Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dominicus Pandityasto
Abstrak :
Komik sebagai karya berfungsi sebagai alat komunikasi. Komik menempatkan penulis (author) sebagai pembuat pesan yang menyampaikan pesannya melalui media komunikasi kepada para pembaca komik yang berperan sebagai penerima. Penelitian ini membahas seri komik Batman dari DC Comics. Komik akan dilihat dalam dua wujud utama, yaitu sebagai suatu karya seni dan sebagai suatu komoditas. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian etnografi kemudian dilanjutkan dengan penelitian metodologi etnografi dan wawancara baik secara offline dan online dengan beberapa narasumber sebagai pembaca komik Batman. Para pembaca, khususnya fandom (penggemar) berperan sebagai agen aktif dalam proses mengartikan dan menginterpretasi komik. Para fandom yang sudah mendalami komik membentuk kebudayaan yang disebut sebagai fandom culture (budaya fandom). Dengan demikian, komik yang dibaca kemudian memiliki makna yang berbeda-beda sesuai dengan interpretasi dari para pembaca berdasarkan kondisi sosial mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan fandom culture komik Batman dan ekspresinya. Fandom culture Batman mengekspresikan berbagai polabudaya seperti: Konsumsi Komik, Fandom Gathering, dan Translasi terhadap narasi Batman. Salah satu bentuk Ekspresi fandom culture diwujudkan melalui proses translasi salah satu tema yang diangkat oleh Batman, yaitu vigilantisme. Proses interpretasi tersebut berlandaskan pada kehidupan sosial para fandom dari Indonesia yang berkaitan dengan permasalahan hukum di Indonesia ......Comics as works function as communication tools. Comics place the author as a message maker who conveys his message through the medium of communication to comic readers who act as recipients. This research discusses the Batman comic series from DC Comics. Comics will be seen in two main forms, namely as a work of art and as a commodity. The research was conducted using ethnographic research methods and interviews with several sources as readers of Batman comics through offline and online meets. Readers, especially fandom (fans) play an active role in the process of interpreting and interpreting comics. The fandom that has been steeped in comic form so-called culture of fandom culture. Thus, the comics that are read then have different meanings according to the interpretations of the readers based on their social conditions. This study aims to explain fandom culture in Batman comics and its expressions. Batman fandom culture expresses various cultural patterns such as: Comic Consumption, Fandom Gathering, and Translation of Batman's narrative. One form of fandom cultural expression is manifested through the translation process of one of the themes raised by Batman, namely vigilantism. The interpretation process is based on the social life of Indonesian fandoms relating to legal issues in Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Shidiq Ramdani
Abstrak :
Reaksi sosial yang diberikan terhadap suatu kenakalan anak sangat menarik untuk dibahas. Adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada tidak hanya merubah bentuk dari kenakalan atau bahkan kejahatan itu sendiri, melainkan juga bentuk reaksi sosial yang diberikan kepadanya. Penelitian ini secara kualitatif membahas virtual moral panic dan digital vigilantism yang diberikan sebagai reaksi terhadap juvenile cyber delinquency yang dilakukan oleh seorang anak di dalam sosial media. Berdasarkan data yang telah diperoleh, penelitian ini menemukan bahwa (1) tindakan yang dilakukan ditujukan untuk memberikan efek jera kepada anak, (2) memberikan rasa aman terhadap komunitas, serta (3) terdapat penjelasan hubungan virtual moral panic yang dapat menyebabkan digital vigilantism.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alviansyah Hidayat
Abstrak :
Vigilantisme diartikan sebagai sebuah tindakan main hakim sendiri yang dilakukan untuk membela nilai yang dipercayai tanpa mempertimbangkan apakah tindakan tersebut berbasiskan keadilan. Perilaku vigilantisme bukanlah sesuatu yang baru dalam budaya penggemar, contohnya di kalangan fandom K-Pop yang berpusat di Twitter atau biasa disebut dengan Stan Twitter dimana sering ditemukan adanya bentuk vigilantisme digital, salah satunya kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus AG. Dengan menggunakan Media Construction of Reality, penelitian ini mencoba menjelaskan bagaimana fenomena vigilantisme muncul sebagai bentuk fanatisme penggemar terhadap idolanya, terutama dalam lingkungan Stan Twitter K-Pop. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana konstruksi media memengaruhi nilai-nilai budaya penggemar K-Pop yang ada di Twitter, termasuk budaya vigilantisme digital demi membela idola yang digemari. Dari 6 informan yang diwawancarai, ditemukan bahwa perilaku vigilantisme sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak disukai namun dianggap wajar karena nilai-nilai budaya penggemar lain yang sudah dikonstruksikan sebelumnya. Peran dan partisipasi dari penggemar K-Pop lain diperlukan dalam mencegah adanya normalisasi perilaku vigilantisme digital lebih lanjut di kalangan penggemar K-Pop. ......Vigilantism is defined as an act to upheld the values an individual/community believes without considering whether the action is based on justice. Vigilantism is not something unusual in a fan culture, especially among K-Pop fandoms centered on Twitter or commonly referred to as Stan Twitter, like what happened to AG as one of the recent case. By using Media Construction of Reality, this study tries to explain how vigilantism emerges as a form of fan fanaticism towards their idols, especially in Stan K-Pop Twitter. Through a qualitative approach, this study aims to see how media construction affects the K-Pop fan culture on Twitter, including those of doing digital vigilantism in order to defend their idols. Based on the 6 informants interviewed, this research found that vigilantism is something that is actually frowned upon but still considered normal because of other values which have been constructed and established among the fandoms. The role and participation of other K-Pop fans is necessary in preventing further normalization of digital vigilantism among K-Pop fan community.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandras Suryo Kusmayasputri
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini adalah suatu kajian mengenai tindakan vigilantism di dalam masyarakat sebagai suatu perwujudan dari rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan otoritas yang ada. Adanya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku merupakan suatu permasalahan sosial yang serius dan memerlukan perhatian tersendiri. Di dalam permasalahan ini, rasa ketidakpercayaan terhadap hukum dan otoritas yang ada dijadikan sebagai pemicu dalam memberikan reaksi sosial informal terhadap pelaku tindak kejahatan yang ada di dalam masyarakat. Reaksi sosial informal yang diberikan oleh masyarakat adalah berupa kekerasan. Teori Kriminologi Anarkis dijadikan sebagai teori utama dalam membahas permasalahan ini, dengan didasari anggapan bahwa hukum yang ada dijalankan secara tidak efektif. Sumber data sekunder seperti berita, artikel ilmiah, dan laporan survey resmi dijadikan sebagai dasar dalam melakukan analisis terkait kajian ini. Kesimpulan dari tulisan ini adalah teori kriminologi anarkis dapat digunakan untuk melihat dan menjelaskan realita dari fenomena vigilantism sebagai sebuah bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.
ABSTRACT
This paper is a study of the act of vigilantism in society as a form of public distrust of the existing laws and authority. The existence of public distrust of the existing law is a serious social problem and requires its own attention. In this case, public distrust of existing law and authority becomes the trigger in providing informal social reactions to the perpetrators of criminal acts in society. Informal social reactions provided by the community are in a form of violence. Anarchist Criminology Theory is used as the main theory in discussing this issue, based on the assumption that law is not executed effectively. Secondary data sources such as news, scientific articles, and official survey reports serve as a basis for analyzing the review. The conclusion of this paper is anarchist criminology theory can be used to view and explain the reality of the phenomenon of vigilantism as a form of public distrust of the existing law.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Tsabitah
Abstrak :
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan celah untuk mengeksekusi suatu kejahatan siber tertentu hingga mengeksekusi para pelakunya sekalipun, seperti aksi vigilantisme digital melalui doxing sebagai reaksi sosial terhadap kejahatan yang dilakukan dengan bentuk kejahatan siber lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan proses di mana korban penipuan online melakukan drift dan mendalihkan tindakannya sebagai pelaku doxing di Twitter, secara khusus melalui penerapan teknik netralisasi. Penelitian ini menggunakan data berupa utas kasus di Twitter yang diunggah oleh para korban penipuan online, berisikan pengalaman viktimisasi yang dilengkapi oleh penjabaran kronologi kasus dan penyebaran beberapa data pribadi sensitif orang lain. Dalam menganalisis konten tersebut, digunakan teori drift oleh Matza (1964) serta konsep teknik netralisasi oleh Sykes dan Matza (1957), Klockars (1974), dan Henry (1990). Hasil analisis menunjukkan bahwa kelima utas kasus terbukti sebagai tindakan vigilantisme digital dengan tipologi tertentu yaitu investigating dan hounding. Vigilantisme digital juga dilakukan melalui tindakan doxing yang menyerang beberapa konsep identity knowledge, terutama nama lengkap legal. Perbedaan tujuan doxing dalam kelima utas kasus mengarahkan mereka pada tipologi tertentu. Melalui uraian doxing sebagai bentuk kejahatan siber, disimpulkan bahwa korban penipuan online telah melakukan drift atas dirinya sendiri menjadi pelaku doxing, yang juga berkaitan erat dengan terjadinya suatu proses Van Dijk Chain dalam setiap kasus. Guna mengetahui dan menganalisis viktimisasi yang menghasilkan drift, penjabaran teori drift secara lebih spesifik dielaborasikan dan didukung oleh penerapan teknik netralisasi oleh pelaku doxing dari masing-masing utas kasus, sehingga memungkinkan terjadinya proses pendalihan atau pembenaran terhadap kejahatannya. ...... The development of information and communication technology has created loopholes to execute certain crimes or even to execute the offenders or perpetrators itself, for example digital vigilantism through doxing as a social reaction to crime which committed with another form of cyber crime. The purpose of this research is to explain the process in which the online fraud victims drift and justify their actions as Twitter- doxing offenders, specifically through the application of neutralization techniques. This research uses data in the form of Twitter threads which are uploaded by the victims of online fraud itself, containing experiences of victimization and followed by a description of the chronology of the cases and dissemination of the fraudsters’ sensitive personal data. In analyzing the content, drift theory by Matza (1964) and the concepts of neutralization techniques by Sykes and Matza (1957), Klockars (1974) and Henry (1990) were used. The results of the analysis show that all five Twitter threads are proven to be a form of digital vigilantism with certain typologies, namely investigation and hounding. Digital vigilantism is also exercised through acts of doxing which attack some notions of knowledge identity, especially the legal name. Different goals of doxing in all five threads leads them to a certain typology. Through the explanation of doxing as a form of cyber crime, then it means that the online fraud victims have drifted themselves into doxing offenders, which is also closely related to the occurence of the Van Dijk Chain process on each case. In order to identify and analyze the victimization which results in drift, the elaboration of drift theory is more specifically elaborated and supported by the application of neutralization techniques, done by doxing offenders from each thread, thus enabling a process of justification of their crimes.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library