Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heru Purwanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22521
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Juang Nirboyo
"Tesis ini membahas pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 melalui perbandingan dengan lembaga sejenis KPK di negara lain, yaitu CPIB Singapura dan ICAC Hongkong dengan mengambil best practices dari pengelolaan SDM KPK negara lain tersebut. Permasalahan yang diangkat adalah a) kondisi kepegawaian Penyidik KPK sebelum dan sesudah Undang-Undang tersebut, dan b) pengalihan status Penyidik KPK menjadi Pegawai Negeri Sipil yang mampu merepresentasikan independensi dan profesionalitas kerja serta menunjang penegakan hukum pemberantasan korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan bahan utama data sekunder melalui penelusuran literatur. Adapun pendekatan analisis dengan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: a) kondisi kepegawaian sebelum Undang-Undang tersebut Penyidik KPK terdiri atas Pegawai Tetap dan Pegawai Negeri yang Dipekerjakan sedangkan setelah Undang-Undang tersebut terdiri atas Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Polri; b) Transplantasi model penyidik pada CPIB Singapura dan ICAC Hongkong dapat dimasukkan dalam rumusan Jabatan Fungsional Penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sedang dalam proses penyusunan dan pembahasan oleh KPK dengan instansi terkait. Bersamaan dengan pembentukan Jabatan Fungsional Penyidik Tipikor, dalam rangka mewujudkan independensi Penyidik KPK, maka kemandirian KPK dapat diimplementasikan melalui komposisi Penyidik KPK antara Penyidik yang bersumber dari Pegawai Tetap yang telah beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Polri dengan perbandingan sebesar 80% : 20%.

This thesis discusses the transfer of employee status to the Corruption Eradication Commission (KPK) after the enactment of Law Number 19 of 2019 through comparisons with institutions similar to KPK in other countries, namely CPIB Singapore and ICAC Hong Kong by taking best practices from the HR management of the KPK in other countries. The issues raised are a) the staffing conditions of KPK investigators before and after the law, and b) the status transfer of KPK investigators to civil servants who are able to represent work independency and professionalism and support law enforcement to eradicate corruption. The research method used is normative juridical, with the main material being secondary data through literature searches. The analysis approach is qualitative. The results of the study show that: a) the conditions of employment before the Act KPK investigators consisted of Permanent Employees and Employed Civil Servants while after the Act consisted of Civil Servants and Members of the Police; b) Transplantation of the investigator model at the Singapore CPIB and Hong Kong ICAC can be included in the formulation of the Functional Position of Corruption Crime Investigator (Tipikor) which is in the process of being drafted and discussed by the KPK with relevant institutions. Along with the establishment of the Functional Position of Corruption Investigator, in order to realize the independency of KPK Investigators, the independency of the KPK can be implemented through the composition of KPK Investigators between Investigators originating from Permanent Employees who have turned into Civil Servants and Police Officer with a ratio of 80%: 20%."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohmad Nursahid
"Tesis ini adalah tentang hubungan Penyidik Polri dengan Jaksa dalam kegiatan penyidikan di Polsek X. Perhatian utama kaiian ini adalah pada hubungan fungsionai dan instansional penyidik dan penyidik pembantu di Polsek X dalam melakukan penyidikan dengan Jaksa Penuntut Umum Kejaksan Negeri Tangerang.
Tujuan dalam tesis ini adalah untuk menunjukkan hubungan Penyidik Polri dengan Jaksa dalam rangka penyeiesaian penyidikan yang selanjutnya dapat dilakukan penuntutan pada sidang pengadilan. Masalah penelitian ini adalah hubungan Penyidik Polri dengan Jaksa dalam rangka penyelesaian penyidikan pada tingkat poisek, yang teroermin dalam hubungan individual Penyidik Polri dengan Jaksa Penuntut Umum yang oenderung melakukan kolusi.
Dalam mengkaji hubungan Penyidik Polri dengan Jaksa dalam kegiatan penyidikan digunakan pendekatan kwalitatif dengan metode etnograi, yang dilakukan dengan cara pengamatan, pengamatan terlibat dan wawancara dengan pedoman.
Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa tidak semua tindak pidana yang rdilaporkan oleh warga masyarakat yang menjadi korban kejahatan dilanjutkan ke kejaksaan. Kasus yang dilanjutkan ke kejaksaan apabila tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, korbannya Iuka berat atau meninggal dunia, merupakan atensi pimpinan dan masyarakat Serta mass media.
Hubungan Penyidik Polri dengan Jaksa dimulai dari dikirimnya Surat pemberitahuan penyidikan sampai dengan penyerahan tersangka dan barang bukti seteiah mendapatkan surat keterangan ke iengkapan berkas perkara dengan kode P- 21. Hubungan penyidik Polri dengan Jaksa juga dilakukan diluar kegiatan penyidikan yang merupakan gejala sosial yang dilakukan sebagai makhluk sosial. ubungan ini sebagai kelanjutan hubungan antafa Penyidik Polri dengan Jaksa secara pribadi, tindakan ini dilakukan untuk menjalin dan menjaga hubungan baik, agar apabila pengiriman berkas selanjutnya berjalan Iancar (berkas tidak bolak-baiik)."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T5042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Altuti
"Tulisan ini membahas tiga rumusan masalah utama, yaitu: pertama, apakah penyidikan dalam tindak pidana khusus dapat dilakukan penyidik sebagaimana disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); kedua, apakah penyidikan pada sektor jasa keuangan yang bersifat khusus dapat dilakukan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian; dan ketiga, bagaimana akibat hukum Putusan MK Nomor 59/PUU-XXI/2023 terhadap kewenangan Penyidik Pejabat Kepolisian dan Penyidik Pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal yang bersifat kualitatif, dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam melakukan penyidikan berdasarkan ketentuan KUHAP, terdapat dua jenis penyidik yaitu Penyidik Pejabat Polisi dan Penyidik PNS. Namun, setelah adanya UU P2SK, muncul permasalahan yang diajukan oleh Para Pemohon dalam permohonan ke MK Nomor 59/PUU-XXI/2023. Lebih lanjut, hasil penelitian menemukan bahwa putusan tersebut menghalangi tujuan pembentukan Penyidik OJK untuk mengembangkan perekonomian nasional, khususnya di sektor jasa keuangan. Penelitian ini juga menemukan bahwa penyidikan dalam tindak pidana khusus dapat dilakukan oleh penyidik sebagaimana disebutkan dalam KUHAP, tetapi penyidikan yang bersifat khusus tidak dapat dilakukan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian berdasarkan ketentuan Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK. Akibat hukum dari Putusan MK Nomor 59/PUU-XXI/2023 adalah perubahan frasa dalam Pasal 49 ayat (5) dari "hanya dapat" menjadi "dapat," yang berdampak pada kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian dan Penyidik Pejabat OJK.

The paper discusses three main problems, namely: first, whether investigations in special criminal offenses can be carried out by investigators as stated in the Criminal Procedure Code; second, whether investigations in the financial services sector which are special in nature can be carried out by Police Officer Investigators; and third, what are the legal consequences of Constitutional Court Decision Number 59/PUU-XXI/2023 on the authority of Police Officer Investigators and Financial Services Authority Officer Investigators. This research uses a qualitative doctrinal research method, with data collection through literature study. Secondary data in this study consists of primary, secondary, and tertiary legal materials. The results showed that in conducting investigations based on the provisions of the Criminal Procedure Code, there are two types of investigators, namely Police Officer Investigators and Civil Servant Investigators. However, after the existence of the P2SK Law, problems arose that were raised by the Petitioners in the petition to the Constitutional Court Number 59/PUU-XXI/2023. Furthermore, the research found that the decision hinders the purpose of establishing Financial Services Authority Officer Investigators. Investigators to develop the national economy, especially in the financial services sector. This research also found that investigations in special criminal offenses can be carried out by investigators as mentioned in the Criminal Procedure Code, but special investigations cannot be carried out by Police Officer Investigators based on the provisions of Article 49 Paragraph (5) of the PPSK Law. The legal effect of the Constitutional Court Decision Number 59/PUU-XXI/2023 is a change in the phrase in Article 49 paragraph (5) from "can only" to "may," which has an impact on the authority to investigate by Police Officer Investigators and OJK Officer Investigators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfahmi
"Tesis ini membahas pengaturan dan mekanisme serta pelaksanaan penyidikan kembali terhadap perkara yang dihentikan penyidikannya dengan alasan ditemukannya bukti baru. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menyarankan perlunya pengaturan yang tegas dalam undangundang mengenai penyidikan kembali perkara yang pemah dihentikan penyidikannya dengan alasan ditemukannya bukti baru; perlunya mekanisme pengeluaran Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang transparan dan SP3 tersebut dapat memberi kepastian hukum serta keadilan bagi tersangka.

The focus of this study is arrangement and mechanism with implementation reinvestigation on the case already dismissed its investigation by reason finding new evidence. This research is qualitative descriptive interpretive.
The researcher suggests that be needed a clear arrangement in legislation about reinvestigation on the case already dismissed its investigation reinvestigation on the case already dismissed its investigation by reason finding new evidence; be needed mechanism Letter of Command Dismissed Investigation with transparent and its be able to give certainty of law with justice for suspected."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T37427
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ridwan
"Tujuan hukum kepailitan adalah melakukan pemenuhan atas tagihan yang belum dibayarkan oleh debitur pailit. Demi mencapai tujuan tersebut, UUKPKPU memberikan kewenangan dan tugas kepada kurator, tugas kurator meliputi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Namun, tugas serta kewenangan kurator tersebut tidak akan berjalan apabila berbenturan dengan kewenangan penyidik yang melakukan penyitaan atas barang milik debitur pailit yang menjadi harta pailit. Permasalahannya ialah ketika kurator akan melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit milik debitur, tetapi ternyata harta tersebut masuk dalam status sita oleh pihak kepolisian, apakah kurator memiliki kewenangan untuk melakukan tugasnya tersebut dan bagaimana keabsahan tindakan pemberesan harta pailit oleh kurator apabila dikemudian hari harta pailit terbukti berasal dari tindak pidana.
Dalam menganalisis kedua masalah ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pada akhirnya penulis menyimpulkan, terkait dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 202 PK/Pdt.Sus/2012, kurator memiliki kewenangan secara menyeluruh untuk melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit sedangkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 156K/Pdt.Sus, tugas dan kewenangan kurator menjadi terhambat, bukan pada tugas pengurusannya tetapi pada tugas pemberesan karena harta pailit berada didalam sitaan pihak kepolisian. Mengenai keabsahan tindakan pemberesan kurator apabila dikemudian hari harta pailit terbukti berasal dari tindak pidana, tindakan pemberesan tersebut tetaplah sah sepanjang dilakukan berdasarkan UUKPKPU dan peraturan terkait lainnya.

The objective of the bankruptcy law is to fulfill the credit that has not been paid by the bankrupt debtor. In order to achieve these objectives, Bankruptcy Act provides authority and duties to the Receiver, the task of the Receiver includes the management and disposition of bankrupt properties. However, the duty and authority of the Receiver will not work if it collides with the authority of the investigator who seizes the property of a bankrupt Debtor who becomes a bankrupt property. The question is when the execution of the authority for the property Receiver of the bankrupt Debtor, which turns out that the goods entered in the confiscation status by the Police, whether the Receiver has the authority to make arrangements and liquidation of the bankrupt property of the Debtor and how the legitimacy of the act of securing bankruptcy by the Receiver if in the future a bankrupt property is proven to be derived from a crime.
In analyzing both of these problems, the author used normative juridical research methods. In the end, the author concludes that in relation to Supreme Court Decision Number 202 PK Pdt.Sus 2012, the Receiver still has the authority to perform the task of handling and ordering of bankrupt property while in Supreme Court Decision Number 156 K Pdt.Sus, the Receiver's authority and duty becomes impeded, not on the task of handling it but rather to the duties of liquidation because the bankruptcy is in the confiscation of the police. Regarding the validity of the Receiver's remedial action if in the future the bankrupt property is proven from a criminal act, such remedy is still valid as long as it is done based on Bankruptcy Act and prevailing regulations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Paramaswara
"Persoalan korupsi di Indonesia ini juga menjadi salah satu jenis kejahatan yang sangat sulit dideteksi karena melibatkan kerjasama dengan pihak lain dan sudah mengakar yang tertuang dalam praktik obstruction of justice. Oleh karena itu, diperlukan analisis mendalam mengenai hal tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan peran penyidik Polri dalam melakukan penegakan hukum terhadap obstruction of justice sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Teori yang dipergunakan adalah teori kriminalisasi, teori kesengajaan, teori penegakan hukum, dan teori peran. Metode penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan kulitatif. Data yang dipergunakan adalah data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara, dan data sekunder yang diproleh melalui studi dokumen. Teknik analisis data mempergunakan metode triangulasi data yang
ditindaklanjuti dengan reduksi data, sajian data dan verifikasi data.
Hasil penelitian menunjukkan alasan delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena adanya pertentangan terhadap asas yang fundamental dalam hukum pidana, yang mana berbagai bentuk pertentangan ini berupa segala upaya yang dilakukan dalam bentuk pembangkangan terhadap fungsi instrumentasi asas legalitas karena dianggap menunda, menghalangi, atau mengintervensi aparat penegak hukum yang sedang memproses saksi, tersangka, atau terdakwa dalam suatu perkara dalam proses peradilan yang sering terjadi dalam peradilan tindak pidana korupsi, sehingga keberadaan peraturan obstruction of justice secara jelas tertuang di dalam penjelasan lebih lanjut di dalam pengarutan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Peran penyidik Polri dalam penanganan obstruction of justice pada tindak pidana korupsi selama ini kurang maksimal karena selama ini penyidik cenderung mengesampingkan adanya tindak pidana lain (obstruction of justice) yang menyertai penyidikan kasus korupsi tersebut, penyebabnya adalah karena mereka merasa cukup kelelahan di dalam penyidikan tindak pidana korupsi sehingga mereka dengan tidak sengaja mengesampingkan adanya tindaka obsruction of justice yang ada disekelilingnya.

The problem of corruption in Indonesia has also become a type of crime that is very difficult to detect because it involves cooperation with other parties and is deeply rooted in the practice of obstruction of justice. Therefore, an in-depth analysis is needed on this matter. The purpose of this study is to analyze the offense of obstruction of justice as a crime regulated in the Corruption Act and the role of Polri investigators in enforcing the law against obstruction of justice as referred to in Article 21 of the Corruption Crime Eradication Act.
The theories used are criminalization theory, intentional theory, law enforcement theory, and role theory. This research method was carried out through a qualitative approach. The data used are primary data obtained through observation and interviews, and secondary data obtained through document studies. The data analysis technique used the data triangulation method which was followed up with data reduction, data presentation and data verification.
The results of the study show that the reason for the offense of obstruction of justice to become a crime regulated in the Corruption Crime Act is due to the conflict with the fundamental principles of criminal law, in which various forms of conflict are in the form of all efforts made in the form of defiance of the function of the instrumentation principle. legality because it is considered to delay, obstruct, or intervene in law enforcement officials who are processing witnesses, suspects, or defendants in a case in the judicial process which often occurs in corruption trials, so that the existence of obstruction of justice regulations is clearly contained in a further explanation in drafting the Corruption Crime Act. The role of Polri investigators in handling obstruction of justice in corruption crimes has so far not been optimal because investigators have tended to rule out the existence of other crimes (obstruction of justice) accompanying the investigation of these corruption cases, the reason is because they feel quite exhausted in investigating criminal acts. corruption so that they unintentionally rule out the obstruction of justice that surrounds them.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Wananda
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kondisi faktual pada penyidik anak terkait dengan kompetensi yang mereka miliki. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya kasus yang menimpa anak sebagai korban maupun sebagai pelaku tindak kejahatan. Sehingga penyidik anak baik dari segi jumlah maupun kompetensi menjadi suatu keniscayaan. Penelitian menggunakan konsep Kompetensi yang merujuk pada Zwell, yang diantaranya mencakup elemen task achievement (TA), managerial (M) dan leadership (L). Dengan pendekakatan kualitatif dan Teknik pengumpulan data wawancara dan studi dokumen, penelitian dilakukan dengan mewawancarai Penyidik Anak, Pimpinan Penyidik Anak, dan Bagian Sumber Daya Manusia di Polda Metro Jaya. Setelah melakukan triangulasi sebagai metode analisis dan verifikasi data, penelitian menunjukkan hasil bahwa kompetensi penyidik di PMJ dinilai kurang memadai dari segi task achievement (TA), managerial (M) dan leadership (L). Meskipun rasio jumlah penyidik dengan kasus masih dinilai memadai, akan tetapi kompetensi yang kurang mengakibatkan penyelesaian kasus berjalan lambat dan tidak efektif. Pelatihan yang kurang menjadi faktor penyebab. Untuk itu peneliti menyarankan agar POLRI melakukan pemberdayaan dengan pelatihan secara rutin dan melibatkan stakeholder eksternal, baik Kejaksaan, Hakim maupun lembaga professional di bidang psikologi anak.

This study aims to examine the factual conditions of child investigators related to their competencies. This is due to the increasing number of cases that afflict children as victims and as perpetrators of crime. So that child investigators both in terms of numbers and competence are a necessity. This research uses the concept of competence which refers to Zwell, which includes elements of task achievement (TA), managerial (M) and leadership (L). With a qualitative approach and techniques for collecting interview data and document study, the research was conducted by interviewing child investigators, the head of child investigators, and the human resources division at Polda Metro Jaya. After triangulating as a method of data analysis and verification, the study showed that the competence of investigators at PMJ was considered inadequate in terms of task achievement (TA), managerial (M) and leadership (L). Although the ratio of the number of investigators to cases is still considered adequate, the lack of competence has resulted in slow and ineffective case resolution. Inadequate training is a contributing factor. For this reason, researchers suggest that POLRI conduct empowerment through regular training and involve external stakeholders, both the Attorney General's Office, Judges and professional institutions in the field of child psychology."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Nuranisha Pratiwi
"Salah satu aspek penting dalam pembangunan hukum adalah peningkatan profesionalisme penyidik. Meskipun data menunjukkan peningkatan dalam penyelesaian kasus, namun masih menghadapi tantangan berupa tingginya jumlah tunggakan kasus dan ketidakseimbangan distribusi tugas. Di Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, terdapat masalah besar terkait ketersediaan dan pengembanganpersonel, seperti jabatan kosong, personel tanpa jabatan tetap, serta banyaknya penyidik yang belum mengikuti pelatihan dan sertifikasi yang diperlukan. Proses penyidik bersertifikasi juga mengalami keterlambatan, menunjukkan perlunya perbaikan alokasi sumber daya manusia dan pelaksanaan pelatihan untuk memastikan kualitas dan efektivitas penyidik. Tujuan penelitian ini adalah untukmenganalisis evaluasi kompetensi penyidikbersertifikasi di Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi penyidik bersertifikasi di Bareskrim Polri. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kompetensi, teori total quality service, konsep syarat penyidik Polri, konsep penyidik bersertifikasi, dankonsep kualitas kompetensi penyidik Polri. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif denganmetode penelitian eksploratif. Hasil penelitian inimenunjukkan bahwa evaluasi kompetensi penyidikbersertifikasi di Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menunjukkan kontribusi besarprogram ini dalam meningkatkan kompetensi, profesionalisme, akuntabilitas, dan etika kerjapenyidik. Namun, efektivitas pelaksanaannya masihdihadapkan pada berbagai tantangan, sepertiketerbatasan akses, minimnya pelatihan komunikasidan koordinasi, serta implementasi hasil sertifikasiyang belum optimal. Faktor pendukung sepertimotivasi kerja, gaya kepemimpinan yang mendukung, dan budaya organisasi yang kolaboratif perludiperkuat, sementara hambatan berupa kurangnyasarana dan pembaruan kurikulum harus segera diatasi. Dengan penyempurnaan penyidik bersertifikasi yang lebih terstruktur, akses yang diperluas, dan fokus pada keterampilan praktis, kompetensi penyidikan dapatditingkatkan, sehingga kepercayaan publik terhadapPolri semakin kokoh.

One important aspect in legal development is improving the professionalism of investigators. Although data shows an increase in case resolution, it still faces challenges in the form of a high number of backlogs and an imbalance in the distribution of tasks. In the Directorate of General Crimes of the Criminal Investigation Unit of the Indonesian National Police, there are major problems related to the availability and development of personnel, such as vacant positions, personnel without permanent positions, and many investigators who have not undergone the necessary training and certification. The process of certified investigators has also been delayed, indicating the need to improve the allocation of human resources and the implementation of training to ensure the quality and effectiveness of investigators. The purpose of this study is to analyze the evaluation of the competence of certified investigators in the Directorate of General Crimes of the Criminal Investigation Unit of the Indonesian National Police and to analyze the factors that influence the competence of certified investigators in the Criminal Investigation Unit of the Indonesian National Police. The theories used in this study are the theory of competence, the theory of total quality service, the concept of requirements for police investigators, the concept of certified investigators, and the concept of the quality of competence of police investigators. This type of research is qualitative research with an exploratory research method. The results of this study indicate that the evaluation of the competence of certified investigators at the Directorate of General Crimes of the Criminal Investigation Unit of the Indonesian National Police shows a major contribution of this program in improving the competence, professionalism, accountability, and work ethics of investigators. However, the effectiveness of its implementation is still faced with various challenges, such as limited access, minimal communication and coordination training, and less than optimal implementation of certification results. Supporting factors such as work motivation, supportive leadership style, and collaborative organizational culture need to be strengthened, while obstacles in the form of lack of facilities and curriculum updates must be addressed immediately. By improving the certification program to be more structured, expanding access, and focusing on practical skills, investigative competence can be improved, so that public trust in the Indonesian National Police becomes stronger."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>