Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tarigan, Utama Abdi
"Pendahuluan : Compromised flap merupakan komplikasi yang sering didapatkan dari operasi-operasi elevasi flap. Penanganan jaringan yang kurang baik, tehnik operasi, kadang mengakibatkan cedera pada pembuluh darah yang berujung pada compromised flap yang bila tidak ditangani dengan baik, dapat menjadikan kematian sebagian bahkan seluruh flap. Hampir semua cedera pada pembuluh utama dapat diatasi dengan tindakan reoperasi untuk mengatasi gangguannya. Tetapi bila gangguan yang terjadi di microsirkulasi, therapi farmakologi merupakan pilihan. Disamping itu, compromised flap memberikan tampilan klinis yang berbeda, tergantung gangguan yang terjadi pada pembuluh vena atau arteri. Banyak pilihan sediaan farmakologi untuk mengatasi compromised flap oleh karena gangguan mikrosirkulasi. Diantaranya yang sering dipakai oleh karena mudah cara pakainya, murah, tersedia dan diketahui cara kerjanya adalah heparin topikal dan nitrogliserin topikal. Metode: Suatu studi eksperimental dilakukan terhadap 18 ekor tikus Sprague-Dawley betina yang terbagi secara acak ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok yang deri penangan dengan heparin topikal. Setelah dilakukan elevasi groin island flap, dilakukan oklusi pada vena femoralis sirkumjleksa lateralis selama 6 jarn hingga terbentuk compromised jlap. Kemudian oklusi dilepas dan dioleskan heparin topikal selama 7 hari. Dinilai perubahan warn a yang terjadi hari pertama dan hari ke tujuh. Pada kelompok kedua, dengan tehnik yang sarna tetapi perlakuan yang diberikan dengan nitrogliserin topikal. Perubahan warna yang terjadi didokwnentasikan dengan mempergunakan kamera dan tehnik pemotretan yang sarna Kemudian perubahan wama yang terjadi hari 1 dan hari ke 7 dinilai dengan pengukuran persentase grayscale foto dengan memakai adobe photoshop CS4. Hasil : Perubahan warna yang terjadi dimana wama flap yang sebelumnya gelap menjadi lebih terang dan akhirnya menjadikan flap viabel, tid8.k menunjukkan perbedaan bermakna baik yang diperlakukan dengan heparin maupun dengan nitrogliserin (p>O,05). Demikian juga waktu yang diperlukan untuk menjadikan flap tersebut lebih viabel, tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara heparin maupun nitrogliserin. Simpulan : Compromised vena dapat diatasi dengan heparin dan nitrogliserin topikal, akan tetapi tidak menunjukkan sedian yang satu lebih superior dibanding dengan sediaan lainnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2009
T59067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karlina Nur Fitria
"Chronic venous insufficiency (CVI) merupakan salah satu gangguan pada sistem vaskular Bagian dari sistem vaskular yang dipengaruhi oleh CVI yaitu sistem vena pada ekstremitas bawah. Hal ini menganggu aliran darah pada ekstremitas bawah sehingga dapat menimbulkan komplikasi luka, nyeri, dan keterbatasan rentang gerak pergelangan kaki. Masalah keperawatan yang ditegakkan yaitu nyeri akut dan gangguan integritas kulit. Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini menguraikan analisis asuhan keperawatan dan penerapan range of motion pada pasien dengan CVI untuk meningkatkan keterbatasan rentang gerak pada pergelangan kaki dan penyembuhan luka. Hasil evaluasi dari penerapan tersebut menunjukkan peningkatan rentang gerak pergelangan kaki dari 100 menjadi 150 tetapi tidak ada peningkatan penyembuhan luka selama 6 hari perawatan. Selain itu, terdapat penurunan nyeri dari skala 6 menjadi 5. Berdasarkan hasil tersebut diharapkan latihan ROM dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan terutama pada pasien CVI dengan keterbatasan rentang gerak pergelangan kaki.
......Chronic venous insufficiency (CVI) is one of the disorders that affects vascular system. Part of the vascular system that is affected by CVI is venous system in the lower extremities. This disrupts blood flow in the lower extremities which may cause complications such as venous leg ulcer. The main nursing problem in this case is impaired skin integrity. This nursing scientific paper aims to elaborate analysis of nursing care and range of motion application in patient with CVI to increase ankle ROM limitation and wound healing. Evaluation of the ROM application shows increase in ankle ROM from 100 to 150 during 6 days of care. However, there is no increase in the healing rate after 6 days of application. According to the evaluation, ROM exercise is proposed to be applied in healthcare services particularly for CVI patients with ankle ROM limitations"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdeni Arifin
"Latar belakang : Trombosis dikenal sebagai dasar patogenesis oklusi vena
retina (OVR). Adanya trombosis vena retina dapat diketahui dari funduskopi dan
angiografi fluoresin. Selain itu, adanya gangguan hemostatik ditunjukkan oleh
penurunan kadar protrombin didalam plasma dan nilai intemational normalized
ratio (INR). Prinsip penatalaksanaan pada OVR adalah memperbaiki sirkulasi
darah dengan cara mencegah pembentukan trombus dan meningkatkan
fibrinolisis. LMWH subkutan sebagai antikoagulan mempunyai peranan pad a
kedua cara tersebut, sedangkan Warfarin hanya mampu mencegah koagulasi
material-material darah yang akan terjadi. Tujuan : untuk menilai efektivitas
terapi LMWH terhadap perbaikan abnormalitas vaskular penderita oklusi vena
retina (OVR). Bahan dan cara : Penelitian ini merupakan uji klinis prospektif.
secara random. Subjek penelitian dibagi menjadi kelompok penerima LMWH
subkutan untuk 10 hari dan tumpang tindih dengan warfarin pada hari ke delapan
serta kelompok penerima menerima warfarin sejak hari pertama lerapi.
Pemeriksaan hemostatik dan angiografi fluoresin dilakukan pad a kedua
kelompok. Efektivitas terapi dinilai pada hari ke 19 dengan Survival analysi~ dan
Cox regression. Hasil : Efektivitas terapi LMWH ditemukan 11 kali lebih baik dari
warfarin dengan 95% CI bermakna. Kesimpulan : Terapi LMWH menunjukkan
peranan didalam mencegah koagulasi dan meningkatkan fibrinolisis pada OVR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bangun Astarto
"Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan filtrasi glomerulus, sehingga dapat menyebabkan non visualisasi ginjal unilateral atau bilateral pada urografi intra vena.
Pemeriksaan Radioisotop renografi sebagai lanjutan pemeriksaan pada keadaan tersebut ini .dapat menunjukkan gangguan fungsi masing-masing ginjal secara terpisah dan pads fase apa terjadinya gangguan tersebut.
Terdapat 3 fase pada renogram :
1. Fase pengisian atau vaskular menggambarkan ekstensi aliran darah ke ginjal tersebut.
2. Fase pemekatan atau fase sekresi/fase tubular menggambarkan aliran darah arterial, filtrasi glomerulus, sekresi tubular dan transportasi radioaktivitas intra renal ke pelvis dan ekstra renal.
3. Fase eliminasi atau fase ekskresi menggambarkan penurunan radio aktivitas dari seluruh ginjal.
Sedangkan kelainan yang dapat terjadi pada grafik renogram secara garis besar di bagi 3 tipe Obstruktif, Isothenuria dan Nefrektomi.
Karya tulis ini mengamati 21 kasus non visualisasi ginjal unilateral hasil urografi intra vena, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan radioisotop renografi, ternyata sebagian besar menunjukkan tipe nefrektomi (85,71%), sedangkan tipe obstrukti 4,76% dan tipe isothenuria 9,53%.
Kombinasi hasil urografi intra vena dan renogram memperjelas gambaran fungsi masing-masing ginjal secara terpisah. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Wibowo
"Pendahuluan: Pemasangan kateter vena sentral berhubungan dengan resiko tinggi terjadinya komplikasi, meliputi stenosis vena sentral. Angioplasti perkutan (PTA) merupakan tindakan yang paling direkomendasikan untuk tatalaksana stenosis vena sentral karena angka keberhasilan yang tinggi. Walaupun demikian, patensi primer setelah tindakan PTA sangat bervariasi. Penelitian tentang prediksi patensi setelah tindakan PTA pada kasus stenosis vena sentral sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini untuk mencari informasi mengenai patensi primer setelah tindakan PTA beserta factor-faktor yang memengaruhinya di RSUPN Ciptomangunkusumo.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari sampai April 2019. Studi ini meliputi pasien dengan stenosis vena sentral yang dilakukan tindakan PTA tanpa stent antara Januari 2014 sampai Feburari 2018. Keluaran studi ini merupakan patensi primer setelah tindakan angioplasty perkutan tanpa stent. Variabel independen pada studi ini meliputi usia, jenis kelamin, komorbiditas (hipertensi, gagal jantung kronik, dan diabetes mellitus), arter-vena fistula (AVF) ipsilateral, kadar HbA1c, lokasi kateter, sisi tubuh pemasangan kateter, tipe kateter, dan frekuensi pemasangan kateter. Metode total sampling digunakan dan data diambil melalui rekam medis. Data dianalisa menggunakan program SPSS 20.0.
Hasil: Studi ini meliputi 43 sampel. Kadar HbA1c, AVF ipsilateral, sisi tubuh pemasangan kateter dan frekuensi pemasangan kateter berpengaruh signifikan terhadap tingkat patensi primer (p<0.05). Analisa Multivariat dengan regresi logistic menunjukkan bahwa komorbiditas, frekuensi pemasangan kateter > 2 kali, sisi tubuh kiri pemasangan kateter, dan tipe kateter short term meningkatkan kemungkinan terjadinya patensi primer yang lebih dini. Sebaliknya peningkatan kadar HbA1c dan AVF ipsilateral menurunkan resiko terjadinya patensi primer yang lebih dini.
Kesimpulan: Kadar HbA1c > 7%, AVF ipsilateral, sisi tubuh pemasangan kateter, dan frekuensi pemasangan kateter berhubungan dengan patensi primer yang lebih dini setelah tindakan PTA pada pasien dengan stenosis vena sentral.
......Introduction: Central vein catheter (CVC) is associated with higher risk of complications, including central vein stenosis (CVS). Percutaneous transluminal angioplasty (PTA) is the most recommended modality to treat CVS due to high technical success rate. However, patency after PTA procedure is still very variable. Studies on patency predictors after PTA in CVS patients are still very limited. Therefore, this study aims to find out the primary patency after PTA in CVS patients as well as the contributing factors in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Method: This was a retrospective cohort study, done in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from January to April 2019. Included patients were hemodialysis patients diagnosed with CVS after PTA, proven by clinical symptoms and diagnostic studies, from January 2014 to February 2018 who were treated with percutaenous angioplasty without stent. Studied outcome is primary patency after percutaneous angioplasty without stent. Independent variables of this study are age, gender, comorbidities (hypertension, chronic heart failure, and diabetes mellitus), AVF existence, HbA1c level, catheter insertion location, side of catheter insertion, catheter material, and frequency of catheter insertion. Total sampling method was used and data were taken from patients' medical records. Data were analysed using SPSS 20.0 software.
Results: This study included 43 subjects. It is shown that HbA1c level, ipsilateral AVF, side of catheter insertion and catheter insertion frequency have significant association with primary patency (p<0.05). Multivariate analysis with logistic regression showed that comorbidities, catheter insertion frequency of >2 times, left side of catheter insertion and short term catheter material increase the probability of short primary patency. Meanwhile, increased HbA1C and ipsilateral AVF decrease the risk of short primary patency. However, no variable has independent association with primary patency.
Conclusion: HbA1c level of > 7%, ipsilateral AVF, side of catheter insertion, and catheter insertion frequency are associated with early primary patency after PTA in hemodialysis patients with CVS."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Yuliani Sekriptini
"Pengambilan darah intravena dapat menimbulkan nyeri dan traumatik pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh madu terhadap skor nyeri anak saat pengambilan darah. Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Sampel diambil dengan consecutive sampling, terdiri dari kelompok intervensi yang mendapatkan madu per oral (34 responden) dan kelompok kontrol mendapatkan plasebo (34 responden) usia responden 1-6 tahun. Skor nyeri dievaluasi dengan Children?s Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS). Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan bermakna rata-rata skor nyeri anak pada kelompok madu dan kelompok plasebo (p=0,001). Peneliti menyimpulkan pemberian madu per oral dapat menurunkan skor nyeri pada anak saat pengambilan darah intravena.
......The intravenous blood taken can cause pains and be traumatic for child.This research has the aims to identify The influence of giving honey decreasing on the score of pain. The design of this research is quasi experiment. Samples were taken by consecutive sampling which consists of the intervened group who obtained honey per oral (34 respondents) and controlled group obtained plasebo (34 respondents) kelompok.The score of pains are evaluated with Children?s Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS) respondents aged 1-6 years. The result of analysis shows there is a significant difference on the average score of pains between the intervened and controlled group (p=0,001). The researcher concluded that the giving of honey per oral can decrease the score of pains on child when the intravena blood taken.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T32618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Griskalia Christine Theowidjaja
"Latar Belakang. Mortalitas keganasan dengan tromboemboli vena lebih tinggi daripada keganasan tanpa tromboemboli vena. Jenis dan/atau histopatologi keganasan, stadium, terapi keganasan berisiko tinggi trombosis vena dalam, lokasi trombus, usia, imobilisasi, kateter vena sentral, D-dimer, infeksi, dan Indeks Komorbiditas Charlson berpengaruh terhadap mortalitas pasien keganasan dengan trombosis vena dalam. Belum ada data insiden kumulatif mortalitas pasien keganasan dengan trombosis vena dalam di Indonesia dan belum ada model prediksi yang mudah untuk memprediksi mortalitas pasien keganasan dengan trombosis vena dalam.
Tujuan. Mengetahui insiden kumulatif mortalitas dan membuat model prediksi berupa sistem skor prediktor mortalitas 3 bulan pertama pasien keganasan dengan trombosis vena dalam.
Metode. Penelitian kohort, 223 pasien keganasan dengan trombosis vena dalam di RSCM, Januari 2011-Agustus 2013, diamati 3 bulan. Variabel bebas: usia, jenis dan/atau histopatologi keganasan, stadium keganasan, terapi risiko tinggi terjadi trombosis vena dalam, lokasi trombus, imobilisasi, penggunaan kateter vena sentral, D-dimer awal saat diagnosis trombosis vena dalam, infeksi, dan Indeks Komorbiditas Charlson. Variabel dependen: mortalitas karena semua penyebab. Regresi logistik digunakan untuk mendapatkan sistem skor.
Hasil. 61,4% pasien meninggal. Prediktor yang bermakna terhadap mortalitas 3 bulan pertama adalah stadium III-IV, imobilisasi, dan infeksi; dengan masingmasing skor 2-3-2. Total skor risiko rendah (0), risiko sedang (2-4), dan risiko tinggi (5-7) mempunyai mortalitas berturut-turut 10%, 43%, 72%.
Simpulan. Insiden kumulatif mortalitas 3 bulan pertama pasien keganasan dengan trombosis vena dalam adalah 61,4%. Telah ditemukan model prediksi mortalitas 3 bulan pertama pasien keganasan dengan trombosis vena dalam.
......
Background. Mortality risk among malignancy with venous thromboembolism (VTE) patients is higher than malignancy patients without VTE. The type and/or histopathology of malignancy, cancer stage, high risk cancer therapy for deep vein thrombosis (DVT), thrombus location, age, immobilization, central venous catheter, D-dimer, infection, and Charlson Comorbidity Index influence the mortality of malignancy patients with DVT. There is no cumulative incidence data and an easy prediction model to predict mortality among malignancy patients with DVT.
Objective. To know the cumulative incidence of mortality and to make a prediction model (scoring system) to predict the first 3-month mortality among malignancy patients with DVT.
Methods. A cohort study of 223 malignancy patients with DVT at Cipto Mangunkusumo National Hospital between January 2011-August 2013, with 3 months of follow-up. Independent variables: age, cancer's type and/or histopathology, cancer stage, high risk cancer therapy for DVT, thrombus location, immobilization, central venous catheter, D-dimer when the patients were diagnosed with DVT, infection, and Charlson Comorbidity Index. Dependent variable: all-caused mortality. Logistic regression was used to make a scoring system.
Results. 61.4% patients died. The significant predictors were stage III-IV cancer, immobilization, and infection; with the scores 2-3-2, respectively. Total score for low risk patients (0), intermediate risk patients (2-4), and high risk patients (5-7) with the mortality 10%, 43%, 72%, respectively.
Conclusions. The cumulative incidence of the first 3-month mortality in malignancy patients with DVT was 61.4%. There is an applicable prediction model to predict the first 3-month mortality among malignancy patients with DVT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Wolter Hendrik George
"Kelebihan beban cairan pascaresusitasi dihubungkan dengan luaran buruk sehingga diperlukan deresusitasi. Tekanan vena sentral (TVS) rendah penting untuk menjamin aliran balik darah, meningkatkan curah jantung dan memperbaiki perfusi jaringan. Penelitian ini bertujuan menilai efektivitas deresusitasi dengan target TVS 0–4 mmHg pada pasien pascaresusitasi renjatan sepsis di ICU. Penelitian menggunakan desain randomized controlled trial dan dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan September 2019–Oktober 2020. Subjek berusia 18–60 tahun dengan renjatan sepsis pascaresusitasi. Kriteria eksklusi adalah gangguan jantung primer, gagal jantung kanan, penyakit jantung bawaan, penyakit paru obstruksi menahun berat, efusi pleura berat, batu atau tumor ginjal dan gagal ginjal kronik. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok dengan target TVS 0–4 mmHg dan 8–10 mmHg dan dilakukan dideresusitasi. Target TVS dicapai dengan furosemid drip dan loading kristaloid. Parameter luaran adalah perbedaan hasil PVD, stadium AKI, indeks curah jantung, lama penggunaan ventilator, dan lama hari perawatan di ICU. Data dianalisis program SPSS versi 20.0 meliputi analisis deskriptif dan inferensial memakai uji yang sesuai. Dari 44 subjek, 1 subjek dikeluarkan karena menjalani hemodialisis karena gagal ginjal kronik pada kelompok dengan target TVS 8–10 mmHg. Karakteristik dasar pasien berupa stadium AKI, ureum, kreatinin dan nilai TVS inisial berbeda bermakna pada kedua kelompok. Deresusitasi dengan target TVS 0–4 mmHg tidak berbeda bermakna pada nilai PVD, perbaikan AKI, CI, lama penggunaan ventilator, dan perawatan ICU (p>0,05). Tiga subjek meninggal sebelum selesai follow up pada kelompok dengan target TVS 0–4 mmHg dan 6 subjek meninggal sebelum selesai follow up, pada kelompok dengan target TVS 8–10 mmHg. Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan efektivitas antara target deresusitasi TVS 0‒4 mmHg dengan target TVS 8‒10 mmHg terhadap nilai PVD sublingual, perubahan stadium AKI KDIGO, indeks curah jantung, lama penggunaan ventilator, lama perawatan ICU
...... Post-resuscitation fluid overload is associated with a poor outcome in critically patient and thus requires deresuscitation (aggressive fluid removal). Low central venous pressure (CVP) is important to ensure the venous return, increase cardiac output and improve tissue perfusion. This study aims to assess the effectiveness of deresuscitation with a CVP target of 0–4 mmHg in post-septic shock resuscitation patients in the emergency department and ICU. This study used a randomized controlled trial design at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in September 2019–October 2020. The study sample was patients 18–60 years old with septic shock in the post-resuscitation ICU. Exclusion criteria were patients with primary heart failure, right heart failure, congenital heart disease, severe chronic obstructive pulmonary disease, severe pleural effusion, kidney stones or tumors, and chronic renal failure. The study subjects were deresuscited and divided into two CVP target groups (0–4 mmHg and 8–10 mmHg). Furosemide drip and cristaloid were given to reach target of CVP. Outcome parameters were differences in PVD, AKI stage, cardiac index (CI), ventilator duration, and length of stay in ICU. Statistical analysis includes descriptive and inferential analysis testing the appropriate test. Data analysis was performed using the SPSS version 20.0 statistical program. Results: There were 44 subjects, 1 subject were excluded due to hemodialysis in CVP target of 8–10 mmHg. Baseline characteristics have significant difference in ureum, creatinine, AKI stage and initial CVP value between two groups. Deresuscitation with a CVP target of 0–4 mmHg did not have a significant difference in the value of PVD, improvement in AKI, CI, ventilator duration, and length of ICU stay (p > 0.05). Three subjects died before 7 days of follow up in CVP target of 0–4 mmHg and 3 subjects died before 7 days of follow up in CVP target of 8–10 mmHg."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Megatia
"ABSTRAK
Latar belakang Dalam lima tahun terakhir, pengunaan kateter pada pasien penyakit ginjal kronis PGK di RSCM kerap diikuti stenosis vena sentral SVS , 60-70 . Sejak 2013 SVS ditangani melalui prosedur venoplasti, namun belum ada evaluasi keberhasilan. Penelitian ini ditujukan melakukan evaluasi keberhasilan venoplasti dan faktor risiko terjadinya stenosis. Metode Dilakukan studi deskriptif analitik dengan desain potong lintang melibatkan pasien PGK stadium 4-5 yang terdiagnosis simtomatik SVS, secara klinis dan radiologis, yang memiliki risiko stenosis, memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta menjalankan venoplasti. Variabel independen yaitu onset gejala, jenis, lokasi, durasi dan frekuensi pemasangan kateter. Variabel dependen adalah keberhasilan venoplasti dinilai dengan residual stenosis 60 tahun, 61,8 laki-laki dan 70,6 memiliki hipertensi sebagai etiologi PGK. Angka berhasilan venoplasti 85,3 , nilai rerata initial stenosis adalah 79,1 13,8 dan median residual stenosis 24,5 dengan range 10-90 . Letak stenosis terbanyak di vena subklavia 47,1 . Tidak didapatkan hubungan bermakna terhadap keberhasilan venoplasti, namun angka ketidakberhasilan venoplasti yang lebih tinggi ditemukan pada lokasi di vena subklavia OR 2,45; p = 0,627 dan frekuensi pemasangan kateter >2 kali OR 1,85; p = 0,648 . Kesimpulan Keberhasilan venoplasti pada SVS 85,3 dengan keberhasilan ditemukan dua kali lebih tinggi pada implantasi di vena subklavia dan frekuensi > 2 kali. Namun pada studi ini tidak bermakna secara statistik. Ketidakberhasilan venoplasti lebih sering ditemukan pada subjek dengan pemasangan kateter di vena subklavia, durasi pemasangan panjang, onset gejala lambat dan riwayat pemasangan berulang. ABSTRACT Background In the last five years, the use of deep vein catheter in chronic kidney disease CKD often leads to central vein stenosis CVS at Cipto Mangunkusumo Hospital 60 70 . Since 2013, CVS has been managed with venoplasty, and has never been evaluated. The study aimed to evaluate of its success rate and the risk factors might be correlated. Method A descriptive analytic study with cross sectional design conducted enrolling of stage 4 5 CKD patients with symptomatic CVS who underwent venoplasty. Independent variables are onset of symptoms, type, location, duration and frequency of catheter implantation. Dependent variable is venoplasty success, which was determined by residual stenosis 60 years old, 61.8 were male and 70.6 with hypertension. Venoplasty success rate found on this study was 85.3 , mean initial stenosis was 79.1 13.8 and median residual stenosis was 24.5 ranged of 10 90 . The most common stenosis was found in subclavian vein 47.1 . There was no significant correlation with venoplasty success rate. Nevertheless, higher venoplasty success rate found in subjects with catheter located in subclavian vein OR 2.45 p 0.627 and the frequency of implantation 2 times OR 1.85 p 0.648 . Conclusion Venoplasty success rate on CVS patients was 85.3 with success rate found twice higher with implantation at subclavian vein and frequency 2 times. However, there was no statistically significant correlation between stenosis risk factors with this success rate. Venoplasty failure is often found on CVS subjects with catheter implantation on subclavian vein, prolonged duration, delayed onset of symptoms and history of recurrent implantation. Keywords Central vein stenosis, venoplasty, risk factors."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andrio Wishnu Prabowo
"Latar belakang: Insufisiensi vena kronis IVK derajat berat atau C5-C6 membutuhkan penatalaksanaan yang lebih kompleks dan membawa dampak morbiditas yang lebih berat akibat lamanya waktu pengobatan dan angka kekambuhan yang tinggi. Tata laksana definitif IVK C5-C6 telah mengalami pergeseran dari terapi non operatif terapi kompresi dan medikamentosa menjadi terapi operatif dengan teknik non invasif seperti ablasi endovena. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap jenis terapi yang diberikan baik terapi definitif maupun terapi perawatan luka dengan keluaran berupa angka rekurensi dan lama rawat.
Metode penelitian: Studi potong lintang analitik dilakukan dengan mengambil total sampel 54 pasien IVK C5-C6 yang datang ke RSCM pada periode Januari 2014-Desember 2015. Pasien IVK yang disertai dengan insufisiensi arteri, insufisiensi vena dalam, dan kelainan kulit akibat penyakit kulit primer, keganasan, trauma dieksklusi. Analisis statistik diolah dengan SPSS 21 for windows, untuk menilai keluaran dari terapi definitif berupa angka kekambuhan dan lama rawat.
Hasil penelitian: Angka kekambuhan pasien IVK C5-C6 dengan terapi operatif lebih rendah dibandingkan dengan terapi non operatif yakni 7,1 berbanding 30,8 dalam follow up selama 2 tahun dengan nilai p 0,02 dan OR 0,17 95 IK 0,03-0,91. Lama perawatan rerata pasien IVK C5-C6 pada kelompok terapi operatif selama 10,6 hari dan kelompok non operatif selama 14,8 hari.
Kesimpulan: Angka kekambuhan pasien IVK C5-C6 yang memperoleh terapi definitif operatif lebih rendah dari yang hanya memperoleh terapi non operatif dalam evaluasi selama 1-2 tahun

Background: Severe degree C5-C6 of chronic venous insufficiency CVI require complex management and bring severe morbidity due to long duration of treatment and high recurrence rate. This leads to high treatment costs and interfered quality of patients life. Management of CVI C5-C6 in developed countries has changed from non operative therapy to operative therapy with non-invasive technique, i.e. endovascular treatment. In Indonesia CVI patient characteristics differ from developed countries, where the majority of patients come at advanced stage or C5-C6. This study aims to evaluate the management of CVI C5-C6, both definitive therapy and also wound care techniques, to afford an appropriate treatment in accordance with the characteristics of the patients in Indonesia.
Method: a cross sectional analytic study carried out by taking the total sample of 54 patients who came with CVI C5-C6 to Cipto Mangunkusumo Hospital in the period of January 2014-December 2015. Those accompanied by arterial insufficiency, deep venous insufficiency, and skin disorders due to primary skin disease, malignancy, trauma were excluded. Statistical analysis is processed with SPSS 21 for windows, to assess the outcome of the definitive therapy in the form of recurrence rates and length of stay.
Results: Recurrence rate of CVI C5-C6 patients with operative therapy is lower than non-operative therapy which is 7.1 versus 30,8 in 2-year follow-up with p-value of 0.02 and OR 0.17 95 CI 0, 03-.91. The mean treatment duration CVI C5-C6 patients in the operative therapy group is 10.6 days and non-operative group is 14.8 days
Conclusions: recurrence rate of CVI C5-C6 patients who obtain definitive operative therapy was lower than non-operative therapy group in the evaluation for 1-2 years."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>