Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fauza Qurrotu Aini
Abstrak :
Emosi sebagai salah satu faktor yang menentukan perilaku manusia sudah banyak diketahui dari pengalaman sehari-hari, misalnya dengan bergembira maka segala sesuatu yang dikerjakan akan baik hasilnya, dalam kesedihan maka pekerjaan menjadi kacau (Amold dalam Markam, 1992). Namun apabila seorang remaja akhir mempunyai kecerdasan pada dimensi emosionalnya, maka ia akan mampu mengendalikan reaksi atau perilakunya (Epstein dalam Achir, 1988). Menurut Goleman (1995) kecerdasan emosi yang baik akan mengontrol agresivitas remaja. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja akhir, hubungan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas, pengaruh dari dimensi-dimensi kecerdasan emosi terhadap agresivitas, serta perbedaan kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja akhir laki-laki dan perempuan. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan tehnik incidental sampling, jumlah subyek 92 orang siswa-siswi SMA yang berada pada tahapan perkembangan remaja akhir. Alat ukur yang digunakan adalah Emotional Intelligence Inventory (Eli) dan Aggnession Questionnaire (AQ). Pengujian validitas alat ukur dilakukan dengan expert judgement dap Pearson Product-Moment Correlation, sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan Coefficient Alpha dengan indeks reliabilitas Eli sebesar .9191 dan AQ sebesar .8333. Hasil penelitian secara umum ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, artinya semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka agresivitasnya akan semakin rendah, serta ditemukan adanya pengaruh dimensi-dimensi kecerdasan emosi terhadap agresivitas. Namun hanya dimensi empati (empathy), kesadaran diri (self awareness) dan kontrol diri (self controf) yang mempunyai pengaruh terbesar dalam mengontrol atau mengurangi agresivitas, dengan kata lain peningkatan pada dimensi empati, kesadaran diri dan kontrol diri, sangat berpengaruh dalam mengontrol agresivitas. Sedangkan dimensi motivasi diri dan keterampilan sosial mempunyai pengaruh kecil terhadap agresivitas. Dari analisa tambahan, ada perbedaan kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja laki-laki dengan perempuan. Saran yang diajukan perlu adanya suatu program pelatihan untuk siswasiswi yang berusaha mengembangkan keterampilan-keterampilan emosi, disesuaikan dengan situasi sekolah, rumah dan masyarakat.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3449
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athaya Rizky Budiman
Abstrak :
ABSTRAK
Agama adalah suatu komponen yang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu nilai dalam Agama Islam yang mempengaruhi kehidupan sosial pemeluknya adalah perilaku memaafkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara religiositas dan forgiveness pada remaja akhir yang beragama Islam. Partisipan penelitian ini adalah 74 remaja akhir berusia 16-22 tahun dan beragama Islam. Pengambilan data dilakukan menggunakan kuesioner online. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah The Revised Muslim Religiosity Personality Inventory R-MRPI untuk megukur religiositas dan alat ukur Transgression-Related Interpersonal Motivations 18 TRIM-18 untuk mengukur forgiveness . Hasil penelitian menunjukan nilai signifikansi berjumlah 0,285, P>0,05. Hasil ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara religiositas dengan forgiveness pada remaja akhir.
ABSTRACT
Religion is an important aspect of Indonesian rsquo s social life. One of the values in Religion affecting the social life of its adherents is forgiveness. This study was conducted to determine the relationship between religiosity and forgiveness in late adolescence Muslim. Participants of this study were 74 late adolescences aged 16 22 years and Muslim. The data were collected using an online questionnaire. The measuring tool used in this research is The Revised Muslim Religiosity Personality Inventory R MRPI to measure religiosity and Transgression Related Interpersonal Motivations 18 TRIM 18 to measure forgiveness . The results showed significance value amounted to 0.285, P 0.05. These results show that there is no significant relationship between religiosity with forgiveness in late adolescences.
2017
S68487
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dika Septina Anggraeni
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai keberfungsian keluarga sebagai prediktor ketidakterbukaan remaja akhir pada orangtua. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 424 orang berusia 18 hingga 21 tahun yang tinggal di berbagai daerah di Indonesia. Adapun alat ukur yang digunakan yaitu, Self-Concealment Scale SCS untuk mengukur ketidakterbukaan remaja akhir pada orangtua dan Family Assessment Device FAD untuk mengukur keberfungsian keluarga yang dipersepsi oleh partisipan. Didapatkan hasil bahwa keberfungsian keluarga secara signifikan dapat memprediksi ketidakterbukaan remaja akhir pada orangtua R=,496. ......This research conducted to examine family functioning as the predictor of self concealment among late adolescents to their parents. There were 424 participants from around Indonesia aged 18 to 21 for this study. The data were collected using Self Concealment Scale SCS to measure late adolescents self concealment and Family Assessment Device FAD to measure family functioning through participant's point of view. Result for this study indicated that significantly family functioning can be a predictor of late adolescents self concealment to their parents R .496, p
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Kuswidhiastri
Abstrak :
Regulasi emosi kognitif merupakan keterampilan individu untuk mengelola pikiran dan reaksi emosional dalam menghadapi situasi buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan perbedaan kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi kognitif berdasarkan jenis kelekatan dengan orang tua pada remaja akhir. Penelitian dilakukan secara cross-sectional pada 674 orang remaja akhir berusia 18-22 tahun (n perempuan = 75.2%) yang terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kelekatan aman (46.2%), kelekatan tidak aman-menghindar (48.2%), dan kelekatan tidak aman- ambivalen (5.8%). Penelitian menggunakan analisis One-Way MANOVA untuk mengamati perbedaan kemampuan menggunakan strategi kognitif dalam masing-masing kelompok jenis kelekatan. Penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketiga jenis kelekatan dalam menggunakan strategi regulasi emosi kognitif (F (18, 1328) = 11.29, p < 0.01; Pillai’s V = .265, η2 = .133). Strategi kognitif yang lebih adaptif lebih mampu digunakan oleh remaja dengan kelekatan aman, sementara remaja dengan kelekatan tidak aman lebih sering menggunakan strategi kognitif yang kurang adaptif. Perbedaan penggunaan strategi kognitif juga ditemukan pada kedua jenis kelekatan tidak aman. ......Cognitive emotion regulation is the ability to manage thoughts and emotional reactions when faced with bad situations. This research aims to prove the differences between in the cognitive emotion regulation strategies of late adolescents based on their parental attachment types. Cross-sectional study was conducted on a total sample of 674 late adolescents between 18-22 years (n female = 75.2%) which are divided into three groups based on parental attachment types. A set of One-Way MANOVA was used to assess the differences in the ability to use cognitive emotion regulation strategies between groups. Results showed that there are significant differences in the three types of attachment in using cognitive emotion regulation strategies (F (18, 1328) = 11.29, p < 0.01; Pillai’s V = .265, η2 = .133). Adolescents with secure attachment are more likely to use adaptive cognitive strategies, while those with insecure attachments are more likely to use less adaptive strategies. Differences in cognitive strategy use were also found in the insecureavoidant and insecure-ambivalent attachment.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Thahira Azhari
Abstrak :
Didasari oleh fenomena maraknya perilaku seks bebas pada remaja di Indonesia, peneliti mencurigai bahwa adanya hubungan antara perilaku seks bebas dan status identitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara romantic attachment styles dan status identitas pada remaja akhir. Romantic attachment styles merupakan pola dari berbagai harapan, kebutuhan, emosi, dan perilaku sosial pada figur attachment (pacar) sebagai hasil dari pengalaman attachment pada masa lalu yang biasanya diawali dari hubungan dengan orangtua (Fraley dan Shaver, 2000). Status identitas diartikan sebagai adanya eksplorasi dan komitmen pada ranah pekerjaan dan ideologi (Marcia, 1993). Romantic attachment styles responden diukur dengan alat ukur Experience in Close Relationship-Short Form yang dikembangkan oleh Wei, Russell, Mallinckrodt, dan Vogel (2007) dan diadaptasi oleh Wardani (2015). Status identitas diukur dengan alat ukur Extended Objective Measure of Ego Identity Status yang dikembangkan oleh Adams & Benion (1994). Responden dalam penelitian ini adalah 184 remaja akhir berusia 18-21 tahun. Hasil penelitian menujukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara romantic attachment styles dan status identitas pada remaja akhir. ...... Based on the phenomena of free sex among adolescents in Indonesia, researchers suspect that there is correlation between free sex and identity status. This study is aimed to examine the relationtionship between romantic attachment styles and identity status in late adolescents. Romantic attachment styles are patterns of expectations, needs, emotions, and social behavior in attachment figure as the results of the experience of attachment in the past which usually starts with the relationship with parents (Fraley and Shaver, 2000). Identity statuses were the presence of crisis and commitment in the areas of occupation and ideology (Marcia, 1993). Romantic attachment styles respondents was measured by using Experience in Close Relationship-Short Form which was developed by Wei, Russel, Mallinckrodt, and Vogel (2007) and had been adapted by Wardani (2015). Identity status was measured by using Extended Objective Measure of Ego Identity Status which was developed by Adams & Benion (1994). Respondents of this research were 184 late adolescents in aged 18 to 21 years old. The result of this research shows that there is a significant correlation between romantic attachment styles and identity status in the late adolescents.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63208
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khalis Al Ghifari
Abstrak :
ABSTRACT
Penelitian ini membahas mengenai keberfungsian keluarga sebagai prediktor terhadap ide bunuh diri pada remaja akhir. Keberfungsian keluarga menjadi faktor protektif maupun faktor risiko dari ide bunuh diri pada remaja akhir. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan jumlah partisipan sebanyak 496 individu, dengan rentang umur 18-22 tahun. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Positive and Negative Suicide Ideation Inventory PANSI untuk mengukur ide bunuh diri, dan Family Assesment Device FAD untuk mengukur persepsi individu mengenai keberfungsian keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga secara signifikan dapat memprediksi ide bunuh diri pada remaja akhir R=-0.487.
ABSTRACT
This research explaining about family functioning as a predictor of suicide ideation among late adolescents. Family functioning could become a protective and risk factor, for adolescents rsquo suicide ideation. This is a quantitative research that includes 496 participants, aged 18 22. The data were collected using Positive and Negative Suicide Ideation Inventory PANSI to measures suicide ideation, and Family Assesment Device FAD to measures individual perception of their family functioning. The result suggests that family functioning can significantly predict suicide ideation among late adolescents R 0.487.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Novia
Abstrak :
Bagi individu yang menekuni bidang akting, akting dianggap dapat membantu mereka dalam mengeksplorasi berbagai hal dan membantu mereka untuk lebih mengenal diri sendiri. Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana hubungan antara eksplorasi diri dan konsep diri pada remaja akhir yang menekuni bidang akting, sekaligus ingin melihat bagaimana peran jangka waktu akting dalam hubungan tersebut. Partisipan penelitian ini terdiri dari 101 remaja akhir (18-21 tahun) yang sudah menekuni bidang akting minimal 1 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan metode korelasional dan menggunakan pearson correlation serta Hayes PROCESS dalam pengolahan data. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara eksplorasi diri dan konsep diri pada remaja akhir yang menekuni akting, p < .05. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa jangka waktu akting tidak dapat memoderasi hubungan antara eksplorasi diri dan konsep diri pada remaja akhir yang menekuni akting, p >.05. ......For individuals who pursue acting, acting is considered to help them explore various things and also help them to know themself better. This study aims to explain the relationship between self-exploration and self-concept in late adolescents who pursue acting and the role of acting period in this relationship. This study consisted of 101 late adolescent participants aged between 18-21 years old who pursued acting for at least one year. This study was non-experimental with a correlational method and used pearson correlation and Hayess PROCESS for data processing. The result of this study showed a positive and significant correlation between self-exploration and self-concept in late adolescents who pursue acting, p <.05. Besides, the results of this study indicated that the acting period does not moderate the relationship between self-exploration and self-concept, p >.05.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Ekananda Luhurningtyas
Abstrak :
Dengan munculnya media sosial, kesadaran akan hal itu sangat penting. Literasi informasi adalah salah satu konsep yang paling menonjol yang berfokus pada pendekatan kritis terhadap informasi media, khususnya hoax yang menyebar lebih cepat di media sosial daripada kebenaran itu sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi literasi informasi remaja akhir dengan pemaknaan hoax dan pengalaman mereka sebagai pengguna media sosial ketika menghadapi hoax. Dengan demikian, akan diketahui kemampuan atau kendala literasi informasi remaja akhir yang menggunakan media sosial dalam mengurangi risiko penyebaran hoax di media sosial. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Teknik fenomenologis kualitatif analitis digunakan untuk tujuan ini. Pengumpulan data berdasarkan teknik-teknik yang digunakan terdiri dari wawancara individu, observasi, dan analisis dokumen. Hasilnya menunjukkan bahwa remaja akhir masih mengasah literasi informasi mereka. Mereka sangat bergantung pada informasi tentang pencarian online dan akun terverifikasi. Remaja akhir disini adalah digital natives sejati, mereka cakap dengan komputer dan internet. Mereka memegang keyakinan bahwa literasi informasi dan kebutuhan media sosial dilihat sebagai membuat penilaian, integritas pribadi, dan pelatihan diri dan pelatihan perilaku keluarga dan teman dekat dalam mengurangi risiko distribusi hoax di media sosial. Para remaja akhir memprioritaskan kebutuhan akan informasi pribadi yang penting, terutama informasi yang berkaitan dengan dunia dewasa, pendidikan, dan kesadaran keuangan / pekerjaan. Tanggapan mereka terhadap hoax bervariasi, mulai dari skeptis hingga bahkan tidak peduli. Remaja akhir memaknai bersama hoax sebagai bentuk informasi yang negatif. Berkat belajar dari pengalaman dan literasi informasi yang dimiliki, mereka dapat mengenali beragam faktor yang dapat menimbulkan hoax di media sosial. Remaja akhir yang aktif memainkan media sosial di dalam penelitian ini, telah memiliki kecerdasan atau kemampuan berpikir, bersikap secara adaptif dan objektif, termasuk juga kemampuan mempertimbangkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menyelesaikan persoalan hoax di media sosial dan literasi informasi yang di rasa efektif untuk mereka walaupun sikap kritis untuk hoax pada diri remaja akhir masih perlu ditingkatkan.
With the advent of social media, awareness of social media is very important. Information literacy is one of the most prominent concepts that focuses on critical approaches to media information, especially hoaxes that spread faster on social media than truth itself. The purpose of this study was to identify information literacy of youths with the meaning of hoaxes and their experience as social media users when facing hoaxes. Thus, it will be known the ability or constraints of information literacy of youths who use social media in reducing the risk of spreading hoaxes on social media. This research is a qualitative research with descriptive design. Analytical qualitative phenomenological techniques are used for this purpose. Data collection techniques consists of individual interviews, observation, and document analysis. The results show that youths are still honing their information literacy. They rely heavily on information about online searches and verified accounts. The youth here is true digital natives, they are capable of using computers and the internet. They hold the belief that information literacy and social media needs are seen as making judgments, personal integrity, and self training and training family behavior and close friends in reducing the risk of hoax distribution on social media. Youths prioritize the need for important personal information, especially information relating to the adult world, education, and financial work awareness. Their response to hoaxes varies, from skeptics to not even caring. They interpret hoax together as a form of negative information. Thanks to learning from the experience and information literacy they have, they can recognize various factors that can cause hoaxes on social media. Youths who actively play social media in this study, have the intelligence or ability to think, behave in an adaptive and objective manner, including the ability to consider, analyze, evaluate, and resolve hoaxes on social media and information literacy which is felt effective for them although the critical attitude for hoaxes inside themselves still needs to be improved.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T52046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Beatric Rosiana
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan antara keterlibatan ayah dengan autonomy pada remaja akhir. Instrumen yang digunakan untuk mengukur keterlibatan ayah adalah Nurturant Fathering Scale (NFS) dan Father Involvement Scale (FIS) dari Finley dan Schwartz (2004). Sementara instrumen untuk mengukur autonomy adalah Adolescent Autonomy Questionnaire (AAQ) dari Noom, Dekovic dan Meeus (2001). Sampel penelitian ini berjumlah 109 orang yang berusia 17 - 21 tahun dan tinggal bersama dengan orangtua. Hasil dari penelitian ini adalah tidak adanya hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dengan autonomy pada remaja akhir (r = 0.036, p>0.05; r = 0.025, p>0.05; r = 0.038, p>0.05).
The purpose of this study is to examine and find out whether there is a relationship between father involvement and autonomy in late adolescent. This study used two measurement tools which are Nurturant Fathering Scale (NFS) and Father Involvement Scale (FIS) by Finley and Schwartz (2004) to measure father involvement and Adolescent Autonomy Questionnaire (AAQ) by Noom, Dekovic and Meeus (2001) to measure autonomy. The subject of this research consisted of 109 student with age 17 - 21 years old and live together with their parents. The results of this study showed no significance relationship between father involvement and autonomy in late adolescent (r = 0.036, p>0.05; r = 0.025, p>0.05; r = 0.038, p>0.05).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55997
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Saraswati
Abstrak :
[ABSTRAKBR Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dan kualitas pertemanan pada remaja akhir dari keluarga utuh, bercerai, dan menikah kembali. Resiliensi didefinisikan sebagai perwujudan kualitas pribadi atau kemampuan individu dalam melakukan coping untuk menghadapi dan dapat bertahan dari kesulitan atau perubahan. Kualitas pertemanan adalah penilaian individu terhadap seberapa baik teman dalam memenuhi fungsi-fungsi pertemanan. Pengukuran resiliensi dilakukan dengan menggunakan alat ukur Resiliency Attitudes and Skills Profile (RASP) yang dikembangkan oleh Hurtes dan Allen (2001). Pengukuran kualitas pertemanan dilakukan dengan menggunakan alat ukur McGill Friendship Questionnaire-Friends' Function (MFQ-FF) yang dikembangkan oleh Mandelson & Aboud (2012). Partisipan penelitian berjumlah 75 remaja akhir yang tinggal bersama keluarga kandung, bercerai, dan atau tiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dan kualitas pertemanan pada remaja akhir dari keluarga utuh, bercerai, dan menikah kembali. Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya pemeliharaan kualitas pertemanan bagi remaja dalam mengalami perceraian atau pernikahan kembali orang tua untuk mengembangkan resiliensinya.;This research was conducted to find the relationship between resiliency and friendship quality among late adolescence. Resiliency defined as the manifestation of individual quality or the ability to cope and survive from adversity or change. Friendship quality is an individual judgement of the degree to which a friend fulfills friendship functions. Resiliency was measured by Resiliency Attitudes and Skills Profile (RASP) (Hurtes and Allen, 2001). Friendship quality is measured by McGill Friendship Questionnaire-Friends' Function (MFQ-FF) (Mandelson & Boud, 2012). Participants of this research were 75 late adolescents living with biological, divorced, or step family. Results shows a positive significant correlation between resiliency and friendship quality among late adolescence from intact, divorced, or remarried families. The implication of this study is the importance of maintaining a good friendship quality for late adolescence who has experienced parental divorce or remarriage in order to develop their resiliency., This research was conducted to find the relationship between resiliency and friendship quality among late adolescence. Resiliency defined as the manifestation of individual quality or the ability to cope and survive from adversity or change. Friendship quality is an individual judgement of the degree to which a friend fulfills friendship functions. Resiliency was measured by Resiliency Attitudes and Skills Profile (RASP) (Hurtes and Allen, 2001). Friendship quality is measured by McGill Friendship Questionnaire-Friends' Function (MFQ-FF) (Mandelson & Boud, 2012). Participants of this research were 75 late adolescents living with biological, divorced, or step family. Results shows a positive significant correlation between resiliency and friendship quality among late adolescence from intact, divorced, or remarried families. The implication of this study is the importance of maintaining a good friendship quality for late adolescence who has experienced parental divorce or remarriage in order to develop their resiliency.]
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59145
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>