Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Virza Roy Hizzal
Abstrak :
Dikotomi antara perlunya tindakan tegas dalam memberantas terorisme dengan kewajiban melindungi HAM yang tidak bisa dinafikan begitu saja, menimbulkan diskursus di kalangan akademisi, praktisi, stake holder, pemerintah maupun pembuat udang undang yang tak kunjung menemukan persepsi sama dalam menghadapi bahaya terorisme. Keberagaman dari unsur "cara" teroris dalam melaksanakan aksi dan tujuannya, membuat perlunya suatu bentuk definisi yang mampu meng-cover unsur-unsur tindak pidana terorisme secara komprehensif Terorisme dari sudut pandang pelaku atau aktor, tidak saja. dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh negara (state terrorism). Pernyataan ini diambil dari realita bahwa terhadap sesuatu yang menimbulkan peristiwa teror (adanya ancaman, intimidasi, rasa ketakutan, tidak aman, dan lain-ain), dapat diakibatkan oleh upaya massive yang gencar dilakukan pemerintah dalam memberantas terorisme. Kebijakan yang dituangkan dalam suatu produk perundang-undangan merupakan acuan bagi pelaksananya dalam menjalankan apa yang telah digariskan sesuai dengan normanorma yang berlaku. Akan tetapi, ada kalanya suatu peraturan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, maupun tidak sejalan dari tujuan semula ketika peraturan tersebut dilaksanakan. Bahkan tidak jarang terjadi penyimpangan maupun salah penafsiran dari apa yang telah digariskan oleh peraturan tersebut akibat tidak dibuat dengan sungguh-sungguh dan tidak memparhatikan aspek historis, sosiologis, maupun yuridis yang ada pada masyarakat Kebijakan dalam penanggulangan terorisme, tidak boleh hanya memandang bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa sehingga harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Ada hal lain yang harus diperhatikan secara kompleks, terutama berkaitan dengan hak-hak masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi korban akibat "perang melawan terorisme" tersebut. Sebenamya, pihak yang paling rentan menjadi korban dari "histeria" terorisme adalah masyarakat. Oleh karena itu, bagaimanapun hebatnya penggalangan opini maupun kebijakan reprrssive dalam memberantas terorisme, tidaklah boleh mengabaikan rasa aman dan kebebasan masyarakat itu sendiri. Proses penyelidikan dan penyidikan, sebagai pintu gerbang dalam pemberantasan terorisme, merupakan hal yang paling rentan terjadinya pelanggaran HAM data kesewenang-wenangan aparat (abuse of power). Selain itu, undang-undang anti-terorisme juga membuka intervensi badan intelijen yang nota bene bukan badan yudisial, dengan melegitimasi laporan intelijen sebagai bukti permulaan. Hak Asasi Manusia yang melekat secara indivual pada setiap orang, tidak memandang perlu atau tidaknya terorisme diberantas, akan tetapi hak-hak tersebut merupakan kemutlakan yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai pengemban tanggung jawab negara. Begitu pula dengan hak-hak tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme. Masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme juga mempunyai hak yang sama untuk diperlakukan sesuai dengan standar HAM yang berlaku secara universal. Oleh karena itu yang sangat penting untuk dijadikan agenda utama bagi negara kita adalah bagaimana kebijakan pengaturan tindak pidana terorisme harus berada dalam dua titik keseimbangan, yakni keselarasan antara prinsip "security" dan "libertty''.
Dichotomy between necessary acts of force in fighting terrorism with the obligation to protect Human Rights (HR) cannot be easily ignored, and have created discourse among academic, practitioners, stakeholder, government and legislator and policy maker. Until now they still can find the same perception in facing the danger of terrorism. The variety of element "way" of terrorist in mode of their action and their aim, make important to have one definition that can covered elements on came of terrorism comprehensively. Terrorism from point of view terrorists or actor, can be viewed that terror is not only can conduct by individual or group, but also conduct by State (state terrorism). This statement is taken from reality that things that can create condition of terror (presence of treat, intimidation, fear, insecure, etc) can be caused by massive efforts that has been rapidly done by government to fight against terrorism_ Regulation policy is the reference for operational act on what have been accepted as norms. Although sometimes, a rule or regulation cannot accustomed with what have been goal to, and also disharmony with the primary aim on how to be conducted. And it is not rare that deviant or wrong interpretation from what have meant to be by the regulation is caused by unprepared regulation or without fully considering historical aspect, sociology, and existed jurisdiction in society. Policy to over come terrorism cannot only by viewing that terrorism is extraordinary crime, but also have to be eliminate from its roots. There is other things that have to be concern, as complexity of it, specially in related with society rights that can be in any time to be a victim cause by "war against terrorism. Actually the most vulnerable victim of "hysteria" terrorism is society. Because of that, no matter how great opinion maker and repressive policy to abolish terrorism, it cannot be practice by ignore security and freedom of society. The investigation process and crime scene investigation, as one gate to eliminate terrorism, and can be a vulnerable space for HR violation and abuse of power by apparatus_ Beside, Anti Terrorism Law can open way to board intelligent to intervene, while this is not a judicial board. Where legitimate report from intelligent body is accept as preliminary evident Human Rights embedded individually with everyone, regardless necessary or not necessary that terrorism ought to eliminate, it is absolutely government responsibility to fulfill its rights. It is also the rights of suspect/convicted crime of terrorism. Society can be at anytime suspect/convict crime of terrorism have to be treated equally according to universal HR standard. By that guarantee it is important that primary agenda for our State to ensure that regulation policy on terrorism crime stay in two point of balance, a principle harmony of "security" and "liberty".
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Agus Ramdlany
Abstrak :
Dalam prakteknya, hak tersangka/terdakwa seringkali terabaikan karena dikonotasikan sebagai orang yang bersalah. Hal ini yang menyebabkan hak-hak mereka tidak terlindungi dan mendapat perlakuan semena-mena. Padahal dalam hukum pidana Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan Hadist terdapat jaminan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji secara mendalam penafsiran Al-Qur*an dan Hadist untuk membahas dua permasalahan yang menjadi fokus utama penelitian, yakni: perlindungan HAM dan praktek perlindungan HAM tersangka/terdakwa dalam hukum pidana Islam. Dari keseluruhan pembahasan dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Islam memberikan perlindungan HAM tersangka/terdakwa pada setiap tahap proses hukum yang dilalui. Hukum pidana Islam memiliki sifat yang tegas, konsisten dan menjamin kepastian hukum dikarenakan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist yang tidak akan berubah. Di Saudi Arabia dan Malaysia, perlindungan HAM tersangka/terdakwa dilakukan di semua tahapan proses hukum yang dilalui tersangka/terdakwa, terutama hak tersangka/terdakwa untuk tidak diperlakukan secara kejam, fisik dan mental yang tidak manusiawi dan mengandung kekerasan. ......In practice, the suspect/accused rights were often ignored because of being connoted as the guilty person. It caused their rights often to be unprotected and received arbitrarily treatment. Meanwhile in Moslem criminal law that had basis in AI-Qur'an and Hadist, there is a pledge towards the suspect/accused rights. This research used the juridical normative approach by studying in depth the interpretation of AI-Qur'an and Hadist to discuss two problems that became the main focus of the research, that is: the protection of human rights and the protection of the suspect/accused human rights in Islam criminal law practically. Moslem criminal law gave the protection to suspect/accused human rights in each process stage of the law. Moslem criminal law had the firm characteristics, consistent and guaranteed legal certainty caused by originated in AI-Qur'an and Hadist that will not change. In Saudi Arabia and Malaysia, the protection to suspect/accused human rights was done in all the process stages of the law that passed through by the suspect/accused, especially the suspect/accused right to be not treated in a cruel, physical and mental manner that was not humane and contained the violence.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25148
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Agus Ramdlany
Abstrak :
Dalam prakteknya, hak tersangka/terdakwa seringkali terabaikan karena dikonotasikan sebagai orang yang bersalah. Hal ini yang menyebabkan hak-hak mereka tidak terlindungi dan mendapat perlakuan semena-mena. Padahal dalam hukum pidana Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan Hadist terdapat jaminan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji secara mendalam penafsiran Al-Qur*an dan Hadist untuk membahas dua permasalahan yang menjadi fokus utama penelitian, yakni: perlindungan HAM dan praktek perlindungan HAM tersangka/terdakwa dalam hukum pidana Islam. Dari keseluruhan pembahasan dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Islam memberikan perlindungan HAM tersangka/terdakwa pada setiap tahap proses hukum yang dilalui. Hukum pidana Islam memiliki sifat yang tegas, konsisten dan menjamin kepastian hukum dikarenakan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist yang tidak akan berubah. Di Saudi Arabia dan Malaysia, perlindungan HAM tersangka/terdakwa dilakukan di semua tahapan proses hukum yang dilalui tersangka/terdakwa, terutama hak tersangka/terdakwa untuk tidak diperlakukan secara kejam, fisik dan mental yang tidak manusiawi dan mengandung kekerasan. ......In practice, the suspect/accused rights were often ignored because of being connoted as the guilty person. It caused their rights often to be unprotected and received arbitrarily treatment. Meanwhile in Moslem criminal law that had basis in AI-Qur'an and Hadist, there is a pledge towards the suspect/accused rights. This research used the juridical normative approach by studying in depth the interpretation of AI-Qur'an and Hadist to discuss two problems that became the main focus of the research, that is: the protection of human rights and the protection of the suspect/accused human rights in Islam criminal law practically. Moslem criminal law gave the protection to suspect/accused human rights in each process stage of the law. Moslem criminal law had the firm characteristics, consistent and guaranteed legal certainty caused by originated in AI-Qur'an and Hadist that will not change. In Saudi Arabia and Malaysia, the protection to suspect/accused human rights was done in all the process stages of the law that passed through by the suspect/accused, especially the suspect/accused right to be not treated in a cruel, physical and mental manner that was not humane and contained the violence.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37115
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anwari
Abstrak :
Konflik Sosial dan Konflik Batin dalam Drama Terdakwa karya Ikranegara (pembimbing: Ibnu Wahyudi, M.A.). Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1997. Untuk banyak kasus, penentuan tema atau klasifikasi tema terhadap karya sastra tidak terlalu sulit, tema dapat ditangkap secara tegas. Namun untuk sejumlah kasus, penentuan tema tidak mudah. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan latar belakang pembaca atau penelaah. Akan tetapi ada kalanya perbedaan interpretasi dapat terjadi karena memang karya sastra itu sendiri yang sangat berpotensi untuk menimbulkan interpretasi ganda dalam hal tema. Dalam hal ini contohnya ialah drama Terdakwa karya Ikranegara. Drama Terdakwa memiliki kandungan tema sosial dan tema kejiwaan, yakni masalah konflik sosial dan konflik batin. Kedua tema tersebut terlihat sama kuat untuk disandangkan pada drama Terdakwa. Dengan menggunakan analisis intrinsik, yakni tokoh, latar, alur, kandungan masalah sosial dan kejiwaan dalam Terdakwa, serta dibantu dengan analisis ekstrinsik, yakni melihat kecenderungan tema karya-karya lain dari pengarang yang bersangkutan, penulis dapat menentukan tema utama dari drama Terdakwa.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S10752
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Sunardi
Abstrak :
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada setiap warga negara di Indonesia, khususnya dalam hal ini tersangka/terdakwa seperti yang tertera di dalam Pasal 52 KUHAP tentang memberikan keterangan secara sukarela dalam proses pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) masih sangat jauh bahkan belum sama sekali terwujud karena belum adanya pelaksanaan yang nyata dalam praktek proses penyidikan dalam pembuatan BAP. Adapun penelitian ini mempunyai tujuan sehagai berikut: untuk mengetahui HAM seorang tersangka/terdakwa, untuk mengetahui latar belakang siapa yang melindungi HAM tersangka/terdakwa, untuk mengetahui alasan-alasan mengapa negara harus melindungi HAM tersangka/ terdakwa, serta untuk mengetahui yang menjadi kendala HAM tersangka/terdakwa tidak berjalan dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan kepustakaan sehingga penelitian ini dapat digolongkan ke dalam jenis penelitian hukum normatif. Untuk menunjang penelitian ini, penulis juga melampirkan hasil wawancara dengan para narasumber, yaitu kepada instansi kepolisian, kejaksaan, kehakiman, advokat, dan tersangka/terdakwa yang menjadi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah dalam kasus pembunuhan seorang aktivis buruh di Surabaya yang bernama Marsinah. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia berkewajiban melindungi HAM setiap warga negaranya tanpa membedakan agama, warna kulit, ras, suku, ideologi, miskin atau kaya, militer atau sipil. Proses penegakan hukum pidana di Indonesia mempunyai berbagai kendala, yang paling besar adalah adanya pelanggaran HAM terhadap tersangka/terdakwa berupa penyiksaan dan penganiayaan di setiap proses penyidikan di dalam proses pembuatan BAP yang akhirnya hasil dari putusan akhir dari pengadilanpun cacat demi hukum dan telah mencoreng nama baik negara Indonesia itu sendiri, bahwa di dalam kenyataannya di negara Indonesia tidak berjalan bahkan tidak adanya budaya hukum sama sekali, padahal seringkali para aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah selalu menyebutkan bahwa kita (Indonesia) adalah negara yang berlandaskan atas hukum bukan atas kekuasaan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Sori S
Abstrak :
Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketahui keberadaanya sejak proses penyidikan, berdasarkan fakta empiris dapat dipastikan akan dilakukan dengan persidangan in absentia. Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang diperbolehkannya melakukan pemeriksaan persidangan serta memutus perkara tanpa kehadiran diri terdakwa. Namun, ketentuan ini dipahami oleh penyidik dan penuntut umum sebagai ketentuan yang juga memperbolehkan dilakukannya penyidikan dan penuntutan tanpa harus menemukan tersangka yang telah melarikan diri serta memeriksanya. Ketentuan ini pun dipandang berbeda oleh hakim yang memeriksa perkara, di mana ada hakim yang setuju untuk memeriksa dan memutus perkara yang tersangkanya tidak diperiksa selama tahap penyidikan, dan ada juga hakim yang menolak untuk memeriksa perkara tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode normatif yang menggunakan sumber data sekunder dan didukung oleh data primer berupa wawancara dapat disimpulkan bahwa perkara tindak pidana korupsi yang tersangkanya tidak pernah diperiksa selama penyidikan tidak dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di pengadilan.
Based on empirical fact, the settlement of corruption act, in which the defendant has fled and his existence has been unknown since the investigation process is conducted, can certainly be done in the trial in absentia. Provision of Law No. 31 of 1999 replaced by law No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption Act regulates the permissibility in conducting hearings and decides the case in absentia. However, the provision is also understood by the investigators and prosecutors as the provision that allows an investigation and prosecution without having to find a suspect who has fled, and investigate him. This provision is viewed differently by judges who examine cases in which there are judges who agree to examine and decide the case where the suspects are not checked during the investigation stage, and there are also the judges who refuse to examine the case. The result of research conducted by the normative method that used secondary data sources and supported by primary data in the form of interviews could be concluded that corruption crimes in which the suspect was never examined during the investigation could not be proceeded to the prosecution stage and the stage of investigation in court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28575
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Defid Tri Rizky
Abstrak :
Sistem pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi merupakan suatu penyimpangan tentang sistem pembebanan pembuktian sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP dan sistem pembalikan beban pembuktian ini belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh penegak hukum. Dalam penulisan tesis ini terdapat tiga permasalahan yang dikaji yaitu : bagaimana pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia dan apakah yang menjadi hambatan dan kendala dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian pada tindak pidana korupsi serta bagaimana seharusnya pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi agar dapat diterapkan secara optimal. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif dan dalam pengolahan dan analisis data penelitian ini menggunakan metode yang bersifat kualitatif deskriptif dengan menguraikan persoalan dan fakta-fakta secara tertulis dari bahan kepustakaan dan akan dianalisa yang pada akhirnya akan ditarik sebuah kesimpulan dan didukung oleh penelitian lapangan sebagai penunjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, Pasal 37 A dan Pasal 38 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum pernah diterapkan dalam penanganan tindak pidana korupsi dikarenakan terdapatnya kesalahan rumusan norma pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang termuat dalam Pasal 12 B sehingga rumusan tersebut meniadakan norma pembalikan beban pembuktian. Kemudian masih terdapatnya perbedaan persepsi antara penegak hukum terkait dengan konsep pembalikan beban pembuktian dan makna terhadap harta benda terdakwa yang belum didakwakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 B. Tidak adanya aturan yang jelas tentang proses beracara dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian membuat penegak hukum raguragu untuk menerapkan sistem ini. Oleh karena itu disarankan agar pembentuk undang-undang tindak pidana korupsi segera merevisi norma pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang termuat UU No. 20 tahun 2001 serta mengatur secara jelas mengenai petunjuk teknis/operasional dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian tersebut. ......The reversal of the burden of proof system as stipulated in Law No. 31 of 1999 Jo Act No. 20 of 2001 on corruption is a deviation of the loading system of proof as set out in the Code of Criminal Procedure (KUHAP) and the burden of proof reversal system has yet to be implemented optimally by law enforcement. In writing this thesis there are three issues that were examined are: how to setup a reversal of the burden of proof on the system of corruption according to the provisions in force in Indonesia and what are the barriers and obstacles in the application of the reversal of the burden of proof in corruption cases as well as How should the reversal of burden of proof system arrangement within the Criminal law can be applied to Corruption optimally. This research uses the juridical normative and research methodologies in the processing and analysis of data using a method that is both qualitative descriptive with outlines the issues and facts, in writing, from the material library and will be analyzed that will ultimately be drawn a conclusion with supported by research field as an ancillary. The results showed that the reversal of the burden of proof system as set forth in of Article 12 B paragraph (1) letter a, Article 37 A and Article 38B of Law No. 20 of 2001 on amendment of Law No. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption has never been applied in the handling of corruption due to the presence of error norm formulation as the reversal of the burden of proof as contained in Article 12 B so that the formulation of the norm eliminate the reversal of the burden of proof. Later still the presence of differences in perception between law enforcement related to the reversal of the burden of proof concept and meaning to the defendant's property that has not been charged as provided in Article 38 B. The absences of clear rules on proceedings in the application of the reversal of the burden of proof create hesitant for law enforcement agencies to implement this system. It is therefore recommended that the legislators of corruption revise the norms of reversal of the burden of proof which contained on Law No. 20 of 2001 and set a clear technical guidelines / operational in the application of the reversal of the burden of proof.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30695
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kusumaningrum
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai multitafsir mengenai saat gugurnya praperadilan sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 serta perlindungan hukum bagi Pemohon setelah adanya putusan gugur praperadilan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu data dari penelitian ini sebagian besar didapat melalui studi kepustakaan dan wawancara kepada narasumber. Hasil penelitian ppenulis mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 ditemukan dua multitafsir mengenai waktu gugur praperadilan yaitu saat adanya pelimpahan berkas pokok perkara ke Pengadilan Negeri yang diikuti penetapan hari sidang pertama pokok perkara dan saat dimulainya sidang pokok perkara. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 tidak ditemukan lagi multitafsir tersebut dengan merujuk pada interpretasi Mahkamah Konstitusi. Perlindungan hukum bagi pemohon setelah gugurnya praperadilan dapat dilakukan dengan mengajukan kembali objek praperadilan dalam sidang pokok perkara untuk memberikan kepastian hukum atau melaporkan petugas yang dianggap melakukan tindakan sewenang-wenang dalam upaya paksa kepada atasannya.
This study discusses about multi interpretation of the pretrial rsquo s decision before Thdecision of the Constitutional Court Number 102 PUU XIII 2015 and legal protection of the applicant after the pretrial rsquo s abort decision. This study using Juridical Normative method where most of data gain from books, literatures, and interview. The result of this research are there rsquo s some multi interpretation regarding abort decision of Pretrial before The Jurisprudence of Constitutional Court Number 102 PUU XIII 2015 which is adduction document of the case to the Court and the first day of Court rsquo s examination regarding the case. Moreover, after The Jurisprudence of Constitutional Court Number 102 PUU XIII 2015 there are nomore multi interpretation about multi interpretation of the pretial rsquo s decision. Law protection of the Applicant after the Pretrial rsquo s abort decision could be performed by filed back the object of Pretrial rsquo s to the Court as part of the main case to get law certainty or report the officer whose considered do the arbitrary action to his superiors.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Edwin Ligasetiawan
Abstrak :
Metode persidangan pidana dengan menggunakan alat elektronik baru digunakan luas setelah terjadinya pandemi Covid-19 yang berdampak pada sistem peradilan pidana berbagai negara di dunia. Perubahan ini berdampak pada hak terdakwa untuk hadir di muka pengadilan yang diatur dalam KUHAP. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan merupakan salah satu hak dasar bagi terdakwa dan sebagai jaminan dalam pelaksanaan peradilan yang adil (fair trial) karena berkaitan dengan proses pembuktian. Dalam pembahasan ini metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat. Penelitian ini menunjukkan, sidang pidana elektronik di Indonesia hanya diatur dalam peraturan Mahkamah Agung dan ini berbenturan dengan KUHAP; sedangkan di Belanda, sekalipun telah dituangkan dalam KUHAP, penggunaan videoconference dianggap melanggar ketentuan dalam European Convention on Human Rights; di Amerika Serikat penggunaan videoconference diatur dengan cukup ketat dalam CARES Act. Penelitian ini berpendapat, persetujuan terdakwa dalam persidangan pidana online diperlukan karena hal ini sebagai persetujuan mengenyampingkan hak untuk hadir di muka sidang. Oleh karena itu, penggunaan videoconferece tidak melanggar fair trial dan tetap dapat imparsial sepanjang terdapat persetujuan dari terdakwa atau ketentuan yang mengatur tersebut menjamin bahwa seluruh hak-hak terdakwa dapat dipenuhi. ......The criminal trial method using electronic devices has only been widely used after the Covid-19 pandemic which has impacted the criminal justice system of various countries in the world. This change has an impact on the right of the accused to presence before the court as regulated in the Indonesia Criminal Procedure Code. The right of the accused's presence before the court is one of the basic rights for the accused and as a guarantee in the implementation of a fair trial because it is related to the evidentiary process. In this thesis the research method used is normative juridical with a comparative approach to the laws of Indonesia, the Netherlands, and the United States. This thesis shows that electronic criminal courts in Indonesia are only regulated in the Supreme Court regulations and this is in conflict with the Indonesia Criminal Procedure Code; whereas in the Netherlands, even though it has been stated in the Dutch Criminal Procedure Code, the use of videoconferencing is considered a violation of the provisions of the European Convention on Human Rights; in the United States the use of videoconference is regulated quite strictly in the CARES Act. This thesis argues that the accused’s approval to conduct a criminal trial via videoconferencing is necessary because this is an agreement that overrides the right to presence before the court. Therefore, the use of videoconferencing does not violate the fair trial and can still be impartial as long as there is agreement from the accused or the stipulations that regulate it ensure that all the rights of the accused can be fulfilled.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>