Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hubbard, Ben
Abstrak :
The Samurai warrior examines the fighting men of Japan's Warring States period. Divided into six chapters, the book describes the unification under the Tokugawa bakufu, the major battles of the era, the weapons and armor used, the social structures of Japanese society, myths about the samurai, and finally the decline of the samurai amidst the modernization of the Meiji period.
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016
952.02 HUB p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Clements, Jonathan
Abstrak :
Summary: From a leading expert in Japanese history, this is one of the first full histories of the art and culture of the Samurai warrior. The Samurai emerged as a warrior caste in Medieval Japan and would have a powerful influence on the history and culture of the country from the next 500 years. Clements also looks at the Samurai wars that tore Japan apart in the 17th and 18th centuries and how the caste was finally demolished in the advent of the mechanized world
London: Robinson, 2013
952.031 CLE b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wibawarta
Abstrak :
Bushido is most often translated as the way of the warrior caste in Japan. Bushi refers to warriors in feudal Japan while do means several things including: the correct way, the path, or the road. Another interpretation of Bushido could be the way of preserving peace through the use of force. Bushido comes out of Buddhism, Confucianism, and Shintoism. The combination of these schools of thought and religions has formed the code of warrior values known as Bushido. A key to our understanding of how the concepts of Bushido fit into Japanese modern lives is to understand the historical and societal aspects of Bushido. Today, this meaning can be modernized to include minimizing violent conflict. The code of Bushido, the Samurai's code of honor, upholds loyalty, discipline, total dedication, honor and valor, and numerous examples of these elements can be witnessed today or in recent history.
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nailusyifa
Abstrak :
Samurai adalah prajurit berpedang yang telah lama dikenal sebagai salah satu lambang budaya Jepang. Dalam kebijakan shinokosho yang ditetapkan oleh keshogunan Tokugawa, samurai menempati kelas tertinggi pada zaman Edo. Kebijakan tersebut bertahan selama berlangsungnya kekuasaan keshogunan Tokugawa dari tahun 1603 sampai tahun 1867. Artikel ini menjelaskan secara rinci bagaimana segala aspek kehidupan samurai pada zaman Edo sebagai awal era modernisasi Jepang. Penelitian ini bersifat kualitatif dan dilakukan dengan metode studi pustaka dan penelitian sejarah. ...... The samurai were the warriors with sword who have been known as one of the epitome of Japanese culture. On shinokosho policy which ruled by the Tokugawa shogunate, samurai took the highest position in Edo period. This policy was occured as long as the authority of Tokugawa shogunate lasted from the year of 1603 to 1867. This article explains in detail how every aspects of samurai's life were, that took time in Edo period as the beginning of Japan's modernization era. This is a qualitative research and conducted with history research methods and literature studies.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ligia Emila
Abstrak :
ABSTRAK
Cara bunuh diri yang dilakukan, oleh orang-orang hampir di se1uruh dunia, umumnya mengambil bentuk yang hampir sama. Misalnya; menggunakan obat serangga, terjun dari tempat yang tinggi, gantung diri, menggunakan senjata api, bakar diri, memotong urat nadi. Tetapi didalam masyarakat Jepang diantara cara-cara tersebut diatas ini mereka mengenal suatu cara bunuh diri yaitu apa yang disebut Seppuku atau Harakiri (pemotongan perut). Cara ini sangat terkenal dan diakui sebagai salah satu cara bunuh diri yang dianggap terhormat.

Cara bunuh diri seperti ini khususnya diselenggarakan dikalangan kaum Samurai atau Rushi (kesatria Jepang). Seppuku bagi kaum samurai memiliki dua pengertian. Yakni, pertama, Jisatsu yaitu bunuh diri, dan kedua Keioatsu yang artinya hukuman mati.

Setelah membaca sebuah karya yang berjudul Seppuku no Eanashi yang ditulis oleh seorang ahli Antropologi Jepang yang bernama Chiba Tokuji, hal ini telah menjadi suatu motivasi bagi penulis untuk lebih mengetahui dan memahami maksud dan pengertian seppuku. Dalam karya tersebut diuraikan tujuan dan arti seppuku yang hidup didalam sejarah kebudayaan Jepang mengikuti arus perkembangan_
1984
S13652
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Ayu Prawestri
Abstrak :
Saigō Takamori adalah seorang samurai yang datang dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ia bukan berasal dari keluarga samurai tingkat atas, ia hidup sederhana tiap harinya. Saigō bersekolah di sekolah lokal yang membentuk pemikirannya sedari kecil. Iapun tumbuh menjadi seorang samurai yang loyal dan mengabdi kepada pemimpinnya. Selama hidupnya, Saigō mengalami berbagai peristiwa yang membawanya menjadi seorang tokoh yang memiliki peranan penting di dalam restorasi Meiji. Skripsi ini mengaitkan peranan Saigō Takamori dan restorasi Meiji. ...... Saig Takamori is a samurai that came from ordinary family His family was not top ranked samurai and he lived as simple as possible day by day Saig was studying at local school that made his thinking pattern He also grew to be a loyal samurai to his leader In his life Saig experienced many kinds of event that brought him to become a figure that had an important meaning in Meiji restoration This minithesis is linked between Saig Takamori rsquo s role and Meiji restoration
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57188
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Izzatul Nayla Saydinna
Abstrak :
Video game telah banyak berkembang sejak awal mereka diciptakan pada tahun 1952, bahkan dianggap sebagai garis terdepan dari teknologi komputer. Dalam perkembangannya, banyak video game mengambil referensi kebudayaan dunia sesungguhnya sebagai bagian dari cerita dalam video game tersebut, salah satu unsur sejarah Jepang yang sering dipergunakan dalam video game adalah Samurai. Samurai adalah anggota dari kasta prajurit Jepang zaman Edo dan dalam kehidupan sehari-harinya menerapkan bushido, yaitu cara-cara yang harus dipatuhi oleh para bangsawan kelas prajurit. Pemikiran bushido ini diwujudkan ke karakter Kaedehara Kazuha yang merupakan seorang samurai. Penelitian ini menganalisis apa saja representasi bushido yang dapat ditemukan pada karakter Kaedehara Kazuha dan apakah, dari tujuh nilai bushido yang ada, keseluruhannya dapat ditemukan. Penelitian menggunakan metode penelitian studi kepustakaan untuk mengumpulkan data mengenai bushido dan game Genshin Impact, kemudian penulis menggunakan metode kualitatif untuk mengumpulkan data melalui observasi karakter Kaedehara Kazuha, menganalisis data, dan menyimpulkan data tersebut, hingga akhirnya dianalisis menggunakan teori representasi reflektif oleh Stuart Hall (1907). Hasil dari penelitian ini yaitu ditemukan enam dari tujuh representasi nilai bushido dalam karakter Kaedehara Kazuha, dengan tanda-tanda representasi ditunjukkan melalui aksi serta perilaku karakter tersebut. ......Video games have developed a lot since they were created, even considered as the forefront of computer technology. In its development, many video games refer to real-world culture as part of the story in the video game, one of the elements of Japanese history that is often used in video games is the Samurai. Samurai were members of the Japanese warrior caste of the Edo period and in their daily lives practiced bushido, the way that warrior-class nobles had to obey. This bushido concept is embodied in the Kaedehara Kazuha character who is a samurai. This study analyzes what bushido representations can be found in the character Kaedehara Kazuha and whether, of the seven existing bushido values, all of them can be found. The study uses library research method to collect data regarding bushido and the Genshin Impact game, then author also uses qualitative methods to collect data through observing the character Kaedehara Kazuha, analyzing the data, and concluding the data, until finally it will be analyzed using reflective representation theory by Stuart Hall (1907). As the results of this study, it is found that six of seven representations of bushido values were found in the character Kaedehara Kazuha, with signs of representation shown through the actions and behavior of this character.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Wisnu Wardani
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Betakang Masalah
Kesusastraan merupakan ekspresi atau pernyataan kebudayaan yang mencerminkan sistem sosial, kekerabatan, ekonomi, pendidikan, poiitik, kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Berbicara mengenai kesusastraan suatu bangsa berarti juga mellihat kebudayaan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kesusastraan merupakan bagian dari kebudayaan (Atar Semi, 1989:5).

Kebudayaan merupakan jaringan makna yang dikembangkan oleh manusia dalam beradaptasi terhadap lingkungannya. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang semiotik yaitu hal-hal yang berhubungan dengan tanda, dan lambang, yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan dikenal oleh khalayak yang bersangkutan. Lambang sebagai sesuatu yang perlu dipahami maknanya dan dapat dibagikan kepada warga masyarakat dan diwariskan kepada keturunannya. Di samping itu, kebudayaan pun merupakan sistem lambang Bahasa (Geertz,1992:5;; Semi,1989:2).

Kesusastraan dapat juga dikatakan sebagai suatu sistem lambang, bukan hanya karena kesusastraan itu menggunakan bahasa, melainkan karena kesusastraan dapat melambangkan kehidupan manusia. Dengan demikian, terdapat suatu keterkaitan antara kesusastraan dan kebudayaan yang diciptakan oleh suatu kelompok masyarakat. Hal itu sesuai dengan pendapat A.W.Wijaya yang berikut:

Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas diri yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun luas mempunyai ikatan perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan menganggap diri berbeda dengan kelompok-kelompok lain. Mereka memiliki norrma norma, ketentuan-ketentuan, dan peraturan-peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti seluas-luasnya. (Wijaya, 1986:6).

Sehubungan dengan pandangan di atas, dalam tulisan ini akan melihat salah satu kelompok orang yang ada di dalam masyarakat Jepang pada era Tokugawa yaitu kelompok samurai. Kelompok masyarakat samurai yang dalam bahasa Jepang dikenal dengan sebutan bushi. Bushi adalah golongan masyarakat yang apabila dilihat dari sistem penggolongan pada era Tokugawa, (zaman Edo) memiliki kedudukan yang paling tinggi. Penggolongan tersebut lebih dikenal dengan sebutan Shi No Ko-Sho (Bushi/samurai-Nomin/petani-Shokunin/tukang Shonin/pedagang}. Dengan adanya sistem penggolongan seperti itu, masing-masing golongan mengembangkan gaya hidup dan lambang-lambang yang mencerminkan status masing-masing. Misalnya pakaian, tempat tinggal, dan tingkah laku. Hal tersebut hams dilaksanakan sesuai dengan status yang disandangnya. Dengan kata lain, sistem penggolongan tersebut mengatur dengan ketat status dan peran masing-masing golongan.

Berbicara mengenai tingkah laku ada suatu perbuatan yang dilakukan oleh golongan samurai untuk bunuh diri, yaitu dikenal dengan nama Seppuku (bunuh diri dengan cara memotong perut). Seppuku adalah suatu tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh kalangan samurai dan merupakan bagian dari bushido, yaitu suatu kode moral dari samurai (Seward, 1968:9),

Secara harafiah bushido memiliki arti jalan samurai. Namun, secara keseluruhan yang dimaksud dengan bushido adalah kode moral yang harus dihormati dan dijalankan oleh samurai (kelas prajurit), baik di dalam kehidupan maupun di dalam pekerjaan mereka (Kodansha Encyclopaedia, 1983:221-223).

Bushido berkembang sejak zaman Karnakura, dan sampai pada kesempurnaannya pada zaman Edo (1603-1867) yang didasari oleh ajaran konfusian. Ajaran tersebut menanamkan nilai kesetiaan, pengorbanan keadilan, rasa malu, bertata krama sopan, kesuciar1, rendah hati (kesederhanaan), kehematan, semangat berperang, kehormatan, dan kasih sayang (Shimizu,1985:328),

Menurut A.L. Sadler nilai-nilai mendasar bushido bagi samurai diantaranya adalah nilai kesetiaan, keberanian, dan bertindak adil (Sadler, 1988:33).

Nitobe menambahkan nilai-nilai yang terkandung dalam bushido selain kesetiaan, keberanian, dan bertindak adil, adalah kessopanan, kesungguhan hati, kehormatan dan pengendalian did (Nitobe,1991;vii)?.
2001
T14627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Penelitian mengenai peran nak?do dalam sistem perkawinan kaum samurai zaman Edo, bertujuan untuk mengetahui peran apa raja yang dilakukan nak?do dalam perkawinan kaum samurai zaman Edo sehingga keberadaannya masih dipertahankan hingga saat ini. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan melalui buku-buku dan data internet yang berhubungan dengan peran nakado, membaca dan menganalisa sumber-sumber tersebut. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa nak?do memiliki peran yang sangat penting dan unik dan menarik dalam proses perkawinan kaum samurai Zaman Edo. Yang unik dari peran nak?do pada perkawinan kaum samurai zaman Edo adalah bahwa nak?do pada zaman Edo berperan sebagai perantara yang menjembatani kedua belah pihak keluarga yang akan melangsungkan perkawinan sejak proses perundingan rencana perkawinan hingga upacara perkawinan berakhir. Yang menarik yaitu bahwa nak?do pada zaman Edo juga digunakan sebagai alat politik kaum samurai untuk mensukseskan perkawinan politik yang mereka rencanakan.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13603
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panudju Senoaji
Abstrak :
Pada awal abad ke 20 atau tepatnya pada jaman Meiji (1868-1912), Jepang merupakan satu-satunya negara non Barat yang berhasil melakukan modernisasi. Bukti nyata dari keberhasilan usaha-usaha modemisasi Jepang pada jaman Meiji adalah tampilnya Jepang sebagai sebuah negara industri. Dengan kekuatan industri yang dimilikinya, Jepang kemudian menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan militer dunia. Tampilnya Jepang sebagai kekuatan ekonomi dan militer dunia, membuat statusnya dalam percaturan ekonomi politik intemasional juga mengalami perubahan, dan sebuah negara semi kolonisasi menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat. Keberhasilan Jepang menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat justru bertolak belakang dengan situasi umum yang terjadi di negara-negara Asia pada awal abad ke-20. Hampir sebagian besar wilayah Asia merupakan wilayah_wilayah kolonisasi negara-negara Barat. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, Jepang merupakan negara yang sangat miskin akan sumber daya alam. Selain itu hubungan Jepang dengan dunia pada khususnya dengan dunia Barat relatif terlambat. Mengapa hanya Jepang yang sukses dalam menjalankan program-program modemisasi, sedangkan negara-negara lain di Asia tidak? Faktor-faktor apakah yang telah membedakan Jepang dengan negara-negara lain di Asia? Menurut Paul Baran searang ahli ekonomi politik beraliran mantis, seperti yang dikutip oleh Yoshihara Kunio, modal utama dari keberhasilan industrialisasi Jepang adalah kemerdekaan politik. Dia mencoba membandingkan Jepang dengan India. Menurutnya Jepang dapat berdiri sebagai negara industri karena Jepang merupakan negara yang merdeka sedang India tetap terbelakang karena telah mengalami pemerasan akibat kolonisasi Inggris. Kunio lantas mencoba melengkapi argumen yang dikemukakan oleh Paul Baran diatas dengan membandingkan Jepang dan Muang Thai. Selain tidak pernah mengalami kolonisasi negara-negara Barat, Muang Thai pada masa pemerintahan Raja Chulalongkorn (1868-1910) atau hampir bersamaan dengan jaman Meiji juga melakukan usaha-usaha modernisasi. Tetapi apa yang dicapai oleh Muang Thai tidak seperti yang dialami oleh Jepang. Menurut Kunio keberhasilan modemisasi yang diperoleh Muang Thai hanya bersifat kuantitatif tidak kualitatif, artinya hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat, sedangkan mayoritas besar rakyat tetap tidak berpendidikan dan hidup dalam keadaan miskin. Suatu situasi yang sangat berlawanan dengan keadaan di Jepang. Keberhasilan modernisasi yang dicapai oleh Jepang pada jaman Meiji juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti unsur-unsur dalam kebudayaan Jepang. Kebudayaan Jepang dapat dianggap sebagai kebudayaan rasa malu.
2000
S13802
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>