Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008
333.2 DUA (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alirman Sori
"Jaminan kepastian hukum hak hak atas tanah diperlukan untuk menciptakan keadilan penguasaan tanah di dalam suatu negara. Dengan demikian tidak boleh ada konsentrasi penguasaan tanah dimana sekelompok kecil orang menguasai sebagian besar tanah, sementara sebagian besar orang hanya menguasai tanah yang sempit. Untuk menciptakan keadilan, penataan hak hak atas tanah juga perlu untuk memberikan kepastian hak hak atas tanah.Selama ini, ketidakpastian hak hak atas tanah telah pula menjadi sumber konflik dan sengketa pertanahan yang tidak berkesudahan."
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2018
342 JKTN 009 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Oka Setiawan
"ABSTRAK
Penelitian ini bersifat kualitatif yang dilakukan di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis Daerah Tingkat II Kabupaten Karangasem, Bali. Pemilihan ini dida­sarkan atas pertimbangan bahwa di daerah ini, desa masih memegang peranan dalam mengatur hak penguasaan atas tanah adat, tetapi dengan berlakunya HTN tanah adat telah ada berubah menjadi tanah pribadi. Masalah yang dikaji adalah perubahan hak penguasaan atas tanah adat yang berakibat terhadap peranan desa.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa tidak ada bidang tanah di wilayah desa ini dimiliki oleh warganya sebagai tanah milik pribadi yang dapat diperhunakan secara bebas oleh yang bersangkutan. Mereka menempatkan kepemilikan semua bidang tanah di wilayah itu menjadi milik desa, dengan sebutan tanah milik desa atau Tanah Adat. Wilayah ini dikua­sai dan diatur oleh desa dengan hak ulayat (prabumian desa). Bidang-bidang Tanah Adat yang berada di atas prabumian desa itu diberi nama dan dapat dimanfaatkan oleh warganya secara pribadi dengan Hak Milik Individu Terikat (HMIT), secara kelompok dan secara kelembagaan(desa atau pura) dengan Hak Milik Komunal (HMK)."
2002
D1097
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrissa Iswandari
"ABSTRAK
Menghadapi gejala yang menunjukkan semakin menurunnya dominasi harga minyak bumi di pasaran dunia, maka Indonesia yang selama ini merupakan negara yang menggantungkan sumber devisanya dari ekspor minyak dan gas bumi, mulai menggiatkan pembangunan di sektor pertanian, sub-sektor perkebunan terutama sejak PELITA III yang lalu. Salah satu usaha untuk merealisasikan harapan meraih devisa dari sumber non migas adalah dengan mengadakan kegiatan pengembangan perkebunan dengan mempergunakan pola Perusahaan Inti Rakyat dengan lokasi terutama pada daerah-daerah transmigrasi di luar pulau. Jawa, Madura dan Bali. Ketentuan yang menjadi dasar hukum untuk pengembangan proyek Perkebunan Inti Rakyat tersebut adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomer 1 Tahun 1986 tanggal 3 Maret 1986 tentang Pengembangan Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti. Rakyat Yang Dikaitkan Dengan Program Transmigras1. Dalam pelaksanaan Perkebunan Inti Rakyat, yang menjadi unsur penting adalah pembangunan Kebun Inti dan Kebun Plasma: Kebun Inti merupakan kebun milik Perusahaan Perkebunan Besar baik milik Swasta maupun Pemerintah. Kedudukan Perusahaan Perkebunan tersebut adalah sebagai pelaksana dan Pengelola proyek Perkebunan Inti Rakyat. sedangkan kebun plasma merupakan areal yang akan menjadl milik masing-masing petani peserta yang eligible. Pengembangan budi daya dalam proyek tersebut, pada umumnya merupakan tanaman-tanaman keras ; seperti : karet dan kelapa sawit. Peranan PTP yang menjadi Perusahaan Inti meliputi kegiatan pembinaan terhadap calon petani peserta hingga pengolahan dan pemasaran hasilnya. Pelaksanaan proyek Perkebunan Inti Rakyat mengharapkan terciptanya suatu kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan serta terasa adanya usaha " alih teknologl " ( transfer of technology ) dari Perusahaan Perkebunan kepada pekebun-pekebun tradisional. Sebagaimana yang biasa terjadi dalam suatu pembangunan, maka proyek pengembangan Perkebunan Inti Rakyat Khusus juga menghadapi masalah-masalah. Salah satu masalah yang terjadi di lokasi Perkebunan Inti Rakyat Khusus I Ketahun, kabupaten Bengkulu Utara adalah dalam hal penyediaan tanah untuk pengembangan proyek karena pada prinsipnya proyek Perkebunan Inti Rakyat tldak mengenal acara pembebasan tanah atau tidak menyediakan pembayaran ganti rugi kepada pemilik atau penguasa yang tanahnya terkena proyek."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrul Ibrahim
"Kebijakan penguasaan tanah skala besar untuk pembangunan perumahan
dan permukiman merupakan kebijakan Pemerintah ORDE BARU yang berbasis
paradigma pertumbuhan ekonomi telah mendorong investor menanam modalnya di
sektor perumahan dan permukiman. Konsekuensi Iogis dari kebijakan tersebut
menciptakan kemudahan pengembang memperoleh tanah dalam ukuran yang Iuas,
tumbuhnya perumahan baru serta hunian skala kota baru.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perumusan kebijakan
penguasaan tanah skala besar untuk pembangunan perumahan dan permukiman
telah sesuai dengan amanat UUPA 1960. Kemudian, apakah implementasi kebijakan
tingkat operasional teiah memberikan manfaat bagi pelaku pembangunan,
mendorong produktivitas tanah dan pengembangan wilayah di Kabupaten Bekasi.
Selanjutnya, rekomendasi apa saja yang diperlukan bagi penyempurnaan kebijakan
tersebut agar Iebih baik.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, bersifat explanatif - evaluasi dan
memakai landasan teori hirarki kebijakan (Bromley, 1989) dengan studi kasus di
Kabupaten Bekasi.
Kebijakan penguasaan tanah skala besar untuk pembangunan perumahan
dan permukiman telah gagal mencapai sasaran yang telah diamanatkan oleh UUPA.
Namun menghasilkan dampak positif terhadap program pembangunan dan
permukiman di satu pihak dan dilain pihak menguntungkan bagi pengembang skala
besar serta merugikan secara sosial - ekonomi bagi pemilik tanah dan masyarakat
sekitar, serta menambah beban dan tanggung jawab baru bagi Pemerintah
Kabupaten Bekasi. Kegagalan kebijakan terletak pada Pemerintah itu sendiri, dan
tidak efektifnya pelaksanaan di Iapangan.
Ketidakberhasilan kebijakan dimaksud disebabkan (a) sistim pemerintahan
yang sentralisasi, (b) perumusan peraturan pelaksanaan UUPA yang kurang
memadai, (c) Implementasi kebijakan yang kurang mempertimbangkan efisiensi,
pemerataan, perlindungan hukum, transparan dan (d) kegagalan Pemerintah.
Rekomendasi bagi penyempurnaan kebijakan yang lebih baik melalui peningkatan
kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah: pertama, menyempurnakan dan
melengkapi peraturan perundang-undangan terkait; gay, memberikan
kewenangan yang besar urusan pertanahan kepada Pemerintah Daerah; dan ketiga,
menyempurnakan sistim administrasi kebijakan di bidang perizinan, pengawasan dan
penertiban, komunikasi dengan pengembang, sosialisasi peraturan dan
pengembangan kelembagaan di tingkat operasional."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3087
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aziza Adlien Nabila
"Tanah garapan adalah tanah kosong dan kemudian adanya penguasaan secara fisik tanpa adanya dasar hak yang resmi, notaris tidak akan membuat akta mengenai tanah garapan karena penggarap tidak punya hak apa pun terhadap tanah tersebut. Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang bagaimana keabsahan surat pernyataan hak tanah garapan dan kewenangan notaris berkaitan dengan surat pernyataan oper hak atas tanah garapan berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 122PK/PDT/2019. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, penelitian ini menggunakan metode analisis data secara deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah Berdasarkan bukti kepemilikan tanah yang dimiliki oleh pemegang surat keterangan tanah/surat keterangan penguasaan tanah yang diterbitkan oleh Lurah/Kepala Desa yang disahkan oleh Kecamatan setempat berdasarkan Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dikategorikan sebagai alas hak yang diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah dan Kewenangan Notaris melakukan waarmerking, merupakan tindakan hukum notaris atau pejabat umum lainnya yang berwenang menurut Undang-Undang, untuk mencatat dan mendaftarkan akta kontrak di bawah tangan yang telah dibuat oleh para pihak dalam daftar buku waarmerking yang disediakan khusus untuk itu sesuai dengan urutan yang ada.
......Cultivated land is empty land and then there is physical control without any legal rights basis, the notary will not make a deed regarding the cultivated land because the cultivator does not have any rights to the land. This research raises the problem of how the validity of the statement of cultivated land rights and the authority of a notary in relation to the operative statement on cultivated land based on the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia number 122PK/PDT/2019. To answer this problem, this study uses a normative juridical approach. In this study using secondary data consisting of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials, this study used a descriptive data analysis method with a qualitative approach. The results of this study are based on evidence of land ownership owned by the holder of a land certificate/certificate of land tenure issued by the Lurah/Village Head which is legalized by the local District based on Article 7 paragraph (2), and Article 39 of Government Regulation Number 24 of 1997. Regarding Land Registration, it can be categorized as the basis of rights filed as the completeness of the application for land rights and the Notary's Authority to perform waarmerking, is a legal action for a notary or other public official who is authorized according to law, to record and register contract deeds under the hands of those who have made by the parties in the waarmerking book list specially provided for it in accordance with the existing order."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Mahur
"ABSTRAK
Semua orang di muka bumi ini menyadari akan makna dan peranan tanah dalam kehidupannya. Bagi petani di pedesaan tanah mempunyai beberapa nilai dari yang paling abstrak sampai yang paling konkrit. Nilai tanah itu bagi petani dapat bersifat ekonomis dan kesejahteraan, sosial dan yuridis, serta religius.
Saat ini, di Indonesia banyak permasalahan yang timbul berkaitan dengan tanah umumnya dan pengelolan tanah khususnya. Permasalahan tanah ini di Indonesia merupakan salah satu isu nasional yang krusial dan kompleks. Ada empat hal penting mengenai tanah yang perlu ditangani segera, terutama di luar pulau Jawa yaitu (1) sistem klasifikasi tanah yang belum menjamin penggunaan tanah secara optimal, baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungan, (2) begitu banyaknya instansi yang terlibat dan berkepentingan dengan Perencanaan Tata Guna Tanah sementara itu data mengenai penggunaan tanah cenderung tersentralisasi dan tidak tersedia di propinsi yang berwenang membuat keputusan tentang penggunaan tanah; (3) kendala yang dihadapi petani kecil dan migran dalam mendapatkan tanah pertanian baru yang cocok dan (4) kesulitan proyek-proyek pembangunan dalam mengidentifikasikan dan mendapat tanah usaha dalam skala yang dibutuhkan, selain karena klaim dari masyarakat setempat, juga karena adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi.
Pada dasarnya, permasalahan tanah itu timbul karena interaksi, interelasi dan adaptasi manusia atas tanah semakin kuat dan intensif. Karena itu dalam mengkaji permasalahan tanah dan pengelolaannya tidak terlepas dari manusia itu sendiri, sebagai unsur utama dalam lingkungan hidup. Ada dua hal yang esensial yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani yaitu sistem budaya para petani tersebut dan kebijaksanaan pemerintah mengenai pengelolaan tanah. Pada kajian ini kebudayaan dan kebijaksanaan pemerintah yang disoroti hanyalah mengenai insentif dan disinsentif. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 tahun 1982, bahwa insentif dan disinsentif dapat digunakan untuk meningkatkan pemeliharaan lingkungan hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Permasalahan pokok tulisan ini adalah bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengelola tanahnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, mencapai tujuan-tujuannya dan mendapat ketentraman hidupnya, dalam kondisi lingkungan hidup yang senantiasa berubah. Dari permasalahan tersebut muncul dua pertanyaan yakni : (1) faktor-faktor apa yang mempunyai hubungan dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan Satar Mese, dan (2) bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Tujuan umum kajian ini ialah mengetahui bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengantisipasi perubahanperubahan yang terjadi pada lingkungannya, yang tercermin pada sistem, pola dan cara pengelolaan tanah yang dipakai dan dikembangkannya. Secara khusus tujuan kajian ini ialah : (1) untuk mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani; dan (2) untuk memaparkan bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Adapun hipotesis kerja yang menjadi sasaran telaahan ini adalah : (1) insentif dan disinsentif mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah; (2) insentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (3) disinsentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (4) insentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; dan (5) disinsentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah.
Data untuk kajian ini terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder didapat melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Data primer diperoleh dari 100 responden dari kelima desa sampel. Pengumpulannya lewat wawancara berstruktur dan wawancara mendalam. Sesuai dengan rancangan yang digunakan yaitu Survei Deskriptif Kualitatif, maka data diolah dan dianalisis dengan tabel sederhana, tabel silang dan uji statistik berupa Koefisien Kontingensi (KR) dan Kai Kuadrat.
Hasil studi ini memperlihatkan bahwa para petani di kecamatan Satar Mesa mempunyai kearifan dan kebijakan ekologis yang khusus mengenai pengelolaan tanah. Hal ini selain tampak pada asas dan dasar hukum mengenai sistem, pola dan cara pengelolaan tanah, juga terbukti pada tingkat keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah.
Asas dan dasar hukum pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini bertumpu pada dan merupakan pengejawantahan dari pandangan dan cita-cita hidupnya yaitu Prinsip Sosial Kolektivitas, Prinsip Keselarasan dan Keseimbangan, dan Prinsip Musyawarah Mufakat. Ketiga prinsip hidup yang demikian itu berimplikasi selain pada cara, pola dan wawasan berpikirnya dalam berinteraksi, berinterelasi dan beradaptasi dengan lingkungan hidupnya, juga terutama pada sikap, perilaku, aktivitas dan tindakannya sehari-hari pada tanah. Penguasaan tanah dalam bentuk Lingko dan tobok, yang umumnya belum mempunyai surat bukti hak yang kuat; penggunaan tanah berupa ladang, sawah, pekarangan dan hutan; dan pengerjaan tanah dengan pola usaha tani dan teknologi pertanian yang relatif sederhana dan cenderung mentradisi, memancarkan sikap dan perilaku, kemampuan dan upaya para petani dalam menyesuaikan diri dengan kondisi tanah yang dikuasainya.
Pada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan tanah, kearifan dan kebijakan ekologis para petani itu ditunjukkan oleh besarnya nilai Koefisien Kontingensi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah, yang semuanya termasuk dalam katagori sedang yaitu 0,58, 0,46, 0,40 dan 0,37; ini berarti hubungan antara kedua peubah itu masing-masing relatif erat dan kuat. Signifikansi hubungan tersebut berada pada taraf 1 % dan 5 %. Oleh karena itu ketentuan Pasal 8 Undangundang Nomor 4 tahun 1982 merupakan ketentuan yang tepat dan bijak, sehingga perlu dipertahankan dan diperluas ruang lingkup berlakunya.
Namun bila ditelaah secara mendalam, tampak bahwa keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif budaya lebih kuat daripada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan, penggunaan dan pengerjaan tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa insentif dan disinsentif budaya tetap merupakan faktor penting dan menjadi acuan serta pedoman utama para petani di kecamatan ini dalam menguasai, menggunakan dan mengerjakan tanahnya. Karena itu dalam memasukkan inovasi baru yang berhubungan dengan pengelolaan tanah di kecamatan Satar Mese perlu memperhatikan dan mepertimbangkan kearifan dan kebijakan ekologis yang dimiliki dan dikembangkannya, agar inovasi itu tidak menjadi mubazir dan menimbulkan gejolak sosial. Untuk itu pandangan dan pendapat Julian Steward dan John Bennet, Glinka dan Boelars, Murphey dan Kleden cukup aktual dan masih relevan untuk diperhatikan dalam seluruh kebijaksanaan mengenai tanah umumnya dan pengelolaan tanah khususnya di Indonesia.

ABSTRACT
All people in this world realize the meaning and the role of land in their life. For the peasants in the village, land has some values, ranging from the concrete value to the abstract one. The value of a strip of land, can be economical, prosperous, sociological, juridical, and religious.
However, nowadays, many problems in accordance with the land in general and its management in particular arise in Indonesia. The land problem itself has been one of the crucial and complex national issues. There are four important points on such problem requiring immediate solutions, especially for outside Java. They are (1) the system of land classification which have not ensured land use optimally, viewed from both economical and environmental aspects; (2) the involvement of too many instances, having vested interest in the land use planning, while land use data tend to be centralized and in available in the provinces which have the authority to make decisions on the land use; (3) the smallholders and migrants have constraints in getting new favorable agriculture land; and (4) the development projects have difficulties in identifying and acquiring cultivable land in the required scale. It is caused not only by local land claims but also by government policy pertaining to the obligation to pay land compensation.
In principle, the land problem is caused by the presence of interaction, interrelation and adaptation among people which is getting more intense and intensive. Therefore, to analyze land problem and its management issue can not be separated from the people themselves as the main component of the environment. There are two essential things having much to do with the land management employed by the peasants, i.e. the cultural system of the peasants themselves and the government policy on the land management. This analysis will focus its concern on the incentive and the disincentive of the culture and the government policy. It is based on article 8 of the Act No.4 of 1982, stipulating that incentive and disincentive can be used to improve the maintenance of environment, to prevent, and to abate environmental damage and pollution.
The main issue of this writing is the investigation of how the peasants in sub district of Satar Mese deal with their land in order to fulfill their needs, to achieve their goals, and to obtain their life tranquility in this ever-changing environment. From such problem might arise two questions as follows. (1) What are the factors having relation to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in sub district of Satar Mese? (2) How is the relations of the incentive and the disincentive? of culture and government policy to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in this sub district?
The general aim of this study is to know how the peasants in this sub district anticipate the changes occurring in the environment and being manifested in the system, the pattern and the method of land management they use and develop. The specific aims are : (1) to know and to identify the factors having relation to the land management employed by the peasants; and (2) to describe how the relation is of incentive and disincentive from a culture and a government policy to the land management employed by the peasants in this sub district.
The hypothesis are : (1) incentive and disincentive as viewed from both culture and government policy, have a close relation to the land management employed by the peasants, (2) a culture incentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (3) a culture disincentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (4) an incentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants; (5) a disincentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants.
The data used in this writing consist of secondary and primary ones. The secondary data were obtained from documents and library research. The primary ones were obtained from a hundred respondents from five villages as the samples. Such data were collected through a well-designed structural and deep interviews. Since the research design used here was qualitative descriptive survey, then the primary data processing and analyzing used simple and cross tabulations, and simple statistical test of Contingency. Coefficient and Chi Square (X2).
The result of this study shows that the peasants in Satar Mese sub district have a unique ecological wisdom and intelligence in dealing with the land management. Such characteristic is not only apparent in the principle and the legal basis of the system, the pattern, and the method of the land management employed by the peasants, but also clearly seen in the tightness and the level of significance of the relationship of incentive and disincentive and the management, occupation, use and cultivation of the land employed by the peasants.
In this sub district such principle and legal basis of the land management were realized and based on the peasants way and concepts of life such as Social-Collectivity, Balance and Harmony, and Togetherness Principles. Such principles imply not only in their way of thinking, thought pattern, and insight into interacting, interrelating and adapting toward their environment, but also their attitudes, behaviors, and daily activities upon the land. The latter implications are clearly seen in the systems of land occupation as "Lingko" and "Tobok" which have no certificates; the patterns of land use which are only for dry and wet-rice field, yard and forest; and the method of land cultivation with simple farming system, pattern, and technology which tend to be a tradition. All these practices reflect their attitudes, behaviors, abilities and efforts in adapting themselves to the conditions of land they occupy.
The afore-mentioned unique ecological wisdom and intelligence of the peasants are indicated by Contingency Coefficient and Chi Square numbers on the tightness and the level of significance of the relations of incentive and disincentive to the land management. The Contingency
Coefficient numbers of relations of incentive and disincentive to the management, occupation, use, and cultivation of the land are all in medium categories, i.e. 0,58, 0.48, 0.40, and 0,37; meaning that relations between those two variables are close and strong. For that reason, article 8 of the Act No_4 of 1982 is effective and acceptable, and it needs to be maintained and more widely applied.
Nevertheless, if we analyze more thoroughly, it will be apparent that the tightness and the level of significance of incentive and disincentive relations of the culture is closer than that of the government policy. Based on that statement, the incentive and disincentive of the culture remain important factors, and become the main reference and guiding factors for the peasants in occupying, using and cultivating their land in this sub district. So, in introducing and adopting a new innovation in the land management for the peasants, we must pay attention on and consider the characteristic of the ecological wisdom and intelligence they have and develop, unless such innovation become useless, fruitless, and lead to a social movement. In relation to this analysis, the opinions and the views of Julian Steward, John Bennet, Glinka and Boelars, Kleden, and Murphey are still actual, relevant, and should be taken into account in making decisions and policies on the land and its management in Indonesia.
List of Literature :86 (from 1955 to 1991).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvin Maulani Ma`ruf
"

Tesis ini membahas perihal kedudukan pemegang sertipikat hak guna bangunan yang telah habis jangka waktu haknya dan mengenai keabsahan pengusaan tanah oleh pihak lain. Persoalan berupa bagaimana kedudukan, tanggung jawab serta hak dan kewajiban dari pemegang hak atas tanah berupa hak guna bangunan yang dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara yang belum dibalik nama dan telah habis jangka waktu haknya. Sehingga ada pihak lain yang mendaftarkan tanah tersebut ke BPN Bekasi. Namun tanah tersebut tidak bisa didaftarkan karena tanah tersebut telah terdaftar sertipikah hak guna bangunan atas nama PT Jembatan Kencana Raya yang serkarang sertipikatnya dipegang oleh PT Pertani (Persero) yang diperoleh sebagai penyertaan modal dari pemerintah. Dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor  102/PK/TUN/2018 menolak gugatan dari penggugat yitu Tuan Liyas yang memiliki Surat garap dan keterang dari desa. Tesis ini bersifat yuridis normatif. Tipe penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian deskriptif analitis, dengan hasil akhirnya akan diperoleh hasil penelitian dengan bentuk deskriptif analitis. Dalam analisa kasus ini terdapat kelalaian dari pemegang sertipikat hak guna bangunan dalam hal pertanggung jawaban, penguasaan dan pemanfaatan lahan. serta saran agar setiap asset Badan Usaha Milik Negara harus mendata seluruh asset tanah yang dimiliki dan melaksanakan kewajibannya mendaftarkan dan membalik nama asset-asset tanahnya.

 


This thesis discusses the position of the holder of the title of the building right that has expired and the validity of the acquisition of land by another party. The issue is in the form of the position, responsibilities and rights and liabilities of the holders of land rights in the form of building rights owned by a State-Owned Enterprise that have not been reversed by name and have expired. So there are other parties who register the land with the BPN Bekasi. However, the land cannot be registered because the land has been registered with a building right under the name of PT Jembatan Kencana Raya, which is now held by PT Pertani (Persero) which is obtained as capital participation from the government. In the Judicial Review Number 102 / PK / TUN / 2018 rejected the lawsuit from the plaintiff namely Mr. Liyas who has a letter of cultivation and rejection from the village. This thesis is normative juridical. This type of research used in this thesis is a descriptive analytical study, with the final result will be obtained by research results with a descriptive analytical form. In the analysis of this case there was negligence from the holder of the certificate of building use rights in terms of accountability, tenure and land use. as well as suggestions that each State-Owned Enterprise asset should list all land assets owned and carry out its liability to register and reverse the names of its land assets.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Vania
"Akta otentik merupakan suatu alat bukti yang sempurna si pengadilan bagi beberapa perjanjian maupun perbuatan hukum, seperti perbuatan hukum melepaskan ataupun menguasai tanah. Tesis ini membahas kekuatan hukum akta otentik dalam penguasaan hak atas sebidang tanah bekas eigendom verponding, dan peran Notaris dalam pembuatan akta tersebut. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi eksplanatoris dan preskriptif.
Kesimpulan penelitian adalah akta otentik yang dijadikan sebagai alat bukti tertulis di pengadilan dapat dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum, karena terdapat cacad hukum dalam pembuatannya. Akta otentik yang telah dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum tidak dapat dijadikan dasar bagi seseorang untuk menguasai tanah. Hal seperti ini dapat terjadi sebagai akibat dari kelalaian Notaris. Hasil penelitian menyarankan agar Notaris dapat lebih teliti dan disiplin dalam pembuatan akta, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga akta tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sepurna di pengadilan.

Authentic deed is a perfect evidence in court for multiple agreements and legal acts, such as legal actions remove or control the land. This thesis discusses the force of law in the authentic deed of a parcel of land tenure rights of the former eigendom verponding, and the role of the Notary in the manufacture of such deed. This research is normative explanatory.
Research conclusions are authentic documents which serve as written evidence in court can be declared invalid and null and void, because there are legal defect in the making. Authentic documents that have been declared invalid and null and void can not be used as the basis for a person to control the land. Things like this can happen as a result of negligence Notary. The results suggest that deed can be more rigorous and disciplined in the manufacture of deed, in accordance with laws and regulations, so that the deed can be used as the perfect evidence in scourt."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28170
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>