Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nandini Leona Agustin
"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terkait dengan perkawinan, maka setiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, hal ini dengan tegas diatur di dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bilamana perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan tidak dicatatkan, maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara atau setidak-tidaknya tidak memiliki kedudukan hukum. Permasalahan hukum yang ditimbulkan dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut tidak hanya terkait dengan tidak diakuinya perkawinan tersebut, tetapi juga mengenai perlindungan hukum terhadap istri, anak, harta benda dan segala sesuatu akibat dari perkawinan termasuk juga jika kedua belah pihak ingin melakukan perceraian.
Terkait dengan hal tersebut di dalam putusan Nomor 541/Pdt.G/2015/Pn.Sgr dan putusan Nomor 49/Pdt.G/2017/PN.Amp majelis hakim yang menangani perkara tersebut mengabulkan gugatan perceraian antara penggugat dan tergugat meskipun perkawinan tersebut sampai gugatan diajukan belum pernah dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Padahal salah satu syarat untuk dapat mengajukan gugatan perceraian di pengadilan adalah harus menyertakan akta perkawinan yang mana tidak dimiliki oleh penggugat karena perkawinannya tidak pernah dicatatkan.

Marriage is an inner and outer bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family based on the One Godhead. Regarding to marriage, every marriage must be recorded according to the applicable legislation, this is expressly regulated in article 2 paragraph (2) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage.
If the marriage is carried out according to religious law and belief is not recorded, then the marriage is not recognized by the state or at least has no legal standing. The problems that arise from an unregistered marriage are not only related to the non-recognition of the marriage, but also about legal protection of wife, children, property and everything from marriage including if both parties want to divorce.
Related to this matter in the decision Number 541/Pdt.G/2015/Pn.Sgr and the decision Number 49/Pdt.G/2017/PN.Amp the panel of judges who handled the case granted a divorce claim between the Plaintiff and the Defendant even though the marriage was never recorded in the Civil Registry Office. In fact, one of the requirements to be able to file a divorce lawsuit in court is to include a marriage certificate which the Plaintiff does not have because the marriage was never recorded.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Herma Desfira
"Perkawinan merupakan salah satu cara bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Akan tetapi, perkawinan tidak hanya sekedar suatu hubungan badan, melainkan pula merupakan suatu hubungan perikatan antara suami dan isteri. Dengan adanya hubungan perjanjian perikatan tersebut, maka perkawinan menimbulkan segala akibat hukum di dalamnya. Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1, suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya. Kemudian, pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, melainkan sebagai kewajiban administratif. Meskipun pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, tetapi kedudukan pencatatan perkawinan di sini memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan kejelasan pada peristiwa perkawinan yang terjadi. Selain itu, pencatatan perkawinan tersebut juga berfungsi sebagai alat pembuktian yang sempurna di hadapan pengadilan. Undang-undang kita memungkinkan dilakukan pembatalan perkawinan dengan alasan-alasan tertentu. Berdasarkan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pada penelitian ini, Penulis hendak meneliti apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dapat dijadikan dasar pengajuan permohonan pembatalan perkawinan. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah yuridis-normatif dengan jenis data sekunder. Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah bahan hukum primer, yaitu KUH Perdata, UU Perkawinan, dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait; dan bahan hukum sekunder, yaitu bukubuku hukum, serta jurnal ilmiah.

Marriage is one way for humans to continue their offspring. However, marriage is not just a physical relationship, but also an engagement relationship between husband and wife. With the engagement agreement, the marriage has all the legal consequences in it. According to article 2 paragraph (1) of Law no. 1, a marriage is valid if it is carried out according to the laws of their respective religions and beliefs. Then, in Article 2 paragraph (2) of Law no. 1 of 1974, it is determined that each of these marriages must be registered in accordance with the applicable laws and regulations. According to the Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010, marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, but as an administrative obligation. Although marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, marriage registration has a very important role in determining a marriage event that occurs. In addition, the registration of the marriage also serves as a perfect means of proof before the court. Our law supports marriage for certain reasons. Based on Article 22 of Law no. 1 of 1974, a marriage can be annulled if the parties do not meet the requirements to enter into a marriage. In this study, the author wants to examine whether unregistered marriages can be used as the basis for submitting a marriage application. The research method used is juridical-normative with secondary data types. The types of secondary data used in this study are primary legal materials, namely the Civil Code, Marriage Law, and several related laws and regulations; and secondary legal materials, namely books
law, and scientific journals.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Priscilla
"ABSTRACT
Anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan akan membawa konsekuensi bagi anak tersebut, yaitu menjadi seorang anak luar kawin. Akibat dari kedudukan seorang anak sebagai anak luar kawin adalah tidak adanya hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menjadi solusi dari permasalahan kedudukan anak luar kawin. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ditentukan bahwa anak luar kawin dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya apabila dapat dibuktikan mempunyai hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai kedudukan yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan melihat penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam Penetapan Nomor 126/PDT.P/2014/PN.JKT.TIM dan juga Penetapan Nomor 229/PDT.P/2015/PN.KDL. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bertujuan mengidentifikasi norma hukum tertulis dan hasil penelitian disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan juga dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dan tidak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Selain itu, berdasarkan dua penetapan yang dianalisis dalam penelitian ini, dapat dilihat adanya perbedaan fokus dalam pertimbangan hakim dalam menentukan kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peraturan pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 untuk menghindari ketidakpastian dan permasalahan dalam penerapannya.

ABSTRACT
Children born in marriages of parents who are not registered will have consequences for the child, namely being a child out of wedlock. The result of the position of a child as a child out of wedlock is the absence of civil relations between children outside of marriage with their biological father. The decision of the Constitutional Court Number 46 / PUU-VIII / 2010 is the solution to the problem of the position of the child outside of marriage. In the Decision of the Constitutional Court Number 46/PUU-VIII/2010 it is determined that out-of-wedlock children can have civil relations with their father if it can be proven to have blood relations based on science and technology and/or other evidence according to the law. In this study, we will examine the position of being born in a parent's marriage which is not listed after the issuance of the Constitutional Court Decision Number 46 / PUU-VIII / 2010 by observing the application of the Constitutional Court Decision Number 46 / PUU-VIII / 2010 in the Determination of  Number 126/PDT.P/2014/PN.JKT.TIM and also Determination Number 229/PDT.P/2015/PN.KDL. The research method used in this study is normative juridical research that aims to identify written legal norms and the results of the study are presented descriptively. The results of this study concluded that after the Decision of the Constitutional Court Number 46 / PUU-VIII / 2010 children born in marriages of unregistered parents can also have civil relations with their biological fathers and not only have civil relations with their mothers and families. In addition, based on the two determinations analyzed in this study, it can be seen that there is a difference in focus in judges judgment in determining the position of children born in the marriage of parents who are not registered. Therefore, it is necessary to have an implementing regulation from the Constitutional Court Decision Number 46 / PUU-VIII / 2010 to avoid uncertainty and problems in its implementation."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Andria I Istomo
"Status hukum seseorang menunjukkan kedudukanya di dalam lalu lintas hukum suatu masyarakat. Kepastian mengenai status hukum diperoleh dengan melakukan pendaftaran dan pencatatan atas peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan pribadi seseorang yang menentukan status hukum tersebut. Pencatatan antara lain perkawinan dan perceraian yang telah mengalami unifikasi yaitu dikeluarkannya UU No 1 Tahun 1974 serta PP No 9 Tahun 1975."
Universitas Indonesia, 1987
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joviony Veronica Honanda
"ABSTRAK
Tesis ini menguraikan tentang aspek hukum pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil bagi pasangan yang salah satunya telah meninggal dunia didasari dengan kasus konkrit berdasarkan putusan pengadilan Nomor 1018/Pdt.P/2018/PN.JKT.SEL. Pencatatan Perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan khususnya agar suatu perkawinan dapat diakui menurut hukum Negara Republik Indonesia. Proses Pencatatan Perkawinan oleh Pegawai Pencatatan Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Namun pada tahun 2018 terdapat kasus pencatatan perkawinan bagi pasangan yang salah satunya telah meninggal dunia. Hal ini merupakan suatu permasalahan hukum atas keabsahan dan kekuatan hukum penetapan hakim atas perintah untuk pencatatan perkawinan semacam ini. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai keabsahan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang salah satunya telah meninggal dunia; dan kewenangan serta kekuatan hukum penetapan pengadilan untuk memerintahkan kantor catatan sipil dalam mencatatkan perkawinan ini. Untuk menjawab permasalahan ini digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan analitis. Tipe dan Bentuk Penelitian adalah Deskriptif dan analisa data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian adalah menjawab bahwa pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil bagi pasangan yang salah satunya telah meninggal dunia adalah dapat dilakukan, serta hakim berwenang untuk mengeluarkan penetapan perintah untuk mencatatkan perkawinan berdasarkan Pasal 36 UU No. 23 Tahun 2006.

ABSTRACT
This thesis describes the legal aspects of marriage registration at the civil registration office for a couple that one of whom has died based on a verdict No. 1018/Pdt.P/2018/PN.JKT.SEL. Marriage Registration is one of the legal requirements for a marriage, so that a marriage could be recognized according to the law of the Republic of Indonesia.. The Marriage Registration Process by Civil Registration Office is written in Government Regulation No. 9 of 1975. But in 2018, there was a case of marriage registration for a couple that one of whom had passed away. This could be seen as a legal problem especially about the validity and about the legal force of the judge provision to registry the marriage. This issues raised regarding the validity of marriage registration for couples, one of whom has passed away; and the authority and legal force of a corut to give order for the civil registration office to register this marriage. To answer this problem,this thesis will use normative juridical research methods with analytical approaches. Data analysis is descriptive analytic.this thesis answes that the registration of marriages in the civil registration office for one of whom has passed away could be done, although the law does not regulate this matter, as well as the judge has the authority to order the civil registration office to register this marriage as stipulated in Article 36 of Law No. 23 of 2006. However, in giving decision the judge needs to consider well because this kind of marriage registration didn't follow the procedure written in Article 10 and Article 11 GR No. 9 of 1975 that require the presence of the bride and groom in order to resgister the marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adillah Yuswanti
"Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi ketentuan sesuai dengan maksud Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 Pasal tersebut jo Pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, maka administrasi kependudukan yang di dalamnya mengatur mengenai pencatatan sipil diharapkan dapat memberikan pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berhubungan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif. Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin siri, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai.
Metode yang digunakan adalah yuridis empiris, yaitu suatu penelitian disamping melihat aspek hukum positif juga melihat pada penerapannya atau praktek di lapangan. Banyak perdebatan mengenai hal tersebut karena mengakibatkan disahkan atau tidak perkawinan oleh Para Pihal yang melakukan perkawinan beda agama. Dalam kasus yang telah ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Bogor, terdapat dua penetapan yang berbeda mengenai permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.
Berdasarkan penelitian dari kedua putusan hakim, diperoleh hasil bahwa Penulis lebih menyetujui Penetapan Hakim Nomor 111/Pdt.P/PN.Bgr, karena UU 1/1974 tidak secara tegas mengatur perkawinan beda agama, Pasal 35 huruf a dapat dijadikan sebagai pemenuhan secara administratif dalam hal pencatatan perkawinan.

Marriage not registered is marriage has materially complied with in accordance with the intent of Article 2 paragraph 1 of Marriage Act, but does not meet the provisions of paragraph 2 of that Article in conjunction with Article 10, paragraph 3 PP No. 9 of 1975. With the enactment of Law No. 23 of 2006, the population administration in which governs the civil registry is expected to provide the fulfillment of administrative rights as well as the protection of public services related to civil documents without discrimination. In the context of the registration of marriages, many terms used to designate a marriage that is not listed, there is a mention under the hand marriage, marriage siri, married muezzin, and often also called marriage Kyai.
The method used is empirical juridical, is a study in addition to seeing the positive aspects of the law also look at the implementation or practice in the field. A lot of debate about that because lead was passed or not marriage by the pihal who perform interfaith marriage. In cases that have been set by District Court Judge Bogor, there are two different determination regarding listing application interfaith marriage.
The data analysis technique used is descriptive qualitative, ie after the data collected is then poured in the form of a logical and systematic description, then analyzed to obtain clarity problem solving, then the conclusions drawn deductively, from things that are common to the things that are special.
Based on the research of both the judge's ruling, the result that the author is approved Determination Judge No. 111 / Pdt.P / PN.Bgr, because the Law 1/1974 does not expressly regulate interfaith marriage, Article 35 letter a can be used as an administrative compliance in terms of registration of marriages.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42908
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sondang Regina I.
"Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menciptakan unifikasi dibidang hukum perkawinan di Indonesia, yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, agama, dan ras. Akan tetapi, dalam hal perkawinan yang dilakukan antara mereka yang berbeda agama, Undang-Undang Perkawinan hanya memberikan pengaturan yang berupa penyerahan sepenuhnya kepada hukum agama yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut, dewasa ini sering terjadi pengakuan dan pencatatan atas perkawinan antara mereka yang berbeda agama, yang mana sesungguhnya perkawinan tersebut tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan mengenai yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis membuat penulisan mengenai permasalahan hukum dalam pencatatan perkawinan antara mereka yang berbeda agama dengan meninjau Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1400/K/Pdt/1986 mengenai perkawinan antara mereka yang berbeda agama.
Dalam penulisan ini dibahas permasalahan mengenai syarat syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, dan mengenai sah/tidaknya pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan putusan No. 1400/K/Pdt/1986 menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melakukan penulisan ini, penulis menggunakan metode pendekatan dengan menggunakan metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan pustaka atau yang disebut data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai permasalahan yang dibahas, maka penulis berpendapat dan menyimpulkan bahwa perkawinan sah secara hukum apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan Putusan MA-RI No.1400/K/Pdt/1986, adalah tidak dapat dibenarkan karena perkawinan tersebut bertentangan dengan agama. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar lebih ditingkatkan lagi kesadaran hukum terhadap agama, dan peranan Kantor Catatan Sipil dalam menjalankan tugasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16463
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, M. Indra Muluk
"Skripsi Ini membahas mengenai akibat hukum yang timbul dari perkawinan tidak dicatat studi kasus penetapan pengadilan agama Tangerang Nomor 46-IDT/2008-PA. Penelitian ini menggunakan metodologi normative dan empiris. Penelitian meneliti bagaimana undang-undang mengatur mengenai perkawinan dan pencatatan perkawinan Hasil penelitian menemukan akibat hukum yang kurang adil khususnya pada penetapan pengadilan agama Tangerang Nomor 46-IDT/2008-PA. Penelitian meneliti bagaimana undang-undang mengatur mengenai perkawinan dan pencatatan perkawinan.

This thesis discusses the legal consequences arising from the marriage was not recorded a case study of religious court Tangerang Number 46-IDT/2008-PA. This study uses normative and empirical methodology. The study examined how the laws governing marriage and marriage records found results that are less fair legal consequences, especially in the religious court Tangerang Number 46-IDT/2008-PA. The study examined how the laws governing marriage and marriage records."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1614
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkya Fadhma
"Pencatatan perkawinan dapat dikatakan sebagai tahapan penting dari peristiwa perkawinan. Dalam rangka peningkatan pelayanan pencatatan perkawinan, Kementerian Agama meluncurkan mekanisme pencatatan dengan sistem informasi melalui aplikasi bernama Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) sebagai upaya untuk menyerderhanakan mekanisme pencatatan dan mengatasi pemalsuan-pemalsuan data yang kerap terjadi. Sebagai implikasinya, diterbitkan Kartu Nikah sebagai alat bukti perkawinan tambahan di luar Buku Nikah. Dalam pembahasan mekanisme pencatatan melalui Simkah dan urgensi penerbitan Kartu Nikah dilakukan pendekatan perundang-undangan dan perbandingan dengan SPPIM dan Kad Perakuan Nikah yang berlaku di Malaysia hingga diperoleh hasil perlunya penerbitan Kartu Nikah sebagai implikasi pencatatan perkawinan melalui Simkah.
Marriage registration can be said to be an important stage of marriage events. In order to improve marriage registration services, the Ministry of Religion launched a recording mechanism with an information system through an application called the Marriage Management Information System (Simkah) as an effort to simplify the recording mechanism and overcome the frequent falsification of data. As an implication, a Marriage Card is issued as an additional proof of marriage outside the Marriage Book. In discussing the mechanism of recording through Simkah and the urgency of issuing a Marriage Card, a statutory approach and comparison with SPPIM and Marriage Certificates in Malaysia are carried out to obtain the results of the need for the issuance of a Marriage Card as an implication of registering marriages through Simkah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dio Bintang Gidete
"Penetapan Pengadilan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN.Jkt.Sel berkaitan dengan pencatatan perkawinan tidak sah memiliki implikasi hukum yang signifikan. Penetapan ini berdampak pada status hukum pasangan yang melaksanakan perkawinan serta akibat hukum yang timbul dari perkawinan antaragama. Putusan tersebut seolah-menunjukan bahwa suatu pengakuan perkawinan dari negara dapat diberikan meskipun belum tentu perkawinan tersebut sah. Secara hukum suatu perkawinan yang tidak sah dari sudut pandang hukum mempengaruhi hak dan kewajiban kedua pihak. Hal ini mencakup hak-hak terkait harta bersama, pewarisan, anak yang lahir, serta hak-hak lain yang terkait dengan status perkawinan mereka. Analisis dalam studi ini menunjukkan bahwa akibat hukum dari pencatatan perkawinan yang dinyatakan tidak sah meliputi pembatalan status hukum perkawinan yang telah tercatat, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak sebagai sebagai suami istri yang menjadi subjek perkara. Selain itu, aspek sosial dan psikologis dari ketidaksahteraan yang dialami oleh pihak-pihak yang terlibat juga menjadi perhatian penting. Studi ini menyoroti pentingnya kejelasan hukum terkait prosedur pencatatan perkawinan dan perlindungan hukum bagi individu yang terlibat dalam perkawinan antaragama yang dinyatakan tidak sah. Implikasi hukum yang dihasilkan dari Putusan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN.Jkt.Sel menjadi bagian dari diskusi lebih lanjut dalam merevisi kebijakan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan serta perlindungan hukum bagi individu yang terkena dampak dari ketidakpastian hukum atas perkawinan mereka. Dalam konteks sosial, putusan ini juga menggaris bawahi pentingnya kesadaran akan hukum dan prosedur hukum terkait perkawinan. Melalui pemahaman yang lebih baik tentang implikasi hukum dari pencatatan perkawinan yang tidak sah, masyarakat diharapkan dapat menghindari permasalahan hukum yang kompleks dan potensial merugikan di masa depan.

Court Determination Number 508/Pdt.P/2022/PN.Jkt.Sel regarding the registration of invalid marriages has significant legal implications. This determination has an impact on the legal status of couples whose marriages are invalid according to applicable law in Indonesia, especially in the South Jakarta area. The ruling shows that registration of marriages that are invalid under the law can have detrimental consequences. Legally, a marriage that is invalid in the eyes of the court affects the rights and obligations of both parties. This includes rights related to joint property, child custody, and other rights related to legal marital status. The analysis in this study shows that the legal consequences of registering an invalid marriage include the cancellation of the legal status of a registered marriage, the rights and obligations of both parties who are the subject of the case, as well as the implications for the status of children born from the marriage. Apart from that, the social and psychological aspects of the ill-being experienced by the parties involved are also important concerns. This study highlights the importance of legal clarity regarding marriage registration procedures and legal protection for individuals involved in invalid marriages. The legal implications resulting from Decision Number 508/Pdt.P/2022/PN.Jkt.Sel are part of further discussions in revising policies and legislation relating to marriage registration as well as legal protection for individuals affected by illegitimate marriages. In a social context, this decision also underlines the importance of awareness of the law and legal procedures related to marriage. Through a better understanding of the legal implications of invalid marriage registration, it is hoped that society can avoid complex and potentially detrimental legal problems in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>