Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simangunsong, Gunawan
"Setelah terbit Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ada pengaturan bahwa pejabat yang menyalahgunakan wewenang yang menimbulkan kerugian keuangan negara dapat memulihkan kerugian keuangan negara tersebut paling lama 10 hari setelah terbitnya hasil pengawasan aparat pengawas intern pemerintah. Setelah pejabat pemerintah memulihkan kerugian keuangan negara, maka seharusnya unsur pidana korupsinya hilang. Namun UU 30/2014 tersebut tidak kompatibel dengan UU Tipikor Pasal 4 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana yang menciptakan ketidakpastian hukum terhadap pejabat pemerintahan. Penelitian ini mengkaji status penyalahgunaan wewenang setelah pejabat pemerintah memulihkan kerugian negara. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan melakukan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Hasil penelitian menemukan bahwa Pertama, pengaturan mekanisme pemulihan kerugian keuangan negara tidak seragam sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Kedua, apabila kerugian keuangan negara telah dipulihkan maka unsur pidana pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak terpenuhi sesuai pengertian kerugian negara yang harus nyata dan pasti. Selain itu penelitian ini menemukan dibandingkan pemidanaan konsep sanksi berat, tuntutan ganti kerugian harusnya menjadi prioritas utama dan ditambah dengan denda sebagai pengoptimalan pemulihan kerugian keuangan negara
.....After the issuance of Law No. 30 of 2014 there is an arrangement that officials who abuse authority that incurs financial losses of the state can recover the financial losses of the country no later than 10 days after the issuance of the results of the supervision of the government's internal supervisory apparatus. After government officials recover the financial losses of the state, then the criminal element of corruption should be lost. However, Law 30/2014 is not compatible with The Tipikor Law Article 4 which states that the return of state financial losses does not remove the criminal that creates legal uncertainty against government officials. The study examined the status of abuse of authority after government officials recovered state losses. This research uses normative juridical method by doing statute approach and case approach and conceptual approach. The results of the study found that First, the arrangement of the mechanism of recovery of state financial losses is not uniform so as to cause legal uncertainty. Second, if the financial losses of the state have been recovered then the criminal element in Article 2 and Article 3 of the Tipikor Law is not met in accordance with the understanding of state losses that must be real and certain. In addition, this study found that compared to criminalizing the concept of severe sanctions, indemnity claims should be a top priority and coupled with fines as optimization of the recovery of state financial losses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M Reza Baihaki
"Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan terminologi yang lahir dari disiplin ilmu hukum administrasi, mengingat wewenang (bevoigheid) merupakan kajian inti dari hukum administrasi negara. Namun demikian, dalam konteks indonesia, penyalahgunaan wewenang pertamakali digunakan dalaam hukum pidana (korupsi). Implikasi dari hal tersebut, penyalahgunaan wewenang selalu identik dengan kesalahan dalam tindak pidana (korupsi). Konsep demikian pada akhirnya menciptakan fenomena overcriminalization terhadap perbuatan yang tidak mengandung unsur kejahatan pada tataran birokrasi. Pada akhirnya, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebagai landasan yuridis dalam mengakhiri mono frasa dalam penindakan unsur penyalahgunaan wewenang. Hal demikian juga diperkuat dasar pertimbangan (ratio decidendie) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menafsirkan unsur penyalahgunaan wewenang agar dibaca berdasarkan dua bidang hukum yaitu administrasi pemerintahan dan hukum pidana. Tesis ini akan mengulas lebih dalam mengenai maksud pembatasan dalam dimensi hukum administrasi dan hukum pidana terhadap unsur penyalahgunaan wewenang, melalui serangkaian proses identifikasi. Selain itu, tesis ini disusun berdasarkan penelitian yuridis normatif yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum primer dan kepustakaan sebagai bahan sekunder. Hasil dari tesis ini menunjukan dua temuan utama, yaitu; Pertama, identifikasi terhadap unsur penyalahgunaan wewenang pejabat administrasi pemerintahan harus difahami berdasarkan elemen melawan hukum dari dua bidang hukum yaitu, hukum administrasi dan hukum pidana. Kedua, penyalahgunaan wewenang termasuk sebagai elemen melawan hukum dalam hukum administrasi sepanjang berkaitan dengan lingkup dwaling (salah kira) mengenai wewenang, prosedur/syarat dan subtansi pelaksanaan wewenang, sedangkan menyalahgunakan kewenang termasuk dalam elemen melawan hukum dalam hukum pidana sepanjang memuat unsur dwal badrog, yaitu suap, paksaan, tipuan.

Abuse of authority (detournement de pouvoir) is a terminology that was born from the discipline of administrative law, considering that authority (bevoigheid) is the core study of state administrative law. However, in the Indonesian context, abuse of authority was first used in criminal law (corruption). This implicates that abuse of authority is always identical with errors in criminal acts (corruption). This concept ultimately creates the phenomenon of overcriminalization of acts that do not contain elements of crime at the bureaucratic level. In the end, the Government enacted Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration, as a juridical basis in ending mono-phrases in the prosecution of elements of abuse of authority. This is also reinforced by the basis for consideration (ratio decidendie) of the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-XIV/2016 which interprets the element of abuse of authority to be read based on two fields of law, namely government administration and criminal law. This thesis will review more deeply about the purpose of restrictions in the dimensions of administrative law and criminal law against elements of abuse of authority, through a series of identification processes. In addition, this thesis is prepared based on normative juridical research that uses laws and regulations as the primary source of law and literature as secondary material. The results of this thesis show two main findings; First, the identification of elements of abuse of authority of government administrative officials must be understood based on elements against the law from two fields of law, namely administrative law and criminal law. Second, abuse of authority is included as an element against the law in administrative law as long as it relates to the scope of dwaling (mistaking) regarding the authority, procedures/conditions and substance of the exercise of authority, while abusing authority is included in the unlawful element in criminal law as long as it contains elements of dwal badrog, namely bribe, coercion, and deception."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Purwanto
"Analisis Reject Film X Ray yang berdampak Kerugian Finansial di Departemen Radiologi RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Periode talmn 2006- 2008. Departemen Radiologi merupakan salah satu bagian rumah sakit Dr. Cipto mangunkusumo yang melayani pelayanan lcesehatan bagi pasien, dalam menjalankan fungsinya depanemen radiologi mempunyai indikator pelayanan, apakah pelayanan itu mempunyai kwalitas yang baik atau sebaliknya. Salah satu indikator pelayanan radiologi dapat dikatakan baik adalah dengan melihat angka tingkat kerusakan film atau disebut sebagai Reject Analisis. Di departemen Radiologi mempunyai standar, bahwa pelayanan di radiologi dapat dikatakan baik apa bila tingkat kerusakan film dibawah 5 %. Pada kenyataannya tingkat kerusakan film di departemen radiologi masih relatife tinggi yaitu diatas 5%, oleh sebab itu maka harus dicari penyebab kerusakan film x ray tersebut. Kerusakan film x ray dapat disebabkan oleh Radiografer, alat,clan pasien. Dari ketiga factor tersebutdapat kita tentukan faktor penyebab yang paling dominan dan kemudian dicari jalan pemencahanannyakadiografer merupakan penyabab utama atau yang dominan yang menyebabkan kerusakan film, untuk periode 2006 - 2008 mencapai 80 % dari total film yang di tolak, kemudian alat dan pasien. Di Radiologi ada beberapa jenis ukuran film dan mempunyai harga yang berfariasi apa bila di konversikan jumlah film yang rusak pada periode 2006 - 2008 mencapai Rp. 75.616.500, Untuk menekan atau mengurangi tingkat lcerusakan film di masa mcndatang pihakdan pimpinan departemen radiologi dapat melakukan kursus atau training serta studi banding kerumah sakit yang setipe, dan yang lebih prinsip adalah membuat SOP yang selalu di perbaharui mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.

Analysis reject X Ray Film impacting Losses in the Financial Department of Radiology Hospital. Dr. Cipto Mangunkusumo year period 2006 - 2008. Department of Radiology is one of the hospital Dr. Cipto mangunkusumo serve the health care services for patients, in the Radiology department has its indicator of servicc,if scrvicc has good quality, or vicc versa. One indicator of Radiology good can be said is to see the number or level of damage referred to as the Elm reject analysis. Radiology departments have in the standard, that the services in the Radiology good what can be said if the level of damage film under 5%. In fact the level of damage in the film department of Radiology relatife still high above the 5%, therefore the cause must be sought in the x ray. X ray film damage can be caused by Radiografer, tools, and the patient. From the three factors we specify tersebutdapat factors cause the most dominant and sought penyabab road pemencahanannyakadiografer is the dominant or primary cause of damage to the film, for the period 2006 - 2008 reached 80% ofthe total decline in the film, and equipment and patients. Radiology in some type of film the size and price have berfariasi convert what if the number of Elm damaged during the period 2006 - 2008 reached Rp. 756l6500, To reduce the level of press or film damage in the fixture pihakdan Radiology department head can do a course of study or training, and appeal to thc sick who setipe, and the principle is to make the SOP, which is always in update follow the development of science and technology."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T33837
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Wijaya
"ABSTRAK
Permasalahan korupsi tidak lepas dari kerugian keuangan negara yang diakibatkannya. Salah satu upaya hukum untuk memberantas korupsi adalah dengan merampas aset hasil korupsi melalui Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan atau Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). Namun untuk dapat menerapkan konsep ini perlu untuk diketahui terlebih dahulu mekanisme perampasan aset hasil korupsi yang ditetapkan sebagai aset tercemar sehingga dapat dirampas melalui NCB dan juga konsep NCB ini masih menjadi masalah terkait dengan kemungkinannya untuk dapat diterapkan dalam hukum di Indonesia. Untuk itu, dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif dan dengan menggunakan analisis kualitatif penulis akan menjawab permasalahan yang ada terkait dapatkah perampasan aset NCB ini menjadi instrumen hukum yang mampu memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi. Di akhir, penelitian ini menemukan bahwa perampasan aset NCB adalah konsep terbaik yang dapat digunakan untuk memaksimalkan pengembalian kerugian keruangan negara dari tindak pidana korupsi.

ABSTRACT
The problem of corruption is inseparable from its impact on state financial losses. One legal effort to eradicate corruption is to seize assets resulting from corruption through Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). However, to be able to apply this concept it is necessary to know in advance the mechanism of appropriation of assets resulting from corruption which is determined as a tainted asset so that it can be seized through the NCB and also the NCB concept is still a problem related to its possibility to be applied in law in Indonesia. For this reason, by using normative research methods and by using qualitative analysis the author will answer the existing problems related to whether the seizure of NCB assets is a legal instrument that is able to maximize the return of state financial losses from corruption. In the end, this research found that NCB's asset seizure is the best concept that can be used to maximize the return of state spatial losses from corruption."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Herdiawan
"ABSTRAK
BPK memiliki kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara/daerah yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang
dilakukan oleh bendahara. Penyelesaian kerugian negara/daerah yang menjadi
tanggung jawab bendahara diatur tata cara penyelesaiannya oleh Peraturan BPK
Nomor 3 Tahun 2007, dimana dinyatakan dalam Pasal 41 Peraturan BPK Nomor
3 Tahun 2007 Badan Pemeriksa Keuangan dapat membentuk Majelis Tuntutan
Perbendaharaan dalam rangka memproses penyelesaian kerugian negara terhadap
bendahara. Sebagai bagian dari penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang
bertujuan untuk pemulihan keuangan negara/daerah dan tertib administrasi dalam
pengelolaan keuangan negara/daerah, Majelis Tuntutan Perbendaharaan pada
BPK memegang peranan penting khususnya dalam penyelesaian ganti kerugian
negara/daerah yang penanggungjawabnya adalah bendahara. Dengan
menggunakan kajian kepustakaan dan perundang-undangan, penulisan ini
bermaksud menjelaskan kedudukan Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam
menilai dan/atau menetapkan kerugian negara/daerah terhadap bendahara
dikaitkan dengan Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia.
Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penulisan ini, disimpulkan
bahwa kedudukan Majelis Tuntutan Perbendaharan dalam menilai dan/atau
menetapkan kerugian negara/daerah terhadap bendahara dikaitkan dengan Sistem
Peradilan Administrasi di Indonesia adalah bahwa Majelis Tuntutan
Perbendaharaan tidak termasuk dalam Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia
karena pada proses menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara/daerah
terhadap bendahara Majelis Panel dalam Majelis Tuntutan Perbendaharaan
menjalankan fungsi quasi administratif atau berlaku selayaknya pimpinan
instansi/lembaga terhadap pegawai dalam lingkungannya.

ABSTRACT
The Audit Board of The Republic of Indonesia (BPK RI), have the
authority to assess and determine the amount of loss suffered by the state caused
by a treasurer’s illegal action both intended or by negligance. State assessments
and state financial losses or the determination of which party is obliged to pay
compensation determined by the decision of BPK RI. The settlements in which the
treasurer obliged to, is ruled by BPK Regulations Number 3 Year 2007, in which
Article 41 of the regulation stated that BPK RI can formed a Treasury
Prosecution Council to process the state financial loss settlements to the
treasurer. As a part of state financial loss settlements system that pursue the
relieve of the state financial and an administration order in state financial
management, BPK RI’s Treasury Prosecution Council held an important role,
especially in state financial loss settlements obliged to a treasurer. By using
literatures and laws study, this research intented to explain and clearing the
Treasury Prosecution Council’s stand in the Administrative Judicature System of
Indonesia.
Based on the analysis conducted in this research, it is concluded that the
Treasury Prosecution Council in doing assessments and/or determination of a
state financial loss obliged to a trasurer is not a part of the Administrative
Judicature System of Indonesia because it doesn’t do any court function. The
conclusion was higlighting that in the assessing and/or determining process, the
Panel in the Treasury Prosecution Council was doing a quasi administrative
function or in other word it act as if it were the head of the office in giving
assessments and determinations."
Jakarta: Fakultas Hukum universitas Indonesia, 2014
T39097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library