Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutagaol, Ester Josephin Pratiwi
"Ujaran kebencian merupakan perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan, diskriminasi, permusuhan atas dasar suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap fenomena ujaran kebencian yaitu terletak pada pengaturan mengenai ujaran kebencian itu sendiri, dimana terdapat
ketidakjelasan parameter dalam pengaturannya. Akibat dari ketidakjelasan parameter tersebut, maka kepastian hukum terkait ujaran kebencian akan sulit dicapai selain itu akan semakin besar kemungkinan terjadinya kesewenangwenangan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah sejarah peraturan tentang ujaran kebencian di Indonesia, apa yang menjadi parameter suatu perbuatan termasuk sebagai ujaran kebencian (hate speech) serta praktik penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) di Indonesia. Melalui penelitian Yuridis-Normatif dengan
pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual, maka penelitian ini menghasilkan tiga kesimpulan yaitu: 1. Sejarah peraturan tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) di Indonesia sesungguhnya berasal dari British Indian Penal Code yang saat itu berlaku di India yang dijajah oleh Inggris. Berdasarkan Traktat London, semua jajahan Perancis diserahkan ke tangan Inggris. Belanda
yang merupakan jajahan Perancis kemudian jatuh ke tangan Inggris, maka Inggrislah yang membawa pasal tersebut ke Belanda, kemudian Belanda menerapkan pasal tersebut ke Indonesia karena dianggap memiliki kesamaan dengan India yang memiliki ragam kultur dan agama. 2. Parameter ujaran
kebencian yaitu perbuatan yang dilakukan di muka umum; bersifat permusuhan, penghinaan atau merendahkan, dan kebencian; dilakukan dengan sengaja baik langsung maupun tidak langsung; menimbulkan terjadinya kerusuhan yang
menyebabkan terjadinya kerugian materiil, immateriil dan jiwa. 3. Penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan analisis dari tujuh putusan ialah bahwa hakim kurang memberikan tafsiran dan argumen terhadap unsur pasal yang tidak jelas tersebut dan ada hakim yang memperluas makna golongan menjadi tidak sesempit pada suku, agama dan ras saja.

Hate speech is a word, behavior, writing, or show that is prohibited because it can trigger acts of violence, discrimination, animosity on the basis of ethnicity,
religion, race and intergroup (SARA). One factor that is weak law enforcement against the phenomenon of hate speech is located in the regulation of the hate speech itself, where there are unclear parameters in the regulation. As a result of the unclear parameters, the legal certainty related to hate speech will be difficult to achieve other than that the greater the possibility of arbitrariness. This research is intended to find out and understand how the history of regulations regarding hate speech in Indonesia, what is the parameter of an act including hate speech and law enforcement practices against hate speech in Indonesia. Through juridical-normative research with historical, legal and conceptual approaches, this research resulted in three conclusions, namely: 1. The history of
hate speech regulations in Indonesia actually originated from the British Indian Penal Code which was then in force in India which was colonized by the British. Based on the London Treaty, all French colonies were handed over to the British. The Netherlands which was a French colony then fell into the hands of the British, then it was England who brought the article to the Netherlands, then the Dutch
applied the article to Indonesia because it was considered to have similarities with India which had a variety of cultures and religions. 2. Parameters of hate speech, namely acts committed in public; hostility, humiliation or humiliation, and hatred; done intentionally both directly and indirectly; lead to riots that cause material, immaterial and life losses. 3. law enforcement against hate speech based on an analysis of the seven decisions is that the judge does not provide interpretations and arguments about the unclear elements of the article and there are judges who expand the meaning of groups to be not as narrow as ethnic, religious and racial only.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trissa Diva Rusniko
"Tulisan ini membahas mengenai ujaran kebencian yang terjadi pada salah satu grup chat di dalam aplikasi Telegram. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode netnografi dalam pengumpulan dan pengolahan data. Pengolahan data dilakukan melalui lima tahapan, yakni collating, coding, combining, counting, dan charting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi praktik dan jenis ujaran kebencian di dalam grup chat Telegram serta mengategorisasikan tipe partisipan dan kode wicara yang berlaku di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ujaran kebencian muncul di dalam grup chat Telegram dalam berbagai bentuk dan tema. Secara signifikan, ujaran-ujaran kebencian tersebut dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia luring. Melalui konten-konten ujaran kebencian tersebut pula, kita dapat melihat bahwa terdapat kode-kode wicara khas yang dapat ditelaah melalui 6 proposisi speech code theory milik Philipsen.

This paper discusses about hate speech that occurs in one of the chat group in the Telegram application. This research is a qualitative study using netnographic methods in data collection and processing. Data processing is carried out through five stages; collating, coding, combining, counting, and charting. The purpose of this study is to identify practices and types of hate speech in Telegram chat group and categorize the type of participants and the speech codes that prevail in the group. The results showed that hate speech appeared in Telegram chat group with various forms and themes. Significantly, hate speech that occurs within the group is influenced by events that occur in the offline world. Through the hate speech content, we can also see unique speech codes that can be analyzed through Philipsen's 6 propositions of speech code theory."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melia Fahira Fazrine
"Untuk membantu proses pembelajaran, memperoleh informasi, dan berkomunikasi, mahasiswa membutuhkan sarana yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, salah satunya adalah media sosial. Namun, penggunaan media sosial memiliki dampak negatif, salah satunya yaitu munculnya ujaran kebencian. Ujaran kebencian dapat berdampak negatif bagi kondisi psikologis mahasiswa dan menurunkan kesejahteraan subjektif. Maka, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara ujaran kebencian di media sosial dengan kesejahteraan subjektif dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pelaku ujaran kebencian dan sudut pandang yang mengungkap ujaran kebencian. Sebanyak 200 mahasiswa (M=21.39, SD=1.021) berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasional untuk melihat hubungan kedua variabel. Alat ukur The PERMA-Profiler untuk mengukur kesejahteraan subjektif dan alat ukur kecenderungan melakukan ujaran kebencian untuk mengukur perilaku ujaran kebencian yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menggunakan teknik analisis Pearson Correlation, ditemukan bahwa tidak ada hubungan positif dan signifikan antara ujaran kebencian dengan kesejahteraan subjektif dari sudut pandang pelaku (r = -0.078, p > 0.05) dan tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kebencian berbicara dengan kesejahteraan subjektif dari sudut pandang yang terpapar (r = 0.073, p > 0.05). Artinya, ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara ujaran kebencian dengan kesejahteraan subjektif pada mahasiswa.

To help the learning process, obtain information, and communicate, students need tools that can meet these needs, one of which is social media. However, the use of social media has a negative impact, one of which is the emergence of hate speech. Hate speech can negatively affect a student's psychological condition and degrade subjective well-being. Thus, this study aims to see the relationship between hate speech on social media and subjective welfare from two points of view, namely the point of view of the perpetrator of hate speech and the point of view that reveals hate speech. A total of 200 students (M= 21.39, SD= 1,021) participated in this study. This study used a correlational research method to see the relationship between the two variables. The PERMA-Profiler measuring instrument for measuring subjective well-being and the tendency to measure hate speech to measure hate speech behavior were used in this study. Based on the correlation test conducted using the Pearson Correlation analysis technique, it was found that there was no positive and significant relationship between hate speech and subjective well-being from the perpetrator's point of view (r = -0.078, p > 0.05) and there was no positive and significant relationship between hate speech and subjective well-being from the exposed point of view (r = 0.073, p > 0.05). Which means, it was found that there is no relationship between hate speech and subjective well-being in students."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Rizki Yoga
"Ujaran kebencian merupakan ujaran yang dapat menimbulkan kebencian. Fenomena ujaran kebencian dapat muncul dalam berbagai konteks, seperti hukum, psikologi, hingga olahraga, terutama sepak bola. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui/menjelaskan bentuk ujaran kebencian dan medan makna yang digunakan oleh suporter sepak bola ketika menuturkan ujaran kebencian di kolom komentar media sosial Instagram. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah komentar suporter sepak bola yang berisi ujaran kebencian di kolom komentar media sosial Instagram. Sumber data penelitian ini berasal dari kolom komentar dalam unggahan foto di akun Instagram @plesbol.inc selama periode 1—29 Februari 2024. Pengumpulan data dilakukan pada 1—10 Maret 2024 dengan memilih 100 komentar, baik dalam bentuk frasa maupun kalimat. Analisis data dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu mengidentifikasi makna literal dan kontekstual, mengidentifikasi bentuk ujaran kebencian, serta mengidentifikasi medan makna dari masingmasing data yang sudah dikumpulkan. Hasil analisis menunjukkan tiga bentuk ujaran kebencian yang berbeda, yaitu menghina, mengumpat, dan mencemarkan nama baik. Hasil analisis juga menunjukkan terdapat sebelas medan makna yang digunakan, yaitu sifat/ keadaan, binatang, kekerabatan, benda, aktivitas, pelaku kegiatan, anggota tubuh, perilaku komunikasi, penyakit, makhluk halus, dan penampilan fisik.

Hate speech is speech that can cause hatred. The phenomenon of hate speech can appear in various contexts, such as law, psychology, and sports, especially soccer. This paper aims to find out/explain the form of hate speech and the meaning field used by soccer supporters when saying hate speech in the Instagram social media comment section. The method used in this research is descriptive qualitative. The data in this study are soccer supporters' comments containing hate speech in the Instagram social media comment section. The data source of this research comes from the comments column in photo uploads on the @plesbol.inc Instagram account during the period February 1—29, 2024. Data collection was carried out on March 1—10, 2024 by selecting 100 comments, both in the form of phrases and sentences. Data analysis was carried out in three stages, namely identifying literal and contextual meanings, identifying forms of hate speech, and identifying the meaning field of each data that has been collected. The results of the analysis show three different forms of hate speech, namely insulting, swearing, and defaming. The results of the analysis also show that there are eleven fields of meaning used, namely nature/condition, animal, kinship, object, activity, actor, limb, communication behavior, disease, ethereal creature, and physical appearance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Rahmadini
"Pasca terbitnya UU ITE, kriminalisasi ujaran kebencian di Indonesia semakin marak dan identik dengan penerapan pasal-pasal dalam UU ITE. Ketidakjelasan definisi dari perbuatan ujaran kebencian mengakibatkan terlalu luasnya perbuatan apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian sehingga kriminalisasi ujaran kebencian menjadi sangat sumir dan tidak jelas kelompok sasaran apa yang akan dilindungi dengan kriminalisasi tersebut. Hal ini membuat ujaran kebencian menjadi “keranjang sampah”, tidak jelas batasan antara kriminalisasi ujaran kebencian yang dijalankan oleh aparat penegak hukum dengan bentuk kewajiban negara dalam melindungi hak-hak asasi warga negaranya (dalam hal ini adalah kebebasan mengemukakan pendapat). Penelitian ini menganalisis apakah landasan pikir dilakukannya kriminalisasi ujaran kebencian di Indonesia dan bagaimana implementasinya dalam putusan-putusan pengadilan baik dilihat dari teori pemidanaan dan perspektif kebebasan mengemukakan pendapat. Penelitian ini juga mencari tahu cara untuk menentukan batasan kapan suatu perbuatan pernyataan ekspresi berupa ide, gagasan, pendapat atau hasil pemikiran seseorang termasuk ke dalam koridor kebebasan mengemukakan pendapat dan kapan perbuatan pernyataan ekspresi tersebut termasuk ke dalam kualifikasi delik ujaran kebencian. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen yaitu menganalisis ujaran kebencian dari segi aturan hukum dan implementasinya dalam putusan pengadilan, kemudian dikaitkan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia khususnya kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat.

After the publication of the ITE Law, the criminalization of hate speech in Indonesia has become increasingly widespread and is synonymous with the implementation of the articles in the ITE Law. The lack of clarity in the definition of acts of hate speech results in too broad an act of what is meant by hate speech so that the criminalization of hate speech becomes very vague and it is not clear what target groups will be protected by this criminalization. This makes hate speech a "waste basket", the boundaries between the criminalization of hate speech carried out by law enforcement officials and the state's obligation to protect the human rights of its citizens (in this case, freedom of expression) are unclear. This research analyzes the rationale for the criminalization of hate speech in Indonesia and how it is implemented in court decisions both from a criminal theory and a freedom of expression perspective. This research also seeks to find out how to determine the boundaries of when an act of expression in the form of an idea, thought, opinion or result of a person's thinking falls within the corridor of freedom of expression and when an act of expressing expression falls within the qualifications of a hate speech offense. The research method used is document study, namely analyzing hate speech in terms of legal rules and their implementation in court decisions, then linking it to the principles of protecting human rights, especially freedom of expression and expression of opinion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Yonarida
"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ujaran kebencian dalam pernyataan-pernyataan pejabat negara yang dikutip dalam pemberitaan media daring Kompas selama tahun 2016. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Queering Criminology. Dalam kaitannya dengan hubungan LGBT dengan negara, seringkali timbul pertanyaan mengenai siapa yang memiliki kekuasaan dan bagaimana orang-orang kuat yang paling politis berpengaruh.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis.
Temuan data dalam penelitian ini berupa 20 berita dengan kutipan pernyataan pejabat negara terkait LGBT. Temuan data menunjukkan adanya 18 berita yang merupakan ujaran kebencian karena mengandung pernyataan diskriminatif, mengandung stereotipe, antagonis, dan merendahkan martabat, sementara 2 lainnya tidak mengandung ujaran kebencian. Pejabat negara dan media telah sama-sama menjadi agen pembentuk wacana kebencian. Hal tersebut berdasarkan pandangan kritis dapat disebut sebagai kejahatan.

Title Hate Speech by the Ruler against Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender in Media as Crime An Analysis of State Official 39 s Statement in Kompas Media Online News 2016 This study aims to examine hate speech in the statements of officials who are in the media coverage online Kompas during 2016. The theory used in this study is Queering Criminology. In his relationship between LGBT with the state, appear the question about who has power and a very moderate political person. The method used in this research is critical discourse analysis.
The data finding in this research is 20 news with quotation of opinion of LGBT related official. The findings of the data indicate 18 news which are hate speech because they contain discriminatory assumptions, containing stereotypes, antagonists, and degrading, while the other two are not contained by hate speech. State officials and the media have become equally hate shaping agents. Based on critical perspective, it can be called a crime.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S67220
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Aidha Salsabila Mulsi
"Artikel ini membahas pola perundungan siber (cyber bullying) yang terjadi pada selebriti di media sosial Instagram. Berfokus pada pemberitaan di media online pada tahun 2021, artikel ini juga mempelajari praktik digital yang destruktif seperti pidato kebencian dan konten berbahaya. Sebagai dampak dari pandemi Covid-19 pada tahun 2020, media sosial telah menjadi platform alternatif dimana interaksi sosial bergeser ke jaringan daring. Peristiwa ini meningkatkan aktivitas daring seluruh masyarakat yang terpaksa untuk mengisolasi diri serta telah mengembangkan cara komunikasi dan interaksi baru. Sering kali, interaksi di dunia maya dapat mendorong pengguna untuk berbuat kasar, berbahaya, ataupun mengintimidasi. Dengan menggunakan teori Online Disinhibition Theory, artikel ini membahas kontradiksi seputar kasus perundungan siber terhadap selebriti melalui data sekunder di media online. Ditemukan terdapat tiga kategori perundungan siber pada selebriti yakni, harassment (gangguan), flaming (berapi-api), dan denigration (pencemaran nama baik) dan sesuai dengan empat dari faktor disinhibisi daring yakni invisibility, anonymity, asynchronicity, dan minimisation of status and authority. Dengan memahami hal ini, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengantisipasi perbuatan berbahaya di media sosial.

This article discusses the patterns of cyberbullying that occur on social media platform Instagram, focusing on online media coverage in the year 2021. The article also examines destructive digital practices such as hate speech and harmful content. Due to the COVID-19 pandemic in 2020, social media has become an alternative platform where social interactions have shifted to the digital realm. This event has increased online activities for individuals forced to isolate themselves and has led to the development of new communication and interaction methods. Often, interactions in the virtual world can prompt users to behave aggressively, dangerously, or intimidatingly. Utilizing the Online Disinhibition Theory this article delves into the contradictions surrounding cases of cyberbullying against celebrities through secondary data from online media. The data found three categories of cyberbullying towards celebrities; harassment, flaming, and denigration. In accordance with the online disinhibition factors, the data correspond with four factors; invisibility, anonymity, asynchronicity, and minimisation of status and authority. Understanding this topic may increase public awareness and help them navigate social media avoiding harmful acts towards anyone, including public figures.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muammar Nota Reza Ramadhan
"Saat ini media sosial merupakan sarana komunikasi yang tidak terlepas dari penyebaran ujaran kebencian yang cukup meresahkan penggunanya. Sejak tahun 2018 KOMINFO telah menangani sebanyak 3.640 ujaran kebencian yang tersebar di berbagai media sosial. Selain itu SafeNet telah menangani kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada tahun 2021 sebanyak 677 aduan yang didominasi dengan kasus pelecehan seksual. Disisi lain Sejak tahun 2020 Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan yang terjadi dalam komunitas dan ranah publik Indonesia sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus kekerasan seksual yang paling mendominasi. Banyaknya jenis ujaran kebencian yang berbeda-beda menyebabkan banyak tantangan dalam mendeteksi ujaran kebencian termasuk dalam domain kekerasan seksual. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan model klasifikasi ujaran kebencian kekerasan seksual dengan performa dan tingkat akurasi yang baik sehingga dapat dimanfaatkan secara teori bagi akademisi dan praktikal bagi lembaga seperti KOMINFO, SafeNet, LBH APIK Jakarta, Komnas Perempuan, POLRI. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil crawling media sosial twitter pada bulan Desember 2021 hingga Januari 2022. Dengan menggunakan pendekatan Machine Learning, dataset diolah dengangan teknik ekstraksi fitur Term Frequency-Inverse Document Frequency (TF-IDF), beberapa teknik sampling seperti Random Over Sampling (ROS), Random Under Sampling (RUS), Synthetic Minority Over-sampling Technique (SMOTE), dan Adaptive Synthetic (ADASYN) serta beberapa algoritma klasifikasi seperti Nave bayes (NB), Support Vector Machine (SVM), Logistic Regresion (LR), Decition Tree (DT), Random Forest (RF), Gradient Boosting Machine (GBM) dan Extreme Gradient Boosting (XGBoost). Penelitian ini menghasilkan akurasi tertinggi sebesar 0.9239 dimana Algoritma terbaik didominasi oleh SVM dan RF. Implikasi penelitian ini secara teori adalah perbandingn hasil klasifikasi 35 model klasifikasi dan secara praktik dapat diimplementsikan pada Lembaga yang memiliki sistem pendeteksi ujaran kebencian.  

Currently, social media is a means of communication that cannot be separated from the spread of hate speech which is quite disturbing for its users. Since 2018, KOMINFO has handled 3,640 hate speech spread across various social media. SafeNet has handled cases of Online Gender-Based Violence (KBGO) in 2021 as many as 677 complaints, which were dominated by cases of sexual harassment. In 2020 Komnas Perempuan has recorded 21% of cases of violence occurring in the Indonesian community/public sphere (1,731 cases) with the most prominent case being sexual violence. Different types of hate speech cause many challenges in detecting such hate speech. The purpose of this study is to produce a classification model of sexual violence hate speech with good performance and accuracy so that it can be used theoretically for academics and practically for institutions such as KOMINFO, SafeNet, LBH APIK Jakarta, Komnas Perempuan, and POLRI. The data used in this study is the result of crawling social media twitter from December 2021 to January 2022. By using a Machine Learning approach, the dataset is processed using the Term Frequency-Inverse Document Frequency (TF-IDF) feature extraction technique, several sampling techniques such as Random Over Sampling (ROS), Random Under Sampling (RUS), Synthetic Minority Over-sampling Technique (SMOTE), and Adaptive Synthetic (ADASYN) as well as several classification algorithms such as Nave Bayes (NB), Support Vector Machine (SVM), Logistic Regression (LR), Decision Tree (DT), Random Forest (RF), Gradient Boosting Machine (GBM) and Extreme Gradient Boosting (XGBoost). This research produces the highest accuracy of 0.9239 where the best algorithm is dominated by SVM and RF. The theoretical implication of this research is the comparison of the classification results of 35 classification models and practically it can be implemented in institutions that have a hate speech detection system."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Martono Kalapadang
"Kasus ujaran kebencian di media sosial Indonesia tidak sedikit. Penelitian ini akan mengkaji salah satu kasus ujaran kebencian yang terjadi di tahun 2022, yaitu kasus yang menimpa EM. Pada saat karya ilmiah ini ditulis, kasus ini sudah naik ke tahap persidangan di pengadilan. EM didakwa menyatakan ujaran kebencian terhadap masyarakat yang ada di Kalimantan dengan frasa "tempat jin buang anak". Jenis kajian penelitian adalah deskriptif kualitatif. Objek penelitian ini bersumber dari YouTube yang dikelola oleh EM sendiri. Penelitian ini untuk mengungkapkan apakah ujaran EM “tempat jin buang anak” dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian atau tidak berdasarkan Pasal 156 KUHP dan Pasal 45A ayat (2) dalam UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Peneliti menggunakan teori tindak tutur, konteks pertuturan, dan analisis wacana untuk membuktikan ujaran EM tersebut. Berdasarkan analisis tindak tutur, konteks pertuturan, dan analisis wacana, EM dapat dinyatakan melakukan ujaran kebencian berdasarkan Pasal 156 KUHP karena memenuhi semua unsur yang dipaparkan dalam undang-undang tersebut. Namun, EM tidak dapat dinyatakan melakukan ujaran kebencian berdasarkan Pasal 45A ayat (2) dalam UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE karena salah satu unsur wajib tidak memenuhi. Unsur yang tidak memenuhi tersebut adalah semua pernyataan EM tidak ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian kepada masyarakat Kalimantan. Selain itu, pernyataan EM juga tidak ditujukan untuk menimbulkan permusuhan kepada masyarakat Kalimantan.

There are many cases of hate speech on Indonesian social media. This study will examine one of the cases of hate speech that occurred in 2022, namely the case that befell EM. At the time this scientific paper was written, this case had already reached the stage of trial in court. EM was charged with expressing hatred towards the people in Kalimantan with the phrase "tempat jin buang anak". The type of research study is descriptive qualitative. The object of this research is sourced from YouTube which is managed by EM himself. This research is to reveal whether the EM utterance “tempat jin buang anak” can be categorized as hate speech or not based on Pasal and Pasal 45A ayat (2) dalam UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. The researcher uses speech act theory, context of speech, and discourse analysis to prove the EM utterances. Based on the analysis of speech acts, context of speech, and analysis of discourse, EM can be declared to have committed hate speech in Pasal 156 KUHP because it fulfills all the elements described in the 2 law. However, EM cannot be declared to have committed hate speech on Pasal 45A ayat (2) dalam UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE because one of the mandatory elements does not fulfill. The element that does not fulfill this is that all of EM's statements are not intended to cause hatred for the people of Kalimantan. In addition, all of EM's statements are also not intended to cause hostility to the people of Kalimantan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Dwi Asti
"Ujaran kebencian dapat menyebabkan terjadinya konflik dan pembantaian di masyarakat sehingga harus segera ditangani. Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah dengan karakteristik masing-masing. Ujaran kebencian yang ada di Indonesia juga pernah dilakukan menggunakan bahasa daerah. Media sosial Twitter paling sering digunakan dalam menyebarkan ujaran kebencian. Identifikasi target, kategori, serta level ujaran kebencian dapat membantu Polri dan Kemenkominfo dalam menentukan prioritas penanganan ujaran kebencian sehingga dapat meminimalisir dampaknya. Penelitian ini melakukan identifikasi ujaran kasar dan ujaran kebencian beserta target, kategori, dan level ujaran kebencian pada data Twitter berbahasa daerah menggunakan algoritma classical machine learning dan deep learning. Penelitian ini menggunakan data lima bahasa daerah di Indonesia dengan penutur terbanyak yaitu Jawa, Sunda, Madura, Minang, dan Musi. Pada data Bahasa Jawa performa terbaik diperoleh menggunakan algoritma Support Vector Machine (SVM) dengan transformasi data Classifier Chains (CC) serta kombinasi fitur word unigram, bigram, dan trigram dengan F1-score 70,43%. Algoritma SVM dengan transformasi data CC serta kombinasi fitur word unigram dan bigram memberikan performa terbaik pada data Bahasa Sunda dan Madura dengan masing-masing F1-score 68,79% dan 78,81%. Sementara itu, pada data Bahasa Minang dan Musi hasil terbaik diperoleh menggunakan algoritma SVM dengan transformasi data CC serta fitur word unigram dengan F1-score 83,57% dan 80,72%. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi Polri dan Kemenkominfo dalam pembangunan sistem identifikasi ujaran kasar, ujaran kebencian serta target, kategori, dan level ujaran kebencian pada media sosial.

Hate speech can lead to conflict and massacres in society so it must be dealt immediately. Indonesia has more than 700 regional languages with their own characteristics. Hate speech in Indonesia has also been carried out using regional languages. Twitter is the most frequently used social media to spread hate speech. Identification of targets, categories, and levels of hate speech can help the National Police and the Ministry of Communication and Information to determine priorities for handling hate speech to minimize its impact. This study identifies abusive speech and hate speech along with the target, category, and level of hate speech on regional language Twitter data using classical machine learning and deep learning algorithms. This study uses data from five regional languages in Indonesia with the most speakers, namely Javanese, Sundanese, Madurese, Minang, and Musi. In Java language data, the best performance is obtained using the Support Vector Machine (SVM) algorithm with Classifier Chains (CC) data transformation and a combination of unigram, bigram, and trigram word features with an F1-score of 70.43%. The SVM algorithm with CC data transformation and the combination of unigram and bigram word features provides the best performance on Sundanese and Madurese data with F1-scores of 68.79% and 78.81%, respectively. Meanwhile, in Minang and Musi language data, the best results were obtained using the SVM algorithm with CC data transformation and word unigram features with F1-scores of 83.57% and 80.72%, respectively. This research is expected to be used as input for the National Police and the Ministry of Communication and Information in developing a system for identifying harsh speech, hate speech and the target, category, and level of hate speech on social media."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>