Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Armelia Hayati
"Kepatuhan pasien dalam melakukan pengobatan merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam keberhasilan terapi, namun kepatuhan untuk melakukan pengobatan oleh pasien sering kali rendah, termasuk pada pengobatan tuberkulosis (TB) paru. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas Depok. Desain penelitian menggunakan studi potong lintang dengan 76 responden. Pengambilan data melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner dengan metode consecutive sampling. Sampel adalah penderita TB paru berusia minimal 15 tahun yang telah minum obat minimal selama 2 bulan dan datang berobat pada bulan Februari-April 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 43% responden yang patuh terhadap pengobatan tuberkulosis paru. Ada hubungan antara jarak dan peran keluarga/ pengawas menelan obat (PMO) dengan kepatuhan berobat penderita TB paru, tetapi tidak ada hubungan antara factor sosiodemografis (jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, jumlah pendapatan keluarga per bulan), pengetahuan, efek samping obat, riwayat penyakit lain, ketersediaan transportasi dan peran petugas tuberkulosis di puskesmas dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas Depok. Studi menunjukkan tingginya angka ketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru. Oleh karena itu, peran keluarga/ PMO dalam mengawasi pengobatan perlu ditingkatkan sehingga penyebaran penyakit dan meluasnya resistensi bakteri dapat dicegah.
......Compliance of patients in making treatment is one factor that determines the success of therapy, but adherence to treatment by patients is often low, including in the treatment of tuberculosis (TB). The study aims to evaluate treatment compliance of patients with pulmonary tuberculosis in Pancoran Mas Depok District Health Center. Design research using cross sectional study with 76 respondents. Retrieval of data through direct interviews using a questionnaire with a consecutive sampling method. Samples were pulmonary TB patients at least 15 years old who had been taking medication for at least two months and come for treatment in February-April 2011. The results showed that there were 43% of respondents who adhere to the treatment of pulmonary tuberculosis. There is a relationship between the distance and family's role/ supervisor-medication (PMO) with pulmonary TB patient treatment compliance, but there is no relationship between sosiodemografis factors (sex, age, education, occupation, total family income per month), knowledge, drug side effects, history of other diseases, avaibility of transport, and the role of the tuberculosis officer at the health center with pulmonary TB patient treatment compliance in Pancoran Mas Depok District Health Center. Studies show high rates of medication adherence in patients with pulmonary tuberculosis. Therefore, the role of family / PMO in monitoring the treatment needs to be improved so that the spread of disease and spread of bacterial resistance can be prevented."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S121
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fuady
"ABSTRAK
Background: Indonesia is the second-highest country for tuberculosis (TB) incidence worldwide. Hence, it urgently requires improvements and innovations beyond the strategies that are currently being implemented throughout the country. One fundamental step in monitoring its progress is by preparing a validated tool to measure total patient costs and catastrophic total costs. The World Health Organization (WHO) recommends using a version of the generic questionnaire that has been adapted to the local cultural context in order to interpret findings correctly. This study is aimed to adapt the Tool to Estimate Patient Costs questionnaire into the Indonesian context, which measures total costs and catastrophic total costs for tuberculosis-affected households. Methods: the tool was adapted using best-practice guidelines. On the basis of a pre-test performed in a previous study (referred to as Phase 1 Study), we refined the adaptation process by comparing it with the generic tool introduced by the WHO. We also held an expert committee review and performed pre-testing by interviewing 30 TB patients. After pre-testing, the tool was provided with complete explanation sheets for finalization. Results: seventy-two major changes were made during the adaptation process including changing the answer choices to match the Indonesian context, refining the flow of questions, deleting questions, changing some words and restoring original questions that had been changed in Phase 1 Study. Participants indicated that most questions were clear and easy to understand. To address recall difficulties by the participants, we made some adaptations to obtain data that might be missing, such as tracking data to medical records, developing a proxy of costs and guiding interviewers to ask for a specific value when participants were uncertain about the estimated market value of property they had sold. Conclusion: the adapted Tool to Estimate Patient Costs in Bahasa Indonesia is comprehensive and ready for use in future studies on TB-related catastrophic costs and is suitable for monitoring progress to achieve the target of the End TB Strategy."
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 IJIM 50:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elyu Chomisah
"Tuberkulosis Paru (TB Paru) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahun ada 450.000 kasus baru dengan kematian 175.000 orang setiap tahunnya. Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian ketiga setelah kadiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Di Propinsi Sumatera Selatan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru dengan strategi DOTS dimulai pada tahun 1995, data dari kabupaten / kota didapat angka kesembuhan 82,98 % dan angka cakupan penemuan penderita 26,7 %, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehamad Hoesin Palembang pada tahun 1998/1999 angka konversi 84,16 % melebihi angka nasional 80%, tetapi angka kesembuhan hanya 76,19 %, dibawah angka nasional 85%. Ketidakpatuhan berobat merupakan salah satu penyebab kegagalan penanggulangan program TB Paru.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif di RSUP Dr. Moehamad Hoesin Palembang Tahun 1998 -2000. Disain penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jumlah sampel 186 responden, kriteria sampel penelitian adalah penderita TB Paru BTA Positif Kategori 1, 2 yang telah selesai makan obat dan berumur lebih dari 14 tahun, terdaftar dari bulan Agustus 1998 sampai dengan Desember 2000 di Bagian Penyakit Dalam Poliklinik DOTS RSUP Dr. Moehamad Hoesin Palembang. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehamad Hoesin Palembang adalah Rumah Sakit yang pertama di Propinsi Sumatera Selatan melaksanakan Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru dengan strategi DOTS.
Hasil penelitian analisis - univariat dari 186 responden yang patuh 124 (66,7%) dan tidak patuh 62 ( 33,3%), laki-laki 130 (69,9%), umur produktif (16-45) tahun 135 orang ( 71,8%), pendidikan rendah 114 orang (61,3%), bekerja 100 (53,8%). Pada basil bivariat dari sepuluh variabel independen ternyata hanya empat variabel yang dianggap potensial sebagai faktor resiko (p< 0,25), Hasil analisis multivariat dengan metode Regresi logistik dari empat variabel independen diambil sebagai model, ternyata hanya satu variabel yang mempunyai hubungan bermakna yang paling kuat (p<0,05), yaitu pengawas menelan obat (PMO),OR =3.457. 95 5 : 1,644- 7.269, P value (Sig) = 0,0011.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa faktor - faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru BTA positif di Rumah Sakit Dr.Moehamad Hoesin tahun 1998 - 2000 adalah faktor PMO dan faktor penyuluhan kesehatan oleh petugas mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p < 0,05) dengan kepatuhan berobat penderita TB Pam dan yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel dependen adalah faktor Pengawas Menelan Obat (PMO).
Selanjutnya dapat disarankan kiranya faktor pengawas menelan obat (PMO) tetap dipertahankan dan dilakukan pelatihan bagi kader, keluarga, PKK KotafKecamatan 1 Kelurahan, petugas kesehatan secara berkesinambungan dan meningkatkan terns kemampuan pengelola program TB Pam di RSUP Dr.Moehamad Hoesin Palembang, Untuk penyuluhan kesehatan oleh petugas kepada penderita, masyarakat tentang penyakit TB Paru hendaknya tetap diberikan secara berkesinambungan dengan menggunakan poster, leaflet, buku pedoman. Untuk Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan agar tetap menyediakan obat anti Tuberkulosa kategori 1, 2, dan 3.

Lung Tuberculosis (Lung TB) still remains a community health problem, WHO estimates that in Indonesia, there are approximately 450,000 new cases annually with 175,000 death every year SKRT results of 1995 show that tuberculosis is the third cause of death following cardiovascular and respiratory disease and it is of the first cause of infection diseases. In South Sumatera Province, Lung TB Eradication Program with DOTS strategy has been introduced in the province since 1995. Data gathered from districts/cities indicate that the figure of healing is 82.98°/° and the figure of identified patients is 26.7%, At Dr. Moehamad Hoesin Central General Hospital of Palembang of 1998/1999, the conversion figure of 84,16% is higher than the national figure of 80%.However the figure of healing is only 76.19%, below the national figure of 85%. Disobedience to undertaking medical treatment is reportedly to be the cause of failure of Lung TB Eradication Program.
This study is aimed at investigating factors that correlate with patients' obedience to undertaking treatment of Lung TB Positive BTA in Dr.Moehamad Hoesin Central General Hospital in Palembang in 1998 - 2000. The study design employed was controlled case with sample of 186 respondents. The sample criteria used were those samples were Lung TB Positive BTA patients of Category 1 and 2 who had taken their medicines and aged more than 14. registered since August 1998 until December 2000 in Internal Diseases Unit of Polyclinic of the hospital, Dr. Moehamad Hoesin Central General Hospital is the first hospital in the South Sumatera province introducing Lung TB Eradication Program with DOTS strategy.
Result of univariat analysis shows that of 186 respondents, 124 patients (66.7%) were obedient and 62 (333%) were disobedient. The respondents consisted of 130 males (69.9%), 135 (71.8%) patients of productive age (16-45), poorly educated people of 146 (61.3%), working people of 100 (53.8%). The bivariat result indicates that of ten independent variables, only four variables considered potential as risk factor (p<0.25).The multivariat result shows that by using Logistic Regression method, of the four independent variables taken as models, only one variable proven to have the most significant correlation (p<0.05), which was supervisor taking medicine (PMO) OR=3.457.95%: 1.644-7.269, p value = 0, 0011.
It may be concluded that factors that correlate with patients' obedience to undertaking Lung TB positive BTA treatment at the hospital during 1998 - 2000 are PMO factor and health education by health worker; these are having statistically significant correlation (p<0.05) with the patients' obedience to undertaking Lung TB treatment. While the most significant influence on the dependent variable was the supervisor-taking-medicine (PMO) factor.
It may be recommended that the supervisor-taking-medicine factor be sustained; continuous training be provided for cadres, family members, Woman's Club of the city/district/village, and health workers; and management skills of officials in Lung TB Program of the hospital be improved continuously. The health education by health workers for patients and community on Lung TB disease should be sustainable provided by means of poster, flyers, manual book. The health department of South Sumatera Province should keep providing anti Tuberculosis medicines of category 1, 2, and 3."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T1239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Marlinggom
"ABSTRAK
Penyakit tuberkulosis di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, dimana WHO memperkirakan insiden kasus baru = 285/100.000, BTA+ = 128/100.000 dan prevalensi = 786/100.000. Penyakit tuberkulosis juga merupakan penyebab kematian nomor 1 diantara penyakit infeksi.
Dalam upaya memutus rantai penularan penyakit diperlukan waktu pengobatan minimal 6 bulan. Oleh karena itu keberhasilan pengobatan sangat tergantung pada perilaku penderita dalam menjamin ketaatan minum obat, disamping ketersediaan obat anti tuberkulosis di tempat pelayanan pengobatan.
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa proporsi penderita yang tidak taat atau yang putus berobat sebelum waktunya masih cukup tinggi, berkisar antara 5,7% - 42,7%. Berbagai faktor diduga berhubungan dengan terjadinya putus berobat pada penderita tuberkulosis, antara lain adalah kegagalan penyampaian informasi. Kegagalan penyampaian informasi dapat berasal dari kesalahan dalam menentukan sasaran penyuluhan, frekuensi penyuluhan, materi penyuluhan dan menentukan penggunaan media / alat bantu dalam penyuluhan.
Untuk mengetahui apakah faktor-faktor tersebut berhubungan dengan putus berobat maka dilakukan penelitian hubungan faktor komponen penyuluhan dengan putus berobat pada penderita tuberkulosis yang dilakukan di Jakarta Selatan.
Penelitian menggunakan desain kasus kontrol dengan besar sampel minimal 152 untuk masing-masing kelompok kasus dan kontrol. Sampel untuk kelompok kasus, berasal dari jumlah seluruh kasus yang ditemui di Jakarta Selatan, sedangkan untuk kelompok kontrol diperoleh dengan cara melakukan pemilihan secara acak sederhana (simple random sampling).
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor sasaran penyuluhan berhubungan dengan putus berobat OR = 2,04 pada 95% C.I : 1,02 - 4,10 dan p = 0,04. Demikian pula dengan faktor penggunaan media dalam penyuluhan, secara statistik menunjukkan hubungan yang bermakna dengan putus berobat di Jakarta Selatan dengan OR = 3,69 pada 95% C.I : 1,62 - 8,42 dan p=0,002.
Faktor banyaknya materi penyuluhan yang diberikan dan faktor frekuensi penyuluhan tidak memberikan hubungan yang bermakna dengan putus berobat di Jakarta Selatan.
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa risiko putus berobat seorang penderita tuberkulosis, 2 kali lebih besar bila penyuluhan diberikan hanya pada penderita dibanding bila penyuluhan diberikan juga pada anggota keluarga. Dan 3,7 kali lebih besar bila penyuluhan dilakukan tanpa menggunakan media dibanding bila penyuluhan menggunakan media.
Dari kenyataan tersebut maka disarankan kepada pengelola program untuk selalu mengikutkan anggota keluarga sebagai sasaran dalam penyuluhan dan selalu menggunakan media dalam melakukan penyuluhan.

ABSTRACT
Relationship between Health Education Substances Factor and Defaulted Tuberculosis Patient in South Jakarta 1999Tuberculosis diseases remain a major public health problem in Indonesia. WHO estimated for new cases incidence 285/100.000 with smears positive incidence 128/100.000 and prevalence cases 786/100.000. Tuberculosis disease also was the commonest cause of death in Indonesia due to infectious diseases.
Treatment for tuberculosis diseases needed at least 6 months to interrupt the chain of transmission. Despite the available of drug regimens at the treatment service, success in controlling the tuberculosis disease especially treatment effort depend on patient behavior to ensure patient compliance.
From such studies that were undertaken, it shows that defaulted proportion was remaining high, account from 5.7% - 42.7%. Some factor, were assumed that caused defaulted tuberculosis patient. Failure of adequate explanation to the patient is ones of the factors that could be caused defaulted treatment. Failure to give adequate explanation especially about treatment information that patient must be taken, came from a failure to decide who is the target of health education, how many frequent health education should be taken, failure to decide health education material should be given and failure of media used in health education.
To know which factor was associated with defaulted patient, a study of Relationship between Health Education Component Factors and Defaulted Tuberculosis patient were conducted. A study was done in South Jakarta considering data from tuberculosis patient during 1999.
Study was conducted with case control design in which sample sizes were 152 samples in each group cases and controls. Cases were taken from all defaulted cases in South Jakarta during 1999, and controls were taken by selected from control sampling frame by simple random sampling.
Study result, shows that association between health education target and defaulted patient statistically significant, account for OR 2.04 (95 C.I: 1.02 - 4.10) and p value 0.04. Similarly, association between media using factor and defaulted patient significantly also, with OR 3.69 (95 C.I: 1.62 - 8.42) and p value 0.002. Association between both frequency and material of health education, were statistically not significant.
From that study result, defaulted risk is 2 times larger on tuberculosis patient which explanation just given to the patient than if explanation given to the family member also. And patients who receive explanation without media used had defaulted risk 3.7 times larger than patients who received explanation with media used.
Study recommends to the tuberculosis program officer, that member of the family should be involved as the target on health education, and should be using media when giving some explanation.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eulis Wulantari
"Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan suatu pengobatan yang telah dicapai adalah dengan melihat angka konversi pemeriksaan dahak setelah 2 bulan pengobatan (fase awal). Tingginya angka konversi diharapkan akan diikuti oleh tingginya angka kesembuhan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kasus kontrol berpadanan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Population target dari penelitian ini adalah 46 puskesmas dari 101 puskesmas yang ada di Kabupaten Bogor, dengan jumlah sampel penelitian terdiri dari 50 kasus dan 100 kontrol.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keteraturan berobat dengan kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal pada penderita TB Paru BTA positif. Variabel independen adalah keteraturan berobat sebagai variabel utama, dan variabel lain yaitu umur, jenis kelamin, beratnya penyakit (lama batuk darah), penyakit komorbid (diabetes melitus, asma rematik artritis) dan vaksinasi BCG. Variabel dependen adalah kegagalan konversi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB paru BTA positif yang teratur berobat pada kasus adalah sebesar 44% dan yang teratur berobat pada kontrol adalah sebesar 89%. Keteraturan berobat dari lama batuk darah juga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian kegagalan konversi setelah pengobatan pada fase awal. Setelah dikontrol dengan variabel lain, terbebas dari interaksi dan faktor konfounding maka model akhir dari kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal adalah keteraturan berobat yang membetikan risiko sebesar 1/8 kali dibandingkan dengan penderita yang tidak teratur berobat.
Berdasarkan hasil penelitian, dianjurkan pada pelaksana program puskesmas untuk melakukan pemantauan makan obat dengan memotivasi penderita maupun dengan mengoptimalkan fungi pengawas makan obat (PMO). Disamping itu anamnese yang mendalam terhadap penderita diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya batuk darah dan lamanya batuk darah sebelum mendapat pengobatan.
Pada peneliti lain di sarankan untuk melakukan penelitian disain kohor dengan pemeriksaan laboratorium maupun radiologi. Sehingga informasi yang diperoleh berguna dan dapat dijadikan bahan masukan bagi pengambil kebijakan penyelenggaraan program TB Paru.

Regular Treatment and Failure Occurrence Risk after Initial Treatment Phase At Pulmonal Tuberculosis in Bogor Distric from 1999 to 2001Failure after initial phase treatment acts as an indicator in analyzing the improvement of the treatment in the initial phase. Conversion rate is expected to be followed by cure rate.
The research is designed as a matched case control study, and the data collected in this thesis are primary and secondary data. The target population of this research is those covered by 46 Health Centers of 101 Health Centers spread all over Bogor District. The number of the eases participate in this study is fifty while the control is one hundred.
The purpose of this thesis is to examine the relationship between treatment regularity patient and the occurrence of conversion failure after initial treatment phase. The independent variable of this research is treatment regularity as the main variable, while age, sex, severity of decease (prolonged bleeding cough), comorbid diseases (diabetes mellitus, rheumatic arthritis, asthma) and BCG vaccination as potential confounding variable. The dependent variable is conversion failure after initial treatment phase.
The result of this research showed that patients who follow their treatment schedule regularly in the control group (89%) is higher than those in the case group (44%). Treatment regularity and prolonged bleeding cough are significantly related to conversion failure after initial treatment phase in pulmonary tuberculosis.
Adjusted to the related factors by analyzing the confounding factors and interaction between them, the fixed model consisted of treatment regularity as risk protector for conversion failure after initial treatment phase lowering the risk to118 time than patient without regular treatment.
Based on the result of this study, it is suggested to the public health center programmers to observe the treatment regularity by motivating the patient and optimalizing the function of the drug-taking controller. Beside that, the in-depth anamnesis to the patient is needed to detect possibility of the existing and the length of the bleeding cough before getting the treatment.
It is also recommended to another researcher to investigate this issue using cohort design and comprehensive research through laboratory examination and radiology observation, it is expected that all information found in the research may help the stakeholders to implement the policies related to the advancement of TB program."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Pujiono
"Tuberculosis Paru merupakan salah satu penyakit kronis yang harus mendapat perhatian untuk segera diatasi dan ditangani. Di Indonesia strategi untuk menanggulanginya dengan Directly Observed Treatment Shorcourse chemotherapy (DOTS) telah dilaksanakan di 7.349 Puskesmas (97 %).
Keberhasilan penanggulangan Program Tuberculosis Paru terkait erat antara komitmen dan pendanaan. Apabila dapat dijalankan dengan baik akan memberi keuntungan secara ekonomis. Mengingat alokasi pembiayaan kesehatan baru mencapai 3,93 % APBD Kabupaten Bengkayang. Maka untuk memberikan advokasi perlu dilakukan evaluasi ekonomi terhadap program kesehatan, salah satunya dengan CEA (Cost Effectiveness Analysis). Kondisi geografis sepesifik Kabupaten Bengkayang terdiri dari daerah pantai, kepulauan, pedaiaman, perkotaan, perbatasan dan tertinggal. Maka untuk lebih memberikan gambaran apakah pembiayaan kesehatan sudah sesuai dengan karakteristik daerah dilakukanlah studi kasus analisis efektifitas biaya penemuan dan pengobatan penderita tuberculosis pant dengan konseling/penyuluhan dan Pengawas menelan Obat (PMO) anggota keluarga dan petugas kesehatan dengan tanpa konseling dan PMO hanya anggota keluarga di Puskesmas Pantai dan Puskesmas Perbatasan. Untuk mengetahui komitmen anggaran dilakukan penggalian pendapat 1 pandangan kepada pengambil keputusan.
Disain penelitian adalah kuantitatif. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan basil cost effectiveness ratio penemuan dan pengobatan penderita tuberculosis paru dengan konseling/penyuluhan dan PMO anggota keluarga dan petugas kesehatan dengan tanpa konseling dan PMO hanya anggota keluarga di Puskesmas Pantai dan Puskesmas Perbatasan. Pengumpulan data primer berupa observasi dan wawancara mendalam dengan pengambil keputusan. Data sekunder dengan telaah dokumen. Hasil penelitian studi kasus ini menunjukkan bahwa komponen terbesar biaya penemuan dan pengobatan penderita tuberculosis paru dengan konseling/penyuluhan dan PMO anggota keluarga dan petugas kesehatan serta tanpa konseling dan PMVIO hanya anggota keluarga adalah biaya operasional sebesar 57,53 % di Puskesmas Sungai Duri (63,27 % gaji dan 17,01 % bahan habis pakai), sebesar 64,67 % di Puskesmas Sungai Raya (78,50 % gaji dan 10,87 % bahan habis pakai), sebesar 65,80 % di Puskesmas Jagoi Babang (90,34 % gaji dan 5,23 % bahan habis pakai) dan sebesar 32,66 % di Puskesmas Seluas (77,83 % gaji dan 12,50 % bahan habis pakai). Penemuan dan pengobatan penderita Tuberculosis Pam dengan metode konseling dan PMO di Puskesmas Pantai lebih efektif dibandingkan Puskesmas Perbatasan. Hampir semua pengambil keputusan menyatakan dukungan terhadap pembiayaan program kesehatan dan efektifitas tergantung pada SDM, sarana dan prasarana, serta pembiayaan kesehatan.
Dalam pelaksanaan program tuberculosis part' di Puskesmas perlu didukung adanya konselinglpenyuluhan dan PMO tenaga kesehatan. Sosialisasi SPM dan hasil studi kasus sebagai bahan evaluasi dan advokasi dalam penyususnan anggaran APBD 2007. Dan efektifitas pelaksanaan program digunakan sebagai dasar dalam penentuan Kebijakan Umum Anggaran (KU A) APBD Kabupaten Bengkayang.
......
Lungs tuberculosis is one of the chronic diseases that have to be noticed then handled and overcome earlier. Overcome strategy by Directly Observed Treatment Shorcourse chemotherapy (DOTS) had conducted in 7.349 Puskesmas (97 %).
Lungs Tuberculosis Program overcome efficacy related with commitment and funding. If conducted well, it will give benefit economically. Remembering health funding alloction recently reach 3,93 % of Bengkayang Regency APBD. Therefore to give advocated need economic evaluation toward health program, one of them is CEA (Cost Effectiveness Analysis). Specific geographical condition of Bengkayang Regency consist of coast, island, hinterland, urban, border and remains. Therefore to give view that health defrayal is appropriate with district characteristic conducted case study of cost effectiveness analysis case detection patient and lungs tuberculosis medication patient with conselling and PMO with family and health provider without no conselling and PMO by family only in Coastal Puskesmas and Border Puskesmas. To find the budget commitment conduct opinionlview delve toward decision maker.
Research design is quantitative. Research aim is to find cost effectiveness ratio result of patien and lungs tuberculosis medication invention in Coastal Puskesmas and Border Puskesmas. Primary data gathering was in observation and circumstantial interview with decision maker. Secondary data by document study.
This case study research result shows that total cost of case detection and TB Lungs Medication Patient by conselling and PMO with family and health provider with by no conselling and PMO with family only is operasional cost is 57,53 % in Puskesmas Sungai Duri (63,2 % salary and 17,01 % substance used up wear), 64,67 % in Puskesmas Sungai Raya (78,50 % salary and 10,87 % substance used up wear), 65,80 % in Puskesmas Jagoi Babang (90,34 % salary and 5,23 % substance used up wear) and 32,66 % in Puskesmas Seluas (77,83 % salary and 12,50 % substance used up wear). Case detection patient and Lungs TB Medication Patient with Cancelling and PMO Methode in Coastal Puskesmas is more effective with Border Puskesmas. Almost all decision maker express that effectiveness depends on SDM, tools and infrastructure, and also health financing.
Program execution in Puskesmas with concelling and PMO with health provider, SPM Socialization and deciding budget allocation need to play attention to program conducting effectiveness evaluation and advocating on in desition to budget APBD 2007. And effectivness execution programme used by decision elementary in policy budget general Bengkayang Regency APBD."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T20066
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilda Elfemi
"Pelaksanaan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Sourtcurse) dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis sudah dilaksanakan semenjak tahun 1995. Strategi ini merupakan strategi yang paling cost-effective dengan pencapaian kesembuhan yang tinggi (beberapa hasil penelitian menunjukkan pencapaian kesembuhan diatas 90%). Dalam pelaksanaan strategi DOTS ini, puskesmas ditetapkan sebagai ujung tombak program dengan target pencapaian cakupan pelayanan penderita secara nasional pada tahun 2000 adalah 70%. Permasalahannya adalah bahwa sampai saat ini (saat penelitian dilakukan) cakupan pelayanan penderita yang berhasil dicapai sangat rendah (secara nasional hanya 10%, dan di daerah penelitian adalah 30%). Berdasarkan kondisi tersebut, maka pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: bila tingkat kesembuhan yang dapat dicapai dengan strategi DOTS ini sangat tinggi, mengapa cakupan pelayanan tuberkulosis di puskesmas sangat rendah, faktor apa saja yang mempengaruhi cakupan pelayanan penderita tuberkulosis di puskesmas, dan aspek sosial kultural apa saja yang mempengaruhi perawatan kesehatan penderita tuberkulosis.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berbentuk deskriptif interpretif, yang didasarkan pada data kualitatif dan data kuantitatif. Analisa dan penyajian data dilakukan secara kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipasi, dengan memanfaatkan pedoman wawancara mendalam sebagai alat pengumpulan data.
Untuk ketajaman analisa, penelitian menggunakan dua kerangka berpikir. Pertama, kerangka berpikir yang dikemukakan oleh Foster (1986:50), terutama digunakan untuk memahami konsepsi masyarakat di daerah penelitian berkenaan dengan sehat dan sakit serta keputusan perawatan kesehatannya. Kedua, kerangka berpikir yang dikemukakan oleh Nico S. Kalangie (1994:5), terutama digunakan untuk memahami berbagai faktor yang mempengaruhi masyarakat (penderita tuberkulosis) dalam perawatan kesehatannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah penelitian terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi perawatan kesehatan penderita tuberkulosis yaitu :
1. Pengetahuan, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan penyebab penyakit tuberkulosis. Beragamnya pengetahuan tentang penyebab penyakit tuberkulosis ini ternyata telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk tindakan perawatan kesehatan dan pilihan tempat berobat.
2. Persepsi. Adanya bahwa penyakit tuberkulosis bukanlah penyakit berbahaya (terutama pada gejala awal), mengakibatkan sebagian besar masyarakat tidak melakukan perawatan secara serius.
3. Masih adanya kepercayaan di masyarakat bahwa penyakit tuberkkulosis tidak bisa disembuhkan, sehingga tidak mempunyai semangat untuk berobat.
4. Masih terdapat sikap kurang peduli dari sebagian besar masyarakat terhadap penyakit tuberkulosis terutama pada gejala awal penyakit tersebut.
5. Berkaitan dengan faktor ekonomi adalah harga obat yang dianggap mahal oleh sebagian besar penderita tuberkulosis, terutama bila penderita penyakit tersebut harus mendapat perawatan di rumah sakit.
6. Faktor aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan (puskesmas) relatif tidak terkait dengan kondisi geografis, melainkan dengan mahalnya biaya transportasi untuk mencapai pelayanan kesehatan yang harus menggunakan "ojek motor" khususnya ke puskesmas.
7. Permasalahan yang dirasakan oleh mayarakat khususnya penderita penyakit tuberkulosis berkaitan dengan kualitas pelayanan adalah bahwa hasil pemeriksaan dahak di laboratorium yang tidak dapat langsung dilihat pada hari pertama kunjungan, tetapi harus menunggu 1-2 hari berikutnya. Kondisi ini bagi pihak penderita tuberkulosis jelas akan menjadi biaya tambahan (ongkos ojek) yang memberatkan mengingat tingkat ekonominya yang relatif rendah.
Faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas pada kenyataannya sangat berdampak pada rendahnya cakupan pelayanan kesehatan penderita tuberkulosis di daerah penelitian. Faktor lainnya adalah karena di daerah penelitian tersedia banyak tempat untuk memperoleh perawatan kesehatan atau pengobatan, sehingga masyarakat akan memilih tempat perawatan yang sesuai dengan kemampuan dan kepercayaannya. Dalam kasus penyakit tuberkulosis di daerah penelitian, ternyata selain puskesmas, mantri kesehatan merupakan tempat yang disenangi dan banyak dipilih sebagai tempat berobat. Kondisi ini juga didukung oleh strategi pencarian penderita secara pasif.
Berdasarkan temuan penelitian tersebut, dan untuk meningkatkan pelayanan di masa datang maka perlu dilakukan penyuluhan secara rutin dan berkala, pencarian penderita secara aktif, serta ketersediaan tenaga penyuluh yang memiliki kemampuan komunikasi dan pengetahuan sosial kultural masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Akbar Bramantyo
"Ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tidak menjamin penanganan TB yang adekuat. Hal tersebut tergambar melalui rendahnya angka kesembuhan TB di Nusa Tenggara Timur yang memunculkan berbagai risiko mulai dari resolusi tidak sempurna hingga kekambuhan TB. Sementara itu, berkembangnya alat ukur termasuk pemeriksaan darah lengkap menuntut pemanfaatan yang lebih baik. Studi ini memiliki tujuan untuk menyelidiki dan mengetahui hubungan antara faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, status pendidikan, lama setelah pengobatan, serta status gizi terhadap gambaran pemeriksaan darah lengkap pada pasien pasca pengobatan TB. Studi ini berdasarkan desain potong lintang yang dilakukan terhadap pasien pasca TB sesuai catatan Puskesmas sejak tahun 2003 hingga 2010 di NTT yang telah dinyatakan sembuh dan mengikuti pengobatan hingga selesai.
Didapatkan sebanyak 63 subjek pasca pengobatan TB ikut serta dalam studi ini. Terdapat gambaran pemeriksaan darah abnormal yang ditemukan berupa peningkatan LED, leukositosis, limfositosis, serta anemia. Gambaran peningkatan LED ditemukan bermakna secara signifikan pada kelompok dengan jenis kelamin perempuan, faktor usia di atas 45 tahun, lama pengobatan kurang dari 3 tahun, serta status gizi underweight (p<0,05). Selain itu, pada studi ini juga didapatkan karakteristik pasien pasca TB, kaitan temuan objektif hasil pemeriksaan darah lengkap dengan gejala klinis, serta 9 dari 37 pasien pasca TB yang dapat diperiksa BTA menunjukkan hasil sputum BTA positif.
......Availability of Anti-Tuberculosis Drugs does not guarantee adequate treatment of TB. It is reflected by the low cure rate of TB in East Timor that gives rise to a variety of risks ranging from imperfect resolution to TB recurrence. Meanwhile, the development of measurement tools including complete blood examination demand better utilization. This study has the objective to investigare and determine the relationship between factors such as age, gender, educational background, time after TB treatment, as well as the nutritional status with the hematological profile in patients with previous TB treatment. This study is also based on cross-sectional design conducted on patients with post-tuberculosis according to primary health care records from 2003 to 2010 in East Timor, which has been declared cured and follow complete treatment.
63 subjects of post TB treatment participated in this study. Abnormal hematological profile were found such as increased ESR value, leucocytosis, lymphocytosis, and anemia. The value of increased ESR was found statistically significant in the group factors of female gender, more than 45 years, duration after treatment is less than 3 years, and the nutritional status of underweight (p<0,05). In addition, the study also found post TB patient characteristics, connection between objective finding of complete blood count with clinical symptoms, and 9 of the 37 patients show the result of positive sputum smear examination."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library