Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mochamad Iskandarsyah Agung Ramadhan
"Latar Belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) dikoreksi dengan bedah jantung terbuka dengan bantuan alat mesin pintas jantung paru (cardiopulmonary bypass). Namun teknik ini dapat menyebabkan inflamasi pada paru yang menghasilkan kondisi Acute Respiration Dysfunction Syndrome (ARDS). Meskipun insidensinya pada pasien bedah dengan mesin pintas jantung paru hanya rendah, tingkat mortalitasnya dapat mencapai 50%.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara durasi penggunaan mesin jantung paru dengan insidensi ARDS pada pasien anak dengan PJB pasca bedah jantung terbuka.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 194 anak yang menjalani bedah jantung terbuka atas indikasi PJB di Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM periode Januari 2014-September 2015.
Hasil: 64 (32,99%) pasien mengalami ARDS pasca bedah jantung terbuka dan sisanya sebanyak 130 (67,01%) tidak mengalami ARDS. Median penggunaan mesin pada golongan ARDS dan non-ARDS masing-masing sebesar 80 menit (23-219, IK90%) dan 70 menit (18-320, IK90%). Insidensi ARDS pada kelompok dengan durasi pendek (≤60 menit) adalah 27,5% dan dengan durasi panjang (> 60 menit) adalah 36%. Secara statistik dan klinis tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin dengan munculnya ARDS (p = 0,298, uji chi square).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin pintas jantung paru dengan kejadian ARDS pada pasien PJB pasca bedah jantung terbuka.

Background: Congenital heart disease (CHD) is corrected by open thoracic surgery with the help of cardiopulmonary bypass machine (CPB). This technique can cause pulmonary inflammation resulting in Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Even though its incidence is low, the mortality rate of is up to 50%.
Aim: To find whether the duration of CPB using is related with incidence of ARDS in pediatric patients underwent open thoracic surgery.
Methods: Retrospective cohort study was done involving 194 pediatric patients underwent open thoracic surgery with CHD indication at Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM within January 2014 and 2015 September.
Results: 64 (32,99%) patients had ARSD after open thoracic surgery. The mean of CPB machine duration was 80 minutes (23-219, CI90%) in patients with ARDS and 70 minutes (18-320, CI90%) in patients with no ARDS. The incidence of ARDS in patients with short duration of CPB (≤60 minutes) was 27.5% and long duration (>60 minutes) was 36%. There was no such correlation statistically and clinically between duration of CPB and ARDS occurence (p = 0.298, chi square test).
Conclusion: Duration of CPB using is not related with ARDS occurrence in pediatric patients with CHD underwent open thoracic surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Auliani
"Latar Belakang: Penggunaan cardiopulmonary bypass dalam bedah jantung terbuka pada anak yang berkepanjangan dapat memicu koagulopati dan hemodilusi, serta menyebabkan perdarahan pasca operasi. Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko lebih tinggi karena sistem koagulasi darah mereka yang imatur. Meskipun demikian, tidak ada penelitian serupa yang betujuan untuk menilai hubungan antara keduanya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk meneliti korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi jantung terbuka pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik.
Metode: Penelitian ini bersifat descriptive-analytical dengan metode cross- sectional. Rekam medis 100 pasien anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2016 sampai dengan Maret 2018 digunakan sebagai sampel. Pasien anak berusia 0 sampai 17 tahun dengan penyakit jantung bawaan sianotik, yang telah melalui bedah jantung terbuka elektif digunakan sebagai sampel. Korelasi Spearman digunakan untuk meneliti hubungan antara CPB time dengan perdarahan pasca operasi.
Hasil: Dari 100 data yang diperoleh, tidak terdapat korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi (p = 0.087). Median dari CPB time adalah 87 menit (29 – 230). Perdarahan pasca operasi pasien memiliki median 15.3/kgBB dalam 24 jam (3.0 – 105.6).
Konklusi: Tidak ada hubungan antara CPB time dan post-operative bleeding pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Faktor lain dapat mempengaruhi kedua variabel diteliti, termasuk dari pasien sendiri dan dari tindakan operasi, seperti kemampuan operator menangani perdarahan serta jenis prosedur operasi. Maka dari itu, CPB time tidak dapat dianggap sebagai faktor tunggal yang dapat mempengaruhi perdarahan pasca operasi.

Background: Prolonged use of cardiopulmonary bypass during open heart surgery can induce coagulopathy and hemodilution, contributing towards post-operative bleeding. Pediatric patients with cyanotic congenital heart disease are susceptible due to presence of immature coagulation system. However, no similar studies have been done to assess the relationship between the two.
Aim: This study aims to assess correlation between CPB time and post-operative bleeding in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease undergoing open heart surgery.
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Medical records of 100 pediatric patients from Cipto Mangunkusumo General Hospital between January 2016 to March 2018 were used. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, who underwent elective open heart surgery were included as sample. Spearman’s correlation was used to determine correlation between CPB time and post-operative bleeding.
Result: Data from 100 patients were obtained. No correlation was observed between CPB time and post-operative bleeding (p = 0.087). Patients’ CPB time has a median of 87 minutes (29 – 230). Patients’ post-operative bleeding has a median of 15.3 ml/kgBW in 24 hours (3.0 – 105.6).
Conclusion: CPB time and post-operative bleeding has no correlation in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease. Presence of various factors can influence both variables, including from the patients or operative factors, including dexterity of operator and applied procedure. Thus, CPB time cannot be held responsible as a single determining factor for post-operative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thiara Maharani Brunner
"Latar Belakang: Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko perdarah pasca-operasi cardiopulmonary bypass (CPB) yang tinggi .Pada CPB, heparin digunakan sebagai antioagulan, dikembalikan dengan protamine sulfat dan diukur menggunakan activated clotting time (ACT). Heparin dapat menginduksi perdarahan dan protamine sulfat berlebih dapat berperan sebagai antikoagulan. Penelitian mengenai hubungan antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi belum diteliti pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Tujuan: Untuk menilai korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian descriptive-analytical, dengan metode cross-sectional. Pasien berusia 0 hingga 17 tahun, memiliki penyakit jantung bawaan sianotik, dan menjalani operasi jantung terbuka elektif disertakan dalam penelitian ini. Sebanyak 100 rekam medis dari Januari 2016 hingga Maret 2018 di CMGH digunakan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mencari korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca-pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi.
Hasil: Terdapat korelasi positif antara dosis awal heparin dengan perdarahan pasca-operasi (p=0,011). Korelasi antara ACT pasca pemberian protamine dengan perdarahan pasca-operasi adalah p=0,257. Perdarahan pasca-operasi yang dialami pasien adalah 15,3 mL/kgBB (3,0 – 105,6 mL/kgBB).
Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara dosis awal heparin dan perdarahan pasca-operasi; dosis tinggi menghasilkan perdarahan yang lebih banyak pada pasien anak yang sianotik di CMGH. Selanjutnya, tidak ditemukan adanya korelasi antara nilai ACT pasca-protamine dan perdarahan pasca-operasi.

. Background: Pediatric cyanotic CHD patients have an increased risk of post-operative bleeding following cardiopulmonary bypass (CPB). In CPB, heparin is used as an anticoagulant, reversed by protamine sulphate and measured using activated clotting time (ACT). Heparin can induce bleeding and excess protamine sulphate can act as an anticoagulant. No studies of the same kind has been done to assess the relationship between the initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease cases in CMGH.
Aim: To assess the correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease patients in CMGH
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, undergoing elective open heart surgery were included. A total of 100 medical records from January 2016 to March 2018 in CMGH were used. The correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding was analyzed.
Result: Initial heparin dose and post-operative bleeding showed a positive correlation (p=0.011). The correlation between post-protamine ACT value and post-operative bleeding is p=0.257. Post-operative bleeding experienced by the patients is 15.3 mL/kgBW (3.0 – 105.6 mL/kgBW).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Iswanto Pantoro
"Kejadian Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) pasca bedah jantung terbuka masih merupakan salah satu komplikasi yang banyak ditemukan. Salah satu faktor risikonya adalah durasi pintas jantung. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 187 pasien bedah jantung terbuka di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2014-2015. Subjek dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan durasi pintas jantung (durasi >60 menit dan ≤60 menit). Sebanyak 107 (57,2%) pasien mengalami SIRS dalam 24 jam pasca operasi. Kejadian SIRS ditemukan pada 75 (65,8%) pasien dari kelompok durasi >60 menit dan 32 (43,8%) pasien dari kelompok durasi ≤60 menit. Melalui analisis multivariat regresi logistik, didapatkan hubungan bermakna (p<0,05) antara durasi CPB dan SIRS dengan OR2,04 (IK95% 1,05-3,93). Durasi CPB merupakan faktor risiko independen dari kejadian SIRS pasca bedah jantung terbuka.

Sytemic inflammatory Response Syndrome (SIRS) is a major complication foundat patient following open heart surgery. One of the risk factors is the duration of the cardiopulmonary bypass. A historical cohort study had been done on 187 postcardiac surgery patients in RSUPN Cipto Mangunkusumo. The subjects were divided into 2 separate groups based on the duration of cardiopulmonary bypass (duration >60 minutes and ≤60 minutes). There were 107 (57.2%) patients having SIRS within 24 hours following the surgery. SIRS was found on 75 (65.8%) patients from group with duration >60 minutes and 32 (43.8%) patients from group with duration ≤60 minutes. Through logistic regression multivariate analysis, there was a significant difference (p<0.05) with OR 2.04 (CI95% 1.05-3.93) between two groups. Therefore, duration of cardiopulmonary bypass was an independent risk factor of post open heart surgery SIRS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anasthasia Devina Sutedja
"Acute Kidney Injury (AKI) pada anak dengan penyakit jantung bawaan mencakup 5-33% dari seluruh pasien anak yang melalui bedah jantung terbuka, dengan dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup dan luaran pasien. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian AKI adalah durasi penggunaan mesin pintas jantung paru. Penelitian metode kohort retrospektif dilakukan terhadap 122 pasien dengan durasi panjang dan 73 pasien dengan durasi pendek pasca bedah jantung terbuka di PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data rekam medis yang dianalisis menunjukkan bahwa terdapat kemaknaan (p<0,05) hubungan antara durasi CPB dengan AKI dengan OR 2,95. Kesimpulan penelitian adalah durasi CPB >60 menit merupakan faktor risiko terjadinya AKI pasca bedah jantung terbuka.

Acute kidney injury (AKI) in children with congenital heart disease consists of 5-33% pediatric patients who went through open heart injury, with significant impact on the quality of life and outcome of the patient. One of the factors affecting the incidence of AKI is the duration of cardiopulmonary bypass machine. Retrospective cohort study was done on 122 patients with bypass duration >60 minute and 73 patients with bypass duration <60 minute after open heart surgery in PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Analysis of medical records shown that there was a significant difference (p<0,05) between the duration of cardiopulmonary bypass with the incidence of AKI with OR of 2,95. It was concluded that duration of bypass >60 minutes was a risk factor of post open heart surgery AKI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alkaf
"Latar Belakang: Terdapat beberapa instrumen model skor preoperatif yang dapat membantu menilai risiko komplikasi paru pasca operasi dan diperkirakan ARISCAT merupakan instrumen yang sederhana, memiliki performa yang baik, namun penggunaannya belum luas. Model skor ini belum divalidasi di Indonesia.
Tujuan: Menilai kemampuan diskriminasi dan kalibrasi skor ARISCAT dalam memprediksi komplikasi paru pasca operasi pada pasien di RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah kohort retrospektif yang bertujuan untuk menilai kemampuan prediksi skor ARISCAT pada populasi Indonesia. Penelitian ini melibatkan 428 subjek yang menjalani operasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2017. Variabel yang diteliti meliputi usia, saturasi oksigen, riwayat infeksi paru, anemia, jenis pembedahan, durasi operasi, pembedahan darurat, dan  kejadian PPC yang terjadi dalam 30 hari pasca operasi. Validasi eksternal skor ARISCAT dilakukan dengan menilai kemampuan diskriminasi dan kalibrasi. Diskriminasi dinilai dengan area under the curve dan kalibrasi dinilai dengan uji Hosmer Lemeshow dan plot kalibrasi.
Hasil: Kami dapatkan insidensi PPC sebesar 32%. Kemampuan diskriminasi menunjukkan nilai AUC sebesar 88,2% (IK 95%; 84,1-92,2%). Kemampuan kalibrasi pada uji Hosmer Lemeshow menunjukkan nilai  p=0,052 dan plot kalibrasi menunjukkan koefisien r=0,968.
Simpulan: Skor ARISCAT memiliki kemampuan diskriminasi dan kalibrasi yang baik pada pasien yang menjalani operasi di RSCM.

Background: There are several prediction model score instruments that can help assessing pulmonary preoperative evaluation  and it is believed that ARISCAT model score is very simple to do and have good performance, but not widely used. This score has not been yet validated in Indonesia.
Objective: To assess the performance of discrimination and calibration of ARISCAT score in  predicting postoperative pulmonary complication who underwent surgery in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: This was a retrospective cohort  aim to assess the external validation of ARISCAT scores in Indonesian population. This study involved 428 patients underwent surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2017. Several variables were collected such as age, oxygen saturation, history of pulmonary infection, anemia, type of surgery, duration of operation, emergency surgery, and PPC that observed within 30 days after surgery. Discrimination was assessed by the area under the curve (AUC). Calibration was assessed by the Hosmer Lemeshow test and calibration plot.
Results: We found that PPC was observed in 32% of patients. Discrimination of ARISCAT score was shown by AUC value of 88.2% (CI 95%; 84.1-92.2%). Hosmer Lemeshow test showed p=0.052 and calibration plot revealed coefficient r=0.968.
Conclusion: ARISCAT score has good discrimination and calibration performance in patient undergo surgery in Cipto Mangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadli Rokyama
"ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan kateter vena sentral yang semakin banyak seiring meningkatnya mutu pelayanan kesehatan di kamar operasi dan ruang rawat intensif membuat risiko komplikasi juga semakin meningkat. Ultrasonografi direkomendasikan untuk menurunkan insiden komplikasi kanulasi vena jugularis interna. Namun, keterbatasan akses dan ketersedian ultrasonografi membuat metode penanda anatomi masih diminati walaupun insiden komplikasi mencapai 19 Merrer, 2011 , sehingga posisi yang tepat diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi. Rotasi kepala pada sudut tertentu mempengaruhi posisi vena jugularis interna dan arteri karotis. Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional denga rancangan potong lintang pada pasien yang menjalani operasi bedah terencana di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 34 subyek diambil dengan metode consecutive sampling pada bulan Oktober 2016. Jarak dan rasio overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid diukur dengan menggunakan ultrasonografi dua dimensi pada sudut rotasi kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o. Data diolah menggunakan program SPSS 21. Uji Anova digunakan untuk melihat hubungan jarak vena dan rasio overlapping jugularis interna terhadap arteri karotis dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey.Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid pada ras Melayu di Indonesia pada sudut rotasi kepala kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o p < 0,001 . Terdapat hubungan antara berat badan dan tinggi badan terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis. Tidak Terdapat hubungan antara jenis kelamin, usia dan Indeks Massa Tubuh IMT terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis.Simpulan: Terdapat pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Kata kunci: rotasi kepala kontra lateral, jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis, ras Melayu ABSTRACT Background The use of central venous catheters are widely increasing as well as improvement of health care quality in the operating theather and the intensive care unit. Complication incidences also increasing too. Ultrasound is recommended to decrease complication of internal jugular vein cannulation. However, limited access and availability to ultrasound makes anatomical landmark methods still in demand even though the incidence of complications was 19 Merrer, 2011 , exact position is expected to reduce the incidence of complications. Certain head rotation the position of the internal jugular vein and carotid artery. This study aims the effect of contra lateral head rotation to distance and overlapping of internal jugular vein and carotid artery at cricoid cartilage level by ultrasound guidance on the Malay race in Indonesia. Methods This study was analytical observational with cross sectional design in patients undergone elective surgery at Central Surgery Unit RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. After getting approval from ethics committee and informed consent, 34 subjects were taken with consecutive sampling method in October 2016. Distance and overlapping ratio the internal jugular vein to carotid artery at cricoid level was measured using two dimensional ultrasound in contra lateral head rotation angle of 0o, 30o, 45o, 60o. The data were processed using SPSS 21. Anova test used to view the relationships within the vein and internal jugular overlapping ratio of the carotid artery followed by post hoc Tukey test. Results There were significant differences on distance and overlapping of the internal jugular vein and carotid artery at cricoid level on the Malay race in Indonesia at contra lateral head rotation angle 0o, 30o, 45o, 60o p "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55670
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Meidisa Akhmad
"Latar Belakang: Kateter vena sentral merupakan alat yang rutin dipasang oleh anestesiologis pada pembedahan jantung terbuka. Namun, kedalaman pemasangan kateter vena sentral yang tidak tepat dapat menyebabkan komplikasi atau penggunaannya suboptimal. Penelitian Yoon, 2006 dilakukan pada anak dengan penyakit jantung bawaan di Asia dan menghasilkan rumus prediksi kedalaman kateter vena sentral. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah rumus Yoon dapat digunakan pada populasi anak dengan PJB di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan uji observasional analitik dengan rancangan penelitian potong lintang dan melibatkan 38 pasien yang menjalani pembedahan jantung terbuka di RSCM. Kedalaman kateter vena sentral ditentukan menggunakan rumus Yoon. Konfirmasi ketepatan kedalaman kateter vena sentral dilakukan dengan menggunakan transesophageal echocardiography untuk melihat posisi ujung kateter terhadap pertemuan vena kava superior dan atrium kanan.
Hasil: Rumus Yoon dapat secara tepat memprediksi kedalaman kateter vena sentral pada 63,16% pemasangan. Tidak ada komplikasi dari pemasangan kateter vena sentral yang terlalu dalam.
Simpulan: Rumus Yoon kurang tepat digunakan sebagai pedoman dalam memprediksi kedalaman kateter vena sentral pada pasien anak dengan PJB di Indonesia, namun masih dapat diaplikasikan secara klinis.

Introduction: Central venous catheter is a routinely-inserted tool by the anesthesiologists in open-heart surgery. However, incorrect depth of central venous catheter placement may lead to complications or suboptimal usage. Yoon’s research in 2006 was done in pediatrics with congenital heart disease in Asia and develop a prediction formula for the depth of central venous catheter. The purpose of this study is to prove if Yoon’s formula can be applied in pediatric patients with congenital heart disease in Indonesia.
Methods: This is an analytic observational study with cross-sectional study design involving 38 patients who underwent open-heart surgery in RSCM. The depth of central venous catheter placement determined by Yoon’s formula. Confirmation of the accuracy of depth of central venous catheter was done by using transesophageal echocardiography to assess the position of the tip of central venous catheter from the cavoatrial junction.
Results: Yoon’s formula is able to predict the optimal depth of the central vein catheter in 63,16% of the time. There was not any complication in too advance of central venous catheter placement.
Conclusion: Yoon’s formula is not appropriately to be used as a guidance to predict the depth of central vein catheter inpediatric patients with congenital heart disease in Indonesia, but it can be still applied clinically.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Akwila Dwi Yundha
"Latar Belakang : Peningkatan tekanan darah dan laju nadi merupakan komplikasi tersering saat laringoskopi dan dapat mengakibatkan komplikasi yang berat. Obatobatan yang selama ini digunakan tidak selalu efektif menekan tanggapan kardiovaskular. Memperbaiki teknik laringoskopi dengan menggunakan video laringoskop CMAC® diperkirakan dapat mengurangi tanggapan kardiovaskular karena memberikan visualisasi laring yang lebih baik dibandingkan teknik lain. Manuver BURP lazim digunakan untuk menurunkan nilai Cormack-Lehane namun juga memberi rangsang nyeri saat laringoskopi.
Tujuan : Membandingkan tanggapan kardiovaskular dan kebutuhan manuver BURP saat laringoskopi antara penggunaan video laringoskop CMAC® dengan Macintosh Konvensional.
Metode : Uji klinis acak tersamar tunggal. Seratur tiga puluh sembilan pasien yang akan menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakea dibagi ke dalam 2 kelompok. Kelompok kontrol (Macintosh Konvensional) dan kelompok perlakuan (CMAC®). Kriteria inklusi adalah usia 18-65 tahun, status fisik ASA 1 atau 2, tanpa penyulit jalan napas. Parameter kardiovaskular (sistolik, diastolik, TAR, dan laju nadi) diukur sebelum induksi (T1). Midazolam 0.05 mg/KgBB dan Fentanyl 2 mikrogram/kgBB diberikan 2 menit sebelum induksi. Induksi anestesia menggunakan Propofol 1 mg/kgBB dan dilanjutkan infusi manual Propofol 10 mg/kg/jam. Setelah reflek bulu mata menghilang, diberikan Atrakurium 0,8-1mg/KgBB. Parameter kardiovaskular (T2) diukur ulang setelah nilai TOF mencapai 0 lalu dilakukan laringoskopi. Saat laringoskopi menunjukkan nilai Cormack-Lehane 1 atau 2 (dengan atau tanpa manuver BURP) dilakukan pengukuran ulang parameter kardiovaskular (T3).
Hasil : Uji-T tidak berpasangan menunjukkan rerata perubahan kardiovaskular saat laringoskopi lebih rendah pada kelompok CMAC® dibandingkan pada kelompok Macintosh Konvensional (p < 0,005). Interval kepercayaan 5,58-14,44 (sistolik), 2,93-9,54 (diastolik) 3,86-10,7 (TAR), dan 2,26-8,66 (laju nadi). Kebutuhan Manuver BURP lebih sedikit (13,9%) pada kelompok CMAC® dibandingkan Macintosh Konvensional (40,3%) dengan uji K-kuadrat (p < 0.05).
Simpulan : Tanggapan kardiovaskular dan kebutuhan manuver BURP saat laringoskopi lebih rendah secara bermakna pada penggunaan CMAC® dibandingkan dengan Macintosh Konvensional.

Background : Increased blood pressure and heart rate are the most frequent response to laryngoscopy. Sometimes it can cause serious complications. Medications are used to blunt these responses, but most of them are not yet effective. Improving laryngoscopy technique by using CMAC® video assisted laryngoscope seems promising since it significantly gives better visualization of larynx compared to other. BURP maneuver is used to lower Cormack-Lehane level but it can cause additional pain stimulation during laryngoscopy.
Objective : To compare the cardiovascular response and the needs of BURP maneuver during laryngoscopy between CMAC® and Conventional Macintosh.
Method : Randomised, single blinded, control trial. One hundred thirty nine patients who underwent general anesthesia with endotracheal intubation were randomised into two groups. Control group (Conventional Macintosh) and intervention group (CMAC®). Inclusion criteria are 18-65 years old, ASA 1 or 2 physical status, without any airway problem. Cardiovascular parameters (systolic, dyastolic, MAP, and heart rate) were measured prior to induction (T1). Midazolam 0.05 mg/Kg and Fentanyl 2 micrograms/kg were given 2 minutes before induction. Propofol 1 mg/kg and followed by propofol infusion of 10 mg/kg/hour were given to induce anesthesia. After eyelid reflex disappeared, we give Atracurium 0.8-1 mg/kg. After TOF reached 0, we remeasured cardiovascular parameters (T2) and proceeded to laryngoscopy. When laryngoscopy shows Cormack-Lehane 1 or 2 (with or without BURP maneuver), cardiovascular parameters were remeasured (T3).
Results : Unpaired T-test shows that cardiovascular response during laryngoscopy were lower in CMAC® group compared to Conventional Macintosh group (p < 0.05). Confidence interval 95% were 5,58-14,44 (systolic), 2,93-9,54 (dyastolic), 3,86-10,7 (MAP), and 2,26-8,66 (heart rate). Chi square test shows BURP maneuver was less needed in CMAC® group compared to Convensional Macintosh group (13.9% vs 40.3%, p < 0.05).
Conclusion : Cardiovascular response and BURP maneuver during laryngoscopy with CMAC® were significantly lower compared to Conventional Macintosh."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berri Primayana
"Latar Belakang : Kejadian AKI Acute Kidney Injury pascabedah akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan kriteria AKIN. Kondisi dan manajemen perioperatif sangat mempengaruhi kekerapan AKI pascabedah.
Tujuan : Mengetahui hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM.
Metode : Penelitian kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien yang dirawat di ICU pascabedah elektif antara Januari 2014 hingga Desember 2015. Seratus satu pasien diikutkan dalam penelitian dari total 1739 data pasien yang didapatkan. Diagnosis AKI ditegakkan dengan keriteria AKIN. Data diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji Chi Square dan Independent T test.
Hasil : Analisis dilakukan pada 101 pasien dari 1739 populasi terjangkau. Insiden AKI didapatkan sebesar 44,6 . Diagnosis AKI ditegakkan dengan penurunan jumlah urin sesuai dengan Stage 1 AKI berdasarkan AKIN. Rata-rata usia AKI didapatkan sebesar 50,44 13,7 tahun p=0,304 . Analisis berdasarkan masing-masing variabel didapatkan kekerapan AKI pada diabetes melitus sebesar 50 p=0,633 , penyakit jantung sebesar 40,7 p=0,641 , hipertensi sebesar 46,9 p=0,749 , dan operasi intraabdomen sebesar 61,9 p=0,072 .
Kesimpulan : Dari variabel yang diteliti tidak ada hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM.

Background Postoperative Acute Kidney Injury AKI will increase the risk of patient rsquo s morbidity, mortality and or prolonged the hospital stay. In this study, the diagnosis of AKI was made based on The Acute Kidney Injury Network AKIN criteria. Perioperative patient condition and management influenced the incidence of postoperative AKI.
Aim To determine the relationship between preoperative patient rsquo s comorbidities and surgical procedure with the incidence of postoperative AKI in patients who were admitted in ICU RSCM immediately after surgery.
Methods A retrospective cohort study using consecutive patients who underwent elective surgery with postoperative ICU admission from January 2014 to December 2015. A total of 1739 patients were collected from medical record, and 101 patients were included for the study. The included patients were segregated using AKIN diagnosis criteria and the relationship variables were analyzed using Chi Square test and Independent T test.
Results The incidence of AKI in this study were 44.6 , in which all of them were diagnosed as AKI Stage I, based on decrease in urine output as stipulated by AKIN criteria. The average age was 50.44 13.7 years old p 0.304 . The incidence of AKI in patients with diabetes mellitus was 50 p 0.633 , heart disease 40.7 p 0.641 , hypertension 46.9 p 0.749 , and intra abdominal surgery 61.9 p 0.072 .
Conclusion There were no relationship between patient rsquo s preoperative comorbidities and surgical procedure with the incidence of AKI postoperatively in patients admitted in ICU RSCM."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>