Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Silvina Natalia Setyoso
"Latar belakang: Refluks laringofaring LPR merupakan penyakit komorbid laringomalasia terbanyak, sehingga tata laksana laringomalasia mencakup penanganan LPR. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien, hubungan keteraturan berobat, dosis penghambat pompa proton PPI , dan faktor lain yang memengaruhi perbaikan klinis laringomalasia. Metode: Penelitian kohort retrospektif berdasarkan rekam medis. Subjek penelitian dipilih secara total sampling. Hasil: Total subjek adalah 95 rekam medis. Usia median pasien 3 bulan. Mayoritas pasien adalah lelaki, lahir cukup bulan, berat lahir cukup. Pada awal diagnosis, sebagian besar berstatus gizi baik, tidak gagal tumbuh, mengalami laringomalasia tipe 1, berderajat klinis sedang, skor gejala laringomalasia positif LSS , mengalami gejala refluks, tanpa pipa nasogastrik, tidak teratur berobat, dan mendapat PPI ge;1,0mg/kg/hari. Penyakit penyerta yang terbanyak adalah kelainan neurologi dan yang terjarang adalah penyakit refluks. Pasien yang berobat teratur mengalami perbaikan status gizi p=0,020 , derajat laringomalasia p=0,043 , nilai LSS p=0,002 , gejala refluks.

Background Laryngopharyngeal refluks LPR is laryngomalacia rsquo s most common comorbidity. Laryngomalacia management includes LPR treatment. Aim To describe the characteristics of patients, relationships of compliance, proton pump inhibitor PPI dosage, and other factors that contribute to clinical improvements. Methods Cohort retrospective study based on medical records. Subjects is recruited by total sampling. Results Total subject consists of 95 medical records. Median age is 3 months, majority are boys, born aterm, normal birth weight. Most patients are well nourished, thrive well, experienced type 1 laryngomalacia, moderate degree, positive laryngomalacia symptom score LSS , experienced reflux symptoms, did not require feeding tube, poor compliance to medication, and prescribed PPI ge 1,0mg kg day. The most common recorded comorbidity is neurologic abnormality, while the most infrequent is reflux. Good compliance is related to improvements of nutritional status p 0,020 , degree p 0,043 , LSS p 0,002 , reflux symptom p"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Amirah Amatullah
"ABSTRAK
Pembatasan industri rokok harus disertai dengan adanya pengembangan produk alternatif non-rokok berbahan dasar tembakau untuk menjamin keberlangsungan petani tembakau. Salah satu produk alternatif tersebut adalah ekstrak tembakau sebagai biopestisida dengan nikotin sebagai bahan aktifnya. Pada penelitian ini, metode ekstraksi digesti dilakukan dalam berbagai variasi suhu sementara metode refluks dilakukan dalam berbagai variasi waktu untuk mendapatkan kondisi ekstraksi nikotin yang optimum. Yield nikotin didapatkan dengan mengalikan yield ekstrak, yang merupakan perbandingan massa ekstrak terhadap bahan, dengan kadar nikotin ekstrak yang diperoleh menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatograhy). Hasil akhir menunjukkan bahwa pada ekstraksi digesti menggunakan pelarut etanol selama 2 jam, suhu yang optimal adalah 50°C dengan yield nikotin 3,92%. Sedangkan untuk ekstraksi refluks menggunakan pelarut metanol, waktu ekstraksi yang optimal adalah 6 jam yield nikotin 6,23%. Uji antifungi menunjukkan bahwa ekstrak tembakau dapat menghambat pertumbuhan fungi Aspergillus niger sehingga berpotensi sebagai fungisida. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pemicu bagi industri untuk memproduksi biopestisida berbahan baku tembakau sehingga dapat menyerap hasil panen tembakau demi keberlangsungan petani tembakau di Indonesia.

ABSTRACT
Cigarette industry’s restriction must be accompanied by development of non-cigarette, tobacco-based product to ensure the future of tobacco farmers. One of the prospective utilization of tobacco is as biopesticide with nicotine as its active ingredient. In this study, the extration method of digestion was conducted in a variety of temperatures while the reflux method was carried at a variety of extraction time to obtain the optimum condition of nicotine extraction. Nicotine yield was obtained with multplying the extraction yield by the concentration of nicotine in the extract which was obtained through HPLC (High Performance Liquid Chromatograhy). The result showed that digestion extraction using etanol for 2 hours has optimum temperature 50°C with nicotine yield of 3.92%. For reflux extraction with metanol, the optimum time is 6 hours with 6.23% yield. Antifungal test showed tobacco extract inhibited the growth of Aspergillus niger thus it could to be utilized as fungicide. It is expected that the study may trigger industries to produce tobacco biopesticides so it can utilize the harvest from tobacco farmers to sustain their livelihood."
2016
S63995
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dwi Susanto
"Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai set infla nasi. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan termasuk refluks gastroesofagus.
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) didefinisikan sebagai gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) akibat refluks abnormal isi lanibung ke dalam esofagus. Refluks gastroesofagus berhubungan erat dengan berbagai gejala dan kelainan saluran napas termasuk batuk kronik serta asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. Oster memperkirakan bahwa serangan asma mungkin disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Kekerapan penyakit refluks gastroesofagus pada asma secara pasti tidak diketahui, diperkirakan antara 34-89%.
Penelitian menunjukkan sekitar 55-82% pasien asma mempunyai gejala PRGE. Hasil pemeriksaan endoskopi pasien asma menunjukkan kekerapan esofagitis antara 27-43%. Peran pengobatan PRGE terhadap kontrol asma masih belum jelas. Pengobatan dengan antirefluks tidak konsisten dalam memperbaiki faal paru, gejala asma, asma ma'am ataupun penggunaan obat asma pada pasien asma tanpa reflux associated respiratory symptoms (RARS).
Rangkuman berbagai penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa terapi dengan obat-obat antirefluks mengurangi gejala asma, mengurangi penggunaan obat-obat asma tetapi mempunyai efek minimal atau bahkan tidak ada pada faal paru. Penghambat pampa proton (PPP) telah dikenal sebagai obat terbaik untuk tatalaksana PRGE. Penggunaan PPP pada pasien asma dengan PRGE terlihat penurunan gejala asma 43% setelah 2 bulan pengobatan serta 57% setelah 3 bulan pengobatan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Laksmi Hidayati
"Regurgitasi atau gumoh merupakan manifestasi klinis tersering refluks gastro-esofagus (RGE) pada bayi. Regurgitasi pada bayi ini merupakan satu-satunya RGE bergejala yang dianggap fisiologis sehingga dapat timbul pada bayi sehat tanpa adanya masalah lain yang merupakan komplikasi RGE. RGE yang disertai komplikasi atau masalah seperti gagal tumbuh, esofagitis, hematemesis dan gejala saluran napas, dimasukkan dalam kelompok penyakit refluks gastro-esofagus (PRGEIGERD=gasiroesophageal refux disease). Komplikasi tersebut dapat timbul pada berbagai usia dan sulit untuk dibedakan antara RGE (fisiologis) dengan PRGE (patologis).
Regurgitasi pada bayi adalah kondisi yang umum ditemukan, dengan proporsi mencapai lebih dari 50% bayi pernah mengalami gejala ini dalam tahun pertama kehidupannya. Regurgitasi timbul paling sering pada bayi saat berusia 1-6 bulan, yaitu pada 65-86,9% bayi, kemudian akan berkurang secara bermakna pada usia 6-9 bulan dan terjadi hanya 1-10,3% bahkan hilang lama sekali saat berusia 12 bulan. Yang menjadi masalah adalah belum ada batasan yang jelas antara regurgitasi yang merupakan RGE fisiologis dengan yang patologis, karena RGE sampai menjadi PRGE merupakan suatu spektrum yang berkesinambungan dengan manifestasi klinis yang saling tumpang tindih antara keduanya, terutama pada masa bayi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Untung Haryoso
"Minyak mentah (crude oil) Sebelum dirnanfiataikan hams diolah terlebih dahull.L Pengolahan awal minyak mentah dengan cara diii-aksionasi pada tekanan atmosferik Faktor yang belperan penting pada pemisahan minyak mentah menjadi iinksinya yaitu: titik didih, stabilitas termal dari fluids, spesifikasi penyimpanan dan spesiflkasi produk Pada tugas al-:hir ini membahas tentnng perancangan proses dan mekanis kolom distilasi ahnosferik jenis R (pumpback Reflux), dirnana ada sebagian produk yang dikembalikan ke dalam I-colom sebagai retluks. Selain itu pembahasan dilakukan juga pembahasan neraca panas dan massa. Pembahasan dibatasi hanya untuk crude assay Arab Saudi, dengan kapasitas 100000 BPSD, produk yang dihasilkan terdiri dari uap hidrokarbon, naiia ringan, nailz berat, distilat ringan, distilat beraL dan residu Perancimgan mekanik kolom mengguuakan prosedur Design Practices, Vol. VII Fractionation Towers dari ESSO dan Basic Calculation in Process Design dari British Petroleum, menggnmakan jenis sieve tray, dan perhihmgan neraca panas dan massa menggunakan prosedur Petroleum Refinery Distillation, oleh R. N. Watkins- Perhitungan neraca panas dan massa dilalcukan unmk mendapatkan kondisi operasi dari kilang yang akan` dirancang Perhitungan ini menggunakan kolom distilasi almosferik jenis R dan didapatkan jumlah talam dari kolom ini sebanyak 31 buah, dengan 4 buah produk yaitu: Nafta ringan, Nafta bers; Destilat ringan, dan Destiiat berat, dan produk alas berupa hidrokarbon ringan Umpan masuk pads talam ke-4, dan produk ditarik masing-masing pada talam ke-31, ke-23, ke-15, dan ke-9. Produk yang dihasilkan memiliki Gap ASTM (5-95) masing-rnasing: 4,8 °F Lmtuk produk Naiia ringan deugan Naiia berat, 25,6 °F untuk produk Naiia berat dengan Distilat ringan, 5°F untuk Distilai ringan dengan Distilat berali. Perancangan meknnilc kolom menghasilkan kolom distilasi atmosferik menggunakan sieve tray, dengan aliran berjumlah 1 pass, berdiameter talam sebesar 20 ft Jarak antar talam sebesar 24 in xmtuk talarn 4, 7, 8, 9, 14, dhn 22; ‘so in untuk talam 21; dan 36 in untuk talam 13, 15, 23, dan 30. Layout talam yang didapatkan yaitu: luas downcomer 37,7 1512, lebar dowfzcomer 43 in, tinggi weir 2 ln, kecuali talam 7 dan 8 sebesar 1 in, , luas distributing dan diserzgagirzg sebesar 4,08 ftz, luas peripheral sebesar 9,42 112. Diameter hole 3/4 in. Jarak antm' hole sebesar 2,65 in untuk talam 4 dan 22; 2,3 in I.lIl11lk falam 7, 8, 14, 21 dan 30; 2,05 in llllfllk talam 9,13, 15, 23, dan 31. . Jumlah hole sebanyak 4532 buah uniuk talam 4, 22; 6090 buah untuk 7, 14, 21, dan 30; 7647 buah untuk talam 9,13, 15, dan 31; 7364 untuk talam 23."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
S48868
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radhiyatam Mardhiyah
"Latar belakang: Pada saat puasa Ramadhan, terjadi penurunan rerata pH lambung dan memendeknya selisih waktu antara makan terakhir dan jam tidur sehingga memperberat keluhan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease, disingkat GERD). Sementara itu juga terjadi keteraturan jadwal makan, dan perubahan dalam kebiasaan merokok dan alkohol. Meski demikian, belum diketahui dengan pasti keluhan penyakit GERD selama berpuasa Ramadhan.
Tujuan: Mengetahui pengaruh puasa Ramadhan terhadap keluhan GERD.
Metode: Penelitian ini merupakan studi longitudinal yang mengevaluasi keluhan GERD pada pasien yang menjalani puasa Ramadhan. Penelitian dilakukan selama bulan Juli (Ramadhan) sampai bulan Oktober (tiga bulan setelah Ramadhan) 2015. Subjek penelitian yang didapatkan melalui metode consecutive sampling ini dikelompokkan menjadi kelompok berpuasa Ramadhan (n=66) dan kelompok tidak berpuasa Ramadhan (n=64). Evaluasi dilakukan antara kedua kelompok tesebut, dan antara bulan Ramadhan dengan di luar bulan Ramadhan pada kelompok berpuasa, dengan menggunakan kuesioner GERD (GERD-Q) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Hasil: Pada kelompok yang berpuasa Ramadhan, terdapat perbedaan median nilai GERD-Q yang bermakna secara statistik (nilai p < 0,01) antara bulan Ramadhan dengan nilai median 0, dan di luar bulan Ramadhan dengan nilai median yang meningkat menjadi 4. Sementara itu, bila dilakukan analisis untuk membandingkan median nilai GERD-Q antara kelompok yang berpuasa Ramadhan dan tidak, juga didapatkan perbedaan yang bermakna (nilai p < 0,01).
Simpulan: Pada subjek yang menjalani puasa Ramadhan, keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat menjalani puasa Ramadhan dibandingkan di luar bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan, keluhan GERD lebih ringan dirasakan oleh subjek yang menjalani puasa Ramadhan dibandingkan subjek yang tidak menjalani puasa Ramadhan.

Background: During Ramadan fasting, increasing gastric acid levels as a result of prolong fasting can precipitate symptoms of Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Meanwhile, lifestyle changes during Ramadan (such as smoking cessation) can relieve its symptoms. To the best of our knowledge, this is the first study to evaluate effect of Ramadan fasting on GERD.
Objective: The purpose of this study was to determine the effect of Ramadan fasting on GERD symptoms.
Method: This is a longitudinal study done in July (Ramadan) to October (three months after Ramadan) 2015. Using consecutive sampling method, a total of 130 GERD patients participated in this study. Patients were divided into two groups: patients who underwent Ramadan fasting (n=66), and patients who didn?t undergo fasting (n=64). The evaluation was done using Indonesian version of GERD questionnaire (GERD-Q) between the two groups, and between Ramadan month and non-Ramadan month of Ramadan fasting group.
Results: In Ramadan fasting group, there was a statistically significant difference (p < 0.01) in median of GERD-Q during Ramadan month and non-Ramadan month (median GERD-Q 0 and 4 respectively). Statistically significant difference (p < 0.01) was also found between Ramadan fasting group and non-fasting group.
Conclusion: In Ramadan fasting group, GERD symptoms were lighter during fasting month (Ramadan). During Ramadan month, GERD symptoms were also lighter in Ramadan fasting group than in non-fasting group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adeline Sthevany Agus
"Masyarakat perkotaan dengan berbagai dinamika kehidupan yang kompleks, menjadi ancaman bagi kesehatan ibu hamil yang cenderung mengikuti gaya hidup modern. Gaya hidup seperti mengkonsumsi makanan cepat saji, kurang aktivitas, merokok, alkohol, dan lainnya, berisiko mengganggu kesehatan ibu dan kualitas hidup janin salah satunya gangguan neurologi. Gangguan neurologi seperti serebral palsy selain menyerang koordinasi motorik, juga dapat menyebabkan gangguan pada sfingter esofagus bawah yang memicu terjadinya gastroesofagus refluks (GER). Gastroesophageal refluks (GER) merupakan pengaliran kembali isi lambung ke dalam esofagus dan merupakan kondisi fisiologis yang terjadi hampir pada semua neonatus atau bayi. GER dapat menyebabkan terjadinya aspirasi, penurunan berat badan akibat muntah berulang. Jika tidak ditangani dengan baik, maka risiko kurang gizi bahkan kematian akibat aspirasi dapat terjadi. Salah satu intervensi keperawatan yang dilakukan pada klien adalah “upright position”. Hasil intervensi menunjukkan adanya pengurangan frekuensi muntah melalui intervensi keperawatan “upright position”.

Urban communities with various dynamics of complex life, becoming a threat for health of pregnant women who tend to follow modern lifestyle. Lifestyle such as eating fast food, inactivity, smoking, alcohol, and other risk disturbing the health of mothers and fetuses quality life, like a neurological disorders. Neurological disorders such as cerebral palsy than attacking the motor coordination, it can also cause disturbances in the lower esophageal sphincter which triggered the gastroesophageal reflukx (GER). Gastroesophageal reflukx (GER) is the passage of gastric contents into the esophagus and is a physiological condition that occurs in virtually all neonates or infants. GER can cause aspiration, weight loss due to repeated vomiting. If not handled properly, then the risk of malnutrition and even death can occur due to aspiration. One of the nursing interventions performed on the client is “uprigth position”. Intervention results indicate a reduction in the frequency of vomiting through nuring interventions uprigth position”."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2016
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stephen Diah Iskandar
"Latar belakang: Refluks gastroesofagus merupakan hal yang normal pada bayi prematur karena fungsi sfingter esofagus bawah belum sempurna. Penegakkan diagnosis refluks seringkali didasarkan oleh gejala klinis berupa apnea, desaturasi, dan bradikardi. Gejala-gejala tersebut sering dijadikan dasar untuk pemberian terapi proton pump inhibitor. Kondisi overdiagnosis dan overtreatment  ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi secara global.

Tujuan: Mengetahui frekuensi kejadian refluks, apnea, desaturasi, dan bradikardi pada bayi prematur. Mengetahui faktor risiko refluks pada bayi prematur terkait dengan modalitas suplementasi oksigen dan strategi pemberian susu. Mengetahui hubungan refluks dengan apnea, desaturasi, dan bradikardi.

Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang. Subjek adalah bayi prematur dengan postmentrual age 32-36 minggu yang memiliki riwayat apnea, desaturasi, atau bradikardi dicurigai akibat refluks. Subjek sudah mendapat susu minimal 60 mL/kg/hari. Subjek dieksklusi jika sudah mendapat obat prokinetik, penekan asam lambung, menggunakan alat bantu pernapasan yang lanjut (terintubasi, noninvasive positive pressure ventilation, atau continuous positive airway pressure dengan positive and expiratory pressure >7 cmH2O), terdapat kelainan intrakranial, kongenital mayor, atau dalam kondisi sepsis. Posisi semua bayi adalah terlentang dengan kepala lebih tinggi 45°. Diagnosis refluks ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan baku emas, yaitu multipel intraluminal impedance – pHmetri, yang merekam kejadian refluks selama 24 jam. Diagnosis apnea, desaturasi, dan bradikardi ditegakkan dengan perekaman monitor hemodinamik dan pencatatan oleh perawat selama 24 jam.

Hasil: Dari total 20 subjek, terdapat 3882 refluks selama 24 jam. Dari refluks tersebut, sebanyak 331 refluks (8,5%) mencapai batas sfingter esofagus atas. Sebanyak 17 subjek (85%) mempunyai nilai indeks refluks normal (<5). Dari 2 subjek yang mempunyai indeks refluks ≥ 10, tidak ada gejala klinis esofagitis refluks yang khas. Karakteristis refluks sebagian besar merupakan jenis refluks cair (79,9%) yang bersifat asam lemah (84,6%). Tidak ada hubungan yang signifikan antara refluks dengan jenis suplementasi oksigen, jenis susu, frekuensi pemberian susu, durasi pemberian susu, ataupun volume pemberian susu. Proporsi refluks tinggi yang disertai dengan apnea dan bradikardi sangat kecil (0,3%). Secara statistik, refluks tinggi tidak berhubungan dengan kejadian desaturasi. Namun, terdapat 2 subjek (10%) yang mempunyai refluks tinggi disertai dengan desaturasi. Pada kedua subjek tersebut, tidak ada alarm symptoms yang khas.

Kesimpulan: Semua bayi prematur mengalami refluks, tetapi hanya 15% yang mengalami refluks patologis. Refluks pada bayi prematur tidak dipengaruhi oleh modalitas suplementasi oksigen ataupun strategi pemberian susu. Tidak ada hubungan antara refluks dengan kejadian apnea, desaturasi, dan bradikardi.


Background: Gastroesophageal reflux is common in premature baby due to immature lower esophageal sphincter function. The diagnosis of reflux is often based on clinical symptoms such as apnea, desaturation, and bradycardia. Furthermore, these symptoms are often used as the basis by clinicians to provide proton pump inhibitor therapy. This condition of overdiagnosis and overtreatment does not only occur in Indonesia but globally.

Objective: To determine the frequency of reflux, apnea, desaturation, and bradycardia in preterm infants. To determine the risk of reflux in preterm infants related to oxygen supplementation and milk feeding strategy. To determine the significance of the association between reflux with apnea, desaturation, and bradycardia.

Method: Observational analytic study with a cross-sectional design. Subjects were preterm infants with postmenstrual age of 32-36 weeks who have a history of apnea, desaturation, or bradycardia suspected of reflux and have received milk at least 60 mL/kg/day. Subjects were excluded if they have received prokinetic drugs, gastric acid suppressants, are still using advanced respiratory support (intubated, non-invasive positive pressure ventilation, or continuous positive airway pressure with positive and expiratory pressure >7 cmH2O), having intracranial abnormalities, major congenital abnormalities, or sepsis condition. The position of all subjects is lying with head elevated 45°. Diagnosis of reflux was done using the gold standard examination, namely multiple intraluminal impedance – pHmetry, which records for 24 hours. Diagnoses of apnea, desaturation, and bradycardia were made with 24-hour hemodynamic monitor recording and was recorded by the attending nurse.

Results: From a total of 20 subjects, there were 3,882 refluxes over 24 hours. Of these refluxes, 331 refluxes (8.5%) reached the upper esophageal sphincter. A total of 17 subjects (85%) had normal reflux index values (<5). Of the 2 subjects who had a reflux index ≥ 10, there were no typical clinical symptoms of reflux esophagitis. Reflux characteristics were mostly liquid reflux (79.9%) and weak acid reflux (84.6%). There is no significant relationship between reflux with modes of oxygen supplementation, types of milk, frequency of feeding, duration of feeding, and milk volume. The proportion of high reflux accompanied by apnea and bradycardia was very small (0.3%). Statistically, high reflux was not associated with the incidence of desaturation. However, there was two subjects (10%) with refluxes accompanied by desaturation. There was no specific alarm symptoms in both subjects.

Conclusion: Reflux occurs in all preterm infants, but only 15% of them have pathological reflux. Reflux in preterm infants is not affected by oxygen supplementation modes or milk feeding strategy. There is no association between reflux and the incidence of apnea, desaturation, and bradycardia."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila
"Penyakit lambung merupakan penyakit yang paling umum diderita di kalangan masyarakat Indonesia, terutama pada kalangan dewasa. GERD (Gastroephageal reflux disease) merupakan suatu kondisi isi lambung yang naik kembali ke esofagus atau kejadian refluks. Clinical pathway atau alur klinis merupakan suatu rencana terapi dan perawatan multidisiplin berdasarkan praktik klinis. Alur klinis ini dirancang sebagai bentuk usaha terbaik untuk sekelompok pasien dengan diagnosis tertentu, untuk meminimalkan keterlambatan perawatan, memaksimalkan kualitas perawatan serta hasil klinis pada pasien. Panduan praktik klinis di setiap rumah sakit perlu tersedia, khususnya penyakit lambung sebagai penyakit yang paling sering diderita masyarakat Indonesia. Pengerjaan dilakukan dengan studi literatur dan melakukan penelusuran pustaka terkait pengobatan penyakit lambung, terutama golongan obat PPI (proton pump inhibitor), yakni omeprazol, lansoprazol, esomeprazol, pantoprazol, dan rabeprazol. Secara farmakologis, lambung memproduksi asam lambung pada permukaan sel parietal dengan tiga neurotransmiter yang akan terikat ke reseptornya masing-masing. Ketiga neurotransmiter tersebut adalah gastrin dengan reseptor CCK2, asetilkolin dengan reseptor M3 (muskarinik 3), dan histamin dengan reseptor H2. Reseptor CCK2 dan M3 yang teraktivasi akan melepaskan ion K+ melalui jalur Ca2+ dependen. Sedangkan reseptor H2 akan melepaskan ion H+ melalui jalur sikloadenosinfosfat (cAMP) dependen. Kedua ion ini akan tertarik dan mengaktivasi enzim H+/K+-ATPase untuk menukar ion K+ dari lumen dengan H+ ke lumen dari sel parietal. Golongan PPI ini akan menghambat sistem enzim H+/K+-ATPase sehingga ion H+ tidak terproduksi. Oleh karena itu, golongan PPI dapat menghambat sekresi asam lambung.

Gastric disease is the most common disease among Indonesian people, especially among adults. GERD (Gastroephageal reflux disease) is a condition where gastric contents rise back into the esophagus or reflux occurs. Clinical pathway or clinical flow is a multidisciplinary therapy and care plan based on clinical practice. This clinical pathway is designed as a best practice for a group of patients with a certain diagnosis, to minimize treatment delays, maximize quality of care and clinical outcomes for patients. Clinical practice guidelines in every hospital need to be available, especially gastric disease as the most common disease in Indonesian society. The work was carried out by studying the literature and conducting literature searches related to the treatment of gastric disease, especially the PPI (proton pump inhibitor) class of drugs, namely omeprazole, lansoprazole, esomeprazole, pantoprazole, and rabeprazole. Pharmacologically, the stomach produces gastric acid on the surface of parietal cells with three neurotransmitters that will bind to their respective receptors. The three neurotransmitters are gastrin with CCK2 receptors, acetylcholine with M3 receptors (muscarinic 3), and histamine with H2 receptors. Activated CCK2 and M3 receptors release K+ ions via a Ca2+ dependent pathway. Meanwhile, H2 receptors will release H+ ions via the cycloadenosinfophosphate (cAMP) dependent pathway. These two ions will be attracted and activate the H+/K+-ATPase enzyme to exchange K+ ions from the lumen with H+ into the lumen of the parietal cells. This PPI group will inhibit the H+/K+-ATPase enzyme system so that H+ ions are not produced. Therefore, PPI groups can inhibit gastric acid secretion."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elvie Zulka Kautzia Rachmawati
"ABSTRAK
Refluks laringofaring (RLF) pada anak merupakan kelainan yang sering ditemukan
dan dihubungkan dengan peningkatan insidens berbagai penyakit saluran napas dan
gangguan tumbuh kembang, oleh karena itu diperlukan instrumen diagnosis yang tepat
untuk penatalaksanaanya. Sampai saat ini, instrumen terstandarisasi belum ada,
sehingga diperlukan satu cara untuk mendiagnosis secara mudah, murah, nyaman, tidak
invasif namun mempunyai nilai diagnosis tinggi. Pada orang dewasa, RLF sering kali
dikaitkan dengan Hipertrofi Tonsil Lingual (HTL) dan keberadaan DNA Human
Papillomavirus (HPV), namun hal ini belum dapat dibuktikan pada anak. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan instrumen diagnostik RLF serta melihat hubungan antara
RLF dan HTL dan keberadaan DNA HPV pada RLF dengan HTL.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 3 desain penelitian, yaitu uji
diagnostik kuesioner Skor Gejala Refluks (SGR) dan Skor Temuan Refluks (STR)
dibandingkan dengan pHmetri 24 jam, dilanjutkan dengan studi kasus kontrol untuk
menilai hubungan RLF dan HTL, serta uji melihat keberadaan HPV DNA pada HTL
dengan RLF dengan cara Linear Array genotyping. Kriteria inklusi adalah anak berusia
5‒18 tahun, memiliki beberapa keluhan seperti banyak riak di tenggorok, sering nyeri
menelan, rasa tersangkut dan mengganjal di tenggorok, mendehem, tersedak, bersuara
serak dan batuk kronik. Kemudian dilakukan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi
untuk menilai keadaan faring dan laring dan pemasangan pHmetri. Apabila pasien RLF
terdapat HTL derajat 2 dan 3, dilakukan biopsi tonsil lingual untuk menilai keberadaan
DNA HPV.
Dari hasil penelitian ini, diperoleh satu instrumen baru yang terdiri dari keluhan
berdehem, batuk mengganggu dan choking, disertai kelainan pita suara dan edema
subglotik. Instrumen dengan titik potong 4, mempunyai nilai diagnostik yang baik
dengan nilai sensitivitas 75%, spesifisitas 76%, Nilai Prediksi Positif 80% dan Nilai
Prediksi Negatif 71%. Instrumen baru ini dapat digunakan untuk mendiagnosis RLF
pada anak. Tidak terdapat hubungan bermakna antara HTL dengan RLF dan keberadaan
HPV DNA tidak terdeteksi pada HTL pasien RLF.

ABSTRACT
Laryngopharyngeal reflux (LPR) is common condition in children which is connected
to the increased incidence of airway problems and a developmental delay, therefore a
reliable diagnostic tool is required to manage the condition. There is no standardized
instrument to diagnose LPR yet, consequently, obtaining an instrument which is cost
effective, simple, convenient, non-invasive but yield a good diagnostic values
(sensitivity, specificity, Positive Predictive Value (PPV) and Negative Predictive Value
(NPV)) is essential. In adult, LPR is frequently linked to Lingual Tonsil Hypertrophy
(LTH) and the presence of HPV DNA in its tissue, however those findings have not
been confirmed in pediatric population. The aim of this study is to obtain a good
diagnostic instrument for LPR, to observe the relationship between LPR and LTH and
to identify the existence of HPV DNA in LTH of patient with LPR.
A diagnostic study was done comparing adult questionaires for LPR i.e. Reflux
Symptom Index (RSI) and Reflux Finding Score (RFS) with 24 hour pHmetry, followed
by a case control study to determine the relationship between LPR and LTH and a
crossectional study to evaluate the existence of HPV DNA with Linear Array
genotyping in LTH. The inclusion criteria are age between 5‒18 years old, with the
complain of phleghmy throat, frequent odinophagia, the sensation of lump in the throat,
frequent throat clearing, choking episode, hoarseness and chronic cough. Then the patient
underwent nasopharyngolaryngoscopy for laryngeal evaluation followed by pHmetry
insertion. If LPR is confirmed, the biopsy will be taken from LTH, to see the existence
of HPV DNA.
A new diagnostic instrument, consists of frequent throat clearing, annoying cough,
choking, vocal cords abnormalities, and subglottic edema has been developed and it
demonstrates a good diagnostic outcome. The cut-off is score 4, which produced 75%
sensitivity, 76% specificity, 80% NPP, 71% NPN. Therefore, this instrument can be
applied to diagnose LPR in children. Neither a significant relationship between LPR and
HTL nor the existence of HPV DNA are demonstrated"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>