Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jung Hyun Jin
"Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini menceritakan seorang wanita cantik dari kasta Sudra, yaitu kasta terendah dalam struktur perkastaan masyarakat Bali yang menikah dengan lelaki dari kasta yang lebih tinggi, yaitu kasta Brahmana. Tujuan perkawinan itu, agar si wanita dapat mencapai impiannya akan status dan menjadi penari terbaik di Bali. Pada akhirnya, ia memenuhi mimpinya. Di tengah ketidakmampuan suami dan ibu mertuanya, ia berusaha membesarkan satu-satunya putrinya, Telaga sebagai bagian kaum bangsawan. Dalam konteks itu, novel Tarian Bumi ini dipandang sebagai pemberontakan terhadap adat-istiadat Bali. Penelitian ini akan mengungkapkan gambaran sistem kekerabatan keluarga Bali dalam novel Tarian Bumi menurut perspektif orang Korea. Oleh karena itu, sistem kekerabatan keluarga masyarakat Bali akan diperbandingkan juga dengan sistem kekerabatan keluarga Korea.

Dengan menggunakan pendekatan ekstrinsik untuk membandingkan sistem kekerabatan di Bali dalam novel itu dengan sistem kekerabatan masyarakat Korea, terungkap bahwa dalam beberapa hal terdapat perbedaan, tetapi dalam hal lain ada persamaannya. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah budaya patriakat di Bali dan patriakat di Korea, terutama berkaitan dengan sistem kekerabatan dalam pohon keluarga di Bali dan di Korea. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan novel Tarian Bumi dapat dikatakan merupakan representasi  budaya patriakat dan sistem kasta yang tidak terdapat dalam masyarakat Korea.


The novel Tarian Bumi by Oka Rusmini tells the story of a beautiful woman from the Sudra caste, the lowest caste in the structure of Balinese society who is married to a man from a higher caste, the Brahmin caste. The purpose of the marriage is so that the woman can achieve her dream of status and become the best dancer in Bali. In the end, he fulfilled his dream. In the midst of the inability of her husband and mother-in-law, she tried to raise her only daughter, Telaga as part of the nobility. In that context, this Tarian Bumi novel is seen as a rebellion against Balinese customs. This research will reveal a picture of the Balinese family system in the novel Tarian Bumi from the perspective of the Korean people. Therefore, the Balinese family kinship system will also be compared with the Korean family kinship system.

Using an extrinsic approach to compare the kinship system in Bali in the novel with the Korean kinship system, it was revealed that in some respects there were differences, but in other respects there were similarities. The theoretical framework used in this study is patriarchal culture in Bali and patriarch in Korea, especially with regard to the kinship system in family trees in Bali and in Korea. Based on this research it can be concluded that the Tarian Bumi novel can be said to represent a patriarchal culture and caste system that is not found in Korean society."

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Chrisitine
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
S6863
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurahman Isfiuno
"ABSTRAK
Fenomena LGBT di dunia sudah kental terasa, banyak dari Negara besar sudah membebaskan warganya untuk menikah dengan sesama jenis. Indonesia sendiri berada diperingkat 3 terendah sebagai Negara yang toleran terhadap kaum LGBT, banyak kaum LGBT di Indonesia yang akhirnya terpaksa menikah dengan lawan jenis, hal tersebut mereka lakukan karena faktor lingkungan dan stereotipe yang ada di Indonesia akan LGBT, banyak masyarakat yang melihat dari kacamata agama dan mengatakan bahwa mereka adalah pendosa. Beberapa dari mereka ada yang takut untuk mengungkapkan namun beberapa berani atau yang biasa disebut fase coming out, dimana mereka telah jujur terhadap orientasi seksualnya dan telah membeberkannya ke publik, salah satunya adalah Dena Rachman yang merupakan seorang transgender. Dena dianggap berhasil dalam mem-branding dirinya sehingga membuat komentar negatif yang berada di kolom komen menjadi berkurang serta meningkatkan komen positif, bahkan beberapa dari netizen membela Dena saat banyak komen negatif di kolom komentarnya. Tulisan ini akan melihat fenomena yang dialami Dena Rachman sebagai salah satu kaum LGBT dalam sudut pandang ilmu komunikasi, khususnya teori personal branding dengan menggunakan konten-konten yang diunggah Dena Rachman pada media sosialnya sebagai medium acuan.

ABSTRACT
LGBT is one of phenomenon that has lots of controversials. Few countries have legalized same sex mariage. One of the greatest researcher in this world said that Indonesia is in the bottom three for tolerance of LGBT, there is a few negative stereotipe of LGBT in Indonesia, people seems very judgemental when they are talking about LGBT, they think that LGBT are the worst sin that history ever made. Some of LGBT in Indonesia are scared for telling the truth about their sexual orientation, but some of them are brave enough to tell to the public the truth about their sexual orientation, one of part of LGBT is Dena Rachman as known as a successful transgender. Dena Rachman considered as a succesful public figure in his social media, he has 216k followers on Instagram, he makes people who writes negative comments decreasing and increasing positive comments on his Instagram. This paper analyze the phenomenon experienced by Dena Rachman in communication theory point of view, personal branding theory in particular, using the uploaded content by Dena Rachman himself on his social media as the medium of reference."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ghaniyyah Cinta Kautsar
"Penelitian ini menganalisis judul artikel berita di media massa daring Jerman yang memberitakan penggerebekan Masjid As-Sahaba di Berlin tahun 2018. Untuk memperlihatkan narasi yang dibentuk oleh media daring mengenai umat Islam di Jerman mengenai peristiwa penggerebekan tersebut, penelitian ini menggunakan teori analisis wacana kritis model Fairclough untuk menganalisis 27 judul berita hasil pencarian dengan kata kunci yang mengacu pada peristiwa penggerebekan tersebut. Penelitian ini menemukan adanya bias dalam judul-judul berita yang diproduksi oleh media massa Jerman dalam memberitakan peristiwa yang berkaitan dengan Islam. Bias tersebut terlihat dalam penggunaan kata-kata pada judul yang membentuk asosiasi antara peristiwa penggerebekan Masjid As-Sahaba dengan terorisme, yang dapat berkontribusi pada pembentukan citra negatif terhadap Islam.

This study analyses the headlines of online news articles in German mass media reporting the raid on the As-Sahaba Mosque in Berlin in 2018. To illustrate the narrative shaped by online media regarding the Muslim community in Germany concerning the raid, this study employs Fairclough’s model of critical discourse analysis to examine 27 headlines resulting from searches with keywords related to the raid. The research reveals the presence of bias in the headlines produced by German mass media when reporting events associated with Islam. This bias is evident in the use of words in the headlines that create associations between the raid on As-Sahaba Mosque and terrorism, potentially contributing to the formation of a negative image of Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putera Ikhsan
"Orangutan kalimantan yang sebelumnya dipelihara oleh manusia menunjukkan perilaku stereotipe dan tingkat agresivitas yang rendah sehingga mereka sulit untuk bertahan hidup ketika dilepasliarkan. Program rehabilitasi orangutan kalimantan bertujuan untuk mengurangi kemunculan perilaku stereotipe, pengurangan ketergantungan kepada manusia, dan mengembalikan perilaku alami orangutan kalimantan. Telah dilakukan penelitian yang bertujuan menganalisis pola perilaku stereotipe dan agonistik pada orangutan kalimantan kandidat rilis di Sintang Orangutan Center. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Hutan Jerora, Sintang Orangutan Center. Pengamatan orangutan dilakukan secara instantaneous sampling dengan metode focal animal sampling. Subjek penelitian ini adalah empat orangutan kandidat rilis, yaitu Kingkong, Mongki, Tom, dan Awin. Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, keempat individu menunjukkan perilaku stereotipe dan tingkatan perilaku agonistik yang berbeda. Frekuensi kemunculam perilaku stereotipe dan frekuensi interaksi perilaku agonistik di kandang lebih tinggi di bandingkan di sekolah hutan. Perilaku stereotipe yang memiliki kemunculan tertinggi adalah memantul, configure lips, melipat tangan kebelakang, dan menghisap jari. Berdasarkan hasil pengamatan perilaku agonistik, orangutan kandidat rilis menampilkan tingkatan agresivitas yang berbeda. Awin merupakan orangutan yang memiliki angresivitas tertinggi dan Mongki merupakan orangutan dengan agresivitas terendah.

Bornean orangutans previously kept by humans exhibit stereotypic behaviors and low levels of aggression, making it difficult for them to survive when released into the wild. The bornean orangutan rehabilitation program aims to reduce the occurrence of stereotypic behaviors, decrease dependency on humans, and restore natural behaviors in Bornean orangutans. A study has been conducted to analyze the patterns of stereotypic and agonistic behaviors in release candidate bornean orangutans at the Sintang Orangutan Center. This research was carried out at the Jerora Forest School, Sintang Orangutan Center. Observations of the orangutans were conducted using instantaneous sampling with the focal animal sampling method. The subjects of this study were four release candidate orangutans, that is Kingkong, Mongki, Tom, and Awin. According to the research results, the four individuals showed different levels of stereotypic and agonistic behaviors. The frequency of stereotypic behavior and the frequency of agonistic interactions were higher in the cage compared to the forest school. The stereotypic behaviors with the highest occurrence were bouncing, configuring lips, folding arms behind the back, and sucking fingers. Based on observations of agonistic behavior, the release candidate orangutans displayed different levels of aggressiveness. Awin was the orangutan with the highest aggressiveness, while Mongki had the lowest aggressiveness."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Rahmaningrum Nur Khalifah
"Humor telah lama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dan sering dikaitkan dengan karakteristik generasi tertentu. Humor berkembang dan mengalami penyesuaian pada setiap generasi. Hal ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan perubahan sosial. Untuk itu, menganalisis humor sebuah generasi seperti Gen Z akan berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana humor itu bertransformasi dan mengalami penyesuaian. Penelitian seperti ini juga dapat mengemukakan bagaimana proses transformasi tersebut merefleksikan perubahan masyarakat. Generasi Z (atau sering disingkat Gen Z) menunjukkan preferensi humor yang sangat khas, yaitu humor absurd yang diekspresikan melalui meme internet. Penelitian ini menggunakan metode kajian tekstual dan etnografi untuk memahami secara mendalam apa yang dimaksud dengan humor absurd dan bagaimana humor tersebut berkaitan dengan konstruksi identitas dan stereotipe Gen Z. Studi kasus yang dipilih adalah meme internet dengan karakter utama Banana Cat dan beberapa karakter sampingan seperti Maxwell, Happy Happy Happy Cat, dan Pumpkin Cat karena sering digunakan untuk meme dengan humor absurd. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meme dengan humor absurd sering kali menampilkan kombinasi elemen yang tidak biasa, tidak jelas dan dengan alur cerita yang tidak terduga sesuai dengan incronguity theory dalam studi humor. Humor absurd dalam meme Banana Cat dan teman-temannya mengandalkan kesenjangan antara apa yang diharapkan dan apa yang sebenarnya terjadi. Bentuk ketidakjelasan atau absurditas inilah yang kemudian dianggap sebagai ciri khas humor Gen Z karena banyak dikonstruksi dan disebarluaskan oleh Gen Z. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa ada generalisasi preferensi humor karena apa yang disampaikan dalam humor menurut responden Gen Z mengungkapkan ketidakpuasan mereka atas keseharian yang mereka jalani.

Humor has long been an integral part of human life and is often associated with the characteristics of specific generations. Humor evolves and adapts with each generation, influenced by technological advancements and social changes. Thus, analyzing the humor of a generation like Gen Z will contribute to a broader understanding of how humor transforms and adapts. Such research can also reveal how this transformation process reflects societal changes. Generation Z (often abbreviated as Gen Z) exhibits a distinctive preference for absurd humor expressed through internet memes. This study uses textual and ethnographic methods to deeply understand what is meant by absurd humor and how it relates to the construction of Gen Z's identity and stereotypes. The case study selected is internet memes featuring the main character Banana Cat and several supporting characters such as Maxwell, Happy Happy Happy Cat, and Pumpkin Cat, as they are often used for absurd humor memes. The research findings indicate that memes with absurd humor frequently showcase a combination of unusual elements, ambiguity, and unexpected storylines, aligning with the incongruity theory in humor studies. Absurd humor in Banana Cat and its companions' memes relies on the gap between expectations and reality. This form of ambiguity or absurdity is then considered a hallmark of Gen Z humor because it is largely constructed and disseminated by Gen Z. The study also reveals a generalization of humor preferences, as what is conveyed in the humor, according to Gen Z respondents, reflects their dissatisfaction with their everyday lives."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azka Athaya Hardjanto
"Meningkatnya popularitas gim video telah menyebabkan pergeseran terhadap apa yang dipahami sebagai sekedar mainan atau ekspresi seni. Pergeseran ini memungkinkan gim video untuk menyajikan narasi yang semakin kompleks dalam ruang interaktif, salah satunya adalah representasi sejarah. Namun, karena pemahaman sejarah yang bersifat subjektif, hal ini menciptakan suatu lingkungan yang menyebabkan berkembangnya stereotipe dan mitos seputar peristiwa sejarah tertentu. Hal ini menimbulkan masalah, karena tidak seperti lingkungan belajar formal, pemain tidak dapat menerima diskusi kritis mengenai representasi sejarah yang disajikan dalam gim video. Salah satu contoh dari kasus tersebut adalah representasi Jerman Timur dalam gim video Signalis. Penelitian ini menganalisis penggambaran masyarakat fiktif yang bersifat stereotipikal terhadap Jerman Timur dan sosialisme untuk melihat apakah representasi tersebut secara akurat mencerminkan realitas atau melanggengkan stereotipe. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif berdasarkan teori representasi Stuart Hall (1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Signalis merepresentasikan kebijakan, budaya, militer, dan arsitektur yang terinspirasi oleh Jerman Timur dan negara-negara Blok Timur lainnya melalui negara fiktif bernama Eusan Nation. Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa Signalis melanggengkan stereotipe seputar Jerman Timur baik yang bersifat positif maupun negatif. Tidak hanya stereotipe Jerman Timur, Signalis juga menunjukkan stereotipe pemerintahan sosialis yang ditemukan di negara-negara Blok Timur seperti Uni Soviet.
The increasing popularity of video games has caused a shift in what is to be considered as mere games or an expression of art. This shift has allowed video games to present an increasingly complex narrative through an interactive space, one of which is historical representation. However, due to the subjective nature of historical understanding, video games have created an environment that allows the festering of stereotypes and myths towards a certain historical event. This causes problems, as unlike a formal learning environment, players do not have the opportunity to receive critical discussion regarding historical representations presented within video games. One of these cases is the representation of East Germany in the video game “Signalis”. This research analyzes the portrayal of a fictional society that is stereotypical towards East Germany and socialism to determine if this representation accurately reflects reality or perpetuates certain stereotypes. This research utilizes the qualitative descriptive method and Stuart Hall’s (1997) theory of representation. The results of this research finds that Signalis represents the military, cultural and architectural policies inspired by East Germany and various Eastern Bloc countries through a fictional country of The Eusan Nation. This research also finds that Signalis perpetuates both beneficial and harmful stereotypes of not just East Germany, but also other Eastern Bloc governments such as the Soviet Union."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Wulandari
"Dalam masyarakat multietnik, hubungan antar etnik merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh individu-individu yang terlibat dalam masyarakat tersebut. Seringkali hubungan antar etnik membawa berbagai konsekuensi, yang tidak saja positip tetapi juga negatip. Dalam masyarakat Kenten, dimana keragaman etnisitas mewarnai kehidupannya, hubungan-hubungan antar individu yang berlatarbelakang kultur berbeda-beda ternyata tidak selamanya menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatip. Masing-masing individu yang berbeda kultur tersebut, disamping masih mempertahankan identitas budayanya, juga melakukan hubungan-hubungan sosial yang saling mengisi dan melengkapi, dimana individu-individu saling belajar dan berkomunikasi secara akomodatif.
Perbedaan-perbedaan yang ada terakomodasi melalui serangkaian tindakan warga masyarakat dengan melakukan aktivitas-aktivitas sosial, seperti lomba adu ayam, arisan, kegiatan kematian, pengajian, doa bersama, dan lain sebagainya. Dalam berbagai aktivitas tersebut, warga masyarakat memberikan apresiasi secara partisipatif, dengan meminimalkan perbedaan-perbedaan yang ada, dan secara langsung ataupun tidak langsung telah memungkinkan terjadinya proses pembauran. Pembauran dapat berlangsung secara alami dalam lingkungan masyarakat Kenten, manakala antar warga berusaha mengurangi sikap prasangka dan diskriminatif terhadap etnis lain yang berbeda. Dalam banyak kasus, suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa sikap-sikap stereotipik dan berbagai persepsi negatit masih mewarnai interaksi sosial yang terjadi. Akan tetapi pada umumnya sikap stereotipe berkembang atau tumbuh karena pengalaman-pengalaman individual, yang seringkali sangat sulit untuk dijadikan patokan atau pedoman bagi warga lainnya.
Persepsi ataupun pengetahuan yang kurang proporsional yang dimiliki sebagian kecil masyarakat Kenten, misalnya etnis Palembang yang pemalas, etnis Minang yang suka main curang, etnis Cina yang kikir, ataupun etnis Jawa dan Sunda yang suka bermanis muka, dalam kehidupan sehari-harinya ternyata tidak ditampakkan secara berlebihan sehingga pembauran antar warga dapat berlangsung dengan alami. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh warga yang banyak melakukan perkawinan dengan etnik yang berbeda. Dalam perkawinan antar etnik, masing-masing individu mengikuti kesepakatan bersama yang dilakukan oleh pihak keluarga mempelai wanita ataupun pria.
Disisi lain konflik-konflik yang sering muncul, sebagai akibat perbedaan-perbedaan kultur yang ada, lebih banyak diselesaikan secara kekeluragaan. Dalam banyak kasus konflik-konflik yang muncul dinilai oleh sebagian masyarakat Kenten sebagai kekurangpahaman individu di dalam menterjemahkan setiap pesan dan tindakan yang dilakukan oleh individu yang lain. Karena itu konflik yang ada dapat dengan mudah diselesaikan, walaupun seringkali konflik muncul dengan permasalahan yang relatif sama dan kualitas yang relatif sama pula. Misalnya konflik antar agama, dimana seringkali emosi seseorang dengan mudah diaktifkan, penyelesaiannnya relatif lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Siasanya peran tokoh agama menjadi sentral, dan musyawarah atau negosiasi yang berulang-ulang dilakukan untuk memperoleh persepsi yang sama. Dengan kata lain, penyelesaian konflik yang bersumber dari agama membutuhkan kerja keras para warga masyarakat untuk bisa menerima perbedaan-perbedaan nilai yang terkadung dalam masing-masing agama yang dianut. Pengalaman para warga masyarakat selama ini dalam memecahkan setiap konflik yang bersumber dari agama, tampaknya dijadikan modal oleh warga masyarakat dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi. Dengan demikian konflik-konflik yang muncul dapat terselesaikan secara baik, dan ini meneguhkan tesis bahwa konflik bersumber agama bagi masyarakat Kenten bukanlah faktor yang dapat mengurangi solidaritas sosial yang dibangun selama ini."
2001
T9705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasrifin Tahara
"ABSTRAK
Disertasi ini mengkaji bagaimana stereotipe direproduksi oleh kelompok kaomuwalaka terhadap orang Katobengke sebagai kelompok papara dalam berbagai kesempatan. Pada masa Kesultanan Wolio, kelompok kaomu dan walaka sebagai kelas dominan melakukan distinction terhadap orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah atau didominasi. Distinction ini mengacu pada ciri-ciri yang membedakan kelompok kaomu-walaka dengan orang Katobengke sebagai proses produksi stereotipe sebagai strategi kekuasaan. Sebagai kelompok yang pernah berkuasa pada masa Kesultanan Wolio (eksekutif dan legislatif), ingin mempertahankan kekuasaan, privilese dan prestise dengan stereotipe orang Katobengke kotor dan bau, bodoh, kuat makan, lebar kaki, dan budak (batua) sebagai stereotipe yang bersifat internal. Bahkan pada saat ini, kelompok kaomuwalaka menguasai berusaha kedudukan penting dalam sistem pemerintah (walikota, camat, dan legislatif) serta pranata agama (sara kidina) Mesjid Agung Keraton yang pengangkatan pejabatnya tetap mengacu garis keturunan (kamia). Sebagai kelompok yang didominasi atau disematkan stereotipe, orang Katobengke berusaha melawan definisi yang diberikan kelompok kaomu-walaka. Bentukbentuk perlawanan terhadap kelompok kaomu-walaka berupa perlawanan terhadap sistem pengetahuan orang Wolio, resistensi lewat jalur pendidikan, resistensi dengan menggunakan simbol negara/militer, dan resistensi lewat jalur politik sebagai ruang negosiasi status orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian yang dilakukan sejak Maret 2008 hingga Oktober 2009 ini merupakan penelitian etnografi yang menekankan kasus-kasus keseharian orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian ini melingkupi penelitian arsip/pustaka dan penelitian lapangan. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen.
Penelitian dilakukan di Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara dan meluas ke beberapa wilayah seperti Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kota Kendari, Kota Makassar, Kota Bogor, dan Jakarta. Para informan adalah tokoh adat dan tokoh agama masyarakat Buton dan Katobengke dan orang-orang yang memiliki pengalaman memberikan stereotipe bagi orang Katobengke dan orang Katobengke baik pemuda dan beberapa orang perempuan yang berhasil secara ekonomi.
Temuan yang diperoleh adalah bahwa, 1) stratifikasi sosial masyarakat Buton masa kesultanan adalah sistem rank yang mengacu pada peluang untuk memperoleh kekuasaan, privilese, dan prestise sehingga menyebabkan perbedaan antar lapis sosial (kaomu, walaka, papara atau orang Katobengke) Stereotipe direproduksi dalam berbagai kesempatan sebagai strategi mempertahankan posisinya sebagai kelompok sosial lapis atas; 2) Orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah berusaha melawan definisi kelompok kaomu-walaka terhadap meereka sebagai upaya mobilitas status; dan 3) Secara umum, saat ini perubahan struktur sosial masyarakat Buton masih mencari pola baru; kelompok kaomu-walaka berusaha mempertahankan kekuasaan, privilese, dan prestise dengan memahami dunia sosial dengan status tradisional (kamia) masa kesultanan, sedangkan orang Katobengke memahami dunia sosial dengan status baru berdasarkan pendidikan, agama, dan politik.

ABSTRACT
This dissertation studies how the stereotypes which were reproduced by the kaomu-walaka group foward the Katobengke people as the papara group in different opportunities. In the age of Wolio Sultanate, the groups of kaomu and walaka as the dominant classes made distinction to regard the Katobengke as the low social stratification or the dominated group. This distinction refered to the characteristics which differentiated the kaomu-walaka group from the Katobengke group as stereotyped production process used as the strategic power. As a group which had ever governed in the era of Wolio Sultanate (executive and legislative), would like to defend their power, their priviledge, and their prestige against, the stereotyped Katobengke people whose characteristics internally such as: dirty, smell, eating much, wide feet, and slaves (batua). Even, today the kaomu-walaka group still occeupy the important positions in the governmental system (mayor, camat or head of sub regency administration, and legislative members), and religious institution (sara kidina) of the palace graund mosque (Mesjid Agung Keraton) whose functionaries appointed based on the hereditary position (kamia). As the dominated group or called stereotyped people, the Katobengke try to fight against the definition whic has been given by the kaomu-walaka group. The forms of resistence against the kaomu-walaka group have been done by the Katobengke people such as: resistence against the knowledge system of Wolio people, resistence against the field of education, resistence by using the state/military simbols, resistence through political field as the place of negotiation concerning the statuses/positions of Katobengke people in the Buton social structure. The research was implemented from march 2008 until october 2009. It was the ethnographical investigation emphasizing the daily cases of Katobengke people in the Buton social structure. This research covered the library and archieves studies and field work. The methods were used in data collecting, namely, interview, participant observation, and document analysis.
The places of research were in South East Sulawesi Province, such as Bau-Bau city, Buton regency, North Buton regency, Kendari city, and other cities for example, Makassar, Bogor and Jakarta. The informants interviewed were the adat figures, the religions figures in both Buton and Katobengke society who could give information about the stereotypes of Katobengke people. Besides, the youth, the successful businesmen and women of the Katobengke also were interviewed to gain the information needed in the research.
The data which have been obtained are as follows: 1) the social statification in the age of Buton sultanate was the rank system whis was refered to the possibility to get the power, the priviledge, and prestige, which could result in the different social stratification (kaomu, walaka, and papara or Katobengke). The stereotypes of Katobengke were reproduced in different oppotunities as the strategy to defend the position of high social strata group; 2) the Katobengke group as the low social stratification tries to resist the definition made by the kaomu-walaka group as an effort for the mobilty of status; and 3) Generally speaking, nowadays the change of social structure in Buton society is still looking for a new pattern (model), the kaomu-walaka group has tried to defend its own power, its own priviledge, and its own prestige by rethinking its social world with its traditional status (kamia) in the former sultanate period, while the Katobengke group understands its social world with a new status based on an achiaved status through an element of competition in education, religion, and politics, to occupy a given position in Buton society."
Depok: 2010
D1194
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Girindra Adyapradana
"Perkembangan tekonologi komunikasi telah membawa babak baru dalam kehidupan manusia. Salah satu hasil perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mempunyai pengaruh signifikan dalam interaksi antar manusia adalah game online, dalam hal ini adalah Massively Multiplayer Online Game (MMOG). Seperti halnya dalam komunikasi antar budaya yang terjadi dalam konteks bertatap muka, stereotipe sulit untuk dihindari. Penelitian dalam Tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan stereotipe-stereotipe pemain Indonesia yang muncul dalam dunia online game Battle of Immortals (BoI), dan juga bagaimana para pemain dalam dunia tersebut mengakomodasi komunikasi yang terhambat oleh stereotipe tersebut. Penelitian ini menggunakan berbagai konsep Identitas, Stereotipe dan juga Communication Accomodation Theory. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan model studi kasus, serta dengan menggunakan wawancara mendalam dan observasi sebagai teknik pengumpulan data penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah para pemain BoI yang berasal dari Indonesia. Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa dalam dunia online game, saat para pemain tidak bertatap muka sekalipun, cukup banyak stereotipe pemain Indonesia yang muncul dalam proses komunikasi antar pemain. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan para informan, proses komunikasi yang terjadi pun diakomodasi dengan berbagai cara sesuai konteks komunikasi yang berlangsung.

Developments in communication technologies has brought a new chapter in human life. One result of the development of information and communication technologies which have significant effects in the interaction between people is an online game, in this case is a Massively Multiplayer Online Game (MMOG). Just as in intercultural communication that occurs in the context of face to face, it is difficult to avoid stereotypes. Research in this thesis aims to describe the players Indonesia stereotypes that emerged in the world of online gaming Battle of Immortals (BoI), and also how the players in the world that is hampered by communication to accommodate those stereotypes. This study uses the concepts of Identity, Stereotyping and Communication Accommodation Theory. This research method using qualitative methods, with a model case study, as well as using in-depth interviews and observation as research data collection techniques. Informants in this study are the players who come from Indonesia BoI. In general, this study shows that in the world of online gaming, as the players do not face to face though, quite a lot of players Indonesia stereotypes that emerged in the process of communication between players. Based on observations and interviews with the informants, the communication process that occurs even accommodated in various ways according to the context of the ongoing communication.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T31753
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>