Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Leiden: KITLV Press, 2000
306.095982 JAK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Taylor, Jean Gelman, 1944-
Madison, Wisconsin: University of Wisconsin Press, 1983
306.095982 TAY s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Roza Elmarita
"ABSTRAK
Hasil International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo
tahun 1994, diantaranya merekomendasikan untuk disediakannya pelayanan
kesehatan reproduksi terpadu, salah satunya pemeriksaan infeksi saluran
reproduksi/infeksi menular seksual. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan utilisasi pelayanan klinik
infeksi menular seksual oleh Wanita Penjaja Seks Langsung (WPSL). Desain
penelitian adalah cross sectional dengan jumlah sampel 100 WPSL yang
sedang/pernah menderita IMS yang diambil secara stratified random sampling.
Hasil analisis univariat diperoleh WPSL yang memanfaatkan pelayanan klinik
IMS Sedap Malam sebesar 33%. Analisis bivariat dari faktor sosial budaya yang
berhubungan dengan utilisasi pelayanan klinik IMS Sedap Malam adalah
dorongan/dukungan dari pihak ketiga dengan (OR=3,3; 95% CI: 1,0-10,6); dari
faktor organisasi yang berhubungan dengan utilisasi pelayanan klinik IMS Sedap
Malam adalah kualitas pelayanan klinik IMS dengan (OR=13,2; 95% CI: 4,7-
37,5); hambatan pergi ke klinik IMS dengan (OR=4,6; 95% CI: 1,5-14,6) dan dari
faktor konsumen yang berhubungan dengan utilisasi pelayanan klinik IMS Sedap
Malam adalah sikap responden terhadap program P2-IMS dengan (OR=3,8; 95%
CI:1,2-12,1). Pentingnya peningkatan kualitas pelayanan dan dukungan dari
semua pihak agar utilisasi pelayanan klinik IMS oleh WPSL lebih ditingkatkan
lagi.

ABSTRACT
The international Conference on population and development in Cairo in 1994,
partly has recommended the provision of the integrated reproductive health
services which one of them was the examination of reproductive tract
infections/sexually transmitted infections. The purpose of this study is know the
overview and the factors associated to service utilization by sexually transmitted
infections clinic for female prostitutes (WPSL=Wanita Penjaja Seks Langsung).
The study design was cross sectional sample of 100 suffering/suffered from STI
WPSL taken by stratified random sampling. The univariate analysis results
showed that the WPSL that utilized Sedap Malam clinic services were at 33%.
The bivariate analysis of socio-cultural factors associated to the utilization of STI
clinic services Sedap Malam showed that the encouragement/support from the
third party (OR=3.3; 95% CI:1.0-10.6); from the organizational factors associated
to the utilization of Sedap Malam STI clinic services obtained that the quality of
service with the STI clinic (OR=13.2; 95% CI:4.7-37.5); the resistance of visiting
the STI clinic (OR=4.6; 95% CI:1.5-14.6) and from consumer-related factors, the
service utilization of Sedap Malam STI clinic was the perception of the
respondents to the P2-IMS program (OR=3.8; 95% CI:1.2-12.1). It is
recommended that the quality of service and support from all parties to STI
clinical services utilization by the WPSL can be enhanced in the future."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aryni Ayu W.
"This study looks at the toponym of Jember in relation to its history and the Pendalungan sub-culture–a mixture between Javanese and Madurese culture.This sub-culture is found in the Horseshoe area of East Java.The data were drawn from library research, observation, and interviews with various people, such as the local authorities, academicians, historians, andexperts in culture. The result of this study indicates that the Jemberese can have cross-cultural competence that has a bargaining position if they could “engineer” their cultural diversity both historically and aesthetically. Being the characteristics of people living the Horse shoe area, Pendalunganis an interesting research object which is still an open discourse. The role of the public, historians, and the government is needed to preserve the Pendalungan in Jember without changing the steady cultural order."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta, 2018
400 JANTRA 13:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Ferdina Enjaini
"ABSTRAK
Stunting (pendek) merupakan masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan
tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Kecamatan Tanjung
Agung Palik memiliki persentase stunting tertinggi (47,48%), Desa yang menjadi lokasi
penelitian adalah Desa Sengkuang dan Desa Sawang Lebar, kedua desa tersebut
merupakan desa yang paling tinggi kejadian stunting. Tujuan Penelitian ini untuk
menganalisis sosial budaya suku Rejang terkait dengan stunting. Metode penelitian ini
menggunakan kualitatif Rapid Ethnografi. Informan utama dalam penelitian ini adalah 4
ibu yang memiliki anak balita stunting dengan ekonomi rendah, 4 ibu yang memiliki balita
stunting dengan ekonomi menengah dan 4 ibu yang memiliki anak balita normal dengan
ekonomi rendah, yang tinggal di suku Rejang Kecamatan Tanjung Agung Palik yang
dipilih dengan metode purposive sampling yang datanya sudah diketahui dari sistem e-
PPGBM Puskesmas berdasarkan pengukuran antropometri. Pengumpulan data dilakukan
melalui wawancara mendalam dan observasi partisipasi yang dilaksanakan pada bulan
April-Juni 2019 di Kecamatan Tanjung Agung Palik. Hasil penelitian menunjukan bahwa
penyebab stunting pada masyarakat suku Rejang disebabkan oleh 1) Lingkungan dan
Sanitasi yang buruk, 2) Masih belum melakukan ASI eksklusif, 3) Pemberian MP-ASI dini
balita, 4) Pola pemberian makanan yang masih rendah, 5) Pengetahuan masyarakat yang
masih rendah, 6) Masih adanya kepercayaan tentang pantang makan pada ibu hamil dan
balita. Disarankan agar ada upaya penurunan kepercayaan pantang makan ibu hamil dan
anak balita, pengetahuan lingkungan dan sanitasi, mengurangi pemberian makanan
prelakteal pada bayi baru lahir, pola pemberian makan dan cakupan pemberian MP-ASI
dini melalui penyuluhan rutin dengan melibatkan orang tua balita dan bermitra dengan
dukun untuk memberikan edukasi akan pentingnya kesadaran ibu terkait gizi.

ABSTRACT
Stunting is a chronic nutritional problem on toddlers characterised by a shorter height
compared to the children in their age group. Tanjung Agung Palik District has the highest
stunting case percentage (47,48%), the villages used as a sample for this thesis are the
Sengkuang and Sawang Lebar village. These two village has the highest numbers of
stunting cases. The purpose of this research is to analyse from a socio-cultural aspect of
how the Rejang Tribe deals with stunting. This research uses a Rapid Etnographic method.
The main informants for this research are 4 mothers with stunted toddlers from low income
families, 4 mothers with stunted toddlers from middle income families, and 4 mothers with
normal toddlers from low income families all od whic are from the Rejang Tribe in the
Tanjung Agung Palik District selected by purposive sampling method whose data is known
from the Puskesmas e-PPGBM system based on anthropometric measurements. The data
were collected through an in-depth interview and participative observation conducted
between April to June 2019 in the Tanjung Agung Palik District. The research results
concluded that the stunting cases in the Rejang Tribe are caused by 1) Bad environment
and sanitation, 2) Still not doing exclusive breastfeeding, 3) Provision of early MP-ASI for
toddlers, 4) The pattern of feeding is still low, 5) Community knowledge that is still low,
6) There is still a belief about abstinence in pregnant women and toddlers. It is
recommended that there be an effort to reduce the confidence of abstinence from pregnant
women and toddlers, knowledge of the environment and sanitation, reduce prelacteal
feeding in newborns, feeding patterns and coverage of early MP-ASI through routine
counseling involving parents of toddlers and partnering with traditional healers to provide
education on the importance of maternal awareness regarding nutrition."
2019
T53718
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mutiara Khusnul Chotimah
"Suatu tempat disebut kota adalah tidak lain adalah karena ciri spesifik warganya. Betawi adalah salah satu warga Jakarta yang dari sejarahnya berasal dari percampuran kelompok etnis balk dari Indonesia maupun luar Indonesia. Pada kondisi seat ini, pertumbuhan dan perkembangan Kota Jakarta mempengaruhi nilai - nilai seni budaya masyarakat Betawi dan lingkungannya. Pesatnya pembangunan kota juga memaksa mereka untuk merelakan lahan rumahnya untuk kegiatan kola lainnya. Oleh karena itu untuk melestarikan tata kehidupan dan tata ruang komunitas sosial budaya masyarakat Betawi, Gubernur Jakarta menetapkan Kawasan Setu Babakan sebagai kawasan Perkampungan Budaya Betawi dengan mengeluarkan Perda No. 3 Tahun 2005 Tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Salah satu tujuan dari Perda ini adalah menciptakan dan menumbuhkembangkan nilai - nilai seni budaya Betawi dan membina serta melindungi tata kehidupan serta nilai - nilai Budaya Betawi. Dan tujuan ini tersirat bahwa masyarakat Betawi setempat seharusnya rnenjadi subjek dari Perkampungan Budaya Betawi (PBS), oleh karena itu perlu adanya partisipasi warga Betawi setempat guna keberlanjutan program tersebut. Sehingga 'kawasan ini bukan hanya menjadi ladang proyek bagi pemerintah yang tidak berkelanjutan dan tidak bermanfaat untuk warga Betawi setempat.
Dengan metode pengumpulan data pengamatan terlibat dan wawancara dengan cara tinggal bersama, maka diketahui sejarah PBB dan proses partisipasi warga Betawi setempat didalamnya serta diketahui pula berbagai kegiatan eksisting yang mendukung PBB. Hasi! penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua keluarga berpengaruh, tokoh masyarakat dan ketua RW yang dapat menentukan siapa warga Betawi setempat yang dapat berpartisipasi. Sedangkan warga Betawi setempat yang berpartisipasi adalah warga yang terlibat dalam kegiatan pertanian, petemakan, industri rumah tangga, kesenian, perikanan dan wisata, serta warga yang terlibat dalam Badan Pengelolan PBB. Bentuk - bentuk partisipasi yang ada adalah kerelaan tanahllahannya digunakan untuk kepentingan PBB, inisiatif pembentukan kelompok- kelompok masyarakat yang mempunyai kegiatan mendukung PBB, tenaga dan waktu dalam melaksanakan kegiatan - kegiatan tersebut, keikutsertaan dalam kegiatan - kegiatan yang mendukung PBB, serta kesadaran untuk menjaga keamanan dan kebersihan lingkungan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pelibatan warga Betawi di Setu Babakan dalam pengembangan PBB perlu memperhatikan dua hal panting, yaitu keberadaan pemimpin dan tokoh masyarakat yang masih dianggap panting, sehingga pemerintah dapat melibatkan mereka dalam mendorong warga Betawi setempat lainnya untuk dapat berpartisiasi, dan pengembangan kegiatan yang bersifat dapat meningkatkan pendapatan (berorientasi pada peningkatan taraf hidup) warga Betawi setempat, mengingat sebagian besar warga tidak mempunyai pekerjaan tetap dan bergerak dalam sektor informal, seperti tukang ojek, berdagang, tukang bangunan dan lain - lain. Penelitian ini menemukan bahwa menurut teori Arsteins warga Betawi setempat yang berpartisipasi pada tingkatan partisipasi paling tinggi yaitu warga yang berkegiatan kesenian (membuat sanggar seni kerajinan Betawi) sedangkan yang digolongkan sebagai warga yang tidak berpartisipasi (non-participation), yaitu warga Betawi setempat yang mendapat bantuan "rumah Betawi" tanpa mengerti maksud pemberian tersebut dan pedagang yang berada di pinggir Setu.
Selain itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa program Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah ini dapat berkelanjutan jika pemerintah dan masyarakat dapat berorientasi pada produktivitas. Pemerintah mengadakan kegiatan kegiatan yang mengedepankan orientasi pasar, dan masyarakat dapat mengubah sifat kurang giat bekerjaanya menjadi masyarakat yang Iebih menjunjung produktivitas.

Specific characteristics of the citizens are the major elements for a place to be called a city. Betawi is one of the Jakarta community components originally coming from an assimilation of ethnic groups both from inside as well as outside Indonesia. Nowadays, the growth and development of Jakarta City influences the cultural values of the Betawi community and its environment. They released their land as part of their contribution to rapidly develop the city. Therefore, in order to conserve the values of the Betawi communities, the Governor of Jakarta has declared Setu Babakan area as Betawi Socio-Cultural Village (Perkampungan Budaya BetawiIPBB) through the issuance of the Local Government Regulation No. 3 of Year 2005 (PERDA No. 3 tahun 2005) about the Establishment of Betawi Socio-Cultural Village at Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa. Kotamadya Jakarta Selatan. One of the aims of this regulation is to create, develop, edify, and protect the Betawi socio-cultural values, which treat Betawi native communities as the subject of the government project. Through the participation of these citizens the program can be sustained.
Through participant observation and interview as the prime method in data gathering, the history of the Betawi Socio-Cultural Village (PBB) and the native Betawi participation process as well as the existing activities supporting the PBB can be revealed.
The results of the research show that there are two influential families in this village; -they.-are the community figure and the community leader, who decide which community members could participate. Meanwhile, the native Betawi who participate are the ones involved in farming, animal husbandries, home industries, fishery, arts, and tourism, and those involved in the Board of Management of the Betawi Socio-Cultural Village. The forms of participation of the native Betawi are the willingness to donate part of their land to be used for the Betawi Socio-Cultural Village needs, initiative to form community groups supporting the Betawi Socio-Cultural Village activities, time and energy to do such activities, participation in those activities, and awareness to maintain security and cleanliness of the environment.
This research concludes that the involvement of Betawi community members at Setu Babakan in developing the Betawi Socio-Cultural Village should take into consideration to two major points - the existence of leaders and community figures which is still considered important, so that the government can involve them in motivating other Betawi community members to participate in and develop activities which can increase their income meaning improvement of living standard orientation.
In fact, most of the community members do not have any permanent jobs and they work in the informal sectors. This research also shows that, in line with Arsteins's theory, the natives who participate at the participation's highest level are those having art activities that can be sustained the Betawi identity, while these having no participation (the lowest level) are the community members who only get the aid from the government to their identity of being "Betawi" by giving them such form of "Betawi House", and the seller who live in Setu borders as well.
Other than that, this research also concludes that this Betawi Socio-Cultural Village program at Srengseng Sawah can be sustained if the government and the communities have to reset their mind to be more productivity oriented. The government should have activities which consider market orientation, and the community members realize and change from indolence to those who set their minds to uphold productivity.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia is one of the populous countries in the world,but lack in quality approach compared to other countries.The straight forward indicators used to find this quality are the figures of absolute poverty,corruption level and weakness of people's socio-cultural capital....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jansen Tangketasik
"Masalah pengelolaan hutan tidak hanya terletak pada aspek manajemen, teknik budidaya, dan pengolahan hasil hutan, melainkan juga mencakup aspek sosial-budaya yang berhubungan dengan status dan batas kawasan hutan, kewenangan dan kepentingan masyarakat lokal dan pemerintah. Kepentingan masyarakat lokal dan pemerintah atas hutan bersifat kompleks karena dipengaruhi kewenangan dan kesejarahan, nilai sosial, ekonomi, dan ekologi sumberdaya hutan. Tarik menarik kepentingan dan hak penguasaan hutan antara negara dan masyarakat lokal memperlihatkan wujud bekerjanya kekuasaan melalui relasirelasi para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Bekerjanya kekuasaan memengaruhi strategi dan hubungan yang dijalankan kedua pihak untuk mewujudkan tujuan melalui proses ruang lobi dan negosiasi yang akhirnya melahirkan suatu titik temu berupa akomodasi dan integrasi kepentingan individu menjadi kepentingan bersama.
Kerangka pemikiran demikian memunculkan pertanyaan: (1) Bagaimana masyarakat lokal dan aparat pemerintah memerankan diri sebagai representasi individu dan representasi otoritas institusi dalam penguasaan hutan? (2) Bagaimana para pihak memerankan otoritas secara berubah-ubah dalam penguasaan sumberdaya hutan? (3) Bagaimana kekuasaan bekerja dan strategi untuk memenangkan proses pembuatan konsensus baru melalui proses negosiasi mencari titik temu berupa akomodasi dan integrasi kepentingan antar-para pihak dalam menyelesaikan konflik? (4) Apa implikasi teoritis memahami hubungan kekuasaan dan strategi dinamis antarpihak dalam pembentukan ruang-ruang negosiasi baru pada penguasaan sumberdaya hutan? Untuk mempelajari bagaimana kekuasaan bekerja dalam praktek-praktek sosial pengelolaan hutan maka teori kekuasaan Michel Foucault dan teori strukturasi Anthony Giddens menjadi inspirasi konseptual. Metode kerja dan analisis memberi penekanan pada tekanan yang terjadi sekarang serta melakukan penelusuran historis (history recall) melalui teknik wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Penelitian lapangan berlangsung dari bulan Agustus 2007 hingga Juli 2009 pada para pihak yang terlibat dalam praktek-praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kajian ini memperlihatkan, dinamika penguasaan hutan dan hubungan kekuasaan yang terbangun antarpihak dipengaruhi klaim otoritas masing-masing pihak berbasis hukum negara dan adat. Dualisme kekuasaan dengan basis hukum berbeda tersebut terlihat dalam strategi yang dijalankan. Para agen memerankan strategi peran ganda dengan cara mengedepankan kekuatan regulasi formal yang berasal dari negara atau pemerintah dan kekuatan norma-norma adat dan simbol simbol tongkonan untuk mencapai tujuannya. Usaha menonjolkan regulasi formal dan simbol negara bertujuan menciptakan suatu order kepada masyarakat. Namun, pada saat tertentu simbol kekuatan lokal seperti tongkonan beserta adat istiadatnya ditonjolkan untuk meraih kepatuhan masyarakat dan menawar kekuasaan negara. Hal ini menunjukkan, kekuasaan yang ada pada setiap agensi mampu memengaruhi dan mengintervensi serangkaian peristiwa sehingga ia dapat mengubah jalannya peristiwa tersebut sesuai dengan tujuannya. Hubungan kekuasaan dan peran agensi dalam penguasaan sumberdaya hutan terjadi secara kompleks dan berkaitan. Meski menyandang status kawasan hutan negara dengan sistem tata kelola yang diatur negara, namun masyarakat lokal terus menguasai sumberdaya hutan berdasarkan hukum adat, kebiasaan, dan simbol legitimasi yang dimiliki. Situasi itu melahirkan klaim masing-masing agensi sesuai otoritas yang dimilikinya sebagai pemerintah atau penguasa adat. Dominasi negara memunculkan elit lokal untuk melakukan negoisasi dan renegoisasi penguasaan sumberdaya dengan basis legitimasi hukum adat, kebiasaan, dan simbol yang dimiliki masing-masing. Pada sisi lain, kajian ini memperlihatkan, dinamika penguasaan hutan dan hubungan kekuasaan yang terbangun antarpihak tidak hanya dipengaruhi klaim otoritas yang melekat pada masing-masing pihak. Dinamika hubungan yang terjadi ikut dipengaruhi konsekuensi modernitas yang berlangsung di sekitarnya. Kekuatan pasar, intervensi teknologi, perubahan waktu dan ruang sangat berdampak kepada aktivitas sosial dan berimplikasi kepada penilaian-penilaian sosial ekonomi masyarakat. Situasi di mana masing-masing agensi mengklaim sebagai penguasa dengan basis hukum negara dan norma adat melahirkan perubahan dinamis dalam interaksi antaragensi yang terlihat dalam pola hubungan konflik, perlawanan, dan klaim-klaim sumberdaya hutan. Meski demikian, hubungan kekuasaan yang berlangsung dalam realitas pengelolaan hutan oleh negara sering bersifat cair dan dapat dinegosiasikan dengan masyarakat dalam suatu ruang negosiasi baru.
Hubungan yang tercipta saat penguasaan hutan ada dalam kekuasaan Tongkonan juga sering bersifat cair dan dinegosiasikan. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam proses interaksi sosial tersebut berlangsung atau bekerjanya hubungan kekuasaan dalam suatu proses strukturasi antara agensi dan budaya berupa simbol-simbol relasi, gagasan, keyakinan, nilai dan norma terhadap perubahan dalam suatu dialektik menuju ruang akomodasi dan integratif sebagai suatu kompromi dalam ruang negosiasi baru. Dinamika yang berlangsung dalam hubungan kekuasaan seperti dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa kekuasaan yang bekerja secara dinamis melalui suatu proses interaksi sosial para agensi dalam praktek-praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang dalam tindakannya dipengaruhi oleh dimensi kesadaran praktis (practical consciousness). Kesadaran praktis ini merupakan seperangkat pengetahuan yang secara implisit digunakan oleh para pelaku bertindak di dalam menghadapi situasi usaha penguasaan hutan yang terjadi secara terus menerus yang lambat laun menjadi struktur. Ketika kesadaran praktis ini dibawa kedalam konteks budaya dan struktur yang bertstrukturisasi dengan tindakan penguasaan sumberdaya hutan maka reproduksi gagasan, identitas, nilai dan norma akan berlangsung secara dinamik dan inovatif yang secara terus menerus berproses (procesual) dalam suatu dialektika struktur dan tindakan. Dalam kompleksitas kepentingan antarpihak, situasi tersebut mendorong lahirnya negosiasi dan konsensus baru dalam suatu ruang negosiasi baru penguasaan hutan. (*).

Problems emerged in the management of forest resources are not only emphasized on management, silviculture technique, and forest industrial aspects, but also include socio-cultural aspects related to forest border and status, and authority or interest for local people and government. Interests of local communities and state government toward forest resources are complex. These situations are mainly affected by state authority and historical aspects among them, and values of forest resources such as economic, social and ecological ones. Different point of views and interests on rightbased forest resource control between state government and local communities, emerge because of power exercises among stakeholders on managing social aspects on forest resources. The exercise of power affects the strategies and relationships among them in order to achieve common goals. Achieving the goals is carried out through negotiations and dialogues in order to reach consensus to accommodate and integrate individual interest to become collective agendas.
The framework of this study, then, comes out with some research questions: (1) How do local communities and personnel of state government, as individual and institutional representatives, exercise their roles on forest resource control? (2) How do stakeholders exercise their roles interchangeably on forest resource control? (3) How do the exercise of power from state government, and what are strategies to achieve new agreement through negotiations in order to reach common goals on accommodation and integration of interests among them for conflict resolutions? (4) What are theoretical implications on the study of power relations and dynamic strategies among stakeholders on formulating new form of negotiations for managing forest resources?. In order to analyze the exercise of power in the social aspects of managing forest resources among stakeholders, the conceptual framework are inspired from theory of power from Michael Foucault and structuration theory from Anthony Giddens. Methods and analysis on this study emphasize on current situation and historical recall through in depth interviews and purposive participatory observation. Field study related with forest resources management and utilization and involved stakeholders, has been accomplished in Tana Toraja, South Sulawesi from August 2007 to July 2009. Result of this study shows that the dynamic of forest resource control, and social interactions among agents, is affected by authority claims among actors based on state and customary laws. Dualism of power based on the different laws, emerged from the executed strategies. These agents exercise double role strategy through relying on the power of state formal regulation and the power of customary law and tongkonan symbols in order to reach their goals. Efforts to exercise formal regulations and symbols of state, have an objective to achieve social order. However, in certain cases, local symbol of power such as tongkonan and its customary law, is exercised in order to gain social obedience and to compete with state power. In fact, the power from each agent is able to influence and intervene situations so that it can alter the situations in line with intended objectives.
The interrelationship of power and roles of agents on forest resource control is very complex and related each other. Indonesian Republic State law stated that forest resources are state domain or state property. On the other hand, local people has been controlling forest resource based on customary laws and legitimated local symbols. So, every agents exercise their claims on the resources based on their authority, whether they are as a state government or as a local leaders. State dominations, then, develop local elites in order to negotiate on the forest resource control based on customary laws, local values, norms, and customary symbols. On the other hands, the study for dynamic of forest resource control and power relationship among actors is not only caused by claim authority embedded from each actor, but also other factors. The dynamic of interrelationship is also influenced by the development of modernity. The power of markets, technology interventions, and social changes are strongly affects social activities and causes social-economic valuation of the community.
Situation, in which each agents exercise their claims based on state and customary laws, has caused dynamic change on agents? social interaction on conflicts, resistances and claims over forest resource control. On the other hand, power relationship in the state forest resource control is often flexible and negotiable with local people in a new room of negotiations. The interrelationship emerged in Tongkonan is also flexible and often negotiable. These can be inferred that the social interaction process of power relationship in the structuration between agents and culture (symbols, ideas, beliefs, values, and norms) toward dialectic change on accommodation and integration, perceived as a compromise on new room of negotiation.
The dynamic of power relationship shows that the dynamic power exercises through social interaction process among agents in the management and utilization of forest resource, are caused by dimension of practical consciousness. The practical consciousness is a set of knowledge that implicitly used continuously by agents in order to act toward the forest resource control so that it become structure in the local community. When the practical consciousness is emerged in the culture and structure of forest resource control, the reproduction of ideas, identities, values, and norms will be procesual dynamically and innovatively in dialectic structure and actions. In the complexity of interest among actors, the situation will cause the emergence of new consensus and negotiation in the context of new room of negotiation for forest resource control.(*)
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D628
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alfian
Jakarta: UI-Press, 1986
361.61 ALF t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>