Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diandry Adityaputri
"Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU menjadikan BUMN sebagai Debitor yang hanya dapat diajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU oleh Menteri Keuangan. Penjelasan Pasal 2 ayat (5) menyatakan bahwa ketentuan ini berlaku pada BUMN yang seluruh modalnya adalah milik negara dan tidak terbagi atas saham. Persero merupakan BUMN dalam bentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi atas saham. Terhadap BUMN Persero terdapat beberapa putusan yang menyatakan bahwa Persero merupakan bagian dari BUMN yang dimaksud pada Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU, seperti putusan permohonan pernyataan pailit PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA) dan putusan permohonan PKPU PT Angkasa Pura II (PT AP II). Namun, apabila merujuk kepada Pasal 1 angka 2 UU BUMN maka terjadi ketidaksinkronan antara pengertian Persero dengan penjelasan BUMN yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU. Pada skripsi ini akan membahas mengenai kedudukan hukum dari Persero dalam kepailitan serta kewenangan kreditor dalam melakukan permohonan pailit maupun PKPU terhadap Persero. Metodologi yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yakni analisis permasalahan akan berdasarkan pada undang-undang yang berkaitan. Secara singkat, kedudukan hukum dari Persero adalah sama dengan perseroan terbatas lainnya sehingga terhadap Persero dapat diajukan permohonan pernyataan pailit maupun permohonan PKPU. Pihak yang dapat melakukan permohonan pernyataan pailit atau permohonan PKPU ini adalah Debitor itu sendiri maupun Para Kreditornya.

SOEs as special debtors as stipulated in Article 2 paragraph (5) of the KPKPU Law make it only possible to apply for bankruptcy and suspension of payment by the Minister of Finance. This provision applies to SOEs engaged in the public interest only, namely SOEs whose entire capital is state-owned and not divided into shares. Persero SOEs is a SOE in the form of a limited liability company whose capital is divided into shares whose entire or at least 51% of the shares are owned by the state with the aim of pursuing profits. Against Persero SOEs, there are several rulings stating that Persero is part of the SOEs referred to in Article 2 paragraph (5) of the KPKPU Law. However, when referring to Article 1 number 2 of the SOEs Law, there is a synchrony between the definition of Persero and the explanation of SOEs referred to in Article 2 paragraph (5) of the KPKPU Law. This thesis will discuss the legal position of Persero, in the application for bankruptcy and suspension of payment as well as the authority of creditors in making applications against both. The methodology used in this thesis is normative juridical, namely the analysis of problems will be based on related laws. In short, the legal position of Persero is the same as other limited liability companies so that against Persero, an application for bankruptcy statement or suspension of paymentapplication can be filed. The parties who can apply for a bankruptcy statement or suspension of payment application are the Debtor himself and his Creditors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanda Ayu Agustin
"Debitor pailit seringkali melakukan tindakan untuk mengakali kewajibannya dalam memenuhi pembayaran utang terhadap kreditor pailit. Salah satunya adalah dengan melakukan tindakan fraudulent transfer, yaitu tindakan pengalihan aset yang diduga sengaja dilakukan agar nilai aset debitor pailit berkurang. Atas tindakan ini kurator dapat melakukan upaya pembatalan hukum dengan melakukan gugatan actio pauliana. Gugatan actio pauliana terhadap tindakan fraudulent transfer ini dianalisis secara yuridis-normatif dengan tujuan memberikan kontribusi pada diskursus hukum kepailitan mengenai proses pembuktian suatu penerapan upaya hukum. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana proses hakim membentuk suatu putusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuktian itikad buruk dari sisi kurator dalam gugatan actio pauliana di dalam putusan ini tidaklah kuat sehingga putusan Majelis Hakim yang memenangkan kreditor pailit tidak memenuhi asas keadilan dan perlindungan hukum. Argumentasi tersebut berlandaskan pada kenyataan bahwa Majelis Hakim hanya memperhatikan unsur legal-formal dalam proses pembuktian, tanpa melihat unsur pembuktian dan konteks subtantif-materiil yang diajukan oleh debitor pailit. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi kekuasaan kehakiman yang diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Intruksi Mahkamah Agung No. KMA/015/INST/VI/1998 tanggal 1998, yang menegaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, tidak hanya yang bersifat legal-formal, namun juga subtantif-materil. Penulis memberikan saran berupa adanya standar pengukuran untuk pembuktian itikad buruk dalam dunia hukum di Indonesia, sehingga diharapkan putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan dan perlindungan hukum di masyarakat.

Bankrupt debtors often take actions to circumvent their obligations in fulfilling debt payments to bankrupt creditors. One of them is by carrying out fraudulent transfers, namely the act of transferring assets that are allegedly deliberately carried out so that the value of the bankrupt debtor's assets decreases. For this action, the curator can make efforts to annul the law by filing an actio pauliana lawsuit. Actio pauliana's lawsuit against fraudulent transfers is analyzed in a juridical-normative manner with the aim of contributing to the bankruptcy law discourse regarding the process of proving an application of legal remedies. This study also aims to see how the process of judges forming a decision. The results of the study show that the curator's bad faith evidence in the actio pauliana lawsuit in this decision is not strong so that the decision of the Panel of Judges in favor of the bankrupt creditor does not fulfill the principles of justice and legal protection. This argument is based on the fact that the Panel of Judges only pays attention to the legal-formal elements in the verification process, without looking at the elements of evidence and the substantive-material context submitted by the bankrupt debtor. This is not in accordance with the function of the judicial power which is regulated in article 5 paragraph (1) of the Law on Judicial Powers and Supreme Court Instructions No. KMA/015/INST/VI/1998 dated 1998, which emphasized that judges are obliged to explore, follow, and understand legal values and a sense of justice that lives in society, not only those that are legal-formal, but also substantive-material. The author provides suggestions in the form of a measurement standard for proving bad faith in the world of law in Indonesia, so it is hoped that the judge's decision can fulfill a sense of justice and legal protection in society."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika
"Tulisan ini menganalisis jual beli hak atas tanah dalam boedel pailit, khususnya terhadap perlindungan hukum akad jual beli hak atas tanah serta pengukuran waktu Actio Pauliana terhadap boedel pailit studi putusan Mahkamah Agung Nomor 5 PK/Pdt.Sus-Pailit/2024. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Adanya aset yang diperjualbelikan dan masuk ke dalam boedel pailit lalu dibatalkan oleh Hakim karena menilai pembeli beritikad baik dan jual beli sudah melewakti satu tahun sebelum penjual dinyatakan pailit, padahal perhitungan satu tahun tersebut dihitung oleh Hakim dari jual beli bawah tangan. Dalam praktiknya keabsahan jual beli tanah harus memenuhi syarat materiil dan formil. Jual beli di bawah tangan tidak sah karena tidak memenuhi syarat formil sehingga hanya mengikat para pihak, PPJB tidak memenuhi syarat formil sehingga hanya mengikat para pihak tetapi berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016 telah terjadi peralihan hak apabila lunas dan menguasai dengan itikad baik, serta Akta Jual beli adalah jual beli sah karena memenuhi syarat materiil dan formil dan telah terjadi peralihan hak. Perlindungan hukum terhadap keabsahan jual beli bawah tangan harus mengajukan gugatan untuk mengesahkan jual beli tersebut kepada pengadilan atau ditingkatkan menjadi Akta Jual Beli. Perlindungan hukum PPJB dapat dilakukan pencatatan PPJB pada sertipikat tanah yang diatur dalam Pasal 90 PP Nomor 18 Tahun 2021. Oleh karena jual beli bawah tangan adalah jual beli yang tidak sah, maka perhitungan Actio Pauliana, dimulai dari PPJB karena sudah ada peralihan hak atas tanah jika memenuhi ketentuan SEMA Nomor 4 Tahun 2016. Pada analisis Actio Pauliana tidak terpenuhi secara kumulatif atas aspek Debitor mengetahui bahwa jual beli hak atas tanah tersebut merugikan Kreditor.

This paper analyzes the sale and purchase of land rights in a bankrupt estate, especially regarding the legal protection of land rights sale and purchase agreements and the measurement of the Actio Pauliana time for the bankrupt estate, a study of the Supreme Court's decision Number 5 PK/Pdt.Sus-Pailit/2024. This paper was compiled using a doctrinal research method. The existence of assets that were traded and entered into the bankrupt estate has been canceled by the Judge because considered the buyer to be in good faith and the sale and purchase had passed one year before the seller was declared bankrupt, even though the one-year calculation was calculated by the Judge from the private sale and purchase. In practice, the validity of the sale and purchase of land must meet material and formal requirements. The private sale and purchase is not valid because it does not meet the formal requirements so that it only binds the parties, PPJB does not meet the formal requirements so that it only binds the parties but based on SEMA Number 4 of 2016 there has been a transfer of rights if it is paid off and stayed in good faith, and the PPAT Sale and Purchase Agreement is a valid sale and purchase because it meets the material and formal requirements and there has been a transfer of rights. Legal protection against the validity of the private sale and purchase must file a lawsuit to validate the sale and purchase to the court or be upgraded to a Deed of Sale and Purchase. Legal protection for PPJB can be done by recording PPJB on the land certificate as regulated in Article 90 of PP Number 18 of 2021. Because the private sale and purchase is an invalid sale and purchase, the calculation of Actio Pauliana is starting from PPJB because there has been a transfer of land rights if it meets the provisions of SEMA Number 4 of 2016. In the analysis of Actio Pauliana, it is not cumulatively fulfilled for the aspect that the Debtor knows that the sale and purchase of land rights is detrimental to the Creditor."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Wahyu Christ Dewandaru
"Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa tidak ada upaya hukum apapun yang dapat dilakukan terhadap Putusan PKPU. Pembatasan upaya hukum ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya asas kepastian hukum terhadap Kreditor dan berkaitan juga dengan sifat dari Forum PKPU yang berdimensi cepat (speedy trial). Namun, diterbitkannya Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 menyebabkan dapat dilakukannya Kasasi sebagai upaya hukum atas Putusan PKPU dengan (2) syarat, yakni permohonan PKPU harus diajukan oleh Kreditor dan rencana perdamaian dari Debitor ditolak oleh Kreditor. Kasasi berfungsi untuk melindungi Debitor dari Kreditor yang memiliki niat jahat yang dengan sengaja mempailitkan Debitor melalui Forum PKPU dan sebagai mekanisme kontrol bilamana terjadi kekeliruan atau kesalahan penerapan hukum oleh Hakim pada pengadilan tingkat bawah. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan penelitian analisis-deskriptif melalui pendekatan kualitatif dan melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah didapatkan kesimpulan bahwa MK tidak memiliki tujuan untuk mengesampingkan ketentuan mengenai upaya hukum Putusan PKPU dalam UUK-PKPU, melainkan suatu upaya untuk melakukan progresivitas hukum atas upaya hukum Putusan PKPU di Indonesia dimana Forum PKPU banyak dijadikan sebagai strategi bisnis yang tidak sehat.

Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of UUK-PKPU state that no legal action can be taken against the PKPU Decision. This limitation of legal remedies aims to ensure the fulfilment of the principle of legal certainty for Creditors and is also related to the nature of the PKPU Forum which has a speedy trial dimension. However, the issuance of Constitutional Court Decision No. 23/PUU-XIX/2021 resulted in the possibility of Cassation as a legal remedy for PKPU decisions with (2) conditions, namely that the PKPU application must be submitted by a Creditor and the Debtor's peace plan is rejected by the Creditor. Cassation serves to protect the Debtor from malicious creditors who deliberately bankrupt the Debtor through the PKPU Forum and as a control mechanism in the event of errors or misapplication of law by Judges at the lower court level. The author uses the juridical-normative method with descriptive-analytical research through a qualitative approach and analyses the existing problems based on the applicable provisions. The result of this research is the conclusion that the Constitutional Court does not have the aim to override the provisions regarding legal remedies for PKPU Decision in UUK-PKPU, but rather an effort to make legal progressivity on legal remedies for PKPU Decision in Indonesia where PKPU Forum is widely used as an unhealthy business strategy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Anezka Chandradevi
"Utang Pajak merupakan utang yang sifatnya istimewa, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kedudukan yang paling tinggi diantara kreditur lainnya, karena itu negara disebut memiliki hak mendahulu atas pelunasan utang pajak. Dalam kepailitan, penerapan dari Hak Mendahulu atas utang pajak ini seringkali dikesampingkan sehingga mengakibatkan pelanggaran pada Undang-Undang Perpajakan. Selain Utang pajak, Penerima Jaminan Fidusia juga memiliki Hak Mendahulu Jaminan Fidusia atas pelunasan piutang dari penjualan objek jaminan fidusia. Sehingga apabila keduanya dihadapkan di dalam suatu perkara kepailitan, maka akan terjadi benturan diantara kedua Hak Mendahulu. Melalui studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 72PK/Pdt.Sus-Pailit/2015, akan dilakukan analisis terhadap penerapan Hak Mendahulu Negara atas utang pajak dan Hak Mendahulu Jaminan Fidusia di dalam putusan tersebut dengan juga menganalisis pertimbangan hakim atas penerapan kedua hak mendahulu ini. Pokok permasalahan yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan KPP-PMAD dan Tennan Metal selaku kreditur dengan hak mendahulu di dalam kasus kepailitan PT. Yinchenindo Mining Industry dan penerapan Hak Mendahulu di dalam Putusan a quo. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menelusuri sumber data sekunder dengan menggunakan literatur seperti peraturan perundang-undangan dan buku sebagai bahan untuk menganalisis. Hasil penelitian menyatakan bahwa kedudukan KPPPMAD adalah sebagai kreditur preferen walau tidak diatur secara eksplisit di dalam UU Kepailitan dan PKPU sedangkan Tennan metal sebagai Kreditur separatis kemudian terkait dengan penerapan Hak Mendahulu di dalam Putusan baik Hak Mendahulu negara atas utang pajak maupun Hak Mendahulu atas Jaminan Fidusia tidak diterapkan di dalam putusan ini atau dengan kata lain dikesampingkan. Penerapan keduanya secara bersamaan susah untuk dilakukan di dalam kondisi kepailitan yang harta pailitnya tidak cukup untuk melunasi utang-utang para kreditur

Based on legislation Tax Debts are given the highest position among other creditors, therefore the state is said to have the right of precedence over the repayment of tax debts or this right could also be referred as tax claim priority. In the event of bankruptcy, the application of the tax claim priority is often disregarded, resulting in violations of the Tax Law. In addition to the tax debt, the Fiduciary Beneficiary also has a Fiduciary Guarantee Priority on the repayment from the execution of the object of the fiduciary guarantee. So that if both are faced in a bankruptcy case, there will be a collision between the two Priority Rights. Through a case study of Supreme Court Decision Number 72PK/Pdt.SusBankruptcy/2015, an analysis will be made of the application of the Tax Priority Claim over tax debts and the Fiduciary Guarantee Priority Right in the decision by also analyzing the judge's consideration of the application of these two Priority Rights. The matter discussed in this paper is the position of KPP-PMAD and Tennan Metal as creditors with Priority Rights in the bankruptcy case of PT Yinchenindo Mining Industry and the application of Priority Rights in Supreme Court Decision a quo. This research is using juridical normative method by using secondary data as the main source of this research. Based on the results of the analysis, it is known that although the position of KPP-PMAD is not determined inside Bannkcruptcy law but it is referred as a preferred creditor and Tennan Metal is as a separatist creditor, then related to the application of the Priority Rights in the court decision, both rights are not applied in this court decision. Applying both simultaneously is difficult in bankruptcy situations where the bankruptcy estate is insufficient to pay off creditors' debts"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremiah Ernest Doloksaribu
"Terdapat beberapa model bisnis yang dapat digunakan oleh seorang pengusaha dalam membangun bisnisnya. Salah satunya adalah menggunakan jenis Induk-Anak Perusahaan (Perusahaan Grup). Menggunakan model bisnis apa pun, sering kali kegagalan tidak dapat dihindari. Kesulitan finansial dengan berbagai faktor, menjadi alasan dari gagalnya suatu bisnis. Kepailitan hadir sebagai solusi bagi seorang pengusaha untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Tetapi kehidupan ekonomi di Indonesia masih banyak ditemukan kekurangan. Kosongnya pengaturan mengenai Induk-Anak Perusahaan menjadi salah satunya. Padahal praktik Induk-Anak Perusahaan bukan hanya satu atau dua entitas di Indonesia, tetapi banyak sekali digunakan bagi pengusaha. Selain itu juga dalam hukum kepailitan di Indonesia tidak luput dari segala kekurangannya. Tidak hadirnya tes insolvensi, membuat suatu perusahaan dapat dengan mudah pailit selama memenuhi persyaratan pailit yang diatur dalam UUKPKPU, padahal perusahaan tersebut masih mampu untuk membayar utang-utangnya. Tulisan ini hadir membahas masalah-masalah tersebut, mulai dari urgensi tes insolvensi di Indonesia, studi kasus penerapan insolvensi tes dalam kasus kepailitan PT Hanson International Tbk yang menjadi contoh semrawutnya hukum ekonomi di Indonesia, serta eksekusi kepailitan yang dalam hal terjadinya kepailitan Induk-Anak Perusahaan di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode pendekatan dalam bentuk kualitatif, yang kemudian menyimpulkan bahwa PT Hanson International Tbk belum dalam keadaan insolven, serta menyimpulkan eksekusi harta pailit dalam bentuk saham yang dimiliki Induk Perusahaan terhadap Anak Perusahaannya.

There are several business models that can be used by an entrepreneur in building his business. One of them is using the Parent-Subsidiary type (Group Company). Using any business model, failure is often inevitable. Financial difficulties with various factors become the reason for the failure of a business. Bankruptcy comes as a solution for an entrepreneur to be able to solve these problems. However, economic life in Indonesia still has many shortcomings. The absence of regulations regarding the Parent-Subsidiary Company is one of them. Whereas the practice of Parent-Subsidiary Company is not only one or two entities in Indonesia but is widely used for entrepreneurs. In addition, Indonesian bankruptcy law is not free from shortcomings. The absence of an insolvency test means that a company can easily go bankrupt as long as it meets the bankruptcy requirements stipulated in the UUKPKPU, even though the company is still able to pay its debts. This paper discusses these issues, starting from the urgency of the insolvency test in Indonesia, a case study of the application of the insolvency test in the bankruptcy case of PT Hanson International Tbk, which is an example of the chaos of economic law in Indonesia, as well as the execution of bankruptcy in the event of Parent-Subsidiary bankruptcy in Indonesia. This paper uses a qualitative approach, which then concludes that PT Hanson International Tbk is not yet insolvent and concludes the execution of bankruptcy assets in the form of shares owned by the Parent Company against its Subsidiaries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Khoswan
"Perkembangan dalam teknologi serta ilmu pengetahuan menyebabkan batasan negara-negara di dunia semakin hilang terutama dalam bidang perekonomian internasional. Hal ini akan menjadi sebuah masalah baru apabila berkaitan dengan kepailitan lintas batas, khususnya pengeksekusian harta Debitor pailit yang memiliki aset di luar wilayah berlakunya putusan pailit. Prinsip teritorial dan prinsip kedaulatan negara yang dimiliki sebagian besar negara merupakan salah satu faktor utama tidak dapatnya suatu putusan pailit diakui dan ditegakkan di negara lain. Faktor tersebut menyebabkan putusan pailit di sebuah negara tidak dapat dijadikan dasar untuk mengeksekusi harta Debitor pailit yang berada di yurisdiksi negara lain sehingga menyebabkan berkurangnya harta Debitor yang akan digunakan untuk membayar utang-utangnya kepada Para Kreditornya yang tentunya dalam hal ini hak Kreditor terhadap piutangnya tidak dapat dipenuhi sepenuhnya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang diwujudkan dengan melakukan studi kepustakaan, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana pengimplementasian kepailitan lintas batas di landasan hukum kepailitan Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maupun peraturan berkaitan lainnya dan dibandingkan dengan pengimplementasian kepailitan lintas batas di Malaysia. Selain itu akan dibahas juga mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan agar pengeksekusian harta Debitor pailit yang terletak di negara asing dapat dilaksanakan. Berkaitan dengan itu, Penulis menarik kesimpulan bahwa Indonesia belum memiliki instrumen hukum kepailitan lintas batas sebagai dasar pengeksekusian harta Debitor pailit yang terletak di negara asing. Berbeda dengan Malaysia yang memiliki perjanjian bilateral dengan Singapura dan peraturan mengenai pengakuan putusan asing dengan beberapa negara yang diatur dalam peraturan tersebut. Sehingga hingga saat ini, upaya yang dapat dilakukan oleh Para Kreditor adalah mengajukan permohonan ulang di negara yang bersangkutan. Namun ada baiknya bahwa pemerintah Indonesia melakukan perjanjian bilateral dengan beberapa negara, mengadopsi UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, atau membentuk perjanjian regional dengan negara anggota ASEAN.

Developments in technology have caused the boundaries of countries in the world to disappear, especially in the field of the international economy. This will become a new problem if it relates to cross-border bankruptcy, especially the execution of bankrupt debtors who have assets outside the area where the bankruptcy decision is enforced. Territorial principles and the principle of state sovereignty which are owned by most countries are one of the main factors in which a bankruptcy decision cannot be recognized and enforced in other countries. These factors cause a bankruptcy decision in one country to not be used as a basis for executing the assets of a bankrupt debtor who is in the jurisdiction of another country, causing a reduction in the debtor’s assets that will be used to pay his debts to his creditors. By using normative juridical research methods realized by conducting literature studies, this paper will analyze how cross-border bankruptcy is implemented on the basis of Indonesian bankruptcy law, namely Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Obligations for Payment of Debt compared with the implementation of cross-border insolvency in Malaysia. I In this regard, the author draws the conclusion that Indonesia does not yet have cross-border insolvency legal instruments as a basis for executing bankrupt debtors’ assets located in foreign countries. In contrast to Malaysia, which has a bilateral agreement with Singapore and regulations regarding the recognition of foreign judgments with several countries regulated in these regulations. Until today, the efforts that can be made by creditors are re-litigation in the country concerned. However, it is good that the Indonesian government enters into bilateral agreements with several countries, adopts the UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, or forms regional agreements with ASEAN member countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurelia Faradilla Gunawan
"Kasus kepailitan terhadap perusahaan efek telah banyak terjadi di Indonesia. Namun, yang menjadi permasalahan adalah tidak sedikit permohonan atas kepailitan terhadap perusahaan efek tersebut diajukan bukan oleh pihak yang berwenang. Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan, pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan efek hanyalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pihak selain OJK yang mengajukan permohonan kepailitan terhadap perusahaan efek. Tidak sedikit pula Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan tersebut sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan hukum atas penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia. Permasalahan inilah yang terjadi dalam kasus berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga No.78/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst. Berdasarkan putusan tersebut, Majelis Hakim telah mengabulkan permohonan PKPU terhadap manajer investasi yang diajukan oleh investornya. Manajer investasi dalam kasus ini juga telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.  Dikarenakan permohonan PKPU tersebut diajukan bukan oleh pihak yang berwenang, maka pada skripsi ini akan dibahas mengenai penerapan hukum kepailitan terhadap manajer investasi yang dinyatakan pailit atas permohonan yang diajukan oleh investor serta bagaimana perlindungan hukum terhadap investor yang dirugikan atas pailitnya manajer investasi tersebut. Metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah metode penelitian yuridis-normatif yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka seperti bahan hukum primer dan sekunder. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pada akhirnya peneliti memperoleh kesimpulan bahwa Majelis Hakim dalam memutus perkara ini telah tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan hukum khususnya dalam hukum kepailitan di Indonesia. Adapun bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada investor diantaranya berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki OJK selaku pihak yang bertugas mewakili kepentingan investor dalam bidang pasar modal, perlindungan berupa gugatan oleh kurator, dan pengaduan yang dapat dilakukan oleh investor kepada OJK. Oleh karena itu, sudah seharusnya dalam kasus ini Majelis Hakim dalam memutus perkara sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan agar terciptanya keselarasan dalam penerapan hukum khususnya hukum kepailitan terhadap manajer investasi di Indonesia.

Bankruptcy cases against securities companies have occurred in Indonesia. However, the problem is that non-authorized parties submitted not a few instances of bankruptcy against these securities companies. According to Article 2 paragraph (4) of the Bankruptcy Law, the party authorized to apply for bankruptcy against a securities company is only the Otoritas Jasa Keuangan (OJK). However, in practice, parties other than OJK still file bankruptcy applications against securities companies. Not a few judges also granted the request, causing uncertainty in the application of law to the settlement of bankruptcy cases in Indonesia. This problem occurs in a claim based on Commercial Court Decision No.78/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst. Based on this decision, the Panel of Judges granted the PKPU request against the investment manager submitted by the investor. The investment manager, in this case, has also been declared bankrupt based on a commercial court decision. Because an authorized party did not submit the PKPU application, this thesis will discuss the application of bankruptcy law to investment managers who are declared bankrupt on applications submitted by investors and how the legal protection for investors who are harmed by the bankruptcy of the investment manager. The research method used in this thesis is a juridical-normative research method carried out by examining library materials such as primary and secondary legal materials. Based on the research conducted, in the end, the researchers concluded that the Panel of Judges in deciding this case needed to follow the provisions stipulated in the Bankruptcy Law, causing uncertainty in the application of the law, especially in bankruptcy law in Indonesia. The forms of legal protection for the investors include those related to the authority possessed by the OJK as a party in charge of representing the interests of investors in the capital market sector, protection in the form of lawsuits by curators, and complaints that investors can make to the OJK. Therefore, it is appropriate in this case for the Panel of Judges to decide cases following the provisions in the laws and regulations to create harmony in applying the law, especially the bankruptcy law, to investment managers in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faqih
"Utang merupakan salah satu opsi untuk Perseroan yang ingin mengembangkan usahanya, tetapi memiliki keterbatasan dana. Meskipun, terkadang utang itu tidak dapat dilunasi oleh debitornya. Sehingga, memaksa kreditor menempuh upaya hukum, di antaranya adalah gugatan wanprestasi, gugatan perbuatan melawan hukum, permohonan pernyataan pailit, dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang masing-masing memiliki tujuan dan akibat hukum yang berbeda. Menjadi masalah ketika para kreditor menghendaki untuk memberikan kesempatan bagi debitor untuk melunasi utangnya serta menlanjutkan usahanya, tetapi Pengadilan justru menolak dengan alasan nilai tagihan utang terlalu kecil. Hal tersebut ditemui pada kasus Putusan No. 446/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt Pst. Berdasarkan analisis hukum yang diuraikan, Majelis Hakim menyatakan bahwa seluruh syarat PKPU dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 (UUK-PKPU) telah terpenuhi. Namun, Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dengan alasan UUK-PKPU tidak mengatur jumlah minimum tagihan, tetapi terdapat Perma No. 4 Tahun 2019 yang mengatur mengenai tata cara gugatan sederhana. Sehingga, oleh karena nilai tagihan pada kasus ini di bawah Rp500.000.000,00, Majelis Hakim menolak permohonan PKPU. Atas putusan tersebut, terdapat dissenting opinion yang menyatakan pemberian PKPU Sementara beralasan hukum untuk dikabulkan. Oleh karena itu, penulis membahas fenomena ini dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai upaya hukum yang tepat berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, pembahasan ini menjadi suatu hal yang memiliki urgensi karena dapat menjadi preseden atas kasus serupa. Dalam menganalisis kasus tersebut, penulis menyusun penelitian yang menerapkan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, di mana penulis menganalisis kedudukan Perma No. 4 Tahun 2019 terhadap UUK-PKPU dan analisis penolakan PKPU yang ditinjau dari Asas Kelangsungan Usaha. Hasil dari penilitian ini adalah Perma No. 4 Tahun 2019 bukanlah peraturan pelengkap dan tidak relevan terhadap permohonan PKPU. Selain itu, pemberian PKPU merupakan implementasi dari Asas Kelangsungan Usaha yang mana dapat memberikan kesempatan bagi debitor untuk melanjutkan usahanya, serta melunasi utang-utangnya.

Debt is an option for companies that want to expand their business, but have limited funds. Although, sometimes the debt cannot be repaid by the debtor. Thus, forces creditors to take legal action, including lawsuits for default, lawsuits against the law, requests for bankruptcy statements, and requests for suspension of payment (PKPU), each of which has a different purpose and legal consequences. It becomes a problem when the creditors want to allow the debtor to pay off his debts and continue his business, but the Court refuses because the value of the debt invoice is too small. This was found in the case of Decision No. 446/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt Pst. Based on the legal analysis described, the Panel of Judges stated that all PKPU requirements in Law no. 37 of 2004 (UUK-PKPU), have been fulfilled. However, the Panel of Judges rejected the request because UUK-PKPU does not regulate the minimum amount of bills, but there is Perma No. 4 of 2019 which regulates the procedures for simple lawsuits. So, because the value of the invoice, in this case, was below IDR 500,000,000.00, the Panel of Judges rejected the PKPU request. Regarding this decision, there was a dissenting opinion that stated that the temporary PKPU had legal reasons to be granted. Therefore, the author discusses this phenomenon to provide information to the public regarding appropriate legal remedies based on the objectives to be achieved. In addition, this discussion becomes a matter of urgency because it can set a precedent for similar cases. In analyzing the case, the authors compiled a study using normative juridical methods with a qualitative approach, in which the authors analyzed the position of Perma No. 4 of 2019 against UUK-PKPU and an analysis of PKPU rejection in terms of the Going Concern Principle. The result of this research is Perma No. 4 of 2019 is not a complementary regulation and is irrelevant to the PKPU application. In addition, PKPU is an implementation of the Going Concern Principle which can provide opportunities for debtors to continue their business and pay off their debts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afiq Bintang Purwacaraka
"Skripsi ini membahas mengenai ketidaksesuaian penerapan ketentuan hukum terkait pengajuan permohonan kasasi terhadap putusan PKPU dalam perkara PKPU PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, dan juga perbandingan mekanisme dan akibat hukum antara skema debt to equity swap dengan konversi Mandatory Convertible Bond (MCB). Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis-normatif dengan 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan (statutory approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Penelitian ini menganalisis pelaksanaan proses PKPU PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sejak diajukannya permohonan PKPU hingga dijatuhkannya putusan kasasi oleh Mahkamah Agung. Penelitian ini juga menganalisis mekanisme restrukturisasi utang dengan skema debt to equity swap dan konversi Mandatory Convertible Bond (MCB), yang merupakan bagian dari metode-metode restrukturisasi utang yang diajukan oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dalam Rencana Perdamaian, dengan turut memperhatikan kesesuaian penerapannya dengan peraturan perundang-undangan terkait. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menelaah dan memahami perbandingan mekanisme dan akibat hukum antara debt to equity swap dengan Konversi Mandatory Convertible Bond (MCB) sebagaimana yang diajukan oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dalam Rencana Perdamaian sehubungan dengan PKPU. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek-aspek penting dalam kepailitan, PKPU, restrukturisasi utang secara umum, dan restrukturisasi utang dengan skema debt to equity swap dan Konversi Mandatory Convertible Bond (MCB). Selain itu, tujuan khusus penelitian ini adalah juga untuk menganalisis mengenai bagaimana kesesuaian penerapan ketentuan hukum dalam perkara PKPU PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Hasil penelitian skripsi ini menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian penerapan ketentuan upaya hukum kasasi dalam perkara PKPU PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Pengajuan kasasi dalam perkara ini tidak memenuhi syarat pengajuan kasasi sebagaimana yang diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 23/PUU-XIX/2021. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan mekanisme dan akibat hukum antara skema debt to equity swap dengan konversi Mandatory Convertible Bond (MCB)

This thesis examines the inappropriateness of the application of the legal provisions related to the cassation submission against PKPU decision in the PKPU case of PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, as well as the comparison of the mechanisms and legal consequences between debt to equity swap scheme and Mandatory Convertible Bond (MCB) Conversion. The research method used in this thesis is juridical-normative with 2 (two) approaches, namely statutory approach and conceptual approach. This research analyzes the PKPU process of PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk from the application time of the PKPU until the issuance of the Supreme Court's cassation decision. This research also analyzes the mechanism of debt restructuring with the debt to equity swap scheme and the conversion of the Mandatory Converible Bond (MCB), which are parts of the debt restructuring methods proposed by PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk in the Composition Plan, by also taking into account their compliance with the related laws and regulations. The general objective of this research is to examine and understand the comparison of mechanisms and legal consequences between the debt to equity swap and the Mandatory Convertible Bond (MCB) conversion as proposed by PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk in the Composition Plan in relation to the PKPU. The specific objective of this study is to determine the important aspects of insolvency, PKPU, debt restructuring in general, and debt restructuring with a debt to equity swap scheme and Mandatory Convertible Bond (MCB) conversions. In addition, the specific objective of this research is also to analyze how appropriate the application of legal provisions is in the PKPU case of PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. The results of this thesis research indicate that there is a discrepancy in the application of provisions related to cassation in the PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk PKPU case. The submission of cassation in this case does not meet the requirements for cassation submission as stipulated in the Constitutional Court Decision No. 23/PUU-XIX/2021. In addition, the results of this research also show that there are some similar and different mechanisms and legal consequences between the debt to equity swap scheme and the Mandatory Convertible Bond (MCB) conversion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>