Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Suciati
Abstrak :
ABSTRAK
Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia menjadi sebuah harapan baru bagi para korban dan keluarganya yang tengah menanti keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Akan tetapi, sejauh ini pengadilan ini dinilai kurang memberikan kepuasan atau bahkan gagal dalam memenuhi tututan keadilan. Di sisi lain, munculnya hybrid courts dalam tatanan hukum pidana internasional diharapkan mampu mengakhiri praktek impunitas dan menjadi alternatif baru ketika negara dianggap tidak mau atau tidak mampu unwilling or unable menyelesaikan kasus-kasus kejahatan internasional yang terjadi di wilayahnya. Skripsi ini membahas mengenai komparasi mekanisme pendirian pengadilan HAM ad hoc di Indonesia dan hybrid courts didirikan, yang mana sama-sama merupakan pengadilan ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan sumber data sekunder berupa studi kepustakaan melalui buku-buku dan jurnal ilmiah, serta menggunakan sumber bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan instrumen-instrumen hukum internasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam proses pendirian Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia, terdapat unsur campur tangan DPR sebagai lembaga politik yang banyak memunculkan perdebatan tentang kewenangan DPR yang seolah-olah turut menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM dalam suatu kasus. Di sisi lain, hybrid courts memiliki model-model tertentu dalam pendiriannya yang tak lepas dari campur tangan organisasi internasional. Akan tetapi, bagaimanapun model maupun mekanisme dalam pembentukan suatu pengadilan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM, diperlukanlah kehendak dan kerjasama dari negara yang bersangkutan. Bagi Indonesia pun, segala kekurangan dalam mekanisme pendirian Pengadilan HAM ad hoc tersebut bukanlah suatu penghalang dan seharusnya menjadi dorongan kuat bagi pembuat kebijakan untuk mengembangkan mekanisme dan memperbaiki loopholes dalam instrumen hukum yang telah ada, sehingga Indonesia mampu menjadi negara berdaulat yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan penegakan HAM dalam negerinya.
ABSTRACT
The existence of ad hoc human rights court in Indonesia granted a new expectation for the victims and the families who are still hoping for justice upon gross violation of human rights happened in the past. So far, the court is considered to give less satisfactory or even it is considered failed in fulfilling the demands of justice. On the other hand, hybrid courts emerged in the order of transitional justice with a high expectation to eradicate impunity and such a new alternative when a state is considered to be unwilling or unable to bring the perpetrator of international crimes to justice. This thesis analyzes the comparison on the establishment of an ad hoc human rights court in Indonesia and hybrid courts. The research conducted in this thesis is using a juridical normative approach with secondary data in the form of literature study books and journals , and primary legal materials in the form national regulations and international legal instruments. The results of the analysis showed that in the process of establishing an ad hoc Human Rights Court in Indonesia, there is an element of interference from the House of Representatives DPR as a political institution that raises the debate about the authority of the House of Representatives DPR which seems to contribute in determining whether or not human rights violations committed in a case. On the other hand, hybrid courts have certain models in its establishment that cannot be separated from the interference of international organizations. However, regardless of the model or mechanism in the establishment of a court for cases of human rights violations, the will and cooperation of the concerned state are extremely required. For Indonesia, any shortcomings in the mechanism of the establishment of the ad hoc Human Rights Court shall not be a barrier and must be a strong impetus for decisions makers to develop mechanisms and fix the loopholes in the existing legal instruments, thus Indonesia can become a sovereign state that can solve its own enforcement human rights issues.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asifa Kurnia Putri
Abstrak :
ABSTRACT
Penyalahgunaan kekuasaan negara pada beberapa rezim pemerintahan melalui aparat-aparatnya menghasilkan beberapa bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Terlebih lagi, pengabaian penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM juga dilakukan oleh negara. Hal ini mengakibatkan munculnya reaksi sosial non-formal berupa gerakan sosial yang yang dikenal dengan ldquo;Aksi Kamisan rdquo; atau ldquo;Aksi Payung Hitam. rdquo; Gerakan ini muncul untuk menuntut dan mendorong negara menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Dalam hal ini, penelitian berfokus pada penyelesaian tiga kasus secara hukum, yaitu Trisakti, Semanggi 1, dan Semanggi 2. Pada dasarnya, gerakan ini bertujuan untuk mengungkap kebenaran, mencari keadilan dan menolak lupa atas berbagai pelanggaran berat HAM masa lalu dan kekerasan yang terjadi secara terus-menerus. Berbagai upaya yang dilakukan korban/keluarga korban untuk mencari keadilan didampingi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, salah satunya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan KontraS dalam melakukan advokasi. Dengan menggunakan metode penelitian in-depth interview yang melibatkan beberapa stakeholder, peneliti berusaha untuk menjelaskan mengapa hingga 11 tahun umur Aksi Kamisan masih belum dapat mencapai keberhasilan. Dilihat dari beberapa indikator perubahan reformasi hukum, penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakberhasilan upaya advokasi oleh Aksi Kamisan menandakan ketidakefektifan reformasi hukum yang berdampak kepada ketidakefektifan gerakan sosial.
ABSTRACT
Abuse of powers in some government regimes through its apparatus produced some form of crime against humanity. As a further matter, the state also neglected the settlement of gross human rights violation cases, resulting an informal social reaction in the form of social movement known as ldquo Aksi Kamisan rdquo or ldquo Aksi Payung Hitam. rdquo This movement insists and urges the state to solve gross human right violation cases of the past. This study focuses on the settlement of three legal cases, namely Trisakti, Semanggi 1, and Semanggi 2. In principle, Aksi Kamisan aims to reveal the truth, seek justice, and refuse to forget the gross human rights violations and perpetual violence that happened in the past. Various efforts have been made by victims families of victims accompanied by several NGOs, including KontraS, to seek justice, for example doing advocacy in several institution. Using an in depth interview method involving several stakeholders, researcher attempts to explain why Aksi Kamisan which has been running for 11 years met with no success. Based on some indicators of legal reform, this study shows that unsuccessful advocacy by Aksi Kamisan indicates the ineffectiveness of legal reforms that lead to the ineffectiveness of social movements.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library