Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
Asman
"Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, adalah hal yang positif dalam pembangunan di bidang hukum administrasi negara, guna mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Dimana tugas utamanya adalah melakukan kontrol dari segi hukum (yuridis) terhadap Pemerintah (penguasa) dalam pelayanan terhadap warga masyarakat. Akan tetapi dalam kurun waktu yang sudah sekian lama ini, masalah sengketa Tata Usaha Negara yang muncul dalam kehidupan masyarakat tidak seluruhnya dapat diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara, dengan alasan tidak termasuk dalam kewenangan badan PTUN dan bukan wewenangnya untuk memutuskan sengketa tersebut. Hal ini tidak terlepas dari peraturan-peraturan hukum yang masih kaku dari PTUN, dengan memberikan batasan yang sangat sempit terhadap obyek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Di samping itu munculnya ketentuan hukum baru dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah yang semakin membatasi kewenangan badan PTUN itu sendiri. Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang PTUN secara umum meberikan batasan tentang obyek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN, yaitu “Penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final”. Berikutnya dalam perluasannya terbatas dalam pengertian perbuatan pemerintah berupa keputusan negatif fiktif, sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 Undang-Undang PTUN. Dalam menentukan apakah sengketa TUN dapat diajukan sebagai obyek gugatan dalam PTUN adalah kewenangan dan kebebasan Ketua PTUN untuk menilainya (pasal 62 Undang-Undang PTUN). Tidak jarang terjadi sengketa TUN yang telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, dinyatakan tidak dapat diterima oleh putusan PTUN. Keadaan tersebut tentunya akan bermuara kepada ketidakpuasan dan/atau ketidakpercayaan masyarakat selaku pencari keadilan dalam penyelesaian sengketa TUN di PTUN."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dedy Supriyadi
"Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar.Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dapat dikorbankan guna kepentingan umum. Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Tanah Negara yang tersedia sangatlah terbatas, oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat. Proses pembebasan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah ganti rugi. Apabila telah tercapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan.
Apabila pembebasan tanah melalui musyawarah tidak mendapatkan jalan keluar antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah, Fenomena yang terjadi dalam pembebasan tanah salah satunya adalah kerap terjadinya sengketa diantara para pihak yang mengklaim memiliki hak yang sama atas satu bidang tanah. Sengketa ini perlu dicarikan jalan keluarnya baik dengan musyawarah diantara para pihak sendiri maupun dengan bantuan pihak lain (mediator) dalam hal ini adalah Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Peran mediator inilah yang menjadi objek dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa didalam menangani sengketa pertanahan, Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Jakarta Timur sebagai pelaksana kegiatan pengadaan tanah mengedepankan penggunaan mediasi dalam menyelesaikan sengketa tersebut dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggunaan mediasi dimaksudkan sebagai proses alternatif penyelesaian sengketa melalui intervensi pihak ketiga sebagai penengah (mediator) namun kesepakatan yang dihasilkan adalah hasil pelibatan peran serta para pihak secara aktif. Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan, sehingga solusi/kesepakatan atas suatu permasalahan dapat lebih cepat tercapai.
Land issue is an issue that concerns on the most basic people right. Land has economic value and social functions as well. Therefore the personal interest of the land can be sacrificed for the public interests. In handling the issue of land acquisition is very prone, because it involves life of the people. The availability of State land is limited. Therefore the only way to be taken is land acquisition. The process of land acquisition will never apart from the compensation issue. If it has reached agreement of the compensation, then doing the compensation payment, moreover release or acquisition of the land concerned. If there is no solution on land acquisition between government and land rights holders through deliberation. One of phenomenon that occurs in land acquisition is dispute among the parties who claim to have the same rights on land. This dispute needs to be finding solution both by deliberation among the parties themselves or assistance of the other parties (the mediator), in this case is the Land Acquisition Committee (P2T). The mediator role is the object in this study. Results of this study indicate that in dealing with land disputes, Land Acquisition Committee (P2T) East Jakarta as implementing land acquisition puts the use of mediation in resolving dispute with reference of applicable law. The use of mediation is intended as alternative dispute settlement process through intervention of the third party as a mediator, nevertheless the resulted agreement is result of the role and involvement of stakeholders actively. Mediation provides feeling of equality for the parties, therefore the issue solution/agreement can be quickly achieved."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Miranda Hasna Dea
"Sesuai dengan amanat Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam rangka penataan tanah terkait dengan penggunaan, penguasaan dan pemilikan diadakannya pendaftaran hak atas tanah untuk terciptanya kepastian hukum. Para pemegang hak-hak atas tanah yang bersangkutan berhak mendaftarkan tanahnya masing-masing dalam rangka memperoleh surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat pemegang hak atas tanah. Namun dalam proses penerbitan sertipikat tidak jarang timbul permasalahan seperti permasalahan yang terjadi seperti dalam Putusan Tata Usaha Negara Nomor 29/G/2017/PTUN-Srg terdapat penerbitan sertipikat di atas tanah milik orang lain. Permasalahan dalam penelitian ini adalah keabsahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang terbit di atas tanah milik orang lain dan perlindungan hukum terhadap pemilik tanah yang di atas tanahnya telah terbit sertipikat atas nama orang lain. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif mengkaji antara ketentuan hukum yang ada dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat, sedangkan tipologi penelitian yang digunakan adalah penelitian problem identification yang merupakan penelitian dengan mengidentifikasi permasalahan untuk mempermudah analisa dan penarikan kesimpulan. Adapun hasil dari penelitian keabsahan terhadap sertipikat di atas tanah milik orang lain dalam Putusan Tata Usaha Negara Nomor 29/G/2017/PTUN-Srg terjadi karena dalam proses penerbitan sertipikat kantor pertanahan mengalami kesalahan yang menyebabkan cacat administrasi yaitu Kantor Pertanahan melakukan kesalahan saat melakukan prosedur pendaftaran tanah dan tidak cermat dalam memeriksa data yuridis dan data fisik atas suatu tanah. Atas cacat administrasi tersebut sertipikat yang telah terbit dapat dimintakan pembatalan karena terdapat cacat adminitrasi sesuai dengan amanat Pasal 1 angka 14 dan Pasal 107 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999. Selanjutnya perlindungan hukum terhadap pemilik tanah yaitu pemilik tanah dapat mengajukan gugatan untuk melakukan pembatalan sertipikat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Consistent mandate of Article 19, paragraph 1, Law No. 5 of 1960 concerning Tahune basic provisions of agrarian principles in Tahune context of land management in relation to Tahune use, control and ownership of Tahune land. land, register land rights to create legal certainty. Land rights holders in question have Tahune right to register Tahuneir land to get proof of land rights, which is solid proof of land rights holders. However, in Tahune process of granting Tahune certificate, problems often arise, such as Tahune one in Tahune State administrative decision No. 29/G/2017/PTUN-Srg, specifically Tahune issue of certificates on o Tahuner people's land. Tahune issue in Tahunis study is Tahune validity of land use right certificates issued on land owned by oTahuners and Tahune legal protection of land owners who have been granted land use right certificates on behalf of oTahuners. is different. To address Tahunese issues, a legal legal research meTahunod is used to examine Tahune existing legal agreements wiTahun problems arising in society, while Tahunis type of research is used. Application is problem-defining research, i.e. research by defining problems to facilitate analysis and drawing conclusions. Research results on Tahune issuance of certificates for land owned by oTahuners in State Administrative Decision No. 29 / G / 2017 / PTUN-Srg arise because during Tahune certification process, Tahune cadastral agency encountered must have caused an administrative error, in particular, Tahune Land Office made an error in Tahune land registration process. and careless in checking legal data and physical data on a land. In respect of Tahunis administrative defect, Tahune issued certificate may be requested to be revoked because of an administrative defect as provided for in Articles 1, 1 and 107 of Tahune Regulations of Tahune Minister of Agriculture. National Land. 9 of 1999. In addition, Tahune legal protection of Tahune landowner, ie Tahune landowner can sue to revoke Tahune certificate in Tahune state administrative court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Kusno Ritwan
"Sertipikat Hak Atas Tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran hak atas tanah merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak/sempurna menurut ketentuan UUPA, dan PP Nomor 24 Tahun 1997. Keterangan-keterangan yang tercantum didalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima (oleh Hakim) sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya. Betapapun telah tersedia perangkat hukum yang mengatur pendaftaran tanah tetapi dalam praktek masih sexing ditemukan adanya sertifikat ganda. Permasalahan yang diteliti adalah kepastian hukum bagi pemegang Sertipikat Ganda Hak Atas Tanah yang diperoleh melalui perjanjian jual bell serta penerapan esensi PP No. 24 Tahun 1997 dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung Nomor 33/G/2003/PTUN-BDG tanggal 19 Juni 2003. Penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif mempergunakan tipe penelitian evaluatif guna meneliti bahan hukum primer yaitu UUPA, PP No. 24 Tahun 1997, Keputusan Meneg Agraria/Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997 ditunjang bahan hukum sekunder dan tertier. Alat pengumpulan data adalah studi dokumen.
Melalui analisis data secara kualitatif hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa sistim publikasi negatif mengandung kelemahan dalam memberikan kepastian hukum hak atas tanah tetapi di sisi lain merupakan peluang bagi pemegang hak yang sebenarnya ketika terdapat sertipikat ganda yang timbul karena kejahatan, kelalaian atau perbuatan melawan hukum. UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No.5 Tahun 1986 memberikan perlindungan bagi pemilik Hak Atas Tanah yang merasa dirugikan untuk melakukan upaya hukum membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara oleh Kantor Pertanahan melalui PTUN. Putusan PTUN Bandung Nomor 33/G/2003/PTUN-Bdg tanggal 19 Juni 2003 memenuhi esensi dari tujuan dan ketentuan dalam PP No. 24 Tahun 1997 melalui pertimbangan hukum, yang menunjuk Pasal 57 yang menyatakan bahwa dalam proses penggantian Sertipikat yang rusak, sertipikat yang lama ditahan dan dimusnahkan. Perlindungan yang diberikan PTUN terhadap masyarakat yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum Pejabat Tata Usaha Negara sesuai dengan pesan dalam Penjelasan Umum UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU Nomor 5 Tahun 1986 telah laksanakan dengan balk dalam menangani perkara ini. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19628
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nasution, Rina Fitriani
"Untuk memberikan kepastian akan keabsahan kepemilikan hak penguasaan atas tanah maka dilakukan kegiatan pendaftaran tanah secara seksama oleh pemerintah agar data yang disampaikan dapat dipertangungjawabkan kebenarannya. Selalu ada kemungkinan digugat oleh pihak lain yang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik hak penguasaan atas tanah yang sebenarnya. Kasus semacam itu ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 309PK/Pdt/2021. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis penentuan pemilik sertipikat hak penguasaan atas tanah yang sebenarnya dengan terbitnya sertipikat ganda Hak Milik di atas bidang tanah yang sama, dan penguatan lembaga rechverwerking melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) yang menolak permohonan pemilik sertipikat yang terbit kemudian sebagai dasar pembatalan sertipikat oleh kantor pertanahan. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa penentuan kepemilikan sertipikat hak penguasaan atas tanah didasarkan pada pertimbangan bahwa nama yang tertera dalam sertipikat yang terbit terdahulu merupakan pemilik hak penguasaan atas tanah yang sebenarnya. Hal tersebut dikuatkan melalui Putusan Peninjauan Kembali yang menolak permohonan pemilik sertipikat yang terbit kemudian melalui lembaga rechtsverwerking atau kehilangan hak untuk menuntut. Selanjutnya, pemilik sertipikat yang terdahulu bisa melanjutkan proses untuk membatalkan sertipikat yang terbit kemudian melalui permohonan pembatalan ke kantor pertanahan setempat.
To ensure the validity of land ownership rights, the government conducts land registration carefully so that the data presented can be accounted for truthfully. There is always the possibility of being sued by others who can prove themselves as the actual landowners. Such cases can be found in Supreme Court Decision Number 309PK/Pdt/2021. This research aims to analyze the determination of the true owner of the land ownership certificate in cases of the issuance of duplicate Ownership Certificates for the same land plot, and to strengthen the institution of rechverwerking through a Review that rejects the application of the certificate owner issued later as the basis for the cancellation of the certificate by the land office. This doctrinal legal research is conducted to gather secondary data which is then analyzed qualitatively. The analysis results indicate that the determination of ownership of the land ownership certificate is based on the consideration that the name listed in the certificate issued earlier is the actual landowner. This is reinforced through the Review Decision which rejects the application of the certificate owner issued later through the rechtsverwerking institution or the loss of the right to sue. Subsequently, the owner of the certificate registered earlier can proceed with the process of canceling the certificate issued later through a cancellation request to the local land office."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Salsabila Prajna Damayanti
"Perjanjian perdamaian merupakan perjanjian obligatoir, yang merupakan perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu. Asas bersifat obligatoir dalam perjanjian perdamaian memiliki arti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut hanya hak dan kewajibannya saja yang baru timbul. Untuk pemenuhan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut, dapat dilaksanakan perjanjian berupa pembayaran maupun penyerahan. Akta perdamaian semestinya dapat memberikan kepastian hukum kepada para pihak untuk mengakhiri ataupun mencegah timbulnya suatu perkara dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang yang telah disepakati. Namun, pada praktiknya akta perdamaian tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa karena objek perjanjian perdamaian merupakan tanah dalam keadaan sengketa, seperti kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1127/Pdt.G/2020/PN.Dps. Penelitian ini menganalisis tentang keabsahan perdamaian dalam bentuk akta notaris serta pembatalan perjanjian perdamaian yang dibuat oleh notaris. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum doktrinal. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh adalah perdamaian dalam bentuk notaris dapat dikatakan sah jika notaris berwenang membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak serta secara lahiriah, formil, dan materil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta notaris. Pembatalan perjanjian perdamaian yang dibuat oleh notaris dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam akta pembatalan. Selain itu, karena objek perdamaian merupakan tanah yang sedang diletakkan sita jaminan, maka perjanjian perdamaian batal demi hukum karena melanggar ketentuan dalam Pasal 199 HIR, sehingga peralihan hak atas tanahnya tidak dapat dilaksanakan karena melanggar ketentuan pada Pasal 39 ayat (1) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
A settlement agreement is an obligatory agreement, which is an agreement that obliges someone to deliver or pay something. The obligatory principle in a settlement agreement means that the agreement made by the parties only creates new rights and obligations. To fulfil the obligations arising from the agreement, the agreement can be implemented in the form of payment or delivery. A deed of settlement should be able to provide legal certainty to the parties to end or prevent a case from arising by delivering, promising or withholding an agreed item. However, in practice, the peace deed cannot provide legal certainty for the parties to the dispute because the object of the peace agreement is land in a state of dispute, such as the case in Denpasar District Court Decision Number 1127/Pdt.G/2020/PN.Dps. This research analyses the validity of settlement in the form of notarial deeds as well as the cancellation of settlement agreements made by notaries. This doctrinal legal research was conducted through a literature study to collect secondary data which was then analysed qualitatively. The results of the research obtained are that settlement in the form of a notary can be said to be valid if the notary is authorised to make a deed in accordance with the wishes of the parties, outwardly, formally, and materially in accordance with the legal rules regarding the making of notarial deeds. The cancellation of a settlement agreement made by a notary is carried out based on the agreement of the parties as outlined in the deed of cancellation. In addition, because the object of peace is land that is being placed under security seizure, the peace agreement is null and void because it violates the provisions in Article 199 HIR, so that the transfer of land rights cannot be implemented because it violates the provisions in Article 39 paragraph (1) letter f of Government Regulation Number 24 of 1997."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Putri Asih Fabiolah
"Tesis ini membahas mengenai kepastian hukum bagi pemegang Sertifikat Hak Milik atas Tanah terhadap gugatan dari pihak lain, dengan menganalisa Putusan PN Nomor : 27/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel). Bagaimana kekuatan Sertipikat Hak Milik atas Tanah sebagai alat bukti dalam pengadilan dan bagaimana hakim memutuskan pihak mana yang dimenangkan. Metode penulisan yang dipakai adalah metode yuridis normatif yang merupakan penelitian yang menekankan pada penggunaan data sekunder berupa norma hukum tertulis. Teknik analisa yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu dari data sekunder yang telah dikumpulkan dan diolah untuk perumusan kesimpulan untuk memperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai kepastian hukum bagi pemegang Sertipikat Hak Milik atas Tanah terhadap gugatan dari pihak lain. Di bagian akhir disimpulkan bahwa penting bagi pemilik tanah untuk melakukan pendaftaran tanah dan memiliki Sertipikat Hak Milik atas Tanah. Karena di muka Pengadilan meskipun bukan sebagai alat bukti yang mutlak, Sertipikat Hak Milik atas Tanah merupakan alat bukti yang kuat. Pemegang Sertipikat Hak Milik atas Tanah meskipun masih dapat digugat oleh pihak lain akan tetapi memiliki kekuatan hukum atas haknya selama pihak yang menggugat tidak dapat membuktikan sebaliknya.
This thesis discusses the rule of law for the holders of certificate of land ownership against third party lawsuit by analyzing district court decision number 27/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel. The analysis includes whether a certificate of land ownership can be determined as evidence before court and how judges rule the prevailing party in the dispute. The research method employed in this study was normative juridical methodwhich focused on secondary datum of formal legal principles. Moreover, the analysis technique used in this thesis was qualitative analysis. The data source for the analysis was collected from secondary datum which had been processed in order to draw a reliable conclusion regarding the rule of law for the holder of certificate of land ownership. In conclusion, the writer concluded the significance of land registration and the possession of land certificate by land owners. Even though, the certificate of land ownership does not have absolute and binding verification strength before court, it can be formally admitted as proper evidence in court proceeding. The certificate holder is entitled for his right of ownership, unless other party can prove otherwise."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31896
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Egi Mahira Irham
"Skripsi ini membahas mengenai analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara perihal pengambilalihan tanah secara paksa oleh pemerintah di kampung Budi Darma. Sebagai pembuat kebijakan pertanahan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kebijakan pertanahan di perkotaan yang tidak merugikan berbagai pihak khususnya kerugian akibat pengambilalihan tanah secara paksa atau penggusuran.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui status kepemilikan tanah sengketa dan solusi kebijakan pertanahan di perkotaan dikaitkan dengan Putusan PN Jakarta Utara Nomor 412/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Ut. Metode penulisan skripsi ini menggunakan jenis yuridis normatif dengan bertumpu pada data sekunder yang disajikan secara deskriptif analisis.
Hasil penulisan menunjukkan bahwa pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara penggusuran warga kampung Budi Darma ini belum sepenuhnya tepat. Majelis hakim seharusnya membuat pertimbangan yang jelas terkait Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Para Tergugat dan bukti kepemilikan tanah yang ditunjukkan dalam persidangan.
This thesis discusses the analysis of the North Jakarta District Court decision regarding land acquisition forced by the government in Kampung Budi Darma. As a maker of land policy, the government should consider the urban land policy that is not detrimental to the various parties, especially losses due to land acquisition by force or displacement.This research aims to determine the status of disputed land ownership and land policy solutions in urban areas associated with the North Jakarta District Court Decision No. 412 / Pdt.G / 2009 / PN.Jkt.Ut. This thesis writing method using normative juridical kind by relying on secondary data presented in descriptive analysis.Writing results showed that the consideration of the judges in deciding the displacement of Budi Darma villagers is not fully accurate. The judges should make clear considerations related Unlawful Acts committed by the Defendants and proof of land ownership were shown in court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62313
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Harry Syahputra
"Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah (PPJB) terhadap obyek hak atas Tanah, dalam perkembangannya dalam masyarakat PPJB ini lahir dikarenakan adanya keinginan dalam mengikatkan niat baik dalam kegiatan jual beli tanah, dimana umumnya PPJB ini dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya dikarenakan alasan administratif seperti belum disertipikatkan objek yang akan diperjual-belikan, pelunasan pembayaran yang memerlukan tahapan-tahapan pembayaran atau juga dikarenakan proses balik nama sertipikat dari nama penjual tanah terdahulu menjadi nama penjual tanah yang akan dilakukan proses jual beli tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam pelaksanaan PPJB ini sendiri sering kali menimbulkan permasalahan seperti sengketa kepemilikan yang dapat ditimbulkan dengan adanya PPJB dan juga seperti sengketa tanah dimana hanya melalui PPJB, tanah yang akan diperjual-belikan tersebut sudah beralih penguasaan fisiknya dan bahkan beralih penguasaan sertipikatnya.Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 731K/Pdt/1996 dan Nomor 2728 K/Pdt/2011 ini, timbul sengketa terhadap kepemilikan tanah yang bersumber pada PPJB yang menjadi dasar perikatan dimana dalam hal belum dilakukan perjanjian jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) namun kepemilikan terhadap objek tanah sudah beralih dengan PPJB sebagai dasar. Hal ini menunjukan bahwa dalam pemahaman yang berkembang dalam masyarakat umum dimana tidak semua masyarakat paham bahwa yang menjadi dasar peralihan hak atas tanah hanyalah perjanjian jual beli yang dilakukan dihadapan PPAT dengan menggunakan Akta Jual Beli. Sebagian masyarakat menganggap bahwa dengan dilakukan PPJB maka kepemilikan tanah sudah beralih dan si pembeli tanah sudah berhak atas kepemilikan tanah dan berhak menguasai secara fisik objek tanah tersebut.
In society growth of The Sale and Purchase Agreement Commitment of the Land. This agreement was firm because of goodwill realization of society in land acquisition activity. A few reason that The Sale and Purchase Agreement Commitment was made example : administration matter as the land has‟t certificated yet, the buyer need a terms for sinking fund of the land and transfer the name in certificated from the previous owner into a recent owner, so the sell and purchase agreement in front of official land deed maker can‟t be held . The Sale and Purchase Agreement Commitment development in society cause problems as the ownership of land dispute and the transfer of land ownership only using The Sale and Purchase Agreement Commitment not The Sale and Purchase Agreement by official land deed maker. In Case Study of Indonesia Supreme Court verdict number 731K/Pdt/1996 dan Nomor 2728 K/Pdt/2011, the dispute was cause by transfer of land ownership using The Sale and Purchase Agreement Commitment and not by The Sale and Purchase Agreement of official land deed maker. This situation shown us that in general society, The Sale and Purchase Agreement Commitment still not applied as it purpose, because according to them, The Sale and Purchase Agreement Commitment is the official law action to transfer the ownership or land and by using The Sale and Purchase Agreement Commitment, they thought they own the land."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44834
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nitama Farsia
"Penelitian ini membahas mengenai tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap akta autentik yang dibuatnya apabila pihak yang menghadap kepadanya bukanlah pihak yang berwenang dan menyebabkan terjadinya sengketa pertanahan sehingga status Akta Jual Beli dan Sertipikat Hak Milik yang dikeluarkan oleh Pejabat Umum dan Kantor Pertanahan terkait menjadi tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tanggung jawab dari Pejabat Pembuat Akta Tanah atas Akta Jual Beli yang dibuatnya apabila pihak yang telah menghadap kepadanya telah memberikan keterangan palsu sehinnga dapat dikatakan bukanlah pihak berwenang, kemudian perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik karena kehilangan hak untuk menguasai objek tanahnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menitikberatkan bahan pustaka sebagai sumber penelitiannya. Adapun analisis data dilakukan secara sekunder, yaitu data yang tidak diperoleh langsung di lapangan melainkan berdasarkan studi kepustakaan. Hasil analisa adalah bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah terkait tidak turut terlibat dalam Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh pihak penghadap, sehingga Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak dapat diminta pertanggungjawabannya namun dapat diberikan sanksi administrasif, sedangkan karena Negara Indonesia menganut sistem publikasi negatif yang bertedensi positif sehingga Negara tidak memberikan perlindungan kepada pembeli beritikad baik apabila objek tanah yang dikuasainya diakui oleh pihak lain yang berhak secara sah untuk menguasainya. Namun, pembeli beritikad baik dapat mengajukan gugatan baru baik secara perdata maupun laporan pidana kepada pihak yang merugikannya. Kata kunci: Pejabat Pembuat Akta Tanah, Sengketa Pertanahan, Pembeli Beritikad Baik.
This research discusses the responsibility of the Land Deed Official to the authentic deed he made if the party facing him is not the authority and causes a land dispute so that the status of the Deed of Sale and Ownership issued by the Public Official and the relevant Land Office becomes invalid and has no legal force. The problem raised in this research is the responsibility of the Land Deed Official for the Deed of Sale and Purchase that he made if the party who has faced him has given false information so that it can be said that it is not the authorities, then the legal protection of the buyer is in good faith because of the loss of the right to control the object of his land. To answer the problem is used normative juridical research method, which is a research that emphasized library materials as the source of research. The data analysis is done secondaryly, namely data that is not obtained directly in the field but based on literature studies. The result of the analysis is that the relevant Land Deed Official is not involved in the Unlawful Acts carried out by the accuser, so that the Land Deed Official cannot be held accountable but can be given administrative sanctions, while because the State of Indonesia adheres to a system of negative publications that have a positive effect so that the State does not provide protection to the buyer in good faith if the land object he controls is recognized by other parties who are legally entitled to control it. However, good-faith buyers can file new lawsuits both civilly and criminally to those who harm them. Keywords: Land Deed Official, Land Dispute, Good Faith Buyer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library