Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anies Nuringtyas
"Menangis dapat merupakan cara bayi menyatakan lapar, tidak nyaman, lelah, nyeri dan takut. Rasa tidak nyaman timbul pada saat bayi buang air kecil, buang air besar, kegerahan, kedinginan, gatal dan sebagainya. Orang tua akan mencari apa penyebab dari tangisan bayi mereka dan apabila mereka tidak dapat menemukan penyebabnya atau tidak dapat menenangkan bayinya, bahkan tangisan tersebut akan berkepanjangan; dapat berlangsung beberapa jam sehingga membuat orang tua camas dan frustasi. Mereka akan mencari pertolongan dokter, untuk mendapat penjelasan tentang penyebab tangisan yang berkepanjangan tersebut dan mendapat terapi yang rasional.
Bayi sampai usia 6 minggu biasanya frekuensi menangisnya sering, kemudian berangsur-angsur berkurang sampai berusia 4 bulan. Bayi yang menangis berkepanjangan dapat pula disebabkan oleh penyakit yang serius, dan dapat merenggut jiwa.
Kolik infantil adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya tangisan yang berkepanjangan pada bayi yang sehat. Istilah kolik digunakan, karena selama ini dianggap bahwa tangisan bayi disebabkan oleh keram usus. Walaupun demikian, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa bayi yang menderita kolik disebabkan adanya rasa sakit. Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah kolik berasal dari para pengasuh yang mendapatkan bayinya menjadi rewel secara mendadak. Oleh karena berbagai upaya untuk meredakan tangisan tersebut tidak berhasil, maka disimpulkan bahwa kemungkinan saluran cerna sebagai penyebabnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21432
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wien Nendra
"Latar Belakang
Meningkatnya pertumbuhan populasi usia lanjut, mengharuskan untuk memberikan perhatian besar kepada penyakit degeneratif atau penyakit dengan awitan usia lanjut. Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit degeneratif tersebut.
Obyektif
Menyediakan data dasar penderita penyakit Parkinson sesuai pokok-pokok pada SPTPP (Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson)
Metoda
Merupakan penelitian deskriptif cross sectional dengan subyek penderita penyakit Parkinson yang berobat ice poliklinik saraf RSCM, dalam kurun waktu Oktober - Desember 2005. Pengolahan data dengan menggunakan SPSS versi 10.0
Hasil Penelitian
Terdapat 42 subyek yang masuk kriteria inklusi, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yang hampir sama (1,03:1), rata-rata berusia 63,62 tahun (stand dev 10,95), sebagian besar tidal( bekerja dan tinggal bersama keluarga. Usia awitan sakit rata-rata 57,55 tahun (stan dev 9,92) dengan durasi sakit rata-rata 6,10 tahun (stand dev 5,23). Levodopa dan antikolinergik merupakan obat anti Parkinson yang paling banyak dipergunakan oleh subyek (97,63% dan 80,97%), yaitu dalam bentuk kombinasi keduanya.
Rata-rata basil pemeriksaan SPTPP adalah skor sub skala I 2,98 (stand dev 2,77), skor sub skala II 14,10 (stand dev 9,76), skor sub skala III 17,93 (stand dev 11,02), sub skala IV 3,02 (stand dev 3,27). Rata-rata derajat keparahan subyek adalah stadium 2,417 menurut skala Hoehn-Yahr, dan-rata-rata skala Schwab-England adalah 71,43% (stand dev 22,59).
Gejala kardinal terbanyak pada subyek adalah rigiditas dan bradikinesia; sedangkan subyek dengan skala schwab-England rendah memiliki skor instabilitas postural dan bradikinesia yang tinggi. Gejala motorik yang berhubungan dengan terapi yang terbanyak adalah freezing, diikuti fluktuasi klinis dan distonia. Gangguan mentasi-intelektual merupakan gejala non motorik yang mencolok pada subyek.
Aktifitas utama sehari-hari yang paling banyak terganggu adalah mengenakan baju dan berjalan. Mengenakan baju juga gangguan yang paling banyak memerlukan bantuan orang lain.
Terdapat kecenderungan antara durasi sakit dan SPTPP; semakin lama durasi sakit semakin besar skor SPTPP dan Hoehn-Yahr serta semakin rendah skor Skala Schwab-England. Di samping itu terdapat pula kecenderungan antara basil pemeriksaan gejala motorik dan basil pemeriksaan kemampuan subyek.
Simpulan
Adanya trend bahwa semakin lama durasi sakit semakin berat gangguan mentasi, perilaku dan mood; semakin berat gejala motorik, semakin tinggi derajat keparahan serta semakin banyak komplikasi pengobatan. Semakin lama durasi sakit juga menunjukkan semakin berat ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari dan semakin besar ketergantungan pada orang lain. Terdapat trend bahwa semakin berat gejala motorik dan semakin parah derajat sakit semakin buruk fungsi subyek penelitian. Terdapat asumsi pada status gejala motorik yang sama, subyek menunjukkan fungsi aktifitas sehari-hari yang lebih buruk dibanding subyek penelitian lain di luar negeri.

Background
The increasing number of elderly people necessitates considerable attention to degenerative disease or late-age onset disease; Parkinson disease constitutes one of the degenerative disease.
Objective
To provide basic data on Parkinson patients based on UPDRS (Unified Parkinson Disease Rating Scale = SPTPP Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson)
Method
A descriptive cross-sectional study that involved Parkinson patients that presented to the outpatient clinic of RSCM from October to December 2005. SPSS version 10,0 was used for the data processing
Result
42 subjects met the inclusion criteria with the almost similar ratio of male - female patients (1.03 : 1), with the mean age 63,62 (stand deviation 10.95) and most of them were unemployed and lived with their families. The mean morbid age was 57.55 (stand dev 9.92) with the mean morbid duration 6.10 years (stand dev 5.23), Levodopa and anticholinergic agent were the most common medicines taken by subjects (97.63% and 80.97%) in the combination therapy.
The mean result of UPDRS 1 SPTPP examination were sub-scale I score 2.98 (stand dev 2.77), sub-scale II score 14.10 (stand dev 9.76), sub-scale III score 17.93 (stand dev 11.02) and sub-scale IV score 3.02 (stand dev 3.27). The mean severity degree of the subjets was at stage 2.417 based on I-Ioehn-Yahr scale and the mean Schwab-England scale was 71.43% (stand dev 22.59)
The most frequently found cardinal symptom in the subjects were rididity and bradykinesia; whereas subjects with low Schwab-England scale had high postural instability and bradykinesia score. The most common motoric symptom found correlated with the therapy were freezing; clinical fluctuation and dystonia. Mental - intelectual disturbance was the most conspicuous non -- motorik symptom in subjets
The most disturbed daily activities were putting on clothing and walking. Putting on clothing was the activity that need most help from the most significant members of the family.
There was a trend between the morbid duration and UPDRS 1 SPTPP; the longer the morbid duration, the higher the SPTPP Hoehn-Yahr score were and the lower the Schwab-England scale was. In addition to that, there was a propensity between the motoric symptom assessment and the examination result of the subject's performance.
Conclusion
There was a trend thet showed the longer the morbid duration was, the more severe the mental, behavior and mood disturbances were; the more severe the motoric symptom, the higher the serety degree was as well as the higher need for the treatment of complications. The more prolonged morbid duration also revealed the more serious disability of conducting every day activities and the higher dependence on other people. There was propensity for the worse function of the trial subjects due to the more severe motoric symptom and higher degree of disease severity. There has been some assumption that at the same status of motoric symptom, the subjects showed worse function of daily activities compared with other trial subjects in other countries."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Suwetra
"Anemi defisiensi besi merupakan anemi gizi yang paling sering terjadi baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju dan terdapat terutama pada bayi dan anak-anak; yang dalam pertumbuhan cepat membutuhkan zat besi yang tinggi dan kandungan zat tersebut dalam makanan yang lebih rendah dari kecukupan kebutuhan yang dianjurkan (1). Diit kaya zat besi tidak menjamin ketersedian zat besi yang cukup bagi tubuh selama absorpsi zat besi dipengaruhi oleh bahan penghambat (inhibitor) dan pemacu (promoter) yang ada di dalam makanan. Zat besi yang terdapat di dalam Air Susu Ibu (ASI) hanya mencukupi kebutuhan akan zat besi sampai umur 6 bulan dan cadangan besi tubuh mulai menurun sejak umur 5 - 6 bulan, maka kebutuhan pada umur selanjutnya harus dipenuhi dari makanan. Di negara berkembang makanan pokok terutama terdiri dari serealia, kacang-kacangan dan sayuran dengan kualitas zat besi yang rendah serta banyak mengandung bahan penghambat absorpsi besi seperti fitat, tannin dan serat (1,2,3,4). Keadaan tersebut disertai dengan kemiskinan, ketidak-tahuan tentang makanan bergizi, adanya kepercayaan yang salah terhadap makanan tertentu (tabu), lingkungan yang masih mendukung terjadinya berbagai penyakit infeksi dan infestasi cacing khususnya cacing tambang (5).
Semua keadaan tersebut menyebabkan tingginya prevalensi anemi defisiensi besi pada bayi dan anak di negara sedang berkembang (5). Resiko terjadinya anemi defisiensi besi tertinggi adalah pada anak-anak umur kurang dari 2 tahun baik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Perancis (6) maupun di negara berkembang seperti Argentina (7) dan Malaysia (8). Di Indonesia data anemi defisiensi besi secara nasional belum ada, namun dari beberapa peneliti yang melakukan penelitian secara terpisah dalam skala yang lebih kecil pada anak-anak dengan status g i z i baik ditemukan 37,8 - 73,0 % pada anak umur 6 bulan - 6 tahun pada kelompok social ekonomi rendah (5), 46,67 % pada anak balita yang berobat ke RSCM (9) dan 58,33% pada anak-anak umur 6 -- 18 bulan di Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan (10).
Telah diketahui bahwa anemi defisiensi besi berpengaruh terhadap morfologi dan enzim-enzim yang ada kaitannya dengan metabolisme energi di dalam epitel mukosa usus. Telah diketahui pula bahwa absorpsi karbohidrat memerlukan energi. Gangguan absorpsi ada hubungan dengan penurunan kapasitas metabolisme energi di dalam epitel usus (7,11). Telah ditemukan pada anak umur 9 - 32 bulan dengan anemi defisiensi besi berat adanya gangguan absorpsi D-xilosa dan lemak (12), pada kasus yang sama ditemukan pula gangguan absorpsi D-xilosa pada subyek berumur 13 - 55 tahun (13). Di Indonesia penelitian serupa belum pernah dilakukan pada penderita anemi defisiensi besi khususnya pada anak umur kurang dari 2 tahun, merupakan faktor pendorong pelaksanaan penelitian ini."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lestari
"Selama ini, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa susu rendah laktosa atau susu bebas laktosa telah digunakan secara luas dalam masyarakat tanpa melihat sebab diare, dan derajat dehidrasi. Seperti diketahui, selain harga yang relatif mahal, laktosa merupakan sumber karbohidrat pada susu yang diperlukan bagi pertumbuhan terutama pada bayi dengan susu sebagai makanan utama. Laktosa juga berfungsi menambah absorpsi kalsium. Hasil pemecahan laktosa yaitu galaktosa berperan dalam memproduksi glikoprotein dan glikolipid yang berguna dalam perkembangan otak. Perlu dilakukan penelitian apakah setiap anak dengan diare akut harus mengganti susu formula.
Walaupun penelitian meta-analisis telah dilakukan oleh Brown dkk15 namun penelitian secara langsung membandingkan susu formula yang mengandung laktosa dan susu formula yang tidak mengandung laktosa pada tata laksana diare akut tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang pada pasien rawat jalan belum ada di Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini adalah :
1. Apakah setiap anak usia 6 - 24 bulan dengan diare akut memerlukan penggantian susu formula lanjutan menjadi susu formula bebas laktosa?
2. Bagaimana efek susu formula bebas laktosa terhadap lama diare dibandingkan dengan susu formula lanjutan?
3. Bagaimana efek susu formula bebas laktosa terhadap frekuensi diare dibandingkan dengan susu formula lanjutan?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum
Untuk membandingkan efek pemberian susu formula bebas laktosa dibandingkan susu formula lanjutan terhadap perjalan klinis diare akut pada anak usia 6 - 24 bulan di Unit Rawat Jalan Departemen IKA FKUIRSCM, Jakarta dan Unit Gawat Darurat Anak RSCM, Jakarta.
Tujuan khusus
Tujuan khusus utama
Untuk membandingkan efek susu formula bebas laktosa dan susu formula lanjutan terhadap lama dan frekuensi diare akut pada anak usia 6 - 24 bulan di Unit Rawat Jalan Departemen IKA FKUI-RSCM, Jakarta dan Unit Gawat Darurat Anak RSCM, Jakarta.
Tujuan khusus tambahan
Mengetahui efek pemberian susu formula bebas laktosa dan susu formula lanjutan pada diare akut terhadap kegagalan terapi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutty Rajayu
"Hovarth, dkk mengevaluasi gastrointestinal pada 36 anak dengan gangguan autistik dan didapatkan adanya inflamasi kronis usus termasuk esofagus, lambung dan duodenum. Karena adanya defisiensi enzim yang menyebabkan gangguan pencernaan dan absorpsi karbohidrat yang mungkin menyebabkan adanya konstipasi dan terbentuknva gas. Abnormalitas ini mungkin berhubungan dengan dengan per ubahan tiba-tiba dari tingkah laku anak seperti iritabel, agresif dan bangun tengah malam. Malabsorbsi lemak, disfungsi pankreas, overgrowth bakteri di usus banyak ditemukan pada anak dengan gangguan autistik.
Metoda untuk mengevaluasi permeabilitas usus masih dikernbangkan dalam beberapa tahun ini. Pemeriksaan permeabilitas usus dengan menggunakan laktulosa-maruitol dalam studi Minis menggambarkan perubahan yang sangat kecil dari permeabilitas usus, namun pemeriksaan ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Xilosa adalah suatu pentosa yang tidak dimetabolisme, diabsorpsi pada usus halus sehingga dapat digunakan untuk menentukan permeabilitas usus. Hasil absorpsi yang menurun dari pemeriksaan uji xilosa darah menggambarkan terdapatnya enteropati usus halus bagian atas yang terutama terdapat pada celiac disease, sindrom postgastroenteritis dan cow's milk protein intolerance (CMPSE).
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian adalah: Apakah terdapat peningkatan permeabilitas usus dengan uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal di Jakarta.
Tujuan penelitian
Tujuan Umum
- Mengetahui terdapatnya peningkatan permeabilitas usus dengan uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal di Jakarta.
Tujuan Khusus
- Menilai uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal.
- Mengetahui batas nilai normal uji xilosa pada anak di Jakarta.
- Mengetahui angka kejadian peningkatan permeabilitas usus pada anak dengan gangguan autistik.
- Mengetahui hubungan gejala gangguan saluran cema pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal.
- Mengetahui hubungan riwayat alergi pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Agustina
"Diarrheal disease remains an important public health problem in developing countries (Black, 1993) and is enormously associated with one-fourth of all deaths in children less than 5 years in developing countries (Richards et. at, 1993). Despite a remarkable declining in mortality rate, the morbidity rate of acute diarrhea of under five children is still fairly high (Murray, 1992). Alarcon et. al. (1991) reported that each year, diarrheal disease causes approximately more than 1 billion episodes of illness. Therefore, the reported attack rates range from 1 to 12 episodes per child per year with a global average of 3 episodes per child (Richards et. al, 1993) and nearly 5 millions deaths worldwide in children less than 5 years (Shamir, 1998).
In Indonesia, the incidence of diarrhea is accounted for up to 200-400 per 1000 population per year; 60-80% of them are under five, mostly infants (Lubis, 1992). Rotavirus is the most common cause of acute diarrheal disease in infants. It is the most commonly identified enter pathogens for infants who admitted to hospital in the USA and many other countries (Saavedra et. al., 1994) included Indonesia, (Soenarto, 1997). In USA accounts for up to 50% of the cases of children hospitalized with diarrhea and dehydration (Cohen, 1991) and is responsible for approximately 1 million cases of severe infantile diarrhea and up to 150 deaths annually (Guarino et.al.,1994). In Indonesia accounts for up to 16% of childhood diarrhea in urban area of North Jakarta and 19-40% of chldhood diarrhea age 0-36 months in Bandung, West Java (Yuwono, 1993).
The incidence of diarrheal disease is higher and the severity of the illness is greater in infants than in older children and adults. Several major factors become predisposed to an increased frequency of diarrheal diseases in infants are increased fecal-oral contamination and infants have a relatively unchallenged immune system that has not previously been exposed to many pathogens and has not acquired protective antibodies. Immune system tolerance of life to some polysaccharide antigens in the first year may diminish the infant's ability to defend against intestinal infections (Cohen, 1991).
Non-breastfed infants are at greater age of experiencing diarrhea than those who are partially breast-fed, however infants who are partially breast-fed are at greater risk than those who are exclusively breast-fed (Lubis, 1992). The global diarrheal disease control programs have concentrated almost exclusively on the prevention and treatment of dehydration by promoting appropriate fluid and electrolyte therapy, such as increased of oral rehydration solution-ORS (Alarcon, et. al, 1991). ORS has been considered by World Health Organization as the cornerstone of global efforts to reduce mortality from acute diarrhea (Richards et. al, 1993; Behrens, 1993). Until recently, however, more attention has been directed to the nutritional complications of diarrhea (Alarcon, et. al, 1991)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Hendrawati
"Penyakit diare merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Diare termasuk dalam kelompok tiga penyebab utama kunjungan berobat ke Puskesmas/Balai Pengobatan. Angka kesakitan diare dalam setiap tahunnya sekitar 200-400 kejadian dari 1000 penduduk. Sebagian besar (70-80%) penderita adalah anak di bawah usia lima tahun dan mengalami lebih dari satu kejadian diare setiap tahunnya.
Di Indonesia, angka kematian akibat diare selama 25 tahun terakhir telah menurun tajam, dari urutan pertama pada tahun 1972 menjadi urutan ke lima pada tahun 1996. Dibandingkan dengan penyebab kematian lainnya, kematian akibat diare pada tahun 1972, 1980, 1986, 1992 dan 1996 berturut-turut adalah 40%, 24,9%, 16%, 7,5% dan 7,4%. Menurut laporan Departemen Kesehatan, berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1983 dan 1986, di Indonesia seliap anak mengalami diare 1,6-2 kali setahun. Sebagian penderita (1-2%) jatuh ke dalam dehidrasi dan jika tidak segera ditolong, 50-60% di antaranya dapat meninggal.
Di Medan, Metrizal dkk melaporkan jumlah kasus diare yang memerlukan perawatan di rumah sakit adalah sebanyak 45,4% dari seluruh kasus di bangsal perawatan dengan 51,3% di antaranya berusia kurang dart 2 tahun Ariyani melaporkan penelitian yang dilakukan di Departemen IKA FKUI/RSCM tahun 19964997, didapat kasus diare sebanyak 85 anak, 60% di antaranya laki-laki. Rentang umur pasien adalah 2-24 bulan dengan puncaknya pada usia 6-11 bulan (42,4%).
Pada anak dengan diare berat, lebih dari 25% anak mengalami sindrom malabsorpsi. Beberapa penelitian yang dilakukan tentang kejadian intoleransi laktosa pada diare mendapatkan hasil sebagai berikut : Suharyono dkk mendapatkan angka sebesar 52,5% pada 838 penderita diare akut, Mustajab dkk di Manado mendapatkan angka intoleransi laktosa sebesar 63,2% pada anak dengan diare, Hegar dkk di Jakarta mendapatkan angka 23,1%, sedangkan Sunoto dkk mendapatkan angka intoleransi laktosa sebanyak 40% pada anak dengan diare melanjut. Dari beberapa penelitian pada bayi dan anak yang menderita diare yang dirawat di Bangsal Gastroenterologi Unit Anak RSCM/FKUI antara tahun 1971-1977 dan 1979-1980, Suharyono mendapatkan angka kejadian malabsorpsi lemak sebesar 57%, sedangkan Hegar dkk mendapatkan hasil 43,6%. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kembali kejadian intoleransi laktosa dan malabsorpsi lemak dengan jumlah sampel yang lebih besar dan diambil dari sampel selama 2 tahun terakhir."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Riyanto Widjaja
"Latar belakang: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) adalah kejadian refluks gastroesofagus yang telah disertai gangguan kualitas hidup atau komplikasi. Angka kejadian PRGE di seluruh dunia sangat beragam dan dipengaruhi oleh distribusi usia. Penyakit gastrointestinal fungsional melatar belakangi terjadinya PRGE. Angka kejadian PRGE pada usia 10—12 tahun yang merupakan masa awal remaja serta hubungan PRGE dengan kejadian gastrointestinal di Indonesia belum pernah dilaporkan.
Metode: Studi potong lintang yang dilanjutkan dengan studi kasus kontrol dilakukan terhadap seluruh siswa kelas 4—6 SD, SDN Kenari 1—12, Jakarta pada bulan Mei—Juli 2014. Penegakkan diagnosis PRGE menggunakan kuesioner frequency scale for the symptoms of gastroesofageal reflux disorder (FSSG) dengan melalui translasi kuesioner. Kolik infantil dan gumoh ditegakkan sesuai kriteria ROME III. Sakit perut berulang ditegakkan sesuai kriteria Apley.
Hasil penelitian: Validasi kuesioner hasil translasi ke bahasa Indonesia menunjukkan validitas (seluruh pertanyaan memiliki r > 0,3 dengan p < 0,05) dan reabilitas (Cronbach alpha 0,853 dengan item reability index setiap pertanyaan > 0,3) yang baik. Angka kejadian PRGE 404 (44,6%) dari 905 orang anak usia 10—12 tahun dengan interval kepercayaan 95% (IK 95%) 41,4% sampai 47,9%. Odd ratio PRGE pada lelaki dibandingkan perempuan 0,841 (IK 95% 0,646 sampai 1,095; p = 0,198). Kejadian kolik infantil, gumoh, dan sakit perut berulang berturut-turut 23,3%, 16,9%, dan 3%. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara jenis kelamin (p = 0,299), kelompok usia (p = 0,902), kolik (p = 0,226), dan sakit perut berulang (p = 0,353) dengan kejadian PRGE. Hasil analisis multivariat menunjukkan gumoh dan riwayat orang tua dengan PRGE berhubungan dengan kejadian PRGE pada anak usia 10—12 tahun dengan odd ratio berturut-turut 2,166 (IK 95% 1,226 sampai 3,827) dan 3,069 (IK 95% 1,233 sampai 7,637).
Simpulan: Angka kejadian PRGE pada anak usia 10—12 tahun di Indonesia adalah 44,6%. Regurgitasi pada masa bayi dan riwayat PRGE pada orang tua berhubungan dengan kejadian PRGE pada anak usia 10—12 tahun. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara kolik infantil dan riwayat sakit perut berulang terhadap kejadian PRGE.

Introduction: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is an event of gastroesophageal reflux followed by certain disruption in quality of life or one of which cause some complications. Prevalence of GERD varies greatly worldwide and influenced by age distribution. Functional gastrointestinal disorders are responsible for GERD. GERD prevalence in children aged 10—12 years old, which is an early adolescence phase, as well as correlation between GERD and other gastrointestinal disorder were never been reported in Indonesia.
Method: A cross sectional study followed by a case control study were done to all elementary students grade 4—6 who studied in SDN Kenari 1—12, from May to July 2014. Diagnosis of GERD was established using frequency scale for symptoms of gastroesophageal reflux disorder (FSSG), which was translated into Indonesian language. Infantile colic and regurgitation were diagnosed according to ROME III criteria while recurrent abdominal pain according to Apley criteria.
Result: Validation of the translated FSSG questionnaire showed that it was valid (all question had r > 0.3 with p < 0.05) and reliable (Cronbach alpha 0.853 with item reliability index on each question > 0.3). Prevalence of GERD was 404 (44.6%) out of 905 children aged 10—12 years old wih confidence interval of 95% (95% CI, 41.4% to 47.9%). Odd ratio (OR) of GERD in males compared to females was 0.841 (95% CI, 0.646 to 1.095; p = 0.198). Prevalence of infantile colic, regurgitation, and reccurent abdominal pain were 23.3%, 16.9%, and 3% respectively. There were no significant correlation in GERD prevalence with sex (p = 0.299), age group (p = 0.902), infantile colic (p = 0.226), and recurrent abdominal pain (p = 0.353). Multivariate analysis showed that GERD prevalence correlated with regurgitation (OR 2.166; 95% CI, 1.226 to 3.827) and parental history of GERD (OR 3.069; 95% CI, 1.233 to 7.637).
Conclusion: GERD prevalence in children aged 10—12 years old in Indonesia was 44.6%. Infant regurgitation and parental history of GERD correlated with the event of GERD in children aged 10—12 years old. There is no significant correlation between infantile colic and history of reccurent abdominal pain with GERD prevalence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Barry Army Bakry
"ABSTRAK
Saat ini non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan penyebab terbanyak dari penyakit kronik hati pada anak dan dewasa. Penelitian terbaru memperlihatkan chemerin yang merupakan salah satu zat yang diproduksi oleh jaringan lemak memiliki andil penting pada NAFLD. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kadar chemerin dalam darah dibandingkan enzim transaminase dalam mendeteksi secara dini kerusakan sel hati karena non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) pada anak dengan obesitas. Penelitian deskriptif potong lintang (n=57) dilakukan pada 2 buah sekolah di Jakarta pada anak usia 9-12 tahun dengan obesitas. Anak yang masuk kriteria penelitian dilakukan pemeriksaan ultrasonografi hati untuk mendeteksi perlemakan hati. Kedua kelompok tersebut sama sama dilakukan pemeriksan kadar enzim transaminase dan chemerin darah. Hasil dari penelitian ini di dapatkan nilai rerata chemerin pada anak yang menderita NAFLD sebesar 96,71 ng/ml sedangkan yang tidak menderita NAFLD sebesar 92,8 ng/ml dengan P= 0,463. Hal ini menunjukkan nilai rerata anak dengan NAFLD dibandingkan dengan anak tanpa NAFLD tidak terdapat perbedaan bermakna. Pada penelitian ini didapatkan pula bahwa pemeriksaan chemerin darah memiliki nilai AUC 0,52 dimana nilainya lebih rendah dibandingkan nilai AUC pemeriksaan SGOT dan SGPT yakni 0,81 dan 0,90. Hasil ini menunjukkan bahwa kadar chemerin darah tidak dapat menjadi prediktor yang lebih baik untuk mendeteksi perlemakan hati dibandingkan pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT pada penelitian ini. Manfaat chemerin sebagai prediktor kelainan hati pada anak dengan obesitas perlu diteliti lebih lanjut. ABSTRACT
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is currently the most common cause of chronic liver disease in both adults and children. Current studies have shown that chemerin, one of the biologically active substance produced by fat tissue, may have an important role in the progression of NAFLD. The aim of this research was to study whether chemerin is able to predict liver abnormalities due to NAFLD in obese children better than serum transaminases. A cross-sectional descriptive study was conducted in 57 obese subjects 9-12 years of age at 2 elementary schools in Jakarta, Indonesia. Liver ultrasound was performed in eligible subjects to detect fatty liver, along with serum chemerin and serum transaminase tests. Mean chemerin level in NAFLD and non-NAFLD children were 96.71 ng/mL and 92.8 ng/mL (p=0.463), showing no significant difference between serum chemerin level in the NAFLD and non-NAFLD group. The area under the curve (AUC) for serum chemerin was 0.52, lower than the AUC for AST (0.81) and AST (0.90). This shows that serum chemerin is not superior in predicting fatty liver compared to serum transaminase levels in this study. The role of chemerin as a marker to predict liver abnormalities in obese children still needs to be further investigated.;Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is currently the most common cause of chronic liver disease in both adults and children. Current studies have shown that chemerin, one of the biologically active substance produced by fat tissue, may have an important role in the progression of NAFLD. The aim of this research was to study whether chemerin is able to predict liver abnormalities due to NAFLD in obese children better than serum transaminases. A cross-sectional descriptive study was conducted in 57 obese subjects 9-12 years of age at 2 elementary schools in Jakarta, Indonesia. Liver ultrasound was performed in eligible subjects to detect fatty liver, along with serum chemerin and serum transaminase tests. Mean chemerin level in NAFLD and non-NAFLD children were 96.71 ng/mL and 92.8 ng/mL (p=0.463), showing no significant difference between serum chemerin level in the NAFLD and non-NAFLD group. The area under the curve (AUC) for serum chemerin was 0.52, lower than the AUC for AST (0.81) and AST (0.90). This shows that serum chemerin is not superior in predicting fatty liver compared to serum transaminase levels in this study. The role of chemerin as a marker to predict liver abnormalities in obese children still needs to be further investigated.;Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is currently the most common cause of chronic liver disease in both adults and children. Current studies have shown that chemerin, one of the biologically active substance produced by fat tissue, may have an important role in the progression of NAFLD. The aim of this research was to study whether chemerin is able to predict liver abnormalities due to NAFLD in obese children better than serum transaminases. A cross-sectional descriptive study was conducted in 57 obese subjects 9-12 years of age at 2 elementary schools in Jakarta, Indonesia. Liver ultrasound was performed in eligible subjects to detect fatty liver, along with serum chemerin and serum transaminase tests. Mean chemerin level in NAFLD and non-NAFLD children were 96.71 ng/mL and 92.8 ng/mL (p=0.463), showing no significant difference between serum chemerin level in the NAFLD and non-NAFLD group. The area under the curve (AUC) for serum chemerin was 0.52, lower than the AUC for AST (0.81) and AST (0.90). This shows that serum chemerin is not superior in predicting fatty liver compared to serum transaminase levels in this study. The role of chemerin as a marker to predict liver abnormalities in obese children still needs to be further investigated."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Frieda Handayani Kawanto
"ABSTRAK
Penelitian mengenai asupan serat pangan dan air dan kejadian konstipasi pada remaja masih belum banyak Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan profil jumlah asupan serat pangan dan air pada remaja serta hubungan antara asupan serat pangan dan air terhadap pola buang air besar konsistensi tinja dan konstipasi Studi potong lintang dilakukan pada 120 siswa SMU berusia 15 17 tahun dilakukan selama Oktober Desember 2015 Data jumlah asupan energi karbohidrat protein lemak air dan serat bahan makanan dan minuman dikumpulkan dengan menggunakan food record form selama 2x24 jam dan food frequency questionnaire FFQ Subjek terdiri dari 82 anak perempuan 68 3 dan 38 anak lelaki 31 7 sebagian besar dengan gizi baik dan perawakan normal Hanya dua subjek yang mengalami konstipasi Median asupan energi protein lemak dan karbohidrat air dan serat berturut turut sebanyak 1419 3 kalori 54 6 gram 48 4 gram dan 183 2 gram 2079 mL dan 5 1 gram Jumlah asupan energi karbohidrat dan air subjek lelaki secara bermakna lebih tinggi dibandingkan perempuan Tidak didapatkan hubungan bermakna antara asupan serat pangan dan air dengan kejadian konstipasi Data yang didapat menunjukkan jumlah asupan serat pangan remaja usia 15 17 tahun di bawah AKG yang dianjurkan Sebaliknya jumlah asupan air sesuai dengan AKG yang dianjurkan Data yang didapat diharapkan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya ABSTRACT
Indonesian children and adolescent are alleged not to consume sufficient fiber and water while studies show fiber and water affect defecation profile This cross sectional study records the amount of fiber and water intake of Indonesian adolescents aged 15 17 years and their defecation pattern Subjects are 120 SMU 68 students aged 15 17 years 82 girls and 38 boys The study was conducted between October and December 2015 We attempt to find any correlation between fiber and water intake and defecation profile Most of the subjects were well nourished and normal stature Median water and fiber intake were 2079 mL and 5 1 grams The median of energy protein fats and carbohydrates intake were 1419 3 calories 54 6 grams 48 4 grams and 183 2 grams consecutively Only two subjects who experienced constipation About 49 subjects had abdominal pain according to Rome III Criteria We found there is no significant association between dietary fiber intake and water consumption and constipation However we feel that future study should be carried out to encrich our data in this field ;Indonesian children and adolescent are alleged not to consume sufficient fiber and water while studies show fiber and water affect defecation profile This cross sectional study records the amount of fiber and water intake of Indonesian adolescents aged 15 17 years and their defecation pattern Subjects are 120 SMU 68 students aged 15 17 years 82 girls and 38 boys The study was conducted between October and December 2015 We attempt to find any correlation between fiber and water intake and defecation profile Most of the subjects were well nourished and normal stature Median water and fiber intake were 2079 mL and 5 1 grams The median of energy protein fats and carbohydrates intake were 1419 3 calories 54 6 grams 48 4 grams and 183 2 grams consecutively Only two subjects who experienced constipation About 49 subjects had abdominal pain according to Rome III Criteria We found there is no significant association between dietary fiber intake and water consumption and constipation However we feel that future study should be carried out to encrich our data in this field ;Indonesian children and adolescent are alleged not to consume sufficient fiber and water while studies show fiber and water affect defecation profile This cross sectional study records the amount of fiber and water intake of Indonesian adolescents aged 15 17 years and their defecation pattern Subjects are 120 SMU 68 students aged 15 17 years 82 girls and 38 boys The study was conducted between October and December 2015 We attempt to find any correlation between fiber and water intake and defecation profile Most of the subjects were well nourished and normal stature Median water and fiber intake were 2079 mL and 5 1 grams The median of energy protein fats and carbohydrates intake were 1419 3 calories 54 6 grams 48 4 grams and 183 2 grams consecutively Only two subjects who experienced constipation About 49 subjects had abdominal pain according to Rome III Criteria We found there is no significant association between dietary fiber intake and water consumption and constipation However we feel that future study should be carried out to encrich our data in this field "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>