Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lintang Mirawati
"Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan perjanjian utang piutang dengan jaminan  merupakan perjanjian yang umum ditemui di masyarakat. Kedua perjanjian tersebut mengandung dua hubungan hukum yang berbeda dan kedua hubungan hukum tersebut tidak dapat digabungkan satu dengan yang lainnya. Namun di masyarakat masih ditemui PPJB yang dibuat dengan latar belakang utang piutang bahkan PPJB tersebut dijadikan sebagai lembaga pengikatan jaminan utang piutang. Berdasarkan hal tersebut perlu diketahui akibat hukum terhadap perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat secara pura-pura sebagai jaminan dari suatu perjanjian utang piutang serta kepastian hukum dan perlindungan hukum objek jaminan utang piutang yang diikat dengan perjanjian pengikatan jual beli dalam putusan Pengadilan Negeri Cibadak Nomor 34/Pdt.G/2021/PN Cbd. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dapat dikatakan bahwa akibat hukum terhadap PPJB yang dibuat secara pura-pura sebagai jaminan dari suatu perjanjian utang piutang adalah dapat dibatalkan karena bertentangan dengan syarat sah dari perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat yang mengikatkan dirinya. Tidak adanya kesamaan kehendak dan kesepakatan terkait harga jual beli dalam PPJB dan juga adanya bentuk penyalahgunaan keadaan oleh pihak kreditur yang menjadikan kesepakatan debitur menjadi cacat. Terkait dengan kepastian hukum dan perlindungan hukum objek jaminan utang piutang yang diikat dengan PPJB pada kasus Putusan Pengadilan Negeri Cibadak Nomor 34/Pdt.G/2021/PN Cbd adalah dengan pembebanan hak tanggungan yang dituangkan dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) terhadap tanah milik debitur. Pembuatan APHT merupakan bentuk perlindungan hukum eksternal dengan merujuk kepada ketentuan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai lembaga pengikatan jaminan yang objeknya berupa hak atas tanah.

Binding Sale and Purchase Agreement (PPJB) and debt and receivables agreement with collateral are agreements that are commonly encountered in the community. The two agreements contain two different legal relationships and the two legal relationships cannot be combined with each other. However, in the community, PPJB is still found which is made with the background of debts and receivables, and even the PPJB is used as a binding institution for debt and receivables guarantees. Based on this, it is necessary to know the legal consequences of the binding sale and purchase agreement made under the guise of collateral for a debt and receivables agreement as well as the legal certainty and legal protection of the object of the debt and receivables guarantee that is bound by the binding sale and purchase agreement in the Cibadak District Court decision Number 34/Pdt.G/2021/PN Cbd. Using the doctrinal research method, it can be said that the legal consequences of PPJB made under the guise of collateral for a debt and receivables agreement can be canceled because it is contrary to the legal conditions of the agreement in Article 1320 of the Civil Code, namely the agreement that binds him. The absence of a common will and agreement regarding the purchase and sale price in the PPJB and also a form of abuse of circumstances by creditors that makes the debtor's agreement flawed. Related to legal certainty and legal protection, the object of debt and receivables guarantee bound by PPJB in the case of Cibadak District Court Decision Number 34/Pdt.G/2021/PN Cbd is the imposition of dependent rights as outlined in the Deed of Encumbrance of Dependent Rights (APHT) on land owned by the debtor. The creation of APHT is a form of external legal protection by referring to the provisions in the Law on Dependent Rights that have been determined by the government as a guarantee binding institution whose object is in the form of land rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Via Aulia
"Tesis ini meneliti tentang akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), akta Kuasa untuk Menjual dan akta Perjanjian Pengosongan yang dituangkan ke dalam akta yang ditanda tangani tidak memenuhi persyaratan dan tidak dikehendaki salah satu pihak. Notaris salah dalam menerapkan perbuatan hukum sehingga tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), kasus yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1070 K/Pdt/2020. Permasalahan dalam penelitian ini terkait akibat hukum akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan akta Kuasa untuk Menjual sebagai jaminan atas ikatan utang piutang dan peran serta tanggung jawab Notaris terhadap akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan akta Kuasa untuk Menjual sebagai jaminan atas ikatan utang piutang. Penelitian menggunakan metode Yuridis Normatif dengan tipe penelitian menganalisis masalah melakukan studi dokumen untuk memperoleh data sekunder dan analisis kualitatif sehingga menghasilkan hasil penelitian analisis deskriptif. Berdasarkan hasil analisis data, Notaris salah dalam menentukan perbuatan hukum yang dituangkan ke dalam 3 (tiga) akta yaitu akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), akta Kuasa untuk Menjual dan akta Perjanjian Pengosongan sebagai pengikatan jaminan dalam perjanjian utang piutang tidak tepat, karena akta tersebut bukan lembaga untuk jaminan. Notaris tidak melakukan penyuluhan hukum dan tidak memenuhi syarat verleden. Akibatnya akta dapat dibatalkan di Pengadilan, karena Notaris tidak membacakan akta dan tidak hadir di hadapan para pihak serta akta tidak memenuhi syarat subjektif yaitu kata sepakat. Selain itu, ke 3 (tiga) akta tersebut tidak memenuhi syarat objektif yaitu sebab yang halal, adanya suatu larangan yang diperjanjikan kepemilikan jaminan oleh pemberi pinjaman.

This thesis examines the deed of the Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB), the deed of Authorization to Sell and the deed of Employment Agreement which is poured into the deed which is signed does not meet the requirements and is not desired by either party. Notaries are wrong in implementing legal actions so that they do not meet the legal requirements of the agreement and do not fulfill the provisions of the Notary Position Act (UUJN), the case that occurred in the Supreme Court Decision Number 1070 K/Pdt/2020. The problem in this study is related to the legal consequences of the deed of the Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB) and the deed of Power to Sell as collateral for the debt and receivable bonds and the role and responsibility of the Notary in the deed of the Binding Sale and Purchase Agreement (PPJB) and the deed of Power of Attorney to Sell as collateral for the bond. debts and receivables. The research uses the normative juridical method with the type of research analyzing the problem of conducting document studies to obtain secondary data and qualitative analysis so as to produce descriptive analysis research results. Based on the results of data analysis, the Notary made a mistake in determining the legal actions as outlined in 3 (three) deeds, namely the deed of the Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB), the deed of Power to Sell and the deed of Employment Agreement as binding collateral in the debt and receivable agreement, because the deed it is not an institution for guarantees. Notaries do not provide legal counseling and do not meet the verification requirements. As a result, the deed can be canceled in court, because the Notary does not read the deed and is not present before the parties and the deed does not meet the subjective requirement, namely an agreement. In addition, the 3 (three) deeds do not meet the objective requirements, namely because it is lawful, there is a prohibition on the ownership of the guarantee by the lender."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauziah Syifa Purworini
"Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali manusia memiliki kebutuhan yang memerlukan kerja sama dengan pihak lain yang melahirkan perjanjian. Terdapat beberapa alat bukti dari perjanjian, salah satunya kuitansi sebagai alat bukti tertulis yang merupakan bukti transaksi dari penerimaan uang atas pembayaran.
Tesis ini membahas mengenai kedudukan kuitansi sebagai alat bukti adanya utang piutang berdasarkan putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi Samarinda Nomor 18/Pdt/2016/PT.Smr juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 2070 K/Pdt/2016 dan membahas dasar gugatan atas tidak dibayarnya suatu utang menurut pertimbangan hukum hakim dalam putusan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kedudukan kuitansi sebagai alat bukti perjanjian utang piutang, serta perbedaan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dengan menggunakan metode penelitian berbentuk Yuridis-Normatif yang menggunakan data sekunder dan tipologi penelitian deskriptif-analitis.
Penelitian ini juga menganalisis dengan pendekatan kualitatif. Kedudukan kuitansi dalam putusan tersebut dapat dibenarkan adanya perjanjian utang piutang yang mendasari karena gugatan Penggugat dan hasil putusan yang menyatakan Tergugat memiliki utang.  Tidak dibayarnya suatu utang sebagaimana pertimbangan majelis hakim seharusnya merupakan gugatan wanprestasi, bukan gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana diajukan Penggugat.  Dengan demikian, alangkah baiknya jika setiap perjanjian dilakukan secara tertulis dan hakim dalam menjalankan kewenangannya harus lebih teliti dan cermat.

Nowadays, often times people have needs that require cooperation with other parties that lead to agreements. There are several evidences of agreement, one of which is a receipt as written evidence that is proof of the transaction from receiving money for payment.
This thesis discusses the position of receipts as a proof of the existence of debt based on the Judge's decision in the Samarinda High Court's Verdict Number 18/Pdt/2016 Juncto The Supreme Court's Verdict Number 2070 K/Pdt/2016 and discusses the basis of the claim for non-payment of a debt according to the Judge's decision.
This thesis aims to provide an understanding of the position of receipts as a means of proof of accounts payable agreements, as well as differences between breach of contract and tort by using juridical-normative research methods that use secondary data and descriptive-analytical descriptive typology.
This study also analyzes the qualitative approach. The position of the receipt can be justified by the existence of the underlying debt agreement due to the Plaintiff's claim and the result of the Judge's decision stating the Defendant has a debt. The non-payment of a debt as considered by the Judges should be a breach of contract, not a tort as filed by the Plaintiff.  Thus, it would be better if every agreement is writtenly made and the Judge in carrying out his authority must be more thorough and careful."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T54161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Harmoni Siska
"Kuasa Menjual masih banyak digunakan dalam proses peralihan hak dan sering menjadi penyebab timbulnya sengketa, keabsahan mengenai kuasa menjual yang seringkali dijadikan dasar kreditor mengikat suatu jaminan yang dimiliki oleh debitor untuk kepastian hukum kreditor dalam kegiatan utang piutang tanpa menggunakan lembaga pembiayaan. Penelitian doktrinal ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, peraturan mengenai peralihan hak dan peraturan lainnya terkait dengan akta kuasa dan perjanjian utang piutang. Penelitian ini menganalisis mengenai prinsip pemberian kuasa dan perkembangan hukumnya serta menelaah pembuatan akta kuasa menjual dan pengakuan utang yang dibuat dalam waktu bersamaan dalam pertimbangan hakim dalam menentukan suatu putusan pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 369/PDT.G/2023/PN.JKT.BRT terkait kuasa menjual yang dijadikan objek jaminan yang merupakan satu kesatuan dengan akta pengakuan utang. Dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak, tentunya menimbulkan ketidakpastian atas akta kuasa yang masih marak dibuat di hadapan Notaris. Pengaturan mengenai kuasa jual diatur dalam pasal 1792 sampai dengan 1819 KUH Perdata, Akta kuasa yang dibuat di hadapan Notaris merupakan alat bukti yang sempurna, namun, jika pembuatannya tidak dijalankan sesuai dengan peraturan yang ada, maka akta kuasa tersebut dapat terdegradasi sebagai akta dibawah tangan, serta akta kuasa menjual dengan akta pengakuan utang yang dibuat secara bersamaan dapat menimbulkan suatu sengketa karena melanggar asas kepatutan.

The Power of Sale is still widely used in the process of transferring rights and is often the cause of disputes, the validity of the power of sale which is often used as the basis for the creditor to bind a guarantee owned by the debtor for the legal certainty of the creditor in debt and receivables activities without using a financing institution. This doctrinal research uses secondary data derived from the Civil Code, regulations regarding the transfer of rights and other regulations related to power of attorney and debt and receivables agreements. This study analyzes the principle of granting power of attorney and its legal development as well as examines the making of power of attorney deeds to sell and debt recognition made at the same time in the judge's consideration in determining a decision in the West Jakarta District Court Decision Number 369/PDT. G/2023/PN. JKT. BRT is related to the power of sale which is used as the object of collateral which is an integral part of the debt recognition deed. The revocation of the Instruction of the Minister of Home Affairs Number 14 of 1982 concerning the Prohibition of the Use of Absolute Power, of course, creates uncertainty over the power of attorney that is still widely made before the Notary. The regulation regarding the power of sale is regulated in articles 1792 to 1819 of the Civil Code, the power of attorney made before the Notary is a perfect piece of evidence, however, if the manufacture is not carried out in accordance with existing regulations, then the power of attorney can be degraded as a deed under hand, and the power of attorney deed and the debt acknowledgment deed made simultaneously can cause a dispute because it violates the principle of propriety."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fharefta Akmalia
"Perbuatan melawan hukum merupakan salah satu sumber perikatan yang berasal dari undang-undang, sedangkan sumber perikatan lainnya merupakan perjanjian yang erat kaitannya dengan wanprestasi. Meskipun merupakan jenis gugatan dan sumber perikatan yang berbeda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan sehari-hari dimungkinkan adanya suatu perbuatan melawan hukum dalam perjanjian. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder termasuk dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, namun dalam perkembangannya dapat dilakukan perbuatan melawan hukum meskipun di dalamnya terdapat hubungan kontraktual. Indonesia perlu menambahkan pengaturan lebih lanjut mengenai perbuatan melawan hukum agar sesuai dengan perkembangan hukum perjanjian saat ini serta diperlukan kesatuan perdapat mengenai perbuatan melawan hukum dalam perjanjian utang piutang.

Tort is one source of engagement that comes from the law, while the other source of engagement is agreement which is closely related to breach of contract. Although both are a different type of lawsuit and also a different source of engagement, but it cannot be denied that in everyday life it is possible that tort is occurred in the agreement. This study was conducted using the juridical-normative method by examining secondary data, also by using statutory approach. Through this study, it can be concluded that, although the Civil Code distinguishes between breach of contract and tort, in its development tort can happen in a contractual relationship. Indonesia needs to add further regulations regarding tort in order to comply with the current development of contractual law and a unity of opinion is needed regarding tort in loan agreement. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Sudirman
"Sebaqai akibat dari krisis moneter yang berkepanjangan yang dimulai sejak pertengahan tahun 19997 yang lalu, saat ini makin banyak dunia usaha yang tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Dalam dunia hukum, debitur yang tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dapat dinyatakan pailit. Karena bila hal ini dibiarkan berlarut-larut akan
dapat mengganggu tatanan_kehidupan ekonomi yang sudah ada. Untuk mengatasi dampak negatif makin banyaknya debitur yang akan bangrut, maka pemerintah telah mengeluarkan Undang- Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan dan Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU} ini dalam hukum dagang dikenal dengan nama Surseance
van betaling atau suspension of payment, yang diatur dalam Peraturan Kepailitan, Sth. 1905-217 jo. Stb. 1906-348, Bab II, dari pasal 212 sampai dengan pasal 279. Debitur yang menunda atau mengetahui bahwa dia tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah bisa ditagih, dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaranutangnya melalui pengadilan. Dalam kasus penundaan pembayaran, bahwa debitur berada dalam keadaan sulit untuk dapat memenuhi (membayar) utangya secara penuh, misalnya, perusahaan debitur pada saat itu menderita kerugianQ kebakaran yang menimpa pabrik, resesi ekonomi, dan lain-
lain. Kesulitan debitur seperti itu belumlah menjadi indikasi kearah kebangrutan {kepailitan}. Apabila debitur diberikan waktu, ia akan sanggup (mampul untuk memenuhi
atau melunasi utangnya secara penuh. Untuk itulah, debitur dapat memohon penundaan pembayaran dengan tujuan agar iabisa memperbaiki ekonomi dan perusahaannya tersebut. Dengan demikian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU} dapat dijadikan alternatif yang menguntungkan baik bagi kreditur maupun debitur dibandingkan jika perusahaan yang insolven langsung dipailitkan, akan tetapi hal tersebut tidak
menutup kemungkinan adanya kerugian-kerugian, baik bagi debitur maupun bagi kreditur."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18231
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Swastiastu Lestari
"Kuasa untuk memasang hipotik harus dibuat dengan akta otentik. Dalam pelaksanaannya akta otentik itu adalah akta notaris. Tidak demikian halnya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Tesis ini membahas mengenai apa saja kekuatan mengikat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam perjanjian utang piutang serta tanggung jawab Notaris bila akta yang dibuatnya merugikan kreditur. Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang berbentuk yuridis normative yang bersifat yuridis analitis.
Pada asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan yaitu dalam hal pemberian Hak Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Authority to install mortgages must be made with authentic deed. In practice it authentic deed is deed of notary public. Not so with Mortgage Power Of Attorney to fill that must be made by notarial deed or deed Deed Land Officer Makers. This thesis describes the binding Power Of Attorney in debt agreements impose mortgage and responsibilities when the notarial deed detrimental to creditors made. This research is research that forms the character of judical normative analitycal.
In principle, the imposition of mortgages must be done alone by the giver mortgages. Only if absolutely necessary that in the case of mortgages unable to attend before an official maker official maker of Land Act, prohibits the use of power imposes mortgages. Mortgage Power Of Attorney must be charged directly by the mortgage and must meet certain requirements. Non-conformity with these requirements produce Power Of Attorney for Mortgage-related charge can not be used as the basis for the manufacture of the Deed of Encumbrance.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28380
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jeihan Saphira
"Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah memberikan kewenangan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, namun dalam prakteknya, akta otentik termasuk Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT tersebut kerap kali dipermasalahkan di muka Pengadilan dengan dalil adanya perbuatan hukum lain yang dibuat dibawah tangan yang telah dilakukan sebelumnya oleh karena itu dimintakan pembatalan Akta Jual Beli tersebut ke muka Pengadilan. Termasuk dalam hal ini ialah dalil adanya utang piutang dibawah tangan dibalik pembuatan Akta Jual Beli dihadapan PPAT, sehingga timbul permasalahan yaitu Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta PPAT sebagai suatu akta otentik yang dibatalkan dengan putusan pengadilan karena dilatarbelakangi utang piutang? dan Bagaimanakah isi putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan Akta Jual Beli Tanah tersebut tidak sah dan batal ditinjau menurut peraturan pertanahan yang berlaku di Indonesia? Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini ialah studi kepustakaan yang bersifat penelitian yuridis normatif, yaitu dengan mengadakan penelusuran asasasas hukum umum yang kemudian digunakan untuk membuat suatu interpretasi terhadap pembatalan Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT atas dalil utang piutang yang dibuat dibawah tangan dan akibat hukumnya serta didukung dengan studi kasus. Akta Jual Beli yang dibuat dengan latar belakang utang-piutang antara para pihaknya besar kemungkinan merupakan akta pura-pura sehingga tidak memenuhi Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata mengenai syarat sahnya jual beli dalam hal pemenuhan unsur kausa yang halal pada perjanjian jual beli, sejalan dengan bunyi Penjelasan Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 sehingga perbuatan hukum jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak mepunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut serta berdaya surut (ex tunc) dan dapat dilakukan perubahan ulang data pendaftaran tanah dengan alat bukti putusan Pengadilan Negeri tersebut.

Article 1 point 1 Government Regulation No. 37 of 1998 concerning the Land Deed Official giving authority to the Land Deed Official (PPAT) to make authentic deeds on certain legal action on land rights or a right to property over a unit of flat, while in practice, an authentic deed including the aforementioned sale and purchase deed made by the Land Deed Official is often times problematic in a court with the basic legal argumentation there is another legal action made under the hand that has done formerly because it sought the cancellation of sale and purchase deed on a court. Include there is certain debt under the hand over made sale and purchase deed before the Land Deed Official (PPAT), so that arise another problems like how the strength of vindication land deed official as a authentic deed cancelled with district court verdict causd by debt? And how the contents of district verdict that states sale and purchase land deed not valid and aborted reviewed according to existing the land regulation in Indonesia? The research methodology used in this thesis is literature study and normative juridical law make searching general principle law that used to make an interpretation against the cancellation sale and purchase deed that made before land deed official (PPAT) over certain debts that is made beneath the hand and law consequences as well supported by a case study. Sale and purchase deed made by debts background between the parties likely that is pretended deed so that not fulfill article 1320 point (4) Indonesian civil code concerning the valid terms sale and purchase in case of fulfillment element of halal clause in sale and purchase agreement, in line with explanation article 45 government regulations no 24 of 1997 so that legal action reputed there is never or there is no legal consequences since that occurrence of legal action and capable recede (ex tunc) and can be conducted amandement recap of data land registry with that evidence verdict court district.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.A. Yunita Triwardani Winarto
"Dalam rangka peningkatan pendapatan negara dan kepatuhan Wajib Pajak, Kebijakan Pengampunan Pajak diberlakukan lewat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016. Namun, masih terdapat banyak hambatan dalam pelaksanaan kebijakan ini khususnya terkait pengelakan pajak dan pelaksanaan terhadap sanksinya. Skirpsi ini akan menganalisis sanksi dalam hukum pajak dan hukum perdata terhadap suatu perjanjian utang piutang yang di mark up nominal utangnya untuk memperkecil uang tebusan dalam kebijakan Pengampunan Pajak serta mencari pengaturan yang ideal untuk meminimalisir celah hukum yang dapat terjadi dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Metode Penelitian dilakukan secara yuridis normatif dengan menelaah buku, peraturan perundang-undangan serta wawancara. Dari analisa yang dilakukan dalam skripsi ini, disimpulkan bahwa belum ada pengaturan sanksi dalam Undang-Undang Amnesti Pajak mengenai mark up nominal utang sebagai dokumen yang tidak benar yang sengaja dilampirkan. Sehingga sebelum kebijaan ini berakhir hendaknya perlu diatur mengenai hal tersebut untuk memberikan kepastian hukum dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak.

Due to increasing compliance of the tax payer and the state income, Tax Amnesty policy was implemented with Act. No 11 Year 2016. Therefore there is still obstacle and difficulty to implement this policy, such as tax evasion and the law enforcement for the tax sanctions. This thesis will analyze the sanctions in tax law and private law due to a marking up debt rsquo s nominal in Loan Agreement to minimize the real transaction in Tax Amnesty policy, also to find the ideal regulation regarding the loopholes that can happened in Act. No 11 Year 2016 on Tax Amnesty.
This research using juridical normative method by analyze the issue based on the books, regulations, and depth interview with the expert interviewees. The conclusion from this research is that there is no specific sanctions from Tax Amnesty policy for Debt Nominal rsquo s Mark Up as an invalid Loan Agreement document. So before this policy all over, it is necessary to regulate the sanction that could provide legal certainty in Tax Amnesty policy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasiholan, Gabrielle Octavian
"Perjanjian Kredit adalah perjanjian pinjaman antara bank dan pelanggan bank To memastikan perjanjian kredit jiwa mereka dapat dilakukan dengan mudah. Perjanjian biasanya terkait dengan jaminan sebagai jaminan, umumnya atas hak tanah dengan Hipotek institusi terikat dengan perjanjian jaminan. Sifat agunan Perjanjian dibangun sebagai perjanjian yang accesoir, dengan konsekuensi hukum serta perjanjian accesoir lainnya. Putusan Mahkamah Agung No. 353K / PDT / 2015 memberikan pembatalan perjanjian kredit dan Hak Tanggungan. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa ini tidak dapat dibenarkan, karena Pembatalan hipotek setuju tidak selalu mengarah pada pembatalan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Perjanjian kredit dilakukan antara bank dan bea cukai, meskipun jaminan kredit diajukan oleh a pihak ketiga. Oleh karena itu, perjanjian ini mengikat pihak yang membuatnya, debitur dan kreditor. Permintaan pembatalan perjanjian kredit tidak dapat diajukan oleh pihak ketiga.

Credit Agreement is a loan agreement between a bank and a bank customer to ensure that their life credit agreement can be done easily. Agreements are usually related to collateral as collateral, generally for land rights with mortgage institutions bound by collateral agreements. The nature of collateral agreements are built as access agreements, with legal consequences and other access agreement. Decision of the Supreme Court No. 353K / PDT / 2015 provides cancellation of credit agreements and Mortgage Rights. Based on this research, it was found that this cannot be justified, because cancellation of a agreed mortgage does not always lead to the cancellation of the credit agreement as the principal agreement. Credit agreement made between a bank and customs, even if a credit guarantee is submitted by a third party. Therefore, this agreement is binding on the parties that made it, the debtor and creditor. Request to cancel the credit agreement cannot be submitted by a third party."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>