Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Fahron
"Latar Belakang: Meningkatnva populasi usia laniut. masalah kesehatan pada kelompok usia tersebut juga meningkat. Salah satu masalah kesehatan vane sering dijumpai adalah inkontinensia urin tine sires (IUS). Beberapa nenelitian telah dilakukan untuk melihat faktor- faktor risiko terjadinva IUS, tetapi hasilnva tidak konsisten.
Tuiuan: Mengetahui hubungan antara usia, riwayat cara persalinan, jumlah persalinan lama menopause dan IMT dengan IUS pada perempuan usia laniut di RSCM Jakarta.
Metodologi: Disain penelitian potong-lintang. Subyek pada perempuan >60 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Inkontinensia Urin tine Sires dinilai dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan kontraksi vagina dengan nerineometri.
Hasil: Didapatkan hasil 35 kasus dan 47 kontrol. Subyek penelitian dengan usia >75 tahun didapatkan 8 (53.3%) IUS riwayat cara persalinan mengalami tindakan didapatkan 18 150.0%) IUS. jumlah persalinan lebih dari 2 kali didapatkan 30 (43,5%) IUS lama menopause lebih dari 7 tahun didapatkan 35 (45,5%) IUS, IMT ~ 26 didapatkan 14 (58.3%) IUS. Dilakukan analisis bivariat didapatkan hasil antara usia dan IUS dengan OR 1.69 (IK 95% 0.55 - 5.22).. antara riwavat cara persalinan dan IUS dengan OR 1,71 (TTY 95% 0.70 ? 4.14) antara iumlah persalinan dan MS dengan OR 1.23 (IK 95% 0.37 - 4.15). antara IMT > 26 dan IUS dengan OR 2.47 (IK 95% 0,93 - 6.52). Lama menopause tidak dapat dianalisis karena tidak didapatkan lama menopause < 7 tahun harus mengalami IUS. Seluruh variabel hasil analisis bivariat vane memiliki p mendekati 0.25 diikutsertakan dalam analisis multivariat. Setelah dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik didapatkan hanva IMT vane tampaknva berhubunsan denaan IUS (OR 2.9911K 95% 1.07-8.361)
Simpulan: Indeks massa tubuh merunakan faktor risiko teriadinva IUS.

Background: The increase of elderly nonulation leads to the increase of health problems among those who belongs to this population. Stress urinary incontinence (SUI) is one of many problems which is frequently found. Several studies have been carried out to detect risk factors for SUI. but the results were still inconsistent.
Objective: To assess the relationship between age. types of delivery. Parity, menopausal period, and BM1 with SU1 in elderly women at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Method: A cross-sectional study of elderly women > 60 years who met the inclusion criteria. SUI was evaluated from interviews. physical examinations and vaginal contractions measured with a perineometer.
Results: This study comprised 35 cases and 47 controls. SUI were detected in 8 (53.3%) of subjects who were > 75 years, in 18 (50.0%) of those who had intervention during delivery. in 30 (43,5%) of those who had parity > 2. in 35 (45.5%) of those who had had menopause > 7 years. and in 14 (58.3%) of those with BMI > 26. Bivariate analyses were performed and the results are OR 1,69 (95% CI 0.55-5.22) between age and SUL _ OR 1.71 (95% CI 0.70 - 4.14) between tunes of delivery and SUL OR L23 (95% CI 0,37 - 4.15) between parity > 2 and SU1. OR 2.47 (95% CI 0,93 - 6.521 between BM1 > 26 and Slll, Menopausal period could not be analyzed because no subjects who had less than 7 year - period of menopause was found to have SUI. Variables which had p close to 0.25 in bivariate analyses were measured in multivariate analyses with logistic regression. Those variables were types of delivery and BMI. As a result BMI was the only variable which was related to SUI (OR 2.99[95% CI 1,07-8,36 ).
Conclusion: BM1 is a risk factor for SUI"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Monika
"Latar belakang : Inkontinensia urin merupakan salah satu permasalahan eliminasi yang sering dialami oleh lansia yang berdampak pada fisik, psikologis, dan sosial ekonomi. Deteksi dini dan pendidikan kesehatan terkait kesehatan perkemihan dapat meningkatkan motivasi dan pemahaman akan pentingnya mencari pertolongan kesehatan. Bladder training dan latihan kegel dapat menurun keluhan inkontinensia urin, tetapi masih sedikit studi terkait pelaksanaan di keluarga dan komunitas.
Tujuan : mengidentifikasi efek dari intervensi LASMINIT deteksi dini, pendidikan kesehatan terkait kesehatan perkemihan, bladder training, dan lantihan kegel disertai buku panduan dan catatan monitoring dalam meningkatkan perilaku kesehatan dan mengurangi keluhan inkontinensia urin di keluarga dan komunitas.
Metode : desain evidence based practice. Dengan sampel sebanyak 42 lansia di komunitas. Intervensi LASMINIT dilakukan selama 12 minggu.
Hasil : studi ini menunjukkan adanya perubahan perilaku pengetahuan, sikap dan keterampilan lansia baik di keluarga maupun di komunitas yang signifikan setelah diberikan intervensi p = 0,0001 dan keluhan inkontinensia urin juga mengalami perubahan yang signifikan p= 0,0001 , dimana frekuensi berkemih menjadi 7 kali sehari, frekuensi mengompol menjadi 1x seminggu, dan interval berkemih meningkat menjadi 3 jam.
Kesimpulan : Terdapat perubahan perilaku yang mengarah lebih baik dan penurunan keluhan inkontinensia urin setelah pelaksanaan intervensi LASMINIT. Komponen keterampilan dan interval berkemih mengalami perubahan yang besar, hal ini disebabkan karena motivasi dan adanya dukungan dari keluarga dan teman sebaya selama menjalani intervensi.

Background Urinary incontinence is the most frequent elimination problems experienced by the elderly who has physical, psychological, and socioeconomic impacts. Early detection and health education related to urinary health can increase motivation and understanding of the importance of seeking health care. Bladder training and Kegel exercises can decrease urinary incontinence symptoms, but there are still few studies related to implementation in family and community.
Objective to determine the effects of LASMINIT interventions early detection, health education related to urinary health, bladder training, and kegel incontinence with guidebooks and monitoring records in improving health behavior and reducing urinary incontinence symptoms in families and communities.
Method evidence based practice design. With a sample of 42 elderly in the community. LASMINIT interventions are conducted for 12 weeks.
Results this study showed a significant change in the behavior knowledge, attitudes and skills of the elderly in the family and community after intervention p 0.0001 and urinary incontinence was also significantly altered p 0.0001 , Where the frequency of urination to 7 times a day, the frequency of leakage to 1 times a week, and the urinary interval increased to 3 hours.
Conclusions There are better behavioral changes and decreased urinary incontinence after LASMINIT interventions. Components of skills and voiding intervals undergo major changes, due to motivation and support from family and peers during the intervention."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harjo Saksomo Bajuadji
"TUJUAN PENELITIAN : Mengetahui proporsi SIU pada kehamilan dan pasca persalinan dan mengetahui pengaruh usia, paritas, berat lahir bayi, cara lahir, episiotbmi, ruptur perineum, ekstraksi, dan riwayat SIU saat hamil terhadap perubahan proporsi SIU pasta persalinan.
DISAIN STUDI : kohort prospektif
TEMPAT STUDI : RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta
SUBYEK : Seluruh wanita yang menjalani persalinan di RSCM periode Januari-Juni 2004 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia mengikuti studi ini
KELUARAN UTAMA : kejadian styes inkontinensia urin saat kehamilan, 6 minggu post partum dan 3 bulan post partum.
HASIL : Angka kejadian sires inkontinensia urin sebesar 37,1% terjadi saat kehamilan, 34,1% 6 minggu post partutn dan 27,75% 3 bulan post partum. Faktor multiparitas memegang peranan penting dalam peningkatan kejadian styes inkontinensia urin saat kehamilan dengan RR 9.16 U1K 95% 4,83-17,41 ; p<0,001), Proporsi stres inkontinensia urin saat kehamilan pada multiparitas lebih tinggi dibandingkan dengan primiparitas (64,96% : 7,09% ; p
KESIMPULAN : Kejadian sires inkontinensia urin saat kehamilan dan post partum cukup tinggi. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terdapat peningkatan angka kejadian stres inkontinensia urin saat kehamilan dan post partum. Persalinan perabdominam kemungkinan dapat menjadi faktor pencegah kejadian SIU pasta persalinan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riry Meria
"[ABSTRAK
Latar Belakang : Inkontinensia urin sampai saat ini masih menjadi masalah bagi
masyarakat dunia. Telah ada tiga penelitian yang membandingkan penurunan
leher kandung kemih pada kelompok inkontinensia urin jenis stres dan
kontinensia. Namun penelitian mengenai perbandingan tersebut belum ada di
Indonesia sementara hasil penelitian yang telah ada belum dapat digeneralisir
pada populasi di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui
apakah terdapat perbedaan rerata penurunan leher kandung kemih kelompok
inkontinensia urin jenis stres dan kontinensia di Indonesia dengan perbedaan pada
tiga buah aspek, yaitu aspek penegakan diagnosis, kelompok pembanding, dan
pengukuran.
Tujuan : Menganalisis perbedaan rerata mobilitas leher kandung kemih pada
inkontinensia urin jenis stres dan kontinensia.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional. Untuk menjawab
pertanyaan penelitian utama dan tambahan digunakan desain deskriptif potong
lintang. Populasi target dalam penelitian ini adalah semua perempuan yang
mengalami inkontinensia urin jenis stres dan kontinensia di Indonesia. Populasi
terjangkau penelitian ini adalah semua perempuan yang mengalami inkontinensia
urin jenis stres dan kontinensia masing-masing 37 orang yang berobat ke Unit
Rawat Jalan Poliklinik Ginekologi RSCM periode Februari 2014 sampai Januari
2015.
Hasil : Rerata jarak leher kandung kemih ke simfisis pubis saat istirahat, saat
valsava dan mobilitas leher kandung kemih pada inkontinensia urin jenis stres
berturut-turut adalah 26,9 ( SB 3,2) mm, 5 ( -29 - 22) mm dan 24,3 (SB 7,9) mm.
Rerata jarak leher kandung kemih ke simfisis pubis saat istirahat, saat valsava dan
mobilitas leher kandung kemih pada kontinensia berturut-turut adalah 26,9 (SB
3,2) mm, 17,6 (SB 5,3) mm dan 10 (SD 4,1) mm. Rerata jarak leher kandung
kemih ke simfisis pubis saat valsava pada inkontinensia urin jenis stres lebih kecil
dibandingkan kontinensia 6,3 (SB 7,1) mm VS 16,3 (SB 5,2) mm, p=0,0001.
Rerata mobilitas leher kandung kemih pada inkontinensia urin jenis stres lebih
besar dibandingkan kontinensia 20,8 ( SB 7,0) mm VS 10,0 (SD 4,8) mm,
p=0,0001.
Kesimpulan : Rerata jarak leher kandung kemih ke simfisis pubis saat valsava
pada inkontinensia urin jenis stres lebih kecil dibandingkan kontinensia. Rerata
mobilitas leher kandung kemih pada inkontinensia urin jenis stres lebih besar
dibandingkan kontinensia.

ABSTRACT
Background : Stress urinary incontinence still be the world problem. Various
studies compared decreasing bladder neck on stress urinary incontinence and
continence have been done. Research with the same purpose has not been done in
Indonesia. Based on that, need to study how the comparison decreasing of
bladder neck between stress urinary incontinence and continence groups in
Indonesia with a difference in three aspects, such as diagnostic criteria,
comparised group, and the observer.
Aim : To analize difference bladder neck mobility on stress urinry incontinence
and continence.
Methods : This study was an observational study. Main and additional research
questions using a cross-sectional design . The target population in this study were
all women who undergo stress urinary incontinence and continence in Indonesia .
The population of this study was affordable to all women who undergo stress
urinary incontinence and continence were treated to the Outpatient Clinic of
Gynecology Unit of Ciptomangunkusumo Hospital in the period Februari 2014 to
January 2015.
Results : Mean of distance of bladder neck to the symphysis pubic at rest, valsava
and bladder neck mobility on stress urinary incontinence were 26,9 (SD 3,2) mm,
5 (-29 - 22) mm and 24,3 (SD 7,9) mm. Mean of distance of bladder neck to the
symphysis pubic at rest, at valsalva and bladder neck mobility on continence were
26,9 (SD 3,2) mm, 17,6 (SD 5,3) mm and 10,0 (SD 4,1) mm. There was no
differences between the distance of bladder neck to the symphysis pubic at rest on
stress urinary incontinence and continence 27,1 (SD 3,3) mm VS 26,3 (SD 3,5)
mm, p=0,523. Mean of distance of bladder neck to the symphysis pubic at
valsava on stress urinary incontinenc was lower than continence 6,3 (SD 7,1) mm
VS 16,3 (SD 5,2) mm, p=0,0001. Mean of bladder neck mobility on stress urinary
incontinence was greater than continence 20,8 ( SD 7,0) mm VS 10,0 (SD 4,8)
mm, p=0,0001.
Conclusion : Mean of distance of the bladder neck to the symphysis pubic at
valsava on stress urinary incontinenc was lower than continence. Mean of
bladder neck mobility on stress urinary incontinence was greater than continence, Background : Stress urinary incontinence still be the world problem. Various
studies compared decreasing bladder neck on stress urinary incontinence and
continence have been done. Research with the same purpose has not been done in
Indonesia. Based on that, need to study how the comparison decreasing of
bladder neck between stress urinary incontinence and continence groups in
Indonesia with a difference in three aspects, such as diagnostic criteria,
comparised group, and the observer.
Aim : To analize difference bladder neck mobility on stress urinry incontinence
and continence.
Methods : This study was an observational study. Main and additional research
questions using a cross-sectional design . The target population in this study were
all women who undergo stress urinary incontinence and continence in Indonesia .
The population of this study was affordable to all women who undergo stress
urinary incontinence and continence were treated to the Outpatient Clinic of
Gynecology Unit of Ciptomangunkusumo Hospital in the period Februari 2014 to
January 2015.
Results : Mean of distance of bladder neck to the symphysis pubic at rest, valsava
and bladder neck mobility on stress urinary incontinence were 26,9 (SD 3,2) mm,
5 (-29 - 22) mm and 24,3 (SD 7,9) mm. Mean of distance of bladder neck to the
symphysis pubic at rest, at valsalva and bladder neck mobility on continence were
26,9 (SD 3,2) mm, 17,6 (SD 5,3) mm and 10,0 (SD 4,1) mm. There was no
differences between the distance of bladder neck to the symphysis pubic at rest on
stress urinary incontinence and continence 27,1 (SD 3,3) mm VS 26,3 (SD 3,5)
mm, p=0,523. Mean of distance of bladder neck to the symphysis pubic at
valsava on stress urinary incontinenc was lower than continence 6,3 (SD 7,1) mm
VS 16,3 (SD 5,2) mm, p=0,0001. Mean of bladder neck mobility on stress urinary
incontinence was greater than continence 20,8 ( SD 7,0) mm VS 10,0 (SD 4,8)
mm, p=0,0001.
Conclusion : Mean of distance of the bladder neck to the symphysis pubic at
valsava on stress urinary incontinenc was lower than continence. Mean of
bladder neck mobility on stress urinary incontinence was greater than continence]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Ahmadi Farid
"ABSTRAK
Nama : Imam Ahmadi FaridNPM : 1406667463Program Studi/Divisi : Obstetri ndash; Ginekologi / Uroginekologi Rekonstruksi Judul: Prevalensi, karakteristik dan Faktor Risiko Terkait Pada Pasien Inkontinensia Urin Dalam Poliklinik Ginekologi Menggunakan Kuesioner Untuk Diagnosis Inkontinensia Urin QUID Versi Bahasa Indonesia Latar belakang: Inkontinensia urin tetap menjadi masalah kesehatan utama wanita karena dampaknya yang menghancurkan terhadap kualitas hidup. Namun, studi epidemiologi tentang inkontinensia urin UI di Indonesia sangat terbatas. Bisa jadi karena keluhan pasien yang kurang dilaporkan. Kami bertujuan untuk menentukan prevalensi, karakteristik dan faktor risiko UI di antara pasien ginekologi. Metode: Pasien mengunjungi klinik rawat jalan ginekologi di Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Umum, Jakarta, Indonesia yang ditawarkan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Subyek yang memenuhi syarat melakukan wawancara untuk mengisi kuesioner QUID versi Bahasa Indonesia. Faktor terkait untuk stres inkontinensia urin SUI , mendesak inkontinensia urin UUI , dan kontinum urin campuran MUI diidentifikasi setelah analisis bivariat dan multivariat. Hasil: Prevalensi SUI, UUI, dan MUI masing-masing 4,3 , 3,0 , dan 2,7 di antara 400 subjek yang memenuhi syarat. Usia di atas 61 tahun, usia antara 51 hingga 60 tahun, tingkat pendidikan rendah, kelebihan berat badan, multiparitas, persalinan pervaginam dan keadaan menopause meningkatkan risiko untuk semua jenis UI. Pada analisis multivariat, usia yang lebih tua adalah faktor risiko paling signifikan untuk memiliki UI p = 0,000, OR 5,4 95 CI: 2,13-13,87 . Kesimpulan: Usia di atas 61 tahun, usia antara 51 hingga 60 tahun, tingkat pendidikan rendah, kelebihan berat badan, multiparitas, persalinan pervaginam dan menopause adalah faktor risiko untuk SUI, UUI, dan MUI. Umur adalah faktor terkait yang paling signifikan. Kata kunci: QUID Questionnaire, faktor risiko, inkontinensia urin.

ABSTRACT

Abstract Nama Imam Ahmadi FaridNPM 1406667463Program Studi Divisi Obstetri ndash Ginekologi Uroginekologi Rekonstruksi Title Prevalence, characteristics and Related Risk Factors In Urinary Incontinence Patients In Gynecology Polyclinics Using Questionnaire For Urinary Incontinence Diagnosis QUID Indonesian Version Background Urinary Incontinence remains a main women rsquo s health problem due to its devastating impacts to the quality of life. However, the epidemiology study of urinary incontinence UI in Indonesia is very limited. It could be due to the under reported complaints of the patients. We aim to determine the prevalence, characteristics and risk factors of UI among gynecological patients. Methods Patients visited gynecological outpatient clinic at Cipto Mangunkusumo, General Hospital, Jakarta, Indonesia were offered to be participated in this study. Eligible subjects underwent interview to fulfill Indonesian version of QUID questionnaires. The associated factors for stress urinary incontinence SUI , urge urinary incontinence UUI , and mixed urinary continence MUI were identified after bivariate and multivariate analysis. Results The prevalence of SUI, UUI, and MUI were respectively 4.3 , 3.0 , and 2.7 among 400 eligible subjects. Age over 61 years old, age between 51 to 60 years old, low education level, overweight, multiparity, vaginal delivery and menopausal state were increased the risk for any types of UI. On multivariate analysis, older age was the most significant risk factor for having UI p 0.000, OR 5.4 95 CI 2,13 13,87 . Conclusion Age over 61 years old, age between 51 to 60 years old, low education level, overweight, multiparity, vaginal delivery and menopausal state were the risk factor for SUI, UUI, and MUI. Age was the most significant associated factor. Keywords QUID Questionnaire, risk factors, urinary incontinence "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rafika
"Latar Belakang: Inkontinensia urin (IU) merupakan salah satu masalah kesehatan dengan prevalensi dan beban yang cukup tinggi di dunia. Inkotinensia urin tekanan (SIU) merupakan salah satu bentuk inkontinensia urin dengan prevalensi di Indonesia berkisar antara 14,57-52%. Latihan otot dasar panggul merupakan salah satu pencegahan dan tatalaksana yang direkomendasikan untuk inkontinensia urin. Namun, perbandingan antara efektivitas latihan yang dilakukan selama masa kehamilan dan pasca persalinan belum pernah dilakukan sebelumnya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas latihan otot dasar panggul pada masa kehamilan dan setelah persalinan sebagai pencegahan dan pengobatan terhadap terjadinya inkontinensia urin tekanan yang menetap pasca persalinan.
Metode: Dilakukan penelitian dengan desain uji klinis acak terkontrol dan kerangka konsep etiologik. Populasi penelitian yaitu semua ibu hamil dengan gejala inkontinensia urin tekanan. Dalam kurun waktu penelitian didapatkan sampel sebanyak 70 ibu hamil dengan gejala inkontinensia urin tekanan pasca persalinan yang dibagi dalam kelompok tanpa intervensi, kelompok latihan otot dasar panggul sejak masa kehamilan, dan kelompok latihan otot dasar panggul pasca persalinan. Data dianalisis dengan metode analisis bivariat kategorik tidak berpasangan dua kelompok.
Hasil: Dari hasil penelitian ini, didapatkan adanya hubungan yang bermakna pada ibu hamil yang diberikan latihan otot dasar panggul baik sejak masa kehamilan (p-value = 0.002) maupun pasca persalinan (p-value = 0.006) dengan penurunan proporsi kejadian inkontinensia urin tekanan menetap pasca persalinan. Namun, tidak didapatkan adanya perbedaan hasil yang bermakna secara statistik antara kelompok ibu hamil yang diberikan latihan otot dasar panggul sejak masa kehamilan dengan yang diberikan latihan pasca persalinan (p-value = 1.000).
Kesimpulan: Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara latihan otot dasar panggul pada masa kehamilan dan setelah persalinan. Namun, latihan otot dasar panggul pada masa kehamilan dan setelah persalinan terbukti efektif dalam pencegahan dan pengobatan terhadap terjadinya inkontinensia urin tekanan yang menetap pasca persalinan dibandingkan dengan yang tidak melakukan.
......
Background: Urinary incontinence (UI) is one of the problematic health problems with high prevalence and monetary burden in the world. Stress urinary incontinence is one form of UI with a prevalence of 14.57 -52% in Indonesia. Pelvic floor muscle training (PFMT) is one of its recommended preventive and curative measures. Nevertheless, comparison between PFMT initiated during pregnancy period and postpartum period has never been studied before.
Objective: This study aims to determine the effectiveness of pelvic floor muscle exercises during pregnancy and after childbirth as prevention and treatment of the occurrence of persistent postpartum urinary incontinence.
Method: A randomized controlled trials with an etiological conceptual framework was done in this study. The study population were all pregnant women with symptoms of urinary incontinence. In the study period, a sample of 70 pregnant women with symptoms of postpartum urinary incontinence consisting of no-intervention group, pregnancy PFMT group, and postpartum PFMT group. The data were analyzed by two groups of unpaired categorical bivariate analysis methods.
Results: It was found that there was a significant association between pregnant women given pelvic floor muscle training (PFMT) both during pregnancy (p-value = 0.002) and postpartum (p-value = 0.006) with decline of persistent postpartum urinary incontinence proportion. However, there was no statistically significant difference of outcome found in the group of pregnant women given PFMT since pregnancy with those who were given after childbirth, p-value = 1,000.
Conclusion: In this study there was no significant difference of outcome between PFMT during pregnancy and after delivery. However, PFMT during pregnancy and after childbirth have been proven effective in the prevention and treatment of the occurrence of postpartum urinary incontinence compared with those who did not."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58707
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustia Istiarni
"Kanker prostat merupakan penyakit keganasan yang sering menyerang laki-laki di area perkotaan. Faktor resiko yang menyebabkan timbulnya kanker prostat di area perkotaan diantaranya faktor familial, usia, pola makan, dan kadar hormon testosteron. Masalah keperawatan yang menjadi fokus dalam karya ilmiah ini adalah inkontinensia urin. Salah satu intervensi yang dilakukan untuk mengatasi inkontinensia urin yaitu latihan kegel.
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisis intervensi latihan kegel pada pasien Adeno CA Prostat untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul. Secara kognitif pasien dapat memahami dan melakukan latihan kegel, namun belum dapat mengontrol inkontinensia urin karena keterbatasan waktu intervensi. Pemantauan khusus perlu diberikan pada pasien dengan inkontinensia urin selama melakukan latihan kegel untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul.
......
Prostate cancer is the common malignant disease in men that occurs in urban areas. Risk factors which cause prostate cancer in urban areas include the familial factor, age, diet, and testosterone level. The nursing problem which becomes a concern of this paper is urinary incontinence. One of the nursing interventions to overcome urinary incontinence is kegel exercises.
The objective of this paper was to analyze the intervention of kegel exercises in a patient with Adeno CA Prostate to strengthen the pelvic floor muscle. The patient has shown the understanding of how to do the kegel exercise and the purpose of the exercise, yet the patient has not been able to control urinary incontinence due to the limited period of the intervention. Specific monitoring should be given to the patient with urinary incontinence during kegel exercises to strengthen the pelvic floor muscle."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
David Oktavianus
"ABSTRAK
ICS merekomendasikan latihan Kegel, sebagai terapi konservatif untuk mengatasi inkontinensia urin tekanan untuk dilakukan selama 12 minggu. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa latihan kegel selama 4, dan 8 minggu dapat memperbaiki gejala inkontinensia, kualitas hidup, dan meningkatkan kekuatan otot dasar panggul.
Tujuan : Mengetahui gambaran perbaikan gejala subjektif dan objektif, peningkatan kekuatan otot dasar panggul, perbaikan derajat keparahan dan perbaikan kualitas hidup wanita penderita inkontinensia urin tekanan yang menjalani antara latihan Kegel yang 4, 8, dan 12 minggu
Metode: 55 subjek terdiagnosis inkontinensia urin tekanan (berdasarkan nilai (QUID >4) dan tes pembalut positif 60 menit) diberikan latihan Kegel di Poliklinik Rehabilitasi Medik RSCM selama 12 minggu. Pengumpulan data, seperti kuesioner UDI-6; tes pembalut 60 menit; dan kuesioner IIQ-7 akan dicatat oleh subjek penelitian dalam buku kegiatan 4, 8, dan 12 minggu. Selain itu, evaluasi biofeedback(Myomed 932) dari kekuatan serat otot lambat dan serat otot cepat dilakukan setiap 2 minggu untuk menilai perbaikan.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan bermakna antara skor UDI-6 dan IIQ-7 subjek sebelum latihan dan setelah latihan 4, 8, dan 12 minggu (uji Wilcoxon; p<0.05). Selain itu, adanya perbedaan yang signifikan pada kekuatan serat otot lambat dan serat cepat antara sebelum latihan dengan pasca latihan 8 minggu dan sebelum latihan dengan pasca 12 minggu. (dengan uji Wilcoxon; p <0.05).
Kesimpulan : Latihan Kegel yang dilakukan dengan durasi minimal 8 minggu dapat memperbaiki gejala, kekuatan otot dasar pangul dan kualitas hidup wanita dengan inkontinensia urin tekanan.

ABSTRACT
Kegel exercise is recommended by ICS, as a conservative therapy to improve stress urinary incontinence for 12 weeks. However, several studies have shown that Kegel exercise for 4 and 8 weeks can improve symptoms of incontinence, quality of life and increase pelvic floor muscle strength.
Objective: To identify the improvement subjective and objective symptoms, increasing pelvic floor muscle strength, and improvement quality of life among women with stress urinary incontinence who performed kegel exercise 4, 8, and 12 weeks.
Method: 55 subjects were diagnosed with stress urinary incontinence (based on (QUID score >4) and positive result of pad test 60 minutes) and were given the Kegel exercise at RSCM for 12 weeks. Datas such as UDI-6, pad test 60 minutes, and IIQ-7 will be documented by each subject in the book for 4, 8, and 12 weeks. In addition, Pelvic floor muscle (slow and fast fibers twitch) were assessed by biofeedback (myomed 932) every 2 weeks.
Result: The results show that there is a significant difference between the UDI-6 and IIQ-7 scores before, after 4, 8, and 12 weeks Kegel exercise. (Wilcoxon testp < 0.05).
In addition, there is a significant difference in the pelvic floor muscle strength (slow and fast fibers twitch) between before with after exercise for 8 weeks Kegel exercise and between before and after 12 weeks Kegel exercise. (Wilcoxon test; p <0.05).
Conclusion: Performing Kegel exercise with a minimum duration of 8 weeks can improve symptoms, pelvic floor muscle strength and quality of life for women with stress urinary incontinence"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Octaviyana Nadia Nitasari
"Latar belakang: Kehamilan dan persalinan merupakan faktor risiko utama terjadinya disfungsi dasar panggul. Manifestasi utama pada kelainan tersebut adalah gejala saluran kemih bagian bawah dan inkontinensia urin. Studi mengenai prevalensi dan faktor risiko kondisi-kondisi tersebut sangat penting untuk diagnosis dini dan tata laksana yang komprehensif. Namun, hingga saat ini belum terdapat studi mengenai prevalensi dan faktor-faktor risiko tersebut secara komprehensif pada ibu hamil di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui prevalensi inkontinensia urin dan gejala saluran kemih bagian bawah serta faktor-faktor yang memengaruhi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode potong lintang (cross sectional). Subjek dari penelitian ini adalah ibu hamil yang datang untuk pemeriksaan rutin di Puskesmas Kecamatan Jakarta pada April 2021-Maret 2022. Pasien dengan riwayat inkontinensia, kehamilan ganda, diabetes tidak terkontrol, gangguan neurologis, atau riwayat operasi sebelumnya dieksklusi dari penelitian. Faktor risiko yang dinilai adalah usia ibu, usia kehamilan, paritas, indeks massa tubuh, dan riwayat obstetrik sebelumnya.
Hasil: Didapatkan sebanyak 236 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan inkontinensia urin tekanan 8,5%, inkontinensia urin desakan 14%, dan inkontinensia urin campuran 1,6%. Didapatkan keluhan berkemih berupa frekuensi (59,3%), nokturia (87,3%), urgensi (33,1%), hesitansi (8,9%), dan straining (0,8%). Hanya terdapat 5,1% subjek yang tidak memiliki keluhan berkemih sama sekali. Faktor risiko yang berpengaruh dengan keluhan berkemih dan inkontinensia urin adalah usia ibu dan trimester kehamilan.
Kesimpulan: Didapatkan prevalensi inkontinensia urin dan gejala saluran kemih bagian bawah yang tinggi pada ibu hamil di Indonesia. Faktor risiko terjadinya gangguan saluran kemih dan inkontinensia urin pada ibu hamil adalah usia ibu dan trimester kehamilan.
......Background: Pregnancy and childbirth are the main risk factors for pelvic floor dysfunction. The main manifestations of this disorder are lower urinary tract symptoms and urinary incontinence. Studies on the prevalence and risk factors of these conditions are essential for early diagnosis and comprehensive management. However, until now there has been no comprehensive study of the prevalence and risk factors for pregnant women in Indonesia.
Objective: To determine the prevalence of urinary incontinence and lower urinary tract symptoms and the factors that influencing.
Methods: This research was an observational analytic study with cross sectional method. The subjects of this study were pregnant women who came for routine check-ups at the Jakarta Publics Health Center in April 2021-March 2022. Patients with a history of incontinence, multiple pregnancy, uncontrolled diabetes, neurological disorders, or a history of previous surgery were excluded from the study. The risk factors assessed were maternal age, gestational age, parity, body mass index, and previous obstetric history.
Results: There were 236 subjects who were included in the study. We found stress urinary incontinence 8.5%, urgency urinary incontinence 14%, and mixed urinary incontinence 1.6%. There were urinary complaints in the form of frequency (59.3%), nocturia (87.3%), urgency (33.1%), hesitancy (8.9%), and straining (0.8%). There were only 5.1% of subjects who did not have urinary complaints at all. The risk factors that influence lower urinary tract symptoms and urinary incontinence are maternal age and trimester of pregnancy.
Conclusions: We found a high prevalence of urinary incontinence and lower urinary tract symptoms in pregnant women in Indonesia. Risk factors for urinary tract disorders and urinary incontinence in pregnant women are maternal age and trimester of pregnancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Yunita
"Inkontinensia urin tekanan sering ditemukan padakehamilan dengan prevalensi tertinggi pada empat minggu terakhir kehamilan. Diketahui bahwa kelemahan otot dasar panggul merupakan salah satu penyebab inkontinensia urin tekanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kekuatan otot dasar panggul dengan inkontinensia urin tekanan pada perempuan hamil trimester ketiga akhir, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan melibatkan perempuan hamil 36-40 minggu di poli Obstetri dan Ginekologi RSUK TebetJakarta. Data yang diperoleh berupa hasil anamnesis, Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis QUID , pemeriksaan fisik, perineometer, dan tes batuk. Sampel berjumlah 142 orang dengan 54,2 diantaranya mengalami inkontinensia urin tekanan. Diketahui bahwa kekuatan otot dasar panggul dan taksiran berat janin memiliki perbedaan bermakna dengan inkontinensia urin tekanan p = 0,002, < 0,001, secara berurutan . Uji multivariat menunjukkan bahwa kekuatan otot dasar le; 25,5 cmH2O panggul dan TBJ ge; 3.100 gram paling mempengaruhi kejadian inkontinensia urin tekanan OR = 2,52, p= 0,021 dan OR = 3,34, p= 0,001, secara berurutan . Uji probabilitas menunjukkan bahwa apabila TBJ >3.100 gram dan kekuatan otot dasar panggul
Stess urinary incontinence is the most frequent found during pregnancy with the highest prevalence in the last four weeks of pregnancy. It is known that weaken pelvic floor muscle is one of the causes of stress urinary incontinence. This study aims to know the relationship between the strength of pelvic floor muscle and stress urinary incontinence in late third trimester of pregnancy and its associated factors.A cross sectional study was conducted involving women with 36 until 40 weeks of pregnancy at Obstetric and Gynecology clinic of Tebet Subdistrict Hospital, Jakarta. Collected data included medical interview, Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis QUID , physical examination, perineometer, and cough test. Among 142 samples, 54.2 had stress urinary incontinence. Discovered that pelvic floor muscle, and estimated fetal weight had significant differences with SUI p 0.002, 0.001, respectively . Multivariate analysis showed the strength of pelvic floor muscle le 25.5 cmH2O , and EFW ge 3,100 gram were the most influenced factors for SUI OR 2.52, p 0.021 dan OR 3.34, p 0.001, respectively . The likelihood of SUI was 75.39 if the strength of PFM was le 25.5 cmH2O,and EFW ge 3,100 gram. Weaken pelvic floor muscle, and EFW were the factors influencing SUI. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>