as well as the authority, main duties, and functions of Telkom Indonesia as an Internet Service Provider (ISP).  Telkom Indonesia's blocking action was based on the reasons that the content provided by Netflix was not in accordance with existing norms in Indonesia (contained elements of pornography) and the lack of cooperation between Telkom Indonesia and Netflix concerning the provision of internet services. The blocking action taken by Telkom Indonesia fulfills the elements of Article 19 letter d of the Antitrust Law. This action causes unhealthy business competition by creating a barrier to entry for Netflix as an OTT platform in the relevant market for Telkom Indonesia users. The justification provided by Telkom Indonesia for this action is not in accordance with its main duties and functions as an ISP and violates the provisions of Article 19 letter d of the Antitrust Law. Netflix as an OTT platform cannot yet be required to conduct censorship as there is no specific implementing regulation governing the obligation of OTT platforms to conduct censorship through the Indonesian Film Censorship Board (LSF). The existence of clear legal boundaries for the operation of OTT platforms can prevent conflicts like the one that occurred between Telkom Indonesia and Netflix."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Risanti
"ABSTRAK
Aplikasi permainan ketangkasan merupakan layanan over-the-top yang dapat diperoleh melalui application store, yakni suatu platform dengan mana pengembang aplikasi dapat mengunggah aplikasi dan pengguna dapat mengunduhnya. Beberapa aplikasi permainan ketangkasan selain menyediakan layanan permainan, juga memungkinkan pembelian konten tambahan yang dapat membantunya dalam bermain, seperti koin dalam aplikasi Domino Gaple Online. Konten yang dimaksud selain dapat dibeli dengan menggunakan kartu kredit atau debit, dapat juga dibeli dengan tagihan operator langsung, dengan mana tagihan pembelian koin akan dibebankan kepada pengguna melalui penyelenggara jasa telekomunikasi, yakni dengan pengurangan deposit prabayar atau pulsa. Mengingat bahwa deposit prabayar digunakan untuk non-jasa telekomunikasi, menjadi pertanyaan bagaimana peraturan mengatur mengenai hal tersebut. Selanjutnya, terlibatnya pengembang aplikasi, penyelenggara application store dan penyelenggara telekomunikasi menimbulkan pertanyaan bagaimana bentuk pertanggungjawaban serta perlindungan hukum bagi penggunanya. Meskipun peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi tidak mengatur mengenai hal tersebut, penyelenggaraannya, tanggung jawab dan perlindungan hukum bagi pengguna haruslah sesuai dengan norma-norma yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 8 Tahun 1999. Berdasarkan penelitian, yang dilakukan terhadap aplikasi Domino Gaple Online, tidak semua norma-norma tersebut diindahkan. Untuk itu, Pemerintah perlu secara khusus mengawas ada mengatur penyelenggaraan aplikasi permainan, maupun penyediaan tagihan operator langsung

ABSTRACT
Mobile games are applications obtained through application stores such as Google Play a platform which enables developers to distribute and monetize applications, and enables users to obtain applications. Several mobile games also enable the purchase of in game content, such as coins in Domino Gaple Online. Purchases of in app contents are usually done using card payments, however the provision of direct carrier billing enables payments to be directly charged by the telecommunication service provider. Because of that, the users rsquo phone credit, which should only be used for telecommunications services, is used to pay for a content not provided by the telecommunication service provider. This raises a question as to how Indonesia rsquo s law regulates the use of phone credit for non telecommunication services. Furthermore, the involvement of three different parties raises the question regarding the legal liabilities of said providers, and the legal protection of its users. Laws on telecommunications does not regulate the use of phone credit for non telecommunication purposes. Because of that, the provision of said game, the providers rsquo legal liabilities and the legal protection for its users are based on the norms and standards enforced in Law No. 11 of 2008 and Law No. 8 of 1999. Based on the research on Domino Gaple Online, not all the norms within those regulations are adhered to. Thus, the Government needs to specifically supervise and regulate the provision of mobile games and direct carrier billing for non telecommunication services. "
2017
S69043
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>