Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gita Ardi Lestari
"ABSTRAK Terbentuknya FPDA sebagai kerjasama pertahanan keamanan di kawasan Asia Tenggara yang sudah berlangsung lama, dilatarbelakangi dengan adanya konfrontasi pada Malaysia oleh Indonesia. Sejak dibentuk tahun 1971, FPDA yang beranggotakan Malaysia, Singapura, Inggris, Australia, dan Selandia Baru terus menerus meningkatkan kapabilitas militer kolektif dalam skema IADS atau Integrated Area Defence System. Berkembangnya hubungan antar aktor menunjukkan bahwa Indonesia tidak lagi menjadi negara yang agresif sebagaimana sebelum FPDA dibentuk. Namun demikian eksistensi FPDA terus ada dan semakin berkembang. Tulisan ini membahas perubahan persepsi ancaman Indonesia terhadap eksistensi FPDA pada konteks persepsi ancaman. Temuan menunjukkan bahwa budaya dialog di Asia Tenggara lewat ASEAN dan upaya menjaga kestabilan kawasan lewat skema kerjasama bilateral maupun trilateral menjadikan persepsi ancaman menjadi nihil. Selain itu, Indonesia tidak lagi melihat FPDA sebagai ancaman karena Indonesia tidak lagi melakukan kebijakan ofensif melainkan melakukan kebijakan yang mengutamakan kestabilan kawasan dan perdamaian.
ABSTRACT Establishment of FPDA as an agreement of defence and security among United Kingdom, Malaysia, Singapore, Australia, and New Zealand since 1971. The confrontation from Indonesia to Malaysia under Soekarno's governance show the offensiveness and aggresitivity, thus created the FPDA's establishment. FPDA after years of its establishment shows the expansion of its capabilities through the development of its military activities also military instruments. This writing explores the changing threat perception from Indonesia's persceptive toward existence of FPDA. The writing explores the approach of threat perception context to see the dynamics of threat perception among the entities. the findings of analysis stated that FPDA can not be seen as a threat for Indonesia. Indonesia in the other side, build its peace and stabilization effort towards its region and to other entities as well. The changing of threat perception also followed by the fact that through billateral and trilateralism, Indonesia has created several cooperation than focus on insecurity.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T52287
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raja Nathania Olga Letticia
"Dewan Perwakilan Rakyat RI DPR RI telah mengesahkan revisi Undang-Undang Antiterorisme, pasca serangan Bom Surabaya pada bulan Mei 2018 lalu. Revisi UU ini merupakan bentuk eskalasi respon terhadap ancaman ISIS di Indonesia, dengan diperluasnya definisi terorisme sebagai ancaman terhadap keamanan negara, serta memberikan wewenang kepada Polri untuk melakukan tindakan pencegahan. Tulisan ini melakukan analisis wacana atas eskalasi respon ancaman ISIS tersebut, dilihat dari faktor fondasi demokrasi dan karakteristik terorisme yang berubah. Dengan menggunakan metode analisis wacana, tulisan ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi ancaman dengan kebijakan kontra-terorisme negara. Tulisan ini juga akan melihat retorika-retorika yang dipakai terkait ancaman tersebut, yang kemudian menyebabkan situasi genting, sehingga mendorong keberterimaan dari audiens publik.

The House of Representatives DPR RI has ratified the revision of the Antiterrorism Act, in the aftermath of Surabaya bombing in May 2018. The revision of the Act is a form of escalating the response to ISIS threats in Indonesia, with the expansion of the definition of terrorism as a threat to state security, as well as authorizing the Police to take preventive action. This paper analyzes the discourse on the escalation of the ISIS threat response, judging by the factors of democratic foundation and changing characteristics of terrorism. By using discourse analysis method, this paper aims to see the relationship between threat perception and state counter terrorism policy. This paper will also analyze the rhetoric used in relation to the threat, which then causes a precarious situation, thus encouraging the acceptance of the public audience.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Putu Wahyu Danaparamita Dewi
"Perpindahan penduduk di zaman ini tidak terelakkan. Di satu sisi, hal ini dapat berdampak positif bagi perkembangan ekonomi di sebuah wilayah. Namun di sisi lain, secara psikologis, banyaknya kelompok pendatang dapat berpotensi menimbulkan gesekan antar kelompok, yang salah satunya disebabkan oleh adanya persepsi bahwa eksistensi dan identitas dari kelompok lokal-mayoritas terancam akibat keberadaan kelompok pendatang. Oleh karena itu, untuk menjaga keharmonisan antar kelompok, penting untuk memahami upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan outgroup attitude yang positif.
Penelitian ini berusaha melihat pengaruh persepsi ancaman terhadap outgroup attitude. Lebih lanjut, penelitian ini juga ingin melihat peran multikulturalisme dan polikulturalisme dalam memoderasi hubungan antara persepsi ancaman dan outgroup attitude. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, 302 partisipan yang merupakan masyarakat Hindu-Bali dengan rentang usia 18 ndash; 64 tahun, dilibatkan dalam penelitian ini.
Hasil utama penelitian menunjukkan bahwa persepsi ancaman memiliki hubungan yang negatif dan signifikan dengan outgroup attitude B = -0,50, 95 CI [-0,6, -0,39], p < 0,01. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa polikulturalisme dapat memoderasi hubungan antara persepsi ancaman dan outgroup attitude secara signifikan B = -0.29, 95 CI [-0.49, -0.09], p < 0.01. Namun demikian, tidak ditemukan efek yang signifikan pada multikulturalisme dalam memoderasi hubungan antara persepsi ancaman dan outgroup attitude B = 0.08, 95 CI [-0.10, 0.25], p > 0.05.
Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi ancaman yang dipersepsi individu, maka semakin negatif outgroup attitude atau sikap yang ia tunjukkan kepada kelompok luar. Selain itu, hasil analisis moderasi menunjukkan bahwa polikulturalisme merupakan salah satu ideologi budaya yang efektif dalam menanggulangi dampak persepsi ancaman terhadap outgroup attitude.

In todays world, migration is inevitable. On the one side, this phenomenon has positive impact for the economic development of that respective region. But on the other side, from the perspective of psychology, this massive amount of immigrants could potentially give rise to intergroup conflict, due to the perception that local majority group rsquo s existence and cultural identity are being threatened because of the immigrants presence. Therefore, to maintain intergroup harmony, it is essential to understand how positive outgroup attitude could be developed.
This study aimed to examine the effect of threat perception on outgroup attitude. Furthermore, this study also seek to understand the role of multiculturalism and polyculturalism in moderating the effect of threat perception on outgroup attitude. To answer these questions, 302 participants of Balinese Hindu people with the age range of 18 ndash 64 years, are involved in this study.
The result of this study found that threat perception has negative and significant relationship with outgroup attitude B 0,50, 95 CI 0,6, 0,39, p 0,01. This study also found that polyculturalism can significantly moderate the relationship between threat perception and outgroup attitude B 0.29, 95 CI 0.49, 0.09, p 0.01. However, there is no significant moderating effect found of multiculturalism on the relationship between threat perception and outgroup attitude B 0.08, 95 CI 0.10, 0.25, p 0.05.
These results may indicate that the higher the threat an individual perceives, their outgroup attitude toward other groups would also be more negative. Moreover, moderation analysis shows that polyculturalism is one of cultural ideology that could effectively overcome the impact of threat to outgroup attitude.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salama
"Pada bulan Juni 2017, Arab Saudi bersama negara teluk lainnya Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir secara tiba-tiba memutuskan hubungan diplomatik mereka dengan Qatar. Namun, penulis berasumsi bahwa pemutusan hubungan secara sepihak oleh Arab Saudi tidak sepatutnya dilakukan karena Qatar sudah menjadi negara yang kooperatif dengan segala peraturan yang diberikan. Dengan Qatar yang sudah menjalankan Kesepakatan Riyadh, seharusnya hal tersebut dapat menjadikan pertimbangan bagi Arab Saudi dalam mengambil kebijakan untuk tidak memutuskan hubungan diplomatik secara sepihak. Maka dari itu dalam penelitian ini, pertanyaan penelitian yang akan dimunculkan adalah mengapa Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Qatar? Dengan tujuan dari penelitian ini yakni untuk memahami alasan dibalik pemutusan hubungan diplomatik Arab Saudi terhadap Qatar. Di dalam menganalisa penelitian ini, penulis menggunakan Teori Persepsi Ancaman Stephen M. Walt dan Teori Mispersepsi dari Robert Jervis, kedua teori ini digunakan untuk menganalisa alasan dibalik pemutusan hubungan dilomatik yang dilakukan Arab Saudi terhadap Qatar. Penulis menggunakan dua variabel dari Walt yakni aggregate power dan offensive intentions untuk menganalisa kapabilitas kekuatan dan agresivitas Qatar sehingga terbentuknya persepsi ancaman. Sedangkan, Teori Persepsi dan Mispersepsi Jervis digunakan untuk menjelaskan persepsi pembuat kebijakan Arab Saudi terhadap prilaku Qatar yang dinilai berbahaya. Penulis menemukan bahwa pemutusan hubungan diplomatik ini disebabkan oleh ketakutan Arab Saudi atas peningkatan dan kapabilitas Qatar di kawasan yang mengakibatkan terbentuknya persepsi ancaman. Kebijakan Arab Saudi ini diakibatkan dari kurangnya informasi yang didasari oleh desire dan fear, ini berpengaruh terhadap pembuat keputusan Arab Saudi yang pada akhirnya tidak mempertimbangkan faktor lain hanya bergantung kepada wishful thinking bahwa hubungan serta tindakan Qatar dengan Iran, Ikhwanul Muslimin, dan Al Jazeerah merupakan bentuk ancaman keamanan bagi negaranya. Pada akhirnya, kurangnya informasi serta keinginan untuk salah mengartikan informasi tentang kemampuan dan niat Qatar menciptakan misperception di dalam pembentukan persepsi selektif Arab Saudi.

In June 2017, Saudi Arabia along with other Gulf countries such as Bahrain, the United Arab Emirates and Egypt suddenly cut off their diplomatic ties with Qatar. However, the author assumes that the unilateral termination of diplomatic relations by Saudi Arabia should not be carried out because Qatar has been really cooperative with all the regulations given. In fact, Qatar has been obedient with the Riyadh Agreement, this should be able to make a consideration for Saudi Arabia in taking a policy not to unilaterally broke off the diplomatic relationship. Therefore, the research question that will be used in this paper is why did Saudi Arabia cut its diplomatic relations with Qatar? With the objective to understand the reasons behind the severance of Saudi Arabia's diplomatic relations with Qatar. In analyzing this research, the writer uses Stephen M. Walt's Threat Perception Theory and Robert Jervis' Perception and Misperception Theory, both of these theories are used to analyze the reasons behind Saudi Arabia's termination of diplomatic relations with Qatar. The author uses two variables from Walt, namely aggregate power and offensive intention to analyze Qatar's strength and aggressiveness capabilities so as to form threat perceptions. Meanwhile, Jervis's Theory of Perception and Misperception is used to explain the perceptions of Arab Saudi policymakers of Qatar's dangerous behavior. The author finds that this diplomatic crisis was due to Saudi Arabia's fear of Qatar's capabilities in the region. Saudi Arabia’s policy resulted from a lack of information based on desire and fear, this affected Saudi Arabian decision makers who ultimately did not consider other factors, only depending on wishful thinking that Qatar's relations and actions with Iran, the Muslim Brotherhood, and Al Jazeerah were a form of threat to its security. Ultimately, the lack of information and the desire to misrepresent Qatar's capabilities and intentions created misperception in the formation of Saudi Arabia's selective perceptions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ravelto Wangistu
"ABSTRAK
Penelitian kali ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi diskriminasi terhadap dual identity yang dimoderasi dengan persepsi ancaman pada mahasiswa Tionghoa di Indonesia. Terdapat dua hipotesis dalam penelitian ini. Hipotesis pertama adalah terhadap hubungan yang signifikan antara persepsi diskriminasi dengan dual identity. Sedangkan, hipotesis kedua adalah persepsi ancaman dapat memoderasi hubungan antara persepsi diskriminasi dengan dual identity. Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa sarjana yang bersuku Tionghoa (N = 183). Pengujian hipotesis dilakukan menggunakan teknik statistika korelasi multiple regression, dan Hayes Process. Berdasarkan hasil penelitian, hipotesis pertama penelitian ini ditolak. Sedangkan, hipotesis kedua penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang signifikan antara persepsi diskriminasi dengan persepsi ancaman (F(4,178) = 3.0776, p < .05), dengan R2 sebesar 0.0647). Nilai dual identity menurun sebesar 0.046 untuk setiap peningkatan satu poin dari interaksi antara persepsi diskriminasi dengan persepsi ancaman.Hal ini membuktikan bahwa persepsi ancaman dapat memoderasi hubungan antara persepsi diskriminasi dan dual identity.

The aim of this study is to examine the relationship between perceived discrimination to
dual identity moderated by perceived threat on Chinese-Indonesian Scholar. Participant
of this studies are Chinese-Indonesian Scholar who study on bachelor’s degree (N = 183).
The statistical technique which been used are correlation, multi regression, and Hayes
Process. The result of analysis show that perceived threat significantly moderates the
relations between perceived discrimination and dual identity (F(4,178) = 3.0776, p < .05),
with R2 = 0.0647). Higher perceived discrimination and perceived threat score lead to
lower dual identity score and vice versa.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur`aini Azizah
"Gerakan makar merupakan gerakan yang mengancam kedaulatan negara. Seiring dengan berkembangnya radikalisme dan ekstremisme agama, benih-benih gerakan makar berbasis agama juga mulai tumbuh. Studi-studi sebelumnya sudah mengkaji faktor struktural dari gerakan makar yang lebih banyak berfokus pada strategi kekerasan. Disertasi ini bertujuan untuk mengkaji faktor motivasional dari gerakan makar nirkekerasan berbasis agama melalui kerangka teori pencarian signifikansi yakni model 3N (needs, narratives, dan networks). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif yang terdiri dari 3 studi. Studi 1 dengan metode studi kasus pada 21 mantan anggota kelompok makar berbasis agama (Negara Islam Indonesia) menunjukkan bahwa terdapat dinamika interaksi 3N dalam proses individu untuk terlibat dalam gerakan makar nirkekerasan. Studi 2A dengan metode survey kuantitatif pada 221 partisipan menunjukkan bahwa kebutuhan kebermaknaan (needs) berperan dalam memprediksi intensi makar yang yang dimediasi oleh fundamentalisme agama (narratives) dan jejaring radikal (networks). Lebih lanjut, Studi 2B pada 815 partisipan menunjukkan bahwa terdapat mekanisme yang berbeda dari interaksi 3N pada makar nirkekerasan versus kekerasan. Pada intensi makar nirkekerasan, gairah harmonis berpengaruh dalam hubungan antara jejaring radikal dan intensi makar nirkekerasan. Selain itu, persepsi ancaman simbolik juga berperan dalam hubungan antara fundamentalisme agama dan intensi makar nirkekerasan. Sedangkan pada intensi makar kekerasan, gairah obsesif berperan dalam pengaruh jejaring radikal terhadap intensi makar kekerasan. Berdasarkan 3 studi yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa model 3N dapat menjelaskan gerakan makar berbasis agama yang dipengaruhi oleh persepsi ancaman dan gairah ideologis.

Insurgency is a movement that threatens the sovereignty of the state. Along with the development of religious radicalism and extremism, the seeds of religious-based insurgency also began to grow. Previous studies have examined the structural factors of insurgency which have focused more on violent strategies. This dissertation aims to examine the motivational factors of religious-based nonviolent insurgency through the theoretical framework of Significance Quest Theory, namely the 3N model (needs, narratives, and networks). This study uses qualitative and quantitative methods consisting of 3 studies. Study 1 using the case study method on 21 former members of a religion-based insurgency (Negara Islam Indonesia) shows that there is a dynamic of 3N interaction in the process of individuals being involved in nonviolent insurgency. Study 2A using a quantitative survey method on 221 participants showed that need for significance play a role in predicting insurgency intentions mediated by religious fundamentalism (narratives) and radical networks. Furthermore, Study 2B on 815 participants showed that there are different mechanisms of 3N interaction in nonviolent versus violent insurgency. In nonviolent insurgency intentions, harmonious passion influences the relationship between radical networks and nonviolent insurgency. Symbolic threat perceptions also play a role in the relationship between religious fundamentalism and violent insurgency intentions. Meanwhile, in the violent insurgency, obsessive passion plays a role in the influence of radical networks on the violent insurgency intention. Based on the 3 studies conducted, it can be concluded that the 3N model can explain the religion-based insurgency behavior that is influenced by perceived threats and ideological passions. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boma Baswara
"Pandemi COVID-19 diikuti dengan fenomena prasangka terhadap tenaga kesehatan dan banjir informasi di media terkait penyakit tersebut. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk melihat efek perbedaan jenis pesan (IV) pada prasangka
terhadap tenaga kesehatan (DV) dengan mediasi persepsi ancaman realistis dan simbolis (M). Pesan dalam penelitian ini dimanipulasi pada aspek format pesan (naratif, statistik) dan ancaman yang ditekankan dalam pesan (realistis, simbolis).
Penelitian dilakukan secara survei-eksperimental daring between-subject. Partisipan penelitian berjumlah 550 orang warga daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Partisipan secara acak dikelompokkan ke dalam salah satu kondisi, yaitu pesan statistikal, naratif ancaman realistis, naratif ancaman simbolis, dan satu kelompok kontrol. Setelah membaca teks stimulus penelitian, dilakukan pengukuran pada tingkat persepsi ancaman COVID-19 dan juga prasangka terhadap tenaga kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok dalam kondisi naratif ancaman simbolis memiliki prasangka terhadap tenaga kesehatan yang lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok lainnya. Selain itu, tidak ditemukan efek perbedaan format pesan dan peran mediasi persepsi ancaman COVID-19 dalam pembentukkan prasangka terhadap tenaga kesehatan. Hasil ini mengindikasikan bahwa pesan tentang penyakit tidak selalu mengaktivasi mekanisme behavioral immune system (BIS), namun juga memiliki potensi untuk mendeaktivasi mekanisme BIS, bergantung pada penekanan gambaran dampak penyakit di dalam pesan.

The COVID-19 pandemic is followed by cases of prejudice against healthcare workers and informations flooding in the media about the disease. This research was conducted to examine the effects of message type (IV) on prejudice against healthcare workers (DV) mediated by realistic dan symbolic threat perceptions (M). Message type was manipulated in two aspects, which were message format (narrative, statistical) and the threats emphasized in the message (realistic,
symbolic). Online between-subject survey-experimental design was employed to 550 participants resided in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek) areas. Participants were randomly assigned into one of four conditions which were statistical message, realistic threat-narrative message, symbolic threat-narrative message and control gorup. After reading the stimulus, their COVID-19 threat perception and prejudice level on healthcare workers were measured. Result showed that the group exposed to symbolic threat-narrative message had significantly lower prejudice compared to the other conditions. Moreover, there was no significant difference between message format. The mediating role COVID-19 threat perception in forming prejudice against healthcare workers did not showed as well. This result indicates that information about diseases can both activate behavioral immune system mechanism (BIS) and deactivate the mechanism, depending on the emphasis put on the disease impacts pictured in the message.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggie Wijaya
"Sampai pada hari ini etnis Tionghoa tidak terlepas dari berbagai prasangka dan sentimen. Mereka dipandang eksklusif, berpengaruh dalam ekonomi, dan diragukan nasionalismenya. Sosialisasi menggunakan media melalui kontak parasosial merupakan salah satu opsi untuk menunjukkan representasi etnis Tionghoa yang tidak stereotipikal. Penelitian ini menggunakan desain korelasional untuk menguji hubungan antara kontak parasosial dengan prasangka terhadap etnis Tionghoa yang dimediasi oleh kecemasan antarkelompok dan persepsi ancaman. Partisipan (N = 113) adalah Warga Negara Indonesia berusia 18 – 39 tahun (M = 23.4, SD = 4.1) yang bukan beretnis Tionghoa dan pernah menonton acara seri komedi “Cek Toko Sebelah: Babak Baru.” Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa kontak parasosial tidak mempengaruhi prasangka terhadap etnis Tionghoa baik secara langsung (b = 0.8, SE = 1.02, 95% CI [-1.24, 2.83]) maupun tidak langsung melalui kecemasan antarkelompok (b = 0.0105, SE = 0.0179, 95% CI [-0.028, 0.048]) dan persepsi ancaman (b = 0.053, SE = 0.0504, 95% CI [-0.101, 0.102]). Walaupun demikian, kontak tatap muka ditemukan secara negatif dan signifikan mempengaruhi prasangka. Penelitian ini menunjukkan bahwa kontak merupakan variabel penting untuk membangun hubungan antarkelompok yang harmonis. Penelitian selanjutnya dapat memperbaiki metode yang digunakan untuk melihat lebih baik pengaruh media terhadap persepsi antarkelompok.

To this day, Chinese Indonesian are inseparable from various prejudices and sentiments. They are seen as exclusive, influential in the economy, and their nationalism are doubted. Socialization with media through parasocial contact is one option to show a non-stereotypical representation of the Chinese Indonesian ethnicity. This study used a correlational design to examine the relationship between parasocial contact and prejudice against Chinese Indonesian mediated by intergroup anxiety and perceived threat. Participants (N = 113) are Indonesian citizens aged 18 – 39 years (M = 23.4, SD = 4.1) who are not Chinese Indonesian and have watched the comedy series “Cek Toko Sebelah: Babak Baru.” The results of the mediation analysis showed that parasocial contact did not affect prejudice against Chinese Indonesian either directly (b = 0.8, SE = 1.02, 95% CI [-1.24, 2.83]) or indirectly through intergroup anxiety (b = 0.0105, SE = 0.0179, 95% CI [-0.028, 0.048]) and perceived threat (b = 0.053, SE = 0.0504, 95% CI [-0.101, 0.102]). However, face-to-face contact was found to negatively and significantly influence prejudice. This study shows that contact is an important variable to build harmonious intergroup relations. Future research can improve the methods used to better see the influence of media on intergroup perceptions."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakia Shafira
"Skripsi ini merupakan analisis salah satu faktor di balik kekalahan Donald Trump dalam pemilihan presiden 2020 yang bertepatan dengan momentum pandemi COVID-19. Prioritas terhadap penanganan COVID-19 dengan upaya medis dan ilmiah di dalam negeri masih menjadi aspek yang utama bagi warga negara, lebih besar daripada sekadar membendung penyebaran virus dari luar melalui sekuritisasi migrasi dan kecenderungan tajam pada nasionalisme—yang diunggulkan oleh Trump untuk menangani pandemi. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa restriksi migrasi, yang semakin ditarik menuju ranah politik darurat (disekuritisasi) karena COVID-19, tidak signifikan untuk memenangkan Trump di pemilihan presiden 2020. Data-data yang telah dihimpun menunjukkan bahwa tiga dari empat negara bagian yang berbatasan dengan Meksiko (California, New Mexico, dan Arizona), negara-negara bagian swing states kunci (Arizona, Georgia, Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania), dan irisan keduanya (Arizona) memberikan sebagian besar suaranya pada Biden dan Partai Demokrat. Temuan ini memperlihatkan bahwa Trump gagal untuk mempersepsikan ancaman yang riil di tengah-tengah krisis global. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data sekunder melalui studi literatur. Penelitian dilakukan dengan menggunakan teori sekuritisasi yang dapat menjelaskan prioritas penanganan COVID-19 oleh Trump yang cenderung nasionalistik dan mengedepankan kepentingan nasional, alih-alih kesehatan masyarakat. Selain itu, kekalahan Trump juga dapat dijelaskan melalui teori retrospective voting, di mana kinerja petahana selama menjabat dan opsi alternatif dari oposisi menjadi determinan kekalahan Trump.

This thesis discusses and analyses one of the contributing factors of Donald Trump’s defeat in the 2020 United States presidential election which coincided with the COVID-19 pandemic. Objective and scientific approach for COVID-19 handling at home is still citizens’ top priority albeit compensating the economy, rather than solely containing the spread from outside through migration securitisation and a sharp tendency towards nationalism—which Trump heavily relied upon. Findings reveal that migration restrictions, which are increasingly being drawn into the realm of emergency politics (securitisation) due to COVID-19 did not favour Trump for a victory in the 2020 presidential election. This is partly due to his failure to perceive the real threat amidst a global crisis. Data shows that three of the four states bordering Mexico (California, New Mexico, and Arizona), key swing states (Arizona, Georgia, Wisconsin, Michigan, and Pennsylvania), and both bordering and key swing state (Arizona) favoured Biden and the Democrats. The research was conducted using qualitative research methods with secondary data collection through literature study. Securitisation theory explains Trump’s priority in COVID-19 handling, which tends to prioritise national interests rather than public health. In addition, retrospective voting theory further explains why threat perception failure costs Trump a victory, as voters determine their preference through the incumbent’s performance during office and alternative options from the opposite candidate."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gurning, Efraim Alexander Habasaon
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara identitas sosial dengan persepsi ancaman. Identitas sosial yang digunakan adalah identitas pada kelompok Nasrani yang berdenominasi Calvinis sebagai variabel bebas dan persepsi ancaman terhadap kelompok Nasrani yang berdenominasi Kharismatik sebagai variabel terikat. Teori ancaman yang digunakan adalah Intergrated Threat Theory(ITT) dengan empat komponen yaitu symbolic threat, realistic threat, intergroup anxiety, dan negative stereotype. Penelitian ini menggunakan metode korelasional dengan jumlah responden sebanyak 100 orang. Berdasarkan uji hipotesis menggunakan metode analisis data Pearson correlation, ditemukan terdapat hubungan signifikan antara identitas calvinis dengan persepsi ancaman pada kelompok Kharismatik.

This study aims to examine the relationship between social identity and threat perception. The social identity used is the identity of the Calvinist-dominated Christian group as the independent variable and the perception of threats to the Charismatic-denominated Christian group as the dependent variable. The threat theory used is Intergrated Threat Theory (ITT) with four components, namely symbolic threat, realistic threat, intergroup anxiety, and negative stereotype. This study uses a correlational method with 100 respondents. Based on the hypothesis test using Pearson correlation data analysis method, it was found that there was a significant relationship between Calvinist identity and threat perception on the Charismatic group."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>