Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dirsa Deandaru
Abstrak :
Pada tahun 2019, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, beberapa kali mengumumkan rencananya untuk memindahkan ibu kota Negara Indonesia dari Jakarta ke suatu kawasan di Provinsi Kalimantan Timur. Pengumuman tersebut telah menimbulkan berbagai perdebatan, seperti apa alasan memindahkan ibu kota Negara dan mengapa wilayah yang dipilih adalah di Pulau Kalimantan. Terlepas dari alasan pemindahannya, tindakan Presiden secara sepihak tersebut juga telah menimbulkan perdebatan dari segi hukum tata negara, yakni mengenai keabsahan wewenang yang dimiliki Presiden dalam memindahkan ibu kota Negara. Hingga saat ini, tidak ada satupun ketentuan, baik di dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara tegas mengenai pemindahan ibu kota Negara, termasuk siapa yang memiliki wewenang tersebut, dan apakah kebijakan tersebut dapat diambil secara sepihak oleh Presiden, atau harus bersepakat terlebih dahulu dengan lembaga Negara lainnya. Namun, bahwa suatu wewenang tidak diatur secara tegas di dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan berarti Presiden tidak berwenang akan hal tersebut. Dasar dari berbagai wewenang seorang Presiden, selain diatur secara tegas dalam konstitusi, juga diatur secara tersirat di dalamnya. Skripsi ini akan membahas fenomena pemindahan ibu kota negara, dari sudut pandang hukum tata negara. Penulis berupaya mencari tahu apakah di Indonesia ada wewenang untuk memindahkan ibu kota Negara. Jika ada, maka sebenarnya siapa yang memiliki wewenang tersebut, serta apa argumentasinya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, serta menggunakan tiga negara sebagai perbandingan data. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa wewenang Presiden dalam memindahkan ibu kota Negara merupakan wewenang Presiden pada bidang perundang-undangan dan bidang penyelenggaraan pemerintahan, yang tersirat di dalam konstitusi Indonesia. Kemudian, wewenang tersebut juga bukan merupakan wewenang Presiden secara mandiri atau sepihak, melainkan memerlukan persetujuan dari lembaga Negara lainnya. ...... In 2019, Indonesias President, Joko Widodo, announced several times his plan to relocate the capital city of Indonesia from Jakarta to certain areas in East Kalimantan Province. The announcement has sparked various debates, such as regarding the reasons for moving the capital of the country and why he chose the island of Kalimantan as the selected region of the national capital, et cetera. Apart from the reasons of the relocation, the action made unilaterally by the President has also provoked debates in areas of constitutional law, specifically in respect of the validity of the power of the President in relocating the Nations capital. Currently, there is no provision, neither in the Constitution nor in any existing laws and regulations in Indonesia that expressly stipulate about moving the Nations capital, including who has the power, and whether the decision can be taken unilaterally by the President, or it needs approval by other state institutions. However, the absence of provisions that expressly stipulate certain power in the constitution, shall not mean that the President does not have such power. The ground of the various powers and duties of the President, other than those expressly stipulated in the constitution, is also stipulated implicitly. This thesis will discuss the phenomenon of relocating the nations capital, from the point of view of constitutional law. The author attempts to determine whether or not the power to relocate the capital city of Indonesia exists. If it does, who has the power to do so, as well as what arguments to support it. The research methodology used is a normative juridical, as well as comparative studies with three other countries. The results of this study indicate that the power of the President in relocating the Nations capital represents the power of the President in the field of laws and regulations as well as government administration, implied in the constitution of Indonesia. Furthermore, this power does not belong to the President independently or unilaterally, rather it requires approval of other State institutions.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rico Novianto Hafidz
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini mempelajari tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan pendekatan dari kelembagaan dari Majelis Ulama Indonesia sebagai sebuah institusi dan penerapan fatwa Majelis Ulama Indonesia baik di pemerintahan maupun masyarakat. Metode yang digunakan dari skripsi ini adalah studi komparatif dan normatif juridis dengan meninjau penerapan dan karakteristik kelembagaan di beberapa negara dan sumber hukum dari kebijakan publik yang secara materiil berasal dari fatwa dan klasifikasi dari produk hukum Majelis Ulama Indonesia. Skripsi ini menunjukan bahwa Majelis Ulama Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai lembaga quango fatwa Majelis Ulama Indonesia merupakan sumber hukum materiil yang menjadi dan menjadi unsur penting dari kebijakan negara terutama di bidang produk halal dan perbankan syariah. Lebih dari itu, jurnal ini juga menunjukan bahwa kebutuhan fatwa Majelis Ulama Indonesia sudah terjadi penguatan sejak awal berdirinya pada tahun 1975. Skripsi ini memberikan rekomendasi untuk pemerintahan untuk menjadikan fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagai sumber hukum dari kebijakan negara yang memuat dimensi Islam di dalamnya.
ABSTRACT
This study dicusses the position of the Indonesian Council of Ulama fatwa in Indonesia by looking at the position of Indonesian Council of Ulama as an institution as well as the application of Indonesian Council of Ulama fatwa in government and citizenship. The method used in this study is the normative juridical with the classification of Indonesian Council of Ulama law products and then considering at public policy that is conducted by trias politica state institutions. This study shows that Indonesian Council of Ulama fatwa is a fatwa which is binding as a material legal source and becomes an important element in the formulation of state rsquo s policy in the field of halal products guarantee and sharia banking. Furthermore, this study also shows that is a need for Indonesian Council of Ulama Fatwa to be strengthened because since 1975, fatwa that was issued by the demand of the public is higher than the fatwa of Indonesian Council of Ulama itself. This research at last provides recommendations to the trias politica of state institutions that the Indonesian Council of Ulama fatwa must be a source of law in the state rsquo s policy that has an Islamic dimension in it.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Paulana
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai Kedudukan Hukum Legal Standing Lembaga Negara dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi yang dikaitkan dengan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara terjadi ketika suatu lembaga merasa kewenangannya diganggu, dikurangi dan/atau diambil-alih secara tidak sah oleh lembaga lainnya. Lembaga yang dapat menjadi Pemohon atau Termohon dalam beracara sidang Mahkamah Konstitusi hanya lembaga yang memperoleh kewenangan dari Undang-Undang Dasar. Penelitian ini mengambil rumusan masalah tentang bagaimana penerapan hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara dan bagaimana pembatasan subjectum litis dan objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa sejauh ini Mahkamah Konstitusi telah menerapkan hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara dengan konsisten dan telah memberikan penegasan serta pengakuan terhadap lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945.Kata Kunci: Kedudukan Hukum, Sengketa Kewenangan, Subjectum Litis, Objectum Litis, Putusan Perkara SKLN. ......This thesis discusses Legal Standing of State Institution in authority disputes in various Constitutional Court decisions. Authority dispute of State Institution occurs when a State Institution or Agency perceive its Authority is being interrupted, reduced and or illegally taken over by another institution. Institutions that act as the Petitioners or the Petitionees in the Constitutional Court's justice proceedings shall be the only institutions authorized by the Constitution. This study takes the outline of issues about how procedural law of State institutions authority dispute is applied and how subjectum litis and objectum litis is restricted in authority dispute of State institutions. The method used in this study is juridical normative based on secondary data and presented descriptive analytic. Results of the study shows that the Constitutional Court has consistently applied procedural law of State institutions authority dispute and has given affirmation and acknowledgment to state institutions which authority is attributed by the 1945 Constitution.Keywords Legal Standing, Authority Dispute, Subjectim Litis, Objectum Liti, Court Decision in Authority Dispute of State Institutions
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Abdoel Aziz
Abstrak :
Mekanisme pengisian pimpinan DPR RI periode 2009-2014 menggunakan sistem proporsional, kemudian diganti menjadi sistem paket pada DPR RI periode 2014-2019. Ketika DPR RI periode 2014-2019 masih berjalan, muncul wacana untuk mengembalikan mekanisme pengisian tersebut kepada sistem proporsional. Namun wacana tersebut urung direalisasikan. Hal ini menunjukkan DPR RI masih belum bisa menentukan mana mekanisme yang paling sesuai untuk digunakan. Untuk itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai perbandingan mekanisme pengisian DPR RI pada periode 2009-2014 dengan DPR RI periode 2014-2019. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dengan pendekatan komparatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan didapati: mekanisme pengisian pimpinan DPR RI periode 2009-2014 lebih mencerminkan prinsip demokrasi, mekanisme pengisian DPR RI periode 2009-2014 menggunakan mekanisme penetapan sementara DPR RI periode 2014-2019 menggunakan mekanisme pemilihan, mekanisme pengisian pimpinan DPR periode 2014-2019 memberikan kesamaan kesempatan kepada seluruh anggota DPR RI dari semua fraksi partai politik untuk mengisi posisi pimpinan DPR RI serta terlibat dalam pengambilan keputusan dalam pemilihan, mekanisme pengisian pimpinan DPR RI periode 2009-2014 memberikan hak penuh kepada sebuah fraksi partai politik untuk mengisi posisi pimpinan sementara yang lainnya tidak, dan hasil dari kedua mekanisme pengisian tersebut akan bersifat tetap. Penelitian ini kemudian memberikan saran kepada DPR RI agar menentukan mekanisme pengisian pimpinan yang bersifat tetap atau dalam kata lain tidak berganti-ganti yang membuat masyarakat mencitrakan DPR RI sebagai lembaga yang sangat politis. ......The mechanism to elect the leadership of the house of representatives of republic of Indonesia on 2009-2014 period used proportional system, then that mechanism replaced by package system on 2014-2019 period. When The house of representatives of republic of indonesia is still running, a plan to turn back that system into proportional system again. However, that plan wasn't happen. It shows that the house of representatives of Republic of Indonesia is still can't decide which mechanism is most appropriate. Therefore, this research will discuss about a comparison between the mechanism to elect the leadership of the house of representatives of republic of Indonesia on 2009-2014 period and 2014-2019 period. Research Method that use on this research is normative juridical that use a secondary reference, with comparative approach. The results of this research is the mechanism on 2009-2014 period is more reflect the democracy principle than the others, the mechanism on 2009-2014 used an appointment mechanism meanwhile the mechanism on 2014-2019 period used an election mechanism, the mechanism on 2014-2019 period gave a same opportunity to all member from all fraction to be elected as the leadership and participated on decision making about the elected of the leadership candidate, the mechanism on 2009-2014 period gave a right to political party fraction to elect their representatives as the leadership by themselves meanwhile the others wasnt, and the results of each mechanism would be fixed. This research recommend to the house of representatives of Republic of Indonesia to decide the fixed mechanism to elect the leadership of the house of representatives of republic of Indonesia or in other words not changing constantly that make people looks the house of representatives of republic of Indonesia as very political institution.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guspita Arfina
Abstrak :
Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi. Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi. ...... The process of filling the position of constitutional court justices is one of the fundamental issues in judicial system, especially the Constitutional Court. Under the provisions of Article 24C Paragraph 3 of 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Indonesian Constitutional Court has nine justices, nominated by Supreme Court, People 39 s Legislative Assembly, and President. The three state institutions have differences in selecting justices because of lack of clear regulation as standard for the selection. Therefore, research is conducted to find out current regulations and mechanisms of selecting justices so that later the ideal concept can be formulated, particularly for the President. The research method is juridical normative method that refers to legal norms in legislation. Analysis is conducted by discussing the conformity between the implementation of transparency, participation, objectivity and accountability principles that have been regulated in the Constitutional Court Law with practices conducted by President. The lack of clear regulation encourages the formulation of regulation that clearly regulates standard selecting justices through applicable laws for three state institutions or presidential decree specifically for President. Furthermore, the research will try to advise the implementation of open selection through selection committee to fulfill the implementation of principles in selecting the justices.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Irbah Sati
Abstrak :
Pemberian pergantian, rehabilitasi, penghapusan, dan amnesti menjadi hak prerogatif belas kasih yang keberadaannya diakui di Indonesia bahkan sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan ini menjadi hak prerogatif penuh Presiden, yang memberikan hak penuh dan mutlak kepada Presiden. Terlebih dulu dalam menggunakan kekuatan. Ketika norma-norma konstitusional berubah, keberadaan otoritas ini sebagai hak prerogatif Presiden mulai mendapatkan pembatasan formal pada saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat melalui keterlibatan lembaga negara lain untuk memberikan pertimbangan. Mekanisme ini tetap sama pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan diperbarui dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang saat ini diberlakukan. Mekanisme keterlibatan lembaga negara lainnya dalam menerapkan grasi eksekutif dipilih dengan alasan untuk memberdayakan peran lembaga negara lainnya dan untuk membatasi kemungkinan kepentingan politik Presiden. Melalui perbandingan norma-norma konstitusional di Indonesia dan negara-negara lain dengan sistem presidensial, ditemukan bahwa model saat ini di Indonesia cukup umum, namun bentuk pembatasan formal ini bukanlah bentuk pembatasan terkuat. Menyadari gagasan di balik pengangkatan Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung sebagai lembaga negara yang memberikan pertimbangan kepada otoritas yang berbeda dari hak prerogatif, disarankan untuk menetapkan seperangkat aturan teknis yang secara jelas mengatur dan dengan jelas mendefinisikan otoritas tersebut, sehingga pembatasan kekuatan-kekuatan itu akan dilakukan secara efektif.
The granting of replacement, rehabilitation, abolition, and amnesty has become a prerogative of compassion whose existence is recognized in Indonesia even since the enactment of the 1945 Constitution. This power has become the full prerogative of the President, giving full and absolute rights to the President. First, in using force. When the constitutional norms change, the existence of this authority as a prerogative right of the President starts to get formal restrictions when the Constitution of the United States of Indonesia comes into force through the involvement of other state institutions to give consideration. This mechanism remained the same as the 1950 Provisional Constitution came into effect and was updated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which is currently in force. The mechanism of involvement of other state institutions in implementing executive pardon was chosen on the grounds to empower the role of other state institutions and to limit the possible political interests of the President. Through comparison of constitutional norms in Indonesia and other countries with the presidential system, it was found that the current model in Indonesia is quite common, but this form of formal restriction is not the strongest form of limitation. Recognizing the idea behind the appointment of the House of Representatives and the Supreme Court as a state institution giving consideration to authorities that differ from the prerogative, it is advisable to establish a set of technical rules that clearly regulate and clearly define these authorities, so that restrictions on those forces will be imposed effectively.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dzulfikar Fikri
Abstrak :

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selaku lembaga perwakilan daerah yang memiliki karakter keterwakilan berdasarkan daerah-daerah pada hakikatnya memiliki karakter keterwakilan yang lebih luas dari DPR, karena dimensi keterwakilannya berdasarkan seluruh rakyat yang terdapat pada daerah-daerah tersebut. DPD sebagai lembaga negara baru setelah amandemen UUD 1945 awalnya diharapkan dapat merealisasikan sistem dua kamar (bicameral), sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPD memiliki fungsifungsi sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pertimbangan. Semua tugas dan wewenang DPD terbatas pada aspek-aspek yang terkait erat dengan daerah. Ini merupakan sebuah potensi bagi DPD untuk dapat berperan lebih dalam berbagai aspek dalam pemerintahan daerah termasuk dalam pembangunan. Pembangunan diawali dengan perencanaan dan dalam ini adalah tahap paling penting karena disinilah partisipasi dari berbagai pemegang kepentingan disuarakan dan disatukan menjadi sebuah rencana pembangunan yang komprehensif untuk dapat mendukung pembangunan sebuah daerah. DPD sebagai lembaga perwakilan yang menjadi perwakilan wilayah seharusnya dapat lebih dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan mengingat kompleksnya proses pembangunan dan berbagai macam kepentingan di dalamnya.


The Regional Representative Council (DPD) as a regional representative institution that has a representative character based on regions has a broader representation character than the DPR, because the dimension of representation is based on all the people in these areas. The DPD as a new state institution after the amendment of the 1945 Constitution was initially expected to realize a two-chamber system (bicameral), as a people's representative institution, the DPD has functions as stipulated in the 1945 Constitution. These functions are legislative functions, budget functions, and consideration functions. All the duties and powers of the DPD are limited to those aspects closely related to the regions. This is a potential for the DPD to be able to play a deeper role in various aspects of regional governance including in development. Development begins with planning and in this is the most important stage because this is where the participation of various stakeholders is voiced and united into a comprehensive development plan to be able to support the development of a region. The DPD as a representative institution that becomes the regional representative should be more involved in the development planning process given the complexity of the development process and the various interests in it.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firda Reza Atariq
Abstrak :
Setelah dibentuknya Mahkamah Konstitusi pasca reformasi, salah satu kewenangannya ialah membubarkan partai politik, sudah seharusnya peraturan perundang-undangan di Indonesia juga mengatur aturan lanjutan akibat-akibat hukum dari pembubaran tersebut. Salah satunya ialah aturan lanjutan, dari salah satu akibat hukum dibubarkannya partai politik, yaitu pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat “DPR” yang berasal dari partai politik yang dibubarkan. Implikasi tersebut akan meninggalkan jabatan atau kursi kosong di parlemen sehingga pengaturan di masa mendatang (ius constituendum) tentang prosedur pengisian kekosongan jabatan anggota DPR akibat pembubaran partai politik di Indonesia sangat diperlukan. Hal ini disebabkan, walaupun Indonesia belum pernah mengalami hal demikian semenjak MK dibentuk, pengaturan ini diperlukan untuk memberikan kepastian hukum (rechtssicerheit) bagi pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak yang berperan langsung di dalamnya, baik partai politik maupun DPR itu sendiri, bila mana hal demikian terjadi dalam perkembangan Indonesia di masa yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan pendekatan sejarah, kasus, dan perbandingan dengan tiga negara. Hasil analisis dari Skripsi ini menunjukan bahwa akibat hukum pembubaran partai politik sendiri harus diatur melalui undang-undang. Kemudian, terdapat beberapa mekanisme yang dapat dijadikan pilihan dalam pengisian kekosongan jabatan DPR. Oleh karena itu, sebagai upaya mengakomodir ketentuan-ketentuan tersebut, perlu adanya perubahan pada peraturan perundang-undangan terkait. ......After the establishment of the post-reformation Constitutional Court, one of its powers is to dissolve political parties, Indonesian laws and regulations should also regulate further legal consequences of such dissolution. One of them is a follow-up regulation, one of the legal consequences of the dissolution of a political party, namely the dismissal of all members of the People's Representative Council "DPR" who are from the disbanded political party. The implication is that it will leave vacant positions or seats in parliament so that the ius constituendum regulation of procedures for filling vacancies in DPR positions due to the dissolution of political parties in Indonesia is very necessary. This is because, although Indonesia has never experienced such a thing since the Constitutional Court was formed, this arrangement is needed to provide legal certainty (rechtssicerheit) for the government, society, and parties who play a direct role in it, both political parties and the DPR itself if this happens in the development of Indonesia in the future. The research method used is a normative research method that is refined with a historical, case, and comparison approach with three countries. The results of the analysis of this thesis indicate that the legal consequences of the dissolution of a political party itself must be regulated by law. Then, there are several mechanisms that can be used as an option in filling the vacant position in the DPR. Therefore, to accommodate these provisions, it is necessary to make changes to the relevant laws and regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfuady Bakir
Abstrak :
Sebagai pengadilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Diantara kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, kewenangan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat dikatakan sebagai kewenangan utama dari sisi teori dan sejarah. Dalam praktiknya, sejak berdirinya hingga sekarang Mahkamah Konstitusi telah memutus banyak perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Akan tetapi tidak terdapat satu putusan yang mengabulkan pengujian undang-undang secara formil. Dalam penelitian ini menganalisis bagaimana penyelesaian pengujian formil undang-undang terutama melihat pertimbangan-pertimbangan Hakim Konstitusi dalam dalam memutus pengujian perkara secara formil. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa dalam memutus perkara pengujian formil, Mahkamah Konstitusi tidak hanya mempertimbangkan aspek-aspek formil prosedural dari pembentukan undang-undang. ......As a constitutional court, the Constitutional Court has four powers and one obligation as stipulated by Article 24C of the 1945 Constitution. Among the powers possessed by the Constitutional Court, the authority to decide judicial review of the Constitution can be said to be the main authority in terms of theory and history. In practice, since its establishment until now the Constitutional Court has decided many cases of judicial review against the Constitution. However, there are no decisions that grant formal judicial review. In this research, it analyzes how the completion of the formal judicial review, especially looking at the considerations of the Constitutional Justices in deciding formal judicial review. This research is a qualitative research with a descriptive analysis design. The research found that in deciding formal review cases, the Constitutional Court did not only consider formal procedural aspects of the formation of laws.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library