Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Simatupang, Sabar
Abstrak :
Sejak awal masa Reformasi sampai sekarang kebijakan penataan hubungan kelembagaan di antara Dephan dengan Mabes TNI masih menimbulkan permasalahan yang krusial. Permasalahannya adalah bagaimana menempatkan institusi militer secara obyektif dan proporsional dalam suatu sistem kenegaraan yang demokratis. Demikianlah permasalahan ini menjadi salah satu program utama dalam pelaksanaan kebijakan reformasi sektor pertahanan pada aspek struktural yang dilaksanakan oleh pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu permasalahan yang diteliti dalam penulisan tesis ini adalah bagaimana kebijakan dan upaya reformasi sektor pertahanan aspek struktural yang menyangkut penataan hubungan kelembagaan di antara Dephan (Kemhan) dengan Mabes TNI tersebut telah dilaksanakan selama masa Reformasi ini. Penelitian difokuskan pada kurun waktu yang dilaksanakan sejak awal masa Reformasi tahun 1998 sampai dengan masa pemerintahan Presiden SBY-JK (2004-2009) dan bagaimana alternatif kebijakan penataan selanjutnya ke depan, yang ditinjau dalam perspektif Kebijakan Publik, Demokratisasi, penegakan Supremasi Sipil dalam paradigma hubungan Sipil dan Militer di Indonesia serta dilihat juga dari perspektif Ketahanan Nasional. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisa deskriptif analitis. Mengacu kepada kajian teoritis tentang Kebijakan Publik, Demokratisasi, penataan hubungan Sipil-Militer dan penegakan Supremasi Sipil yang kemudian diterapkan di Indonesia, maka dari hasil penelitian dan analisa pembahasan bisa disimpulkan bahwa kebijakan reformasi pertahanan pada aspek struktural yang dilaksanakan melalui upaya penataan hubungan kelembagaan di antara Dephan (sekarang Kemhan) dengan Mabes TNI selama masa Reformasi sampai periode pemerintahan Presiden SBY-JK telah memberikan pemahaman mendasar bagi institusi militer di Indonesia, agar dapat diposisikan secara obyektif dan proporsional sebagai bagian dari suatu sistem kenegaraan yang demokratis. Dengan adanya tuntutan Demokratisasi, penataan hubungan Sipil-Militer dan penegakan Supremasi Sipil yang gencar diwacanakan oleh Civil Society sejak awal masa Reformasi pada kenyataannya oleh pemerintah telah direspon dalam penataan hubungan kelembagaan tersebut melalui proses dan mekanisme politik yang relevan dengan perkembangan sistem hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Sedangkan dalam perspektif Ketahanan Nasional, penataan hubungan kelembagaan ini juga berimplikasi positif terhadap aspek Ideologi, Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya bangsa dan negara Indonesia saat ini. ......Since the beginning of the reform period up to now policies institutional arrangement relationship between Dephan with TNI headquarters still raises a crucial issue. The issues is how to place military institution objectively and proportionately within a democratic state system. So the issue becomes one of the main programs in the implementation of policy reforms on the structural aspects of the defence sector conducted by the Indonesian government. Therefore the main research of this thesis is the problem how policy and efforts of defence sector reform structural aspects related to structuring institutional relationship between the Dephan (Kemhan) with the TNI Headquarters was implemented during this reform period. Research focused on the problem reforms implemented since the beginning of reform period 1998 to the reign of President SBY-JK (2004-2009). Besides that is how subsequent policy alternative arrangement forward, which is seen in the perspective of democratization, rule of civilian supremacy in civil and military relations paradigm in Indonesia as well as seen also in the perspective of national resilience. This study used qualitative methods with analytical descriptive analysis. Referring to the theoretical study of Public Policy, The Democratization, The Arrangement of Civil-Military relations and uphold Civilian Supremacy which is then applied in Indonesia, then the results of research and analysis concluded that the discussion of defencce reform policies are implemented through the structural aspects of effort to organize the institutional relationship between the Department of Defence (now Kemhan) with the TNI Headquarters during the period of reform until President SBY-JK government has given fundamental understanding to military institutions in Indonesia. This kind of understanding can be positioned to objectively and proportionately as part of a democratic state system. The requirements of Democratization, The Arrangement of Civil-Military relations and Civilian Supremacy rule to a vigorous enforcement by civil society discourse since the beginning of reform on the fact the government has responded in structuring the relationship institution through political processes. The mechanisms there are relevant to the legal system and constitutional developments in Indonesia. While the National Relience perspective, the arrangement of these institutional relationships also has a positive impact on aspects of Ideology, Politics, Economics and Social Culture of the nation and the state of Indonesia today.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29669
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Sutanto
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5480
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Yulianto
Abstrak :
Hubungan sipil-militer merupakan faktor yang sangal penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam membangun ketahanan nasional suatu negara. Oleh karenanya hubungan sipil-mililer mempakan isu penting dan abadi yang terus-menerus dikaji, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia, masalah hubungan sipil-militer telah dikaji mulai dari masa kemerdekaan sampai dengan masa pasca-Orde Baru dengan berbagai macam metode pendekatannya. Dari berbagai kajian yang ada saat ini pendekatan model dua dimensi: kontestasi militer dan hak-hak istimewa kelembagaan militer belum dikaji secara mendetail, kalaupun sudah dikaji, masih sebatas diseputar politik militer dengan pendekatan yang berbeda pula. Untuk itu kajian hubungan sipil-militer di Indonesia pasca-Orde Baru dengan menggunakan pendekatan dua dimensi: kontestasi miiiter dan hak-hak kelembagaan militer perlu diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintahan sipil baru dalam mngka mewujudkan demokratisasi, dan menganaiisa reaksi militer terhadap kebiiakan tersebut khususnya yang menyangkut wiiayah-wilayah penting yang sebelumnya meniadi hak-hak istimewa militer. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif dengan menggunakan model atau pendekatan memadukan dua dimensi panting yaitu dimensi konhestasi militer dan hak-hak istimewa kelembagaan miiiter dalam bentuk diagram kontestasi dan hak-hak kelembagaan militer. Dari perpaduan dua dimensi ini dapat dapat diukur dan diketahui, di samping sejauh mana tingkat kontestasi dan hak-hak istimewa kelembagaan militer, juga bagaimana pola hubungan sipil-militer, sehingga dapat disimpulkan bagaimana kondisi hubungan sipil-miiiter di Indonesia pasca Orde-Baru dari pemexintahan Pnesiden Habibie sampai dengan Presiden Abdurrahman Wahid.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T10284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Insan Praditya Anugrah
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini memperbandingkan pretorianisme militer dalam politik Negara, mengambil studi kasus Indonesia dan Myanmar. Dengan menggunakan teori pretorianisme Eric Nordlinger, tesis ini membandingkan kedua Negara tersebut melalui empat indikator penting dalam teori petorianisme Eric Nordlinger, diantaranya : a penghapusan dan pembatasan persaingan dan keterlibatan masyarakat dalam politik, b upaya mempertahankan kekuasaan oleh rezim militer secara terpusat, c pertumbuhan dan modernisasi ekonomi dan d kecenderungan mempertahankan status quo ekonomi dibandingkan mengupayakan ekonomi yang progresif.Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa di Indonesia rezim Orde baru memiliki melakukan pembatasan persaingan dan keterlibatan dalam politik, sedangkan di Myanmar, rezim junta militer penghapuskan persaingan dan keterlibatan politik. Orde baru di Indonesia mengupayakan keberlangsungan kekuasaannya melalui mobilisasi politik, indoktrinasi di desa-desa, serta sensor atas media-media cara represif juga digunakan untuk meredam penentangan terhadap pemerintah , rezim junta militer di Myanmar mengupayakan indoktrinasi, kontrol serta pengawasan atas media-media namun cara represif lebih dominan. Orde Baru di Indonesia mengelola pertumbuhan ekonomi dan modernisasi dengan meliberalisasi perekonomian, investasi asing masuk membawa alih teknologi dan modernisasi di Indonesia, rezim junta militer Myanmar justru memberlakukan kebijakan ekonomi isolasionis yang melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan serta membatasi masuknya modal asing. Orde Baru di Indonesia mengupayakan kebijakan-kebijakan ekonomi progresif di pedesaan, akan tetapi secara porsi justru Orde Baru cenderung menngkonsentrasikan kapital dan pembangunan di pusat ketimbang daerah-daerah. Rezim Junta Myanmar juga memberlakukan kebijakan progresif terhadap petani namun konsentrasi kapital tetap berada pada kelompok militer. Penelitian ini menemukan bahwa secara teoritik dalam aspek politik dibutuhkan indikator tambahan mengenai pelanggaran HAM serta dalam aspek ekonomi dibutuhkan tambahan indikator mengenai konglomerasi oleh militer, karena kedua hal tersebut sangat menonjol di kedua negara.
ABSTRACT
This thesis comparing military praetorianism in Indonesia rsquo s New Order Era and Myanmar rsquo s Military Junta using the theoretical explanation of Eric Nordlinger rsquo s Praetorianism. There are four important indicators that can help us to compare both countries such as a the abolition and limitation of competition and involvement in politics for civilians b the military regime efforts to maintain the continuity of the regime c economic development and modernization and d the intention of ruler praetorians to preserve the economic status quo rather than progressive economy.This paper found that Indonesia rsquo s New Order tend to limit competitions and involvement of civilians in the politics while Myanmar rsquo s military junta abolished the competition and involvement of civilian in the politics. Indonesia rsquo s New Order regime tend to maintain the continuity of the regime through political mobilization and indoctrination especially for villagers, and media control, aside of repressive way. Myanmar rsquo s military Junta also tend to maintain the power by indoctrination and control over media, but the repressive actions by military was more dominant. Indonesia rsquo s New Order maintaining economic development and modernization through economic liberalization, foreign investment brought technological transfer and modernization, meanwhile the Myanmar rsquo s military junta regime imposing isolationist economic policy and nationaliziation of foreign enterprises and limit the foreign investment inflow within the country. Indonesia rsquo s New Order regime attempt to achieve progressive policies such as building public facilities for villagers but there was still huge disparity between economy in the village and central region. The capital was centralized within the circle of Jendral Soeharto rsquo s cronies. Myanmar rsquo s military junta government also attempt to achieve progressive policies toward peasants and farmers in the village by building public facilities and credit special for peasants and farmers, but the overall capital in fact concentrated within the military. This thesis found that more indicator needed about human rights violation and groups conglomeration of military, as the two aspects are very significant within the two countries
2018
T51612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Immanuel Tjandra Muliawan
Abstrak :
ABSTRAK
Untuk mewujudkan daya tangkal kewilayahan yang tangguh, diperlukan sinergitas yang baik dalam pemberdayaan wilayah pertahanan, terutama antara institusi sipil dan militer Pemerintah Daerah dan Kodim . Perbedaan pendapat yang terjadi karena adanya perbedaan persepsi mengenai fungsi Pemerintah Daerah dalam rangka penyiapan wilayah pertahanan sejak dini sesuai dengan UU RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif yang ditujukan untuk menganalisi sinergitas hubungan sipil-militer di Kabupaten Banyumas dalam konteks tugas pemberdayaan wilayah pertahanan yang belum dapat diwujudkan secara optimal, karena adanya perbedaan pemahaman tentang peran Pemda dalam pemberdayaan wilayah pertahanan.
ABSTRACT
To realize the tough territory shallower power, good synergy is required in the empowerment defence area, especially between civilian and military institutions local government and military district area command . The differences of opinion occur due to the difference of perception according to role of local government in order to early empowerment defence area preparation in accordance with Number 3 Year 2002 Act about The Defence of The Country. This research uses qualitative method aimed the synergies analyzing in civil military relations Banyumas Local government and Banyumas District Military Command in order to empowerment of defence area. The research prove that synergies of civil military relations can not realize optimally in Banyumas district, due to understanding difference about the local government role in empowerment of defence area.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nur Ihsan Ayyasy
Abstrak :
Pada tahun 2018, pemerintah Indonesia membuat kebijakan restorasi DAS Citarum yang melibatkan multi-aktor dalam memperbaiki DAS, dengan satu aktor yang tak lazim, yakni militer. Anomali ini menciptakan pola dan dinamika baru dalam restorasi. Studi sebelumnya di Amerika Serikat, India, dan Botswana menunjukkan adanya hubungan positif antara sipil-militer pada restorasi, sehingga meningkatkan dampak positif kebijakan lingkungan. Riset ini bertujuan mengkaji bagaimana pengaruh militer dalam restorasi DAS secara lingkungan dan sosial; serta mengonsepsi bagaimana optimalisasi dapat dilakukan dalam kerangka militer terlibat pada restorasi. Studi dilakukan dalam program Citarum Harum menggunakan wawancara mendalam, pemetaan pengaruh pemangku kepentingan multi-level, dan soft system methodology; pada beberapa informan pada program restorasi. Penulis menemukan pergeseran dalam hubungan aktor yang menciptakan perbaikan dalam restorasi. Namun, beberapa masalah turut muncul, seperti kewenangan yang tumpang tindih, perbedaan persepsi dalam teknis restorasi, dan disinkronisasi antara sipil-militer. Permasalahan tersebut memerlukan penyesuaian peran baik sipil maupun militer dalam program restorasi, untuk mengoptimalkan restorasi. ......In 2018, the Indonesian government made a policy for the restoration of the Citarum watershed that involved multiple actors in improving the watershed, with one peculiar actor in restoration, the military. This anomaly creates new patterns and dynamics in restoration. Previous studies in the United States, India, and Botswana have shown a positive relationship between the military and civilian actors, thereby increasing the positive impact of environmental policies. This research aims to examine how the military's influence on watershed restoration is environmental and social; as well as conceptualizing how optimization can be carried out within the framework of the military involved in restoration. The study was conducted in the Citarum Harum program using in-depth interviews, multi-level stakeholders influence mapping, and soft system methodology on several informants in the restoration program. The author finds shifts in actor relationships that create improvements in restoration. However, several problems also emerged, such as overlapping authorities, differences in perceptions of restoration techniques, and desynchronization between civil-military program. These problems require adjustments to the roles of both civilian and military in the restoration program, to optimize restoration.
Depok: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koesnadi Kardi
Abstrak :
Reformasi militer Indonesia telah mengakibatkan perubahan budaya, doktrin, struktural, dan organisasi. Perubahan tersebut belum mencapai sifat yang fundamental terhadap hubungan sipil-militer yang demokratis dimana hal ini sangat bergantung secara bersamaan pada "subordinasi masyarakat sipil untuk nilai-nilai militer” dan “subordinasi kontrol sipil atas militer". Kasus Indonesia dari reformasi militer tampaknya menunjukkan bahwa keberhasilan demokratisasi hubungan sipil-militer tergantung begitu banyak pada setup kelembagaan militer serta pada gigihnya bimbingan dan inisiatif dari institusi sipil. Beradaptasi dari Peter D. Feaver tentang teori "principal-agent", penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada koherensi yang kurang terpadu dari upaya antara lembaga-lembaga sipil (supra), sehingga dasar reformasi militer di Indonesia di bawah kontrol demokrasi masih bermasalah. Hal ini jelas bahwa, pertama, reformasi militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokratisasi, dan kematangan demokrasi harus membuka jalan bagi reformasi di militer. Kenyataan bahwa militer tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkaran supra sehingga hal ini menjadi bermasalah. Kedua, lingkaran sipil/ politik di dalam lingkaran supra tidak dapat membimbing, memberikan saran, dan memberikan orientasi kepada militer dalam kerangka tujuan nasional, termasuk alokasi sumber daya serta penggunaan kekuatan militer, sementara militer tetap menjadi otonom dalam beberapa area seperti doktrin, organisasi, disiplin internal, sifat, serta rencana operasional. Ketiga, lingkaran infra-partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi non-pemerintah serta akademisi dan media-telah memainkan beberapa peran, meskipun terbatas, dalam menetapkan beberapa perubahan, tetapi mereka tetap tidak mampu menjaga momentum selama proses berlangsung. Keempat, pada tingkat implementasi, Departemen Pertahanan tampaknya memiliki kapasitas yang terbatas untuk melakukan kontrol mereka atas militer terutama di bidang anggaran militer, prioritas strategis, akuisisi senjata, pendidikan, dan doktrin. Supremasi sipil di Indonesia tampaknya telah mengandalkan "subordinasi sukarela" dari militer daripada akses sipil untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap militer. Oleh karena itu, kebijakan instruktif dan dasar hukum keduanya diperlukan dan penting untuk menghasilkan subordinasi lengkap militer ke sipil. ......Indonesia’s military reform may have resulted in noted cultural, structural, doctrinal, and organizational changes. But such change has yet to be felt in the fundamental democratic civil-military relation that relies upon both “the subordination of civil society to military values and the subordination of civilian control of the military”. In the case of Indonesia, the military reform process appears to suggest that the success of democratizing civil-military relations depends as much on the institutional setup of the military as on the persistence, guidance and initiative of the civilian institutions. Adapting Peter D. Feaver’s “principal-agent” theory, this study shows that owing to the lack of coherence and concerted effort among civilian institutions (supra), the nature of military reforms under democratic control in Indonesia remains problematic. Nonetheless, four points are clear. First, military reforms are an inseparable part of democratization, and democratic maturity should open the way for a better reforms in the military. The very fact that the military remains an integral and inseparable part of the supra is problematic. Secondly, the civil/political circle within supra is unable to fully guide, advise and orient the military in the area of national objectives, including the allocation of resources, and the use of military forces so long as the military remains autonomous in such areas as doctrine, organization, internal discipline, traits and operational planning. Thirdly, the infra -- political parties, social organizations, non-governmental organizations as well as academia and the media -- have played some roles, limited nonetheless, in setting the tone of changes, but they remain unable to keep up momentum throughout the process. Fourthly, at the implementation level, the Defense Ministry appears to have limited capacity to exercise its control over the military, especially in the area of the military budget, strategic priorities, weapons acquisition, education and doctrine. Civilian supremacy in Indonesia appears to have relied on “voluntary subordination” of the military rather than on civilian access to exercise effective control over the military. Hence, instructive policy and legal basis are both necessary and essential to yield a complete subordination of the military to the civilian democratic society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini
Abstrak :
Ada yang `tidak biasa' terjadi pada pemerintahan Sudan di bawah Umar al-Basir yang Islamis. Persepsi pemerintahan militer di bawah al-Basir dengan kelompok sipil yang diwakili NIF memiliki kesamaan, yaitu bagaimana menegakkan pemerintahan yang sesuai dengan budaya dan nilai-nilai yang di anut bangsa Sudan yang mayoritas berpenduduk muslim. Dengan kata lain, Pemerintah memahami kecenderungan masyarakat dan menyalurkan aspirasi politikmereka yang mayoritas memilih Islam sebagai landasan bernegara. Ada hubungan yang saling menguntungkan antara sipil dan militer. Sipil membutuhkan militer untuk mewujudkan ide-ide perjuangannya, dan militer membutuhkan dukungan massa sipil untuk melegitimasi kekuasaan...
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S13154
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>