Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edmonton: Hurtin Publishers, 1981
971.203 WES
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Herizal Apriyandi
Abstrak :
Sejak proses integrasi wialayah kerajaan Pattani kedalam wilayah kerajaan Thailand pergolakan di wilayah Thailand Selatan yang notabene merupakan bekas wilayah kerajaan Panani terus menerus berlangsung perbedaan kultur antara masyarakat muslim melayu minoritas di Thailand Selatan dengan masyarakat Thai-Buddhis yang mendominasi wilayah Thailand menjadi penghambat proses integrasi kebijakan pemerintah kerajaan Thailland yang cenderung bersifat asimilatif dan diskriminatif terhadap kultur dari masyarakat Muslim Melayu di Wilayah Thailand Selatan juga menjadi salah satu faktor utama penyebab konflik. Pada akhir tahun 1990an, pemerintah kerajaan Thailand sepertinya telah berhasil meredam gejolak separatisme dan aksi-aksi terorisme di wilayah Thailand Se!atan. Namun sejak awal tahun 2004, Thailand Selatan kembali m enjadi sorotan karena adanya peningkatan siklus konflik di Wilayah Pattani, Yala, dan Narathiwat. Permasalahan Kultural dan peningkatan jumlah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dan militer Thailand telah mebangkitkan amarah dan memancing aksi-aksi kekerasan oleh para separatis Muslim Thailand Selatan. Hal ini memunculkan beberapa pertanyaan krisis konflik apakah yang sebenarnya terjadi ? Mengapa kekerasan kembali mengalami peningkatan ? Bagaimana pemerintah Thailand seharusnya mengatasi konflik tersebut ? Hal inilah yang akan penulis coba bahas dalam studi ini.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33540
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Ganda Halomoan
Abstrak :
Penelitian ini membahas bagaimana Benny Wenda selaku Ketua kelompok separatis United Liberation Movement West Papua (ULMWP)membingkai isu kekerasan di Papua dan mobilisasi massa sebagai dampak yang ditimbulkan dari aksi tersebut. Pemberitaan mengenai konflik Papua selalu menjadi perbincangan menarik dalam media hingga sekarang. Penelitian ini ditujukan untuk melihat proses pembingkaian, pembuatan dan penyebaran informasi yang dilakukan untuk menggiring opini publik dan mobilisasi massa supaya mendukung kemerdekaan Papua.  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan model analisis framing Robert Entman. Adapun metode pengumpulan data dilakukan melalui media sosial, studi pustaka, dan laporan pemerintah. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa narasi pembingkaian yang dibangun oleh Benny Wenda dan ULMWP dapat memberikan ancaman terhadap aksi separatis terorisme di Papua......This study discusses how Benny Wenda, the head of the separatist group the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) framing the issue of violence in Papua and the mass mobilization result. News about the Papuan conflict has always been an interesting discussion in the media. The study aims to examine the process of framing, producing, and disseminating information brought to lead public opinion and mobilize the masses to support Papuan independence. The research method used in this research is qualitative with Robert Entman's framing model analysis. The data were collected from various literature such as social media, literature studies, and government reports. The results of this study indicate that the framing narrative built by Benny Wenda and ULMWP can pose a threat to acts of terrorism in Papua.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Binsar Hatorangan
Abstrak :
Gerakan separatis di Papua kini menjadi isu yang belum menemukan bentuk solusi yang dilandasi suatu strategi yang komprehensif dan bersifat dinamis dalam konteks menyesuaikan dengan perkembangan di Papua. Di sisi yang lain, bila tidak ditangani dengan segera maka dapat menjadi bom waktu dan ancaman disintegrasi bagi keutuhan NKRI. Berbagai upaya kepolisian sudah dan masih terus dilakukan guna menanggulangi separatisme kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Brimob sebagai garda terdepan Polri dalam penanganan gangguan keamanan yang bersifat kontijensi dituntut harus optimal dalam penggunaan pendekatan-pendekatan penanggulangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ini, khususnya pendekatan intelijen. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah sejauh mana peran dan pemanfaatan penggunaan intelijen oleh Brimob Polri dalam upaya penanggulangan separatisme di Papua dan langkah-langkah optimalisasi peran tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara kepada sejumlah informan kunci dan data dianalisis dengan menggunakan metode reduksi. Hasil dari penelitian yaitu: (1) Dalam penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua, setiap fungsi pada tubuh Polri memiliki perannya masing-masing namun saling berkesinambungan satu sama lain; (2) Dukungan informasi intelijen bagi pergerakan pasukan Brimob yang bertugas dalam penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua sudah baik namun dirasa belum maksimal dan (3) Adanya keengganan dalam tubuh Polri dan Brimob untuk mempertahankan dan mengembangkan ketangkasan maneuver lapangan yang secara dramatis berujung kepada penurunan ketangkasan daya tembak, daya maneuver dan daya jelajah pasukan Brimob khususnya di medan yang bergunung dan berbukit. ......The separatist movement in Papua is now an issue that has not yet found a solution based on a comprehensive and dynamic strategy in the context of adapting to developments in Papua. On the other hand, if it is not handled immediately, it can become a time bomb and threat of disintegration for the integrity of the Republic of Indonesia. Various police efforts have been and are still being made to tackle the separatism of armed criminal groups (KKB) in Papua. Brimob as the front line of the National Police in handling contingent security disturbances is demanded to be optimal in using these approaches to tackle the Armed Criminal Group (KKB), especially the intelligence approach. This study aims to examine the role and use of intelligence by Brimob Polri in countering separatism in Papua and the steps to optimize this role. This study used a qualitative approach by conducting interviews with a number of key informants and the data were analyzed using the reduction method. The results of the research are: (1) In handling the Armed Criminal Group in Papua, each function within the National Police has its own role but is mutually sustainable; (2) Intelligence information support for the movement of Brimob troops tasked with handling the Armed Criminal Group in Papua is good but is not maximal and (3) Reluctance within the National Police and Brimob to maintain and develop dexterity in field maneuvers which dramatically leads to a decrease in dexterity. firepower, maneuverability and cruising range of Brimob troops, especially in mountainous and hilly terrain.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djopari, Johannes Rudolf Gerzon
Abstrak :
Pembangunan yang diselenggarakan di Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya sejak daerah itu dikembalikan ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tangga1 1 Mei 1963, dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Hal yang demikian menyebabkan rakyat di wilayah Propinsi itu tidak cepat berubah dan berkembang mengikuti kemajuan sama dengan saudara-saudara mereka di daerah Indonesia lainnya. Proses integrasi politik di Irian Jaya menghadapi suatu tantangan yang utama dan berat yaitu pemberontakan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada tahun 1965 tepatnya pada tangal 26 Juli di Manokwari yang dipimpin oleh Permenas Ferry Awom, bekas anggota Batalyon Sukarelawan Papua (Papua Vrijwilinger Corps) buatan Belanda. Pemberontakan OPM yang terus berlangsung hingga saat ini dan secara sporadisadis itu merupakan hambatan terhadap penyelenggaraan pembangunan pada umumnya baik pemaangunan fisik maupun pembangunan non fisik. Sebagai gerakan separatis, maka pemberontakan OPM merupakan hadangan terhadap proses integrasi di Irian Jaya yang lebih banyak diwarnai oleh dimensi yang horizontal, yaitu suatu tujuan untuk mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen. Di Irian Jaya, bentuk pemberontakan OPM dapat digolongkan ke dalam beberapa tindakan sebagai berikut Pertama; aksi perlawanan fisik bersenjata atau aksi militer yang dilakukan secara sporadis; Kedua; aksi penyanderaan; Ketiga; aksi demonstrasi massa; Keempat; aksi pengibaran bendera Papua Barat; Kelima; aksi penempelan dan pengebaran pamflet/selebaran; Keenam; aksi rapat-rapat politik dan pembentukan organisasi perjuangan lokal; Ketujuh; aksi pelintasan perbatasan ke Papua New Guinea; Kedelapan; aksi pengrusakan/pembongkaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa OPM itu lahir di Irian Jaya dari dua faksi utama pimpinan Terianus Aronggear, SE dan Aser Demotekay pada tahun 1964 dan tahun 1963. Sebagai organisasi OPN kegiatannya terbagi dua yaitu kegiatan politik dan kegiatan militer. Kegiatan politik kemudian terus dilanjutkan di lu ar negeri sedangkan kegiatan militer dilakukan di Irian Jaya. Secara keseluruhan kegiatan politik di luar negeri kurang efektif sebab terjadi perpecahan antara para pemimpin politik OPM dari segi orientasinya ada yang pro-Barat dan ada yang berorientasi ke neo-Marxis/Sosialis. Perpecahan ini jelas mempengaruni faksi militer di Irian Jaya sehingga kegiatan mereka lemah dan mudah dipatahkan oleh Pemerintah atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Justru orientasi ke neoMarxis/Sosialis itu merupakan hambatan utama bagi dukungan politik maupun dukungan dana dari negara-negara Barat terhadap OPM. Berdasarkan telaahan teori dan pendapat para sarjana dapat diungkap bahwa pemberontakan itu terjadi karena ketidakpuasan dan kekecewaan yang dialami oleh manusia dalam suatu sistem politik atau negara. Di Irian Jaya saat ini masih saja ada aktivitas pemberontakan dari OPM secara sporadis, walaupun setiap kegiatan dengan mudah dapat dipatahkan dan tidak ada dukungan politik secara internasional. Kondisi yang demikian ini menimbulkan pertanyaan sebagai berikut : Pertama; apakah benar bahwa pemberontakan OPM itu terjadi karena integrasi politik di Irian Jaya kurang mantap ? Kedua; apakah benar bahwa pemberontakan OPM itu merupakan bom waktu yang dibuat oleh Belanda, atau pemberontakan OPM itu terjadi karena tumbuh kesadaran nasionalisme Papua ? Ketiga; apakah benar dan mengapa masih saja ada orang-orang Irian Jaya yang berideologi serta mendukukung pemberontakan OPM ? Keempat; kalau memang demikian, bagaimana sebaiknya pendekatan pembangunan politik di Irian Jaya itu dilakukan, agar dapat mewujudkan integrasi politik yang mantap ? Berangkat dari ke-4 pertanyaan tersebut di atas, yang menjadi pokok permasalah dalam tulisan ini adalah sampai sejauh mana pengaruh pemberontakan OPM terhadap pembentukan integrasi politik yang mantap di Irian Jaya. Dari hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa pada hakekatnya pemberontakan OPM masih mempengaruhi pembentukan integrasi politik yang mantap di Irian Jaya, hal mana dapat dilihat dari sikap dan dukungan yang diberikan oleh rakyat Irian Jaya terhadap OPM sehingga timbul berbagai aksi pemberontakan secara sporadis dalam kurun waktu 20 tahun dan OPM lebih mampu mensosialisasikan nilai-nilai "nasionalis Papua" sebagai ideologi OPM kepada rakyat Irian Jaya. Oleh karena itu untuk mewujudkan integrasi politik yang mantap di Irian disarankan agar terlebih dulu menghilangkan ideologi OPM serta melakukan pendekatan "cinta-kasih" dalam pergaulan atas dasar persamaan dan persaudaraan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Dias Rizaldy
Abstrak :
ABSTRAK
Status United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai pengamat di Melanesian Spearhead Group (MSG) melambangkan pengakuan internasional dari negara-negara Melanesia. Berdasarkan tinjauan pustaka, tidak banyak penelitian yang mencoba mengeksplorasi respons Indonesia tentang internasionalisasi konflik Papua Barat, lebih khusus dari perspektif Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses pemisahan diri dan pencegahan pengakuan entitas Papua Barat di ranah internasional oleh Indonesia. Untuk menganalisis fenomena ini, penulis menggunakan konsep kontra-pemisahan & pengakuan yang pendekatannya berasal dari perspektif liberalisme. Penelitian ini menemukan bahwa kegigihan dalam melindungi integritas nasionalnya dan banyaknya diplomasi yang dilakukan adalah kunci dari kurangnya dukungan internasional yang diberikan kepada entitas Papua Barat. Selain itu, tidak adanya dukungan dari negara-negara kekuatan utama meningkatkan peluang keberhasilan bagi Indonesia dalam mencegah pengakuan internasional terhadap entitas de facto.
ABSTRACT
The status of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) as an observer in the Melanesian Spearhead Group (MSG) symbolizes international recognition from Melanesian countries. Based on a literature review, not much research has tried to explore Indonesia's response to the internationalization of the West Papua conflict, more specifically from an Indonesian perspective. This study aims to analyze the process of secession and prevention of recognition of West Papuan entities in the international sphere by Indonesia. To analyze this phenomenon, the author uses the concept of counter-separation & recognition whose approach is derived from the perspective of liberalism. This research found that persistence in protecting its national integrity and the amount of diplomacy undertaken is the key to the lack of international support given to West Papuan entities. In addition, the lack of support from major power countries increases the chances of success for Indonesia in preventing international recognition of de facto entities.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahna Nur Santika
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti sejauh mana signifikansi sistem etnofederalisme di Federasi Rusia era Putin terhadap separatisme di Federasi Rusia. Sistem etnofederalisme yang seharusnya mengakomodir kepentingan etnis yang berbeda dapat membangkitkan bibit separatisme. Penelitian ini menggunakan konsep etnofederalisme dan metode sejarah dalam menganalisis hubungan Federasi Rusia dengan Republik etnisnya yaitu Republik Chechen. Implementasi etnofederalisme di Republik Chechen memiliki pengaruh terhadap potensi separatisme di Federasi Rusia. Hal tersebut membuktikan bahwa sistem etnofederalisme di Federasi Rusia memiliki signifikansi terhadap gerakan separatis Chechen.
ABSTRACT
This thesis is purposed to research how far ethnofederalism had significances to the separatism in Russia Federation. Ethnofederalism that should accomodate the interest of different ethnics can generate the seeds of separatism. This research used the concept of ethnofederalism and separatism terrorism and history method to analize relation between Russian Federation and its subject federation (Republic Chechen). Implementation of ethnofederalism in Chechen Republic had influence to the separatist movement in Russian Federation. It proved that ethnofederalism had significances to the separatism in Russia Federation.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42266
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Over recent decades a number of states in South and Southeast Asia have been troubled by armed separatist movements that have sought to create their own independent polity via physical separation from the parent state. Various forms of autonomy have been promoted by policy-makers and donors as the most democratic way of accommodating separatist insurgents in ethnically, religiously, politically and socially divided states. Despite this, remarkably few states in Asia have succeeded in winning over their aggrieved eparatist minorities to the dominant nationalist cause.
Singapore: Institute of South East Asia Studies, 2012
e20442349
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Hamuni
Abstrak :
Adapun yang menjadi masalah penelitian ini adalah Cara-Cara ABRI dalam menyelesaikan pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara dengan mengacu pada Pancasila, UUD 1945, dan Sapta Marga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai: (a) keberadaan DI/TII di Sulawesi Tenggara dalam struktur DI/TII Kahar Muzakkar, (b) dampak pemberontakan DI/Tll. terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara, (c) bentuk strategi yang digunakan ABRI dalam menumpas pemberontakan DI/TIl tersebut, serta (d) digunakan, atau tidak digunakannya strategi non-militer dalam penumpasan DI/TlI, dan apa implikasinya terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara. Data penelitian diperoleh melalui dua sumber, yaitu: (a) sumber primer sebagai sumber data lisan diperolah melalui penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara besar dan mendalam dengan informan penelitian, dan (b) sumber sekunder sebagai sumber data tertulis melalui studi arsip atau dokumen, hasil penelitian terdahulu yang relevan, dan sumber kepustakaan lainnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, dengan pertimbangan bahwa sumber data berupa arsip atau dokumen yang dipilih memiliki obyektivitas serta memenuhi syarat untuk dijadikan sumber data penelitian. Berdasarkan prosedur metodologis di atas, maka diperoleh temuan-temuan penelitian, bahwa pemberontakan DI/TI1 di Sulawesi Tenggara merupakan bahagian dari stuktur DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan kuat, punya jaringan dan mereka menteror rakyat. Basisnya juga ada dan kuat yaitu KGSS serta ada dukungan basis dari kelompok Islam seperti Bahar Mattalioe dan Usman Balo, juga banyak mendapat dukungan dari ahli agama. Karena itu DI/T11 di Sulawesi Selatan bisa kuat dan bertahan lama. Sedangkan di Sulawesi Tenggara, DI/TII tidak punya jaringan dan tidak punya basis, medannya susah sehingga jaringan antara rakyat dengan DI/TII gampang dipotong oleh ABRI. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara membawa dampak buruk berupa gangguan terhadap ketahanan nasional yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan itu sendiri yang telah mendorong Iahirnya goncangan stabilitas di daerah Sulawesi Tenggara, stabilitas nasional atau disintegrasi bangsa. Di Sulawesi Selatan, penumpasan pemberontakan DI/TII lebih banyak digunakan strategi militer (full militer), bahkan dengan menggunakan pesawat terbang. Itulah sebabnya sehingga operasi penumpasan DI/ TII di Sulawesi Selatan didatangkan pasukan bantuan dari Jawa. Strategi penumpasan DI/TIl di Sulawesi Tenggara mempunyai kekhususan lain dengan yang ada di Sulawesi Selatan, yakni lebih banyak menggunakan strategi non-militer. Ini disebabkan karena di Sulawesi Tenggara tidak ada basis kekuatan DI/TII seperti KGSS di Sulawesi Selatan, medannya susah, dan tentara dari putra daerah juga sedikit sekali. Itulah sebabnya jaringan basis DI/TII di Sulawesi Tenggara gampang dipotong oleh ABRI. Dalam hubungan ini ABRI lebih banyak memotong hubungan rakyat dengan DI/TlI. Bahkan strategi penumpasan DI/TII di Sulawesi Tenggara juga menggunakan strategi gabungan antara strategi militer dengan strategi non-militer. Karena itu implikasi strategi penumpasan DI/ TII terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara pada saat itu ialah pemerintah, ABRI yang mendapat dukungan rakyat berhasil meniadakan atau meminimalkan gangguan terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara. Baik itu gangguan yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan itu sendiri. Dengan demikian dapat dihindari hal-hal yang dapat mendorong lahirnya goncangan stabilitas nasional di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T2511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syuhada
Abstrak :
Penelitian ini membahas perubahan gerakan bersenjata ke partai politik : studi komparatif Partai Aceh-Indonesia & Partai Sinn Fein-Irlandia Utara pada pemilu periode 2009-2022. Terdapat dua permasalahan dalam penelitian ini, pertama, bagaimana perubahan gerakan bersenjata menjadi partai politik GAM ke Partai Aceh dan IRA ke Partai Sinn Fein, kedua, bagaimana pelembagaan Partai Aceh dan Partai Sinn Fein pada pemenangan pemilu. Penelitian ini menggunakan metode komparatif Sigmund Neumann yang bertujuan membandingkan faktor-faktor penelitian terkait pelembagaan Partai Aceh dan Partai Sinn Fein. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada narasumber penelitian, serta pengumpulan data sekunder melalui dokumen-dokumen, gambar-gambar terkait. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada transformasi gerakan bersenjata ke partai politik, Partai Aceh kecenderungan menggunakan pola patronase dalam memaksimalkan kinerja mesin partai untuk mencapai tujuan politik, meskipun Partai Aceh berhasil menjadi pemenang selama tiga periode pemilu pasca konflik, tetapi mengalami penurunan perolehan kursi di DPR Aceh. Sedangkan Partai Sinn Fein dalam transformasi gerakan bersenjata pasca-konflik berhasil mempertahankan perolehan kursi di Majelis Irlandia Utara dan mencatat sejarah dengan menduduki jabatan menteri pertama sejak tahun 1921. Sedangkan terkait transformasi gerakan bersenjata menjadi partai politik yakni Partai Aceh dan Partai Sinn Fein dengan melihat (demiliterisasi struktur organisasi, demokratisasi pengambilan keputusan, pengembangan organisasi partai dan adaptasi strategi dan tujuan). Signifikansi teori Armed Rebellion, Institusionalisasi dan transformasi gerakan bersenjata ke partai politik relevan digunakan dalam penelitian ini. Teori ini dapat membantu melihat perubahan gerakan bersenjata ke partai politik di kedua wilayah pasca konflik, meskipun hasil pada keduanya berbeda, secara keseluruhan dapat dikategorikan sukses. ......This research discusses the change of armed movements to political parties: a comparative study of the Aceh-Indonesia Party & Sinn Fein Party-North Ireland in the 2009-2022 election period. There are two problems in this research, first, how is the change of the armed movement from GAM to the Aceh Party and IRA to the Sinn Fein Party, second, how is the institutionalization of the Aceh Party and the Sinn Fein Party in winning elections. This study uses the Sigmund Neumann comparative method which aims to compare research variables related to the institutionalization of the Aceh Party and the Sinn Fein Party. Data collection techniques were carried out by in-depth interviews with research informants, as well as secondary data collection through related documents and images. The results of this study indicate that in the transformation of armed movements into political parties, the Aceh Party tends to use patronage patterns in maximizing the performance of the party machine to achieve political goals, even though the Aceh Party has succeeded in becoming the winner during the three post-conflict election periods, it has experienced a decrease in the number of seats in the Aceh DPR. Meanwhile, the Sinn Fein Party in the transformation of the post-conflict armed movement succeeded in retaining seats in the Northern Ireland Assembly and made history by occupying the first ministerial position since 1921. Meanwhile, with regard to the transformation of the armed movement into a political party, namely the Aceh Party and the Sinn Fein Party by looking at (demilitarization of organizational structure, democratization of decision-making, development of party organization and adaptation of strategies and objectives). The significance of Armed Rebellion theory, institutionalization and transformation of armed movements into relevant political parties is used in this research. This theory can help to see the change of armed movements to political parties in both post-conflict areas, although the results for the two are different, overall it can be categorized as successful.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>