Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shabrina Audinia
"ABSTRAK
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa kesepian memiliki hubungan dengan gejala psikotik, tetapi mekanisme hubungan antara dua variabel masih belum banyak dipelajari. Peran skema negatif sebagai mediator diperiksa sementara gejala depresi dikontrol sebagai kovariat. Ada 463 peserta dari sampel masyarakat Indonesia yang mengisi kuesioner yang berisi Asesmen Komunitas terhadap Pengalaman Psikotik (AKPP) untuk menilai gejala psikotik, Skala Kesepian UCLA (ULS-8) untuk mengukur kesepian, Skala Skema Inti Singkat (BCSS) untuk menilai skema negatif, dan Angket Kesehatan Pasien (PHQ-9) untuk mengukur gejala depresi. Melalui analisis mediasi, hasil menunjukkan bahwa skema negatif memediasi hubungan antara kesepian dan gejala psikotik, baik positif (ab = 0,19, p <0,01, CI 95% [0,09, 0,30]), dan negatif (ab = 0,06, p <0,01, 95% CI [0,01, 0,12]). Semakin tinggi tingkat kesendiriannya, skema seseorang akan semakin negatif; semakin negatif skema, semakin tinggi tingkat gejala psikotik baik gejala positif maupun negatif. Selain itu, penelitian ini menjelaskan mekanisme kognitif dalam menerjemahkan efek kesepian menjadi gejala psikotik.

ABSTRACT
Previous studies have shown that loneliness has a relationship with psychotic symptoms, but the mechanism of the relationship between the two variables is still not widely studied. The role of the negative scheme as a mediator is examined while depressive symptoms are controlled as a covariate. There were 463 participants from a sample of Indonesians who filled out a questionnaire containing the Community Assessment of Psychotic Experiences (AKPP) to assess psychotic symptoms, the UCLA Loneliness Scale (ULS-8) to measure loneliness, the Short Core Scheme Scale (BCSS) to assess negative schemes, and Patient Health Questionnaire (PHQ-9) to measure symptoms of depression. Through mediation analysis, the results show that the negative scheme mediates the relationship between loneliness and psychotic symptoms, both positive (ab = 0.19, p <0.01, 95% CI [0.09, 0.30]), and negative (ab = 0.06, p <0.01, 95% CI [0.01, 0.12]). The higher the level of loneliness, one's scheme will be more negative; the more negative the scheme, the higher the level of psychotic symptoms both positive and negative symptoms. In addition, this study explains the cognitive mechanism in translating the effects of loneliness into psychotic symptoms.
"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Octiani Eka Hapsari
"ABSTRAK
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang sebenarnya dapat terjadi pada siapa saja. Diperkirakan satu dari 100 penduduk dunia menderita skizofrenia.
Menurut situs British Columbia Schizophrenia Society, penyakit ini biasanya
muncul pada usia 16-25 tahun. Namun pada perempuan umumnya Iebih lambat,antara 20-30 tahun (Kompas, 28 Januari 2002).
Di Indonesia, jumlah penderita skizofrenia juga cukup besar. Data
menunjukkan bahwa gangguan jiwa ini diderita oleh 6-I9 orang per 1000
penduduk. Jika jumlah seluruh penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 200 juta jiwa maka tak kurang dari 2 juta penduduk Indonesia menderita skizofrenia
(Kompas, 28 Januari 2002) dan 60% lebih penghuni RS Jiwa di Indonesia adalah
penderita skizofrenia.
Skizofrenia memiiiki simtom (gejala) utama gangguan pada pikiran, emosi
dan tingkah laku. Gangguan pikiran berupa ide-ide atau pikiran-pikiran yang tidak
secara logis saling berhubungan; gangguan emosi berupa emosi yang datar dan tidak sesuai situasi serta toleransi stress yang rendah dalam hubungan interpersonal; dan gangguan tingkah laku berupa tingkah laku yang aneh (bizarre)
Karakteristik diatas dapat diukur melalui alat diagnostik yang sudah ada,
Salah satunya dengan tes Rorschach. Tes Rorschach merupakan salah satu tes proyeksi yang terdiri dari 10 kartu inkblot, dimana subyek diminta untuk
menyebutkan gambar apa yang ada dalam kartu tersebut. Tujuan utama dari
tehnik ini adalah mengukur struktur kepribadian dengan penekanan pada
bagaimana individu membangun pengalamannya (cognitive strucmring) dan arti
yang diberikan pada pengalaman persepsi mereka (thematic imagery) (Weiner,1994, dalam Groth-Marnat, 1999).
Salah satu ahli yang mengembangkan tes Rorschach antara lain adalah
Bruno Klopfer dan Douglas G. Kelley. Dalam bukunya yang berjudul The
Rorschach Technique (1946), Klopfer dan Kelley membahas tentang tanda-tanda
dementia precox. Mereka mengumpulkan penelitian-penelitian dari berbagai ahli
dan menggabungkannya dalam suatu daftar yang memuat berbagai macam skor yang merupakan indikasi dari dementia praecox, yang kemudian hari disebut Skizofrenia.
Pada penelitian ini ingin diketahui apakah tanda-tanda skizofrenia yang disusun oleh Klopfer & Kelley (1946) memang dijumpai pada kasus-kasus yang
telah mendapatkan diagnosis skizofrenia, khususnya skizofrenia paranoid.
Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah peneliti ingin
mengembangkan Tes Rorsehach sebagai salah satu alat diagnostik yang bisa
memprediksi gangguan skizofrenia khususnya skizofrenia paranoid berdasarkan 20 tanda-tanda skizofrenia yang disusun oleh Klopfer & Kelley.
Penelitian seperti ini pernah dilakukan Sebelumnya oleh Jeanette Murad,Irene Farich, Augustine Rizal, Mira Rumeser, dan Farida Lestira Subarja pada
tahun 1983-1984. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa tanda-tanda
skizofrenia yang dikemukakan oleh Klopfer & Kelley (1946) tidak seluruhnya menunjukkan kesuaian dengan hasil analisis yang mereka lakukan pada penderita
skizofrenia di Jakarta Pada salah satunya sarannya, mereka menyebutkan
pentingnya pengelompokan yang spesifik pada penderita skizofrenia karena
masing-muing sub tipe memiliki ciri menonjol yang berbeda dan kemungkinan
mereka menampilkan reaksi yang berbeda pula terhadap kartu. Dengan sampel
yang homogen diharapkan kesimpulan yang diambil bisa lebih pasti.
Penelitian ini lebih bersifat eksploratif. Cara yang dipakai adalah dengan
membandingkan tanda-tanda skizofrenia yang telah disusun oleh Klopfer & Kelley (1946) dengan hasil tes Rorschach dari penderita skizofrenia paranoid di
RSAL Dr Mintoharjo dan RSPAD Gatot Soebroto. Penelitian ini juga ingin
mengetahui tanda-tanda skizofrenia mana saja yang memiliki persentase sedang (25%-50%) dan tinggi (lebih dari 50%). Hasil analisis ini kemudian dibandingkan
dengan hasil analisis Murad, et. Al (1983). Hasil dari penelitian ini diharapkan
bisa memberikan hipotesa yang lebih jelas dari penelitian sebelumnya. Instrumen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah protokol Rorschach yang diambil
oleh mahasiswa yang sedang mengambil pendidikan profesi psikolog di Bagian
Psikologi Klinis Universitas Indonesia, periode tahun |994 s.d. 2002.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa tanda-tanda skizofrenia yang
diajukan oleh Klopler & Kelley tidak seluruhnya menunjukkan kesesuaian dengan
hasil analisis dari 30 penderlta skizofrenia paranoid di Jakarta. Dari 20 tanda, ada 12 tanda yang bisa dikatakan cukup indikatif untuk skizofrenia. Ada 4 tanda yang
dianggap cukup sesuai (lebih dari 50%) dengan tanda-tanda skizofrenia yang diajukan oleh Klopfcr & Kelley dan ada 8 tanda yang menunjukan presentase
yang cukup tinggi (25%-50%). Tanda-tanda lainnya juga ditemui pada penderita skizofrcnia yang paranoid, tapi dalam jumlah yang sangat sedikit (dibawah 25%).
Hasil analisis Murad. et.a|. (1983) menyebutkanbahwa dari 20 tanda-landa
skizofrenia, hanya ada 7 tanda-tanda yang cukup sesuai dengan tanda-tanda
skizofrenia yang diajukan oleh Klopfer & Kelley. Adanya perbedaan hasil analisis
penelitian ini dengan hasil penelitian Murad et.al. (l983), mungkin dipengaruhi
oleh pemilihan sampel yang lebih spesilik dari penelitian sebelumnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38408
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shitta Mutyahara
"ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat apakah terdapat hubungan antara penerimaan teman sebaya dengan simtom depresi pada siswa SMA di DKI Jakarta. Perceived Acceptance Scale Brock et al., 1998 dan Hopkins Symptoms Check-List 25 Derogatis et al., 1974 digunakan untuk mengukur penerimaan teman sebaya dan simtom depresi. Partisipan dari penelitian ini adalah 767 siswa kelas X di wilayah DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara penerimaan teman sebaya dengan simtom depresi pada siswa SMA di wilayah DKI Jakarta. Dengan demikian, anak yang diterima oleh teman sebayanya dengan baik dapat mengurangi kemungkinan munculnya simtom depresi, sementara anak yang kurang diterima oleh teman sebayanya memiliki kemungkinan yang lebih tinggi dalam memunculkan simtom depresi.

ABSTRACT
The aim of this study is to investigate whether there is any correlation between peer acceptance and depressive symptoms among high school student in DKI Jakarta. Perceived Acceptance Scale Brock et al., 1998 and Hopkins Symptoms Check List 25 Derogatis et al., 1974 were used to measure peer acceptance and depressive symptoms. Participants of this study were 767 high school students in grade 10 from DKI Jakarta. The result of this study showed a significant negative correlation between peer acceptance and depressive symptoms. In conclusion, the adolescents who are well accepted in their peers could lower the chance of them showing depressive symptoms, whereas the adolescents who are less accepted in their peers could show higher depressive symptoms."
2017
S69618
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agesty Putri Ageng
"ABSTRAK
Penelitian ini disusun dengan tujuan memahami dinamika dampak psikologis,
khususnya trauma, pada perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual
dalam hubungan pacaran untuk kemudian dibuatkan rancangan intervensi yang
dapat diaplikasikan pada klien dengan kasus serupa. Partisipan beijumlah dua
perempuan berusia 24 dan 25 tahun. Pendekatan penelitian adalah kualitatif tipe studi kasus intrinsik. Asesmen
dilakukan dengan teknik wawancara mendalam sebanyak lima pertemuan dan
observasi sebagai teknik pendukung, Analisis dilakukan secara interkasus. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa terdapat empat tema utama yang
muncul dari partisipan sebagai dampak psikologis dari kekerasan seksual dalam
hubungan pacaran, yaitu masih dirasakannya simtom-simtom PTSD, konsep diri
negatif, permasalahan dalam relasi interpersonal berikutnya, dan traumatisasi
seksual. Atas alasan urgensi, maka untuk rancangan intervensi dipilih dua dari
empat area tersebut, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi seksual. Rancangan intervensi berbentuk modul dan menggunakan pendekatan behavioral
kognitif untuk pemulihan trauma. Teknik-teknik behavioral diberikan untuk area
simtom-simtom PTSD, sedangkan teknik-teknik kognitif diberikan untuk area
traumatisasi seksual."
2010
T37815
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shierlen Octavia
"ABSTRAK
Trauma masa kanak-kanak adalah faktor risiko yang mempengaruhi perkembangan gejala psikotik. Berbagai penelitian telah menjelaskan mekanisme hubungan antara keduanya
variabel. Skema diri negatif, respons psikologis terhadap trauma dan diketahui memiliki
dampak pada tingkat gejala psikotik, dipostulatkan untuk memediasi dua variabel ini. Ini
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran skema negatif diri sebagai mediator antara masa kanak-kanak trauma dan gejala psikotik dengan mengendalikan gejala depresi sebagai kovariat. Itu Penelitian dilakukan pada 397 peserta (25,4% pria; Mage = 22,28, SD = 4,93).
Gejala psikotik diukur oleh Asesmen Komunitas terhadap Pengalaman Psikotik (AKPP), trauma masa kecil diukur dengan kuesioner berbasis laporan diri pada studi NEMESIS, dan skema negatif diri diukur dengan Skema Inti Singkat Timbangan (BCSS). Melalui analisis mediasi, hasilnya menunjukkan skema self-negative secara signifikan memediasi hubungan antara trauma masa kecil dengan positif gejala (ab = 0,08; SE = 0,04; 95% CI [0,01, 0,17]), serta gejala negatif dari gejala psikotik (ab = 0,08; SE = 0,03; 95% CI [0,03, 0,14]), dan juga langsung hubungan antara pengalaman traumatis masa kanak-kanak dan gejala positif juga
ditemukan. Ini menjelaskan pentingnya mempertimbangkan peran kognitif dalam menerjemahkan efek trauma masa kecil terhadap gejala psikotik.

ABSTRACT
Childhood trauma is a risk factor that influences the development of psychotic symptoms. Various studies have explained the mechanism of the relationship between the two
variable. Negative self schemes, psychological responses to trauma and are known to have
impact on the level of psychotic symptoms, postulated to mediate these two variables. This This study aims to examine the role of self-negative schemes as a mediator between childhood trauma and psychotic symptoms by controlling depressive symptoms as covariates. The study was conducted on 397 participants (25.4% male; Mage = 22.28, SD = 4.93). Psychotic symptoms were measured by the Community Assessment of Psychotic Experience (PPA), childhood trauma was measured by a self-report questionnaire based on the NEMESIS study, and a negative self-scheme was measured by the Short Core Scales Scheme (BCSS). Through mediation analysis, the results showed a self-negative scheme significantly mediated the relationship between childhood trauma with positive symptoms (ab = 0.08; SE = 0.04; 95% CI [0.01, 0.17]), as well as symptoms negative psychotic symptoms (ab = 0.08; SE = 0.03; 95% CI [0.03, 0.14]), and also a direct relationship between childhood traumatic experiences and positive symptoms as well
was found. This explains the importance of considering the cognitive role in translating the effects of childhood trauma on psychotic symptoms."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afiyana Eka Nurilla
"Depresi merupakan kondisi psikologis yang paling umum terjadi dan banyak memengaruhi wanita, terutama seorang ibu. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menggali dampak kondisi depresi ibu pada fungsi kognisi anak. Namun demikian, hasil penelitian mengenai dampak simtom depresi ibu dalam kaitannya dengan peran figur ayah dalam pengasuhan dan fungsi kognitif anak, khususnya Executive Function (EF), masih ditemukan inkonsistensi. Penelitian ini ditujukan untuk melihat kontribusi simtom depresi ibu dan keterlibatan ayah dalam memprediksi EF anak di usia dini. Sekitar 101 anak usia 4-6 tahun beserta kedua orang tuanya diikutsertakan dalam penelitian ini. Beberapa tes EF diberikan pada anak dan kuesioner simtom depresi ibu dan keterlibatan ayah diberikan masing-masing pada ibu dan ayah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya simtom depresi ibu yang berkontribusi secara signifikan untuk memprediksi EF anak setelah dilakukan pengontrolan pada jenis kelamin dan usia anak, status bekerja ibu, dan SES. Penelitian ini menggagas pentingnya memperhatikan kondisi psikologis ibu saat akan melakukan intervensi untuk mengoptimalkan EF anak di usia dini.

Depression is most common psychological condition and affects largely in women, particularly in mothers. Numerous studies have been conducted to specify the impact of maternal depressive symptoms on preschool children cognitive functioning. Nonetheless, the result of the studies regarding maternal depressive symptoms in relation to the role of father figure in parenting and children cognition, especially in Executive Function (EF) have found inconsistency. This study aimed to assess the contribution of maternal depressive symptoms and father involvement in predicting children EF. About 101 preschool children aged 4-6 and their parents were involved in this study. Several EF tests were delivered to children, while maternal depressive symptoms and father involvement questionnaire were given to mother and father respectively.
Result found that only maternal depressive symptoms predicted EF performance on children above and beyond the influences of child gender and age, maternal work status, and family socioeconomic level. This study points out the importance to consider maternal psychological condition while targeting intervention for promoting EF in preschool.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63121
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iletta Nathania Tjioe
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penerapan Resource Development and Installation (RDI) untuk menurunkan simtom trauma pada anak dengan Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Partisipan merupakan anak laki-laki usia 8 tahun yang mengalami trauma seksual. Intervensi dilakukan selama 7 sesi menggunakan 4 teknik yaitu Point of Power, Container, Pendulation Exercise, dan Four Field.
Tujuan dari penerapan teknik RDI yaitu untuk mengurangi simtom trauma dengan meningkatkan sumber daya positif dan menurunkan perasaan-perasaan negatif.
Hasil intervensi menunjukkan adanya penurunan simtom trauma, peningkatan sumber daya positif, dan penurunan perasaan negatif yang terlihat dari penurunan skor CRIES-13. Selain itu, terjadi perubahan perilaku anak menjadi lebih adaptif. Anak merasa lebih mampu meregulasi emosi negatifnya dengan menggunakan sumber daya positif yang telah dipelajarinya.

This study was conducted to determine the therapeutic application of Resource Development and Installation (RDI) to reduce trauma symptoms on a child with Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Participant was an 8 year old boy who?s experiencing sexual trauma. The intervention process was conducted in a total of 7 sessions using 4 RDI techniques including Point of Power, Container, Pendulation Exercise, and Four Field.
The purpose of RDI application was to reduce trauma symptoms by increasing positive resources and minimize negative cognitions.
The results showed decreasing of trauma symptoms and negative cognitions and an increase of positive resources and cognitions that is marked by lowering of scores obtained from CRIES-13. In addition, participant's behaviors were noted to be more adaptive. The participant felt that he?s able to regulate his negative emotion more using his positive resources.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T46585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theta Felicia Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara coping dan simtom depresi pada individu yang sedang menjalani rehabilitasi medik. Sebanyak 50 partisipan diminta untuk melengkapi kuesioner coping (Brief COPE) dan simtom depresi (Beck Depression Inventory). Pada penelitian ini gambaran coping partisipan tergolong sedang dan simtom depresi mereka tergolong rendah. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara coping dan simtom depresi (r = -0.223, p > 0.05). Meski demikian ditemukan hubungan yang negatif dan signifikan antara use of instrumental support (subscale emotion focused coping) dengan simtom depresi (r = -.304, p < 0.05).

This research examined the relationship between coping and depressive symptoms in individuals who are undergoing medical rehabilitation. A total of 50 participants were asked to fill out questionnaires on coping (Brief COPE) and depressive symptoms (BDI). In this research, participants were found to have moderate coping effectivity and low depressive symptoms. The results indicated an unsignificant relationship between coping and depressive symptoms (r = -0.223, p > 0.05). Although the results also indicate that there is a negative and significant relationship between the use of instrumental support (emotion focused coping subscale) and depressive symptoms (r = - .304, P <0.05).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S54835
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khalid Mohammad Shidiq
"Latar belakang. HIV/AIDS merupakan penyakit kronik yang memiliki spektrum klinis yang sangat luas, memerlukan terapi seumur hidup, dan dapat menurunkan kualitas hidup. Belum terdapat alat evaluasi keluhan penyakit dan efek samping pengobatan pasien HIV/AIDS yang sederhana untuk digunakan saat evaluasi di rawat jalan. Pemantauan keluhan secara objektif penting karena berhubungan dengan kualitas hidup dan kepatuhan berobat pasien HIV/AIDS. Belum diketahui apakah pasien HIV/AIDS yang sudah dalam terapi masih memiliki banyak keluhan yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya secara keseluruhan. Tujuan. Menilai keandalan kuesioner Indeks Simtom HIV untuk menilai keluhan pasien HIV/AIDS, mengetahui profil keluhan pasien HIV/AIDS di Indonesia dengan menggunakan kuesioner Indeks Simtom HIV, mengetahui korelasi keluhan dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada subjek pasien HIV/AIDS yang berobat jalan rutin di poliklinik HIV. Subjek direkrut secara random pada September hingga November 2018 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Uji coba kuesioner dilakukan pada 20, dan evaluasi keluhan dilakukan pada 87 subjek. Sebelum uji coba, dilakukan proses adaptasi bahasa kuesioner Indeks Simtom HIV yang dikembangkan Justice et al ke bahasa Indonesia dengan metode Beaton dan Guillemin. Setelah itu dilakukan uji keandalan dengan analisis Alpha Cronbach's a coefficient, serta uji validitas internal dengan multitrait scaling analysis. Selanjutnya evaluasi keluhan dilakukan pada pasien di unit pelayanan terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo. Bersamaan dengan itu subjek juga dinilai kualitas hidupnya dengan kuesioner WHOQOL-HIV BREF. Dilakukan analisis korelasi keluhan dengan kualitas hidup dengan analisis korelasi spearman. Hasil. Kuesioner Indeks Simtom HIV hasil adaptasi bahasa Indonesia andal (Cronbach alpha 0,760) dan valid (korelasi multitrait >0,4) untuk menilai keluhan pasien HIV/AIDS. Keluhan yang terbanyak dialami subjek adalah kelelahan (55,7%), gangguan tidur (43,3%), pusing/keliyengan (42,3%), masalah pada kulit (42,3%) dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di kaki atau tangan (39,2%), sementara yang paling jarang adalah demam (15,5%), batuk (20,6%), mual (20,6%), diare (21,6%), dan penurunan nafsu makan (23,7%). Korelasi keluhan pasien HIV/AIDS saat rawat jalan dengan kualitas hidup tidak ada (r=-0,245, p=0,022), terdapat korelasi sedang antara keluhan dengan tingkat independensi (r =-0,575, p < 0,001), dan terdapat korelasi lemah dengan domain fisik, sosial, lingkungan, spiritual (r > -0,3, p < 0,05). Kesimpulan. Penggunaan kuesioner Indeks Simtom HIV dalam bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai keluhan pasien HIV/AIDS dengan lebih objektif. Tiga keluhan terbanyak yang dialami pasien HIV yang sudah mendapat terapi antiretroviral adalah kelelahan atau kurang energi, pusing atau keliyengan, dan gangguan tidur, keluhan tersebut berkaitan dengan efek samping terapi antiretroviral. Keluhan pasien HIV/AIDS yang sudah mendapat terapi tidak berhubungan dengan kualitas hidup.

Backgrounds. HIV/AIDS is a chronic disease with a wide clinical spectrum which needs a long life treatment, and could decrease quality of life. There is yet a simple tool to evaluate symptoms of HIV infection and treatments side effect that can be used in outpatient setting. Objective symptoms measurement is important because it is correlated to treatment adherence and progressivity of the disease. Whether symptoms in outpatient HIV subjects whom are already treated are correlated to the quality of life is not yet known. Reliability of Indonesian version of HIV Symptom Index for measuring symptoms of HIV/AIDS patients, knowing the symptom profile/pattern of HIV/AIDS patients in Indonesia using HIV Symptom Index, and knowing the correlation between symptoms and quality of life in HIV/AIDS patients. Method. It is a cross sectional study in outpatient HIV/AIDS subjects. Subjects are recruited randomly in Cipto Mangunkusumo National Hospitals HIV  clinic from September until November 2018. Questionaire reliability assessment is done on 20 subjects, and symptom evaluation is done on 87 subjects. Language adaptation from the original english version into Indonesian was done with Beaton and Guillemin method. Realibility of Indonesian version of HIV Symptom Index was tested by alpha cronbachs a coefficient analysis, and the internal validity was tested with multitrait scaling analysis. The Valid and reliable Indonesian version of HIV Symptom Index is then used to profile the symptom pattern of HIV/AIDS patients in Cipto Mangunkusumo National Hospital. Quality of life of the subjects were measured with WHOQOL-HIV BREF questionnaire. Correlation between symptoms and quality of life was analyzed with spearman correlation analysis. Result.  Indonesian version of HIV Symptom Index is reliable (cronbach alpha 0,76) and valid (multitrait correlation >0,4) to measure symptoms of HIV/AIDS patients. The most common symptom is fatigue (55,7%), followed by insomnia (43,3%), dizziness and lightheaded (42.3%), skin problems (42,3%), and pain, numbness, or tingling in the hands or feet (39,2%). The rarest symptoms are fever (15,5%), cough (20,6%), nausea or vomiting (20,6%), diarrhea (21,6%), and lost of appetite (23,7%). Symptoms of HIV/AIDS patients treated with Antiretroviral (ARV) are not correlated with the quality of life (r=0,245, p=0,022) but have a moderate correlation with independence domain (r=0,575, p<0,001), and have a weak correlation with physical, social, environment, and spiritual domains (r>-0,3, p<0,05). Conclusion. Indonesian version of HIV symptom Index is reliable and valid to measure symptoms of HIV/AIDS patiens objectively. Three most frequent symptoms are fatigue or weakness, dizzines or lightheaded, and insomnia. These symptoms are related to side effects of antiretroviral therapy. Symptoms of ARV treated HIV/AIDS patients were not correlated with the quality of life. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library