Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arrum Shafa Maulidiazmi Umar
"Penelaahan ini dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai peran faktor stres terhadap kejadian Lupus Eritematosus Sistemik, khususnya pada aspek fisik dan aspek psikologis penyintas LES. Penelaahan kualitatif ini menggunakan desain literature review. Hasil penelaahan ditemukan 9 jurnal internasional yang meneliti peran faktor stres terhadap aspek fisik, dan 11 jurnal internasional yang meneliti peran faktor stres terhadap aspek psikologis penyintas LES. Sebagian jurnal internasional berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Hanya terdapat dua jurnal yang berasal dari Asia (Korea dan Jepang). Jurnal internasional terlama yang digunakan dalam penelaahan ini adalah jurnal oleh Wekking, et al yang dipublikasi pada tahun 1991. Sedangkan jurnal internasional terbaru adalah jurnal oleh Sumner, et al pada tahun 2019. Dampak dari faktor stres lebih mendominasi pada aspek psikologis pasien LES. Kesimpulan dari penelaahan ini, yaitu stres dapat memicu flare dan memperburuk gejala LES. Jenis stres yang paling berpengaruh dalam munculnya flare dan perburukan gejalanya adalah daily stress (interpersonal dan stres dari lingkungan pekerjaan). Daily stress juga menimbulkan dampak pada emosional, kognitif, dan perilaku pasien. Hal tersebut didukung oleh persepsi pasien, dan penelitian perbandingan antara pasien LES dengan kontrol maupun pasien penyakit autoimun lain. Intervensi kognitif-perilaku dan psikologis dapat menjadi alternatif dalam penurunan tingkat stres pasien LES.

The focus of this study is to know about the role of stress in Systemic Lupus Erythematosus, especially on the physical aspects and psychological aspects of SLE patients. This qualitative study uses a literature review design. The study found 9 international journals that discussed the role of factors in physical aspects, and 11 international journals that discussed the role of factors in the psychological aspects of SLE patients. Most international journals were from the United States and Europe. There were only two journals from Asia (Korea and Japan). The oldest international journal used in this study was journal by Wekking, et al published in 1991. The latest international journal used in this study was journal by Sumner, et al in 2019. The conclusion from this review, that stress can trigger flares LSE symptoms. Source of stress that can trigger flares and worsen symptoms most is daily stress (interpersonal and stress from the work environment). Daily stress also affects the emotional, cognitive, and behavior of patients. These facts supported by patients' perceptions, and studies between SLE patients and controls as well as other autoimmune disease patients. Cognitive-behavioral and psychological interventions can be alternatives in reducing the stress level of SLE patients."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jemima Fajarin Putri
"Sjogrens syndrome merupakan gangguan autoimun yang menyerang kelenjar eksokrin seperti kelenjar saliva dan kelenjar konjungtiva dengan gejala umum berupa penurunan produksi saliva dan produksi cairan konjungtiva yang menyebabkan sensasi kering pada rongga mulut dan mata yang dapat berkembang menjadi karies gigi, infeksi rongga mulut, sensai terbakar pada mata hingga kerusakan kornea. Gejala yang ditimbulkan Sjogrens syndrome sering kali menyerupai manifestasi gangguan kesehatan lain, seperti infeksi. Sejauh ini terdapat beberapa agen infeksius yang memiliki manifestasi menyerupai gejala umum pada Sjogrens syndrome, antara lain infeksi yang disebabkan virus Hepatitis C, virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, human T lymphotropic virus1 HTLV-1, dan kemungkinan infeksi bakteri Heliobacter pylori yang memiliki kemampuan untuk terdisposisi pada jaringan epitel gastrik pasca infeksi pertama dan menyebabkan inflamasi persisten serta kemampuan untuk mempengaruhi produksi anti SSA/SSB. Beberapa penelitian menyatakan bahwa infeksi persisten mampu memicu gangguan autoimun yang disebabkan oleh aktivasi sel T dan sel B secara terus menerus sebagai upaya eradikasi sel terinfeksi yang memicu reaksi autoimun dan peningkatan kadar sel imun autoreaktif berupa kerusakan sel sehat di sekitarnya. Pada hasil kajian kepustakaan ini menemukan bahwa infeksi persisten bukan faktor satu satunya yang memicu kejadian Sjogrens syndrome namun terdapat faktor lain yang memicu infeksi dapat berkembang menjadi Sjogrens syndrome.

Sjogrens syndrome is an exocrine glands autoimmune disease, causing decreasing liquids production on salivary gland and conjunctiva with the common symtomps including dry eyes and dry mouth and later causing burn sensations on eyes, cornea destruction, dental caries and oral cavity infections. The symptoms often resemble general health problem, such as infection manifestation. This far, there are several infectious agents in which possibly caused similar diseases manifestation as Sjogrens syndrome, including infections of Hepatitis C virus, Epstein Barr virus, cytomegalovirus, human T lymphotropic virus-1 HTLV-1, which have the ability to caused persistent infection on salivary glands after the first infection and possibly Heliobacter pylori infection based on the increasing anti Ro/SSA and anti-La/SSB on infected individuals. Some research states, persistent infection could trigger autoimmune disorders caused by continous T cells and B cells activation in an attempt to eradicate infected cells that is, but also triggered autoimmune response and increasing autoreactive cells consentration causing damage to healthy cells around the infected cells. However, the results in this literature study found persistent infection is not the only triggering factor of Sjogrens syndrome but there are other unknown factors that trigger infection can develop into Sjogrens syndrome.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marantika, Fajar Wati
"Di Indonesia, belum ada data pasti mengenai angka insidens dan jumlah kasus penyakit Lupus Eritematosus Sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk dijelaskannya analisis spasial lupus eritematosus sistemik di provinsi DKI Jakarta dan kota Depok, Jawa Barat dan identifikasi faktor lingkungan fisik (kawasan industri, suhu, kelembapan, curah hujan, kecepatan angin dan lamanya penyinaran matahari) terhadap jumlah kasus di kota/kabupaten yang memiliki jumlah kasus terbanyak. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan studi ekologi yang menggunakan analisis univariat, uji korelasi dan analisis spasial. Hasil penelitian ini menemukan tidak ditemukan adanya hubungan signifikan faktor lingkungan fisik pada kejadian lupus eritematosus sistemik tahun 2014-2018. Yayasan Lupus Indonesia atau yayasan autoimun lainnya dapat memberikan edukasi kepada masyarakat awam dan odapus terkait gambaran angka insidens kejadian lupus dan faktor lingkungan yang dapat menjadi pencetus. Selain itu, peneliti lain dapat menggunakan penelitian ini sebagai data dasar dan disarankan untuk memperkecil unit analisis agar mendapatkan hasil yang lebih komprehensif. Serta untuk pemilik industri harus memperhatikan dampak lingkungan, karena dapat mempengaruhi perubahan lingkungan yang berdampak pada tercetusnya penyakit di masyarakat.

In Indonesia, there are no data regarding the incidence rate and the number of cases of Systemic Lupus Erythematosus. This study aims to explain the spatial analysis of systemic lupus erythematosus in DKI Jakarta province and Depok city, West Java and identify physical environmental factors (industrial area, temperature, humidity, rainfall, wind speed and duration of solar radiation) to the number of cases in cities/districts which has the highest number of cases. This study uses secondary data with ecological studies using univariate analysis, correlation testing and spatial analysis. The results of this study found there was no significant association physical environmental factors with the incidence rate of systemic lupus erythematosus. The Indonesian Lupus Foundation or other autoimmune foundations can provide education to ordinary people and lupus patients regarding the count of lupus incidence and environmental factors that can trigger it. In addition, other researchers can use this research as baseline data and are advised to reduce the analysis unit in order to obtain more comprehensive results. And for industry owner must pay attention to environmental impacts, because it can affect environmental changes that have an impact on the emergence of diseases in the community."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Savitrie Joanna
"Kasus penyakit LES mempunyai prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia dan dunia. Prevalensi di berbagai negara sangat bervariasi antara 2.9/100.000 – 400/100.000. Namun, belum terdapat data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik tidak mudah dan sering terlambat akibat dari gejala yang timbul menyerupai gejala berbagai penyakit sehingga Lupus dikenal dengan sebutan penyakit 1000 wajah. Gejala penyakit Lupus sangat beragam, mulai dari gejala ringan hingga yang dapat mengakibatkan kematian. Penelitian berupa kajian kepustakaan (literature review) terhadap 3 jurnal penelitian internasional pada tahun 2000-2020. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran faktor risiko paparan silika pada kejadian Lupus Eritematosus Sistemik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paparan silika dengan kejadian Lupus Eritematosus Sistemik dengan rata-rata OR 3,6. Paparan silika yang terhirup tidak mungkin menjadi penyebab utama LES pada populasi umum, namun paparan silika menjadi salah satu faktor risiko yang berperan dalam pengembangan penyakit LES. Memahami mekanisme yang digunakan oleh silika dalam LES dapat membantu kita lebih memahami peran paparan lingkungan terutama paparan silika pada LES.

Literature Review: The Role of Risk Factors for Silica Exposure in Systemic Lupus Erythematosus. Systematic Lupus Erythematosus have a high prevalence in Indonesia and the world. Prevalence in various countries varies greatly between 2.9 / 100.000 - 400/100,000. However, there are no epidemiological data covering all regions of Indonesia for SLE. Diagnoses of Systemic Lupus Erythematosus is not easy and often late due to symptoms that resemble the symptoms of various diseases, so that Lupus is known as 1000 facial diseases. Symptoms of lupus are very diverse, ranging from mild symptoms to those that can result in death. The research was in the form of a literature review of 8 international research journals in 2000-2020. This study aims to determine the role of risk factors for silica exposure in the incidence of Systemic Lupus Erythematosus.
The results showed that there was a significant relationship between exposure to silica with the incidence of Systemic Lupus Erythematosus with an average OR of 3.6. Exposure to inhaled silica may not be a major cause of SLE in the general population, but silica exposure is one of the risk factors that play a role in the development of LES disease. Understanding the mechanism used by silica in SLE can help us better understand the role of environmental exposure especially silica exposure in SLE.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shalihana Ramadita
"Latar Belakang Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko dari infeksi COVID-19. Studi ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan tingkat keparahan COVID-19 pada pasien RSUI tahun 2020. Metode Penelitian ini dilakukan melalui studi cross-sectional analitik menggunakan rekam medis pasien COVID-19 di RSUI antara Juni hingga September 2020. Uji Chi-square atau Fisher digunakan untuk menguji hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dan keparahan COVID-19. Faktor risiko lain juga dianalisis bivariat dan analisis regresi logistik multivariat. Hasil Hasil analisis data bivariat menunjukkan nilai OR = 2.494 yang menunjukkan terdapat kecenderungan asosiasi antara diabetes melitus tipe 2 dengan keparahan COVID-19 pada pasien RSUI tahun 2020, namun tidak bermakna secara statistik (p = 0.071; 95% CI = 0.903 – 6.890). Mayoritas dari 172 pasien COVID-19 di RSUI berjenis kelamin laki-laki (59.3%) dan berusia dibawah 60 tahun (89.4%). Ditemukan 19 pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus tipe 2 (11.0%) pada keseluruhan pasien COVID-19. Faktor risiko lain yang diteliti, seperti berjenis kelamin laki-laki, lansia, hipertensi, PPOK, penyakit autoimun, keganasan, penyakit ginjal, dan gagal jantung tidak ditemukan memiliki hubungan signifikan dengan keparahan COVID-19 (p > 0.05). Kesimpulan Pada populasi pasien COVID-19 dengan diabetes melitus tipe 2 di RSUI tahun 2020, meskipun terdapat kecenderungan asosiasi dengan keparahan COVID-19, namun tidak bermakna secara statistik. Faktor risiko lain juga tidak ditemukan kemaknaan secara statistik.

Introduction Type 2 diabetes mellitus is one of the risk factors for COVID-19 infection. This study aimed to analyze the association between type 2 diabetes mellitus and the severity of COVID-19-infected patients in RSUI in 2020. Method This cross-sectional analytical study uses medical records of COVID-19 patients in RSUI from June to September 2020. The chi-square test and Fisher’s exact test are utilized to test the association between type 2 diabetes mellitus and the severity of COVID-19. A bivariate analysis is conducted to analyze the other risk factors of COVID-19 that may affect the severity of COVID-19, followed by a multivariate logistic regression analysis. Result Data analysis found an OR = 2.494, indicating a tendency to have an association between type 2 diabetes mellitus and COVID-19 severity that is not statistically significant (p = 0.071; 95% CI = 0.903 – 6.890). Most of the 172 COVID-19 patients from RSUI are male-gendered (59.3%) and aged below 60 (89.4%). It is found that 19 patients have a history of type 2 diabetes mellitus (11.0%). Other risk factors analyzed, including male gender, geriatrician, hypertension, COPD, autoimmune disease, malignancy, kidney disease, and heart failure, lack significant association with COVID-19 severity (p > 0.05). Conclusion In this population of COVID-19 patients with type 2 diabetes mellitus in RSUI in 2020, although there is a tendency for an association with the severity of COVID-19, the value is statistically insignificant. Other risk factors studied are also found to lack a statistically significant association."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jennifer Josephine
"Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yang mengalami penyakit kronik membutuhkan edukasi yang tepat untuk meningkatkan kesiapan pasien menghadapi penyakitnya. Di era modern ini, edukasi melalui internet dan media sosial berperan penting. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui penggunaan internet terkait lupus, kebutuhan materi edukasi, serta platform edukasi yang paling diminati pasien. Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien LES dewasa di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Juli-Agustus 2023. Responden mengisi kuesioner penggunaan internet terkait lupus dan preferensi platform edukasi, serta kuesioner Educational Needs Assessment Tool (ENAT) mengenai materi edukasi. Jumlah subjek yang terlibat adalah 65 orang perempuan dengan median (min-maks) usia 32 (19-56) tahun. Sebanyak 92,3% responden menggunakan internet dan media sosial untuk hal yang berkaitan dengan lupus. Domain ENAT yang menjadi prioritas materi edukasi pasien adalah pengetahuan tentang penyakit (skor 89%) dan manajemen perasaan (skor 85%). Sementara sumber edukasi utama yang diinginkan pasien adalah edukasi dari dokter/perawat secara langsung (87,7%), Instagram (55,4%), dan YouTube (55,4%). Pengetahuan tentang penyakit dan manajemen perasaan adalah materi edukasi yang paling dibutuhkan pasien LES dengan sumber edukasi utama adalah dokter/perawat secara langsung. Penggunaan internet untuk lupus yang tinggi menunjukkan tingginya peluang pemberian edukasi melalui internet, yang dapat dilakukan melalui Instagram dan YouTube.

Patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) who suffer from chronic illness, need tailored education to better manage their condition. As nowadays education through internet and social media contributes significantly. This study aims to assess internet usage related to lupus, educational needs, and education sources preferences among patients. This study is a cross-sectional study conducted on adult SLE patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, between July-August 2023. Respondents completed a set of questionnaires regarding their internet usage related to lupus, education platform preferences, and Educational Needs Assessment Tool (ENAT). Sixty-five female subjects participated, with a median (min-max) age of 32 (19-56) years. Respondents who used the internet and social media for lupus-related matters were 92.3%. The ENAT domains prioritized by patients were knowledge about the disease (score 89%) and emotional management (score 85%). The primary sources of education desired by patients were direct education from doctors/nurses (87.7%), Instagram (55.4%), and YouTube (55.4%). SLE patients expressed a strong need for knowledge about the disease and emotional management, with doctors/nurses as the preferred sources of education. The widespread use of the internet for lupus-related information indicates a great opportunity for providing education through online platforms, particularly through Instagram and YouTube."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oryza Gryagus Prabu
"Latar Belakang. Vitamin D merupakan salah satu komponen regulator yang berperan dalam respons imun humoral maupun adaptif yang memiliki peranan patogenesis dalam berbagai kondisi autoimun termasuk IBD. Defisiensi vitamin D diketahui dapat mempengaruhi derajat aktivitas pada pasien dengan IBD. Beberapa studi menunjukkan terdapat peran vitamin D dalam meningkatkan angka remisi pada pasien dengan IBD. Namun studi lain menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan terhadap aktivitas klinis IBD dengan defisiensi vitamin D. Belum ada studi di Indonesia yang menilai hubungan kadar vitamin D dengan aktivitas klinis pada IBD.
Tujuan. Mengetahui prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien dengan IBD dan menilai perbedaan rerata kadar 25-OH D pada subjek dengan IBD aktif dengan remisi.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pasien dengan IBD yang datang ke Poliklinik Gastroenterologi dan dilakukan pemeriksaan kadar 25-OH-D. Subjek dengan kolitis ulseratif dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) dimana nilai <2 dikategorikan sebagai remisi, sedangkan subjek dengan penyakit Crohn dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Crohn’s Disease Activity Index (CDAI) dengan nilai <150 dikategorikan sebagai remisi. Dilakukan analisis perbedaan rerata kadar 25-OH-D antara subjek remisi dibandingkan aktif baik pada subjek dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.
Hasil. Sebanyak 76 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, 48 subjek termasuk ke dalam kolitis ulseratif dan 28 lainnya penyakit Crohn. Sebanyak 65,3% subjek perempuan dengan rerata usia subjek adalah 46,39 (SB 16,25). Prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien IBD adalah sebesar 46,1% dengan 32,1% pada penyakit Crohn dan 54,2% pada kolitis ulseratif. Tidak didapatkan adanya perbedaan median yang signifikan antara subjek dengan penyakit Crohn pada remisi (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) dan aktif (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), maupun subjek dengan kolitis ulseratif pada remisi (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) dan aktif (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Kesimpulan. Prevalensi defisiensi vitamin D pada IBD adalah sebesar 46,1%. Tidak terdapat adanya perbedaan yang signifikan terhadap kadar 25-OH-D pada pasien dengan IBD yang aktif dibandingkan dengan remisi.

Background. Vitamin D is one of the regulatory components that play a role in humoral and adaptive immune responses that have a pathogenesis role in various autoimmune conditions including IBD. Vitamin D deficiency is known to affect activity levels in patients with IBD. Several studies have shown that there is a role for vitamin D in increasing remission rates in patients with IBD. However, other studies have shown that there is no significant relationship between clinical activity of IBD and vitamin D deficiency. There are no studies in Indonesia that have assessed the relationship between vitamin D levels and clinical activity in IBD.
Aim. To determine the prevalence of vitamin D deficiency in patients with IBD and to assess the difference in mean 25-OH D levels in subjects with clinically active and remission.
Method. This is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Patients with IBD who came to the Gastroenterology Polyclinic and have their 25-OH-D levels checked. Subjects with ulcerative colitis were assessed for clinical activity using the Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) instrument where a value <2 was categorized as remission, while subjects with Crohn's disease were assessed for clinical activity using the Crohn's Disease Activity Index (CDAI) instrument with a value <150 categorized as remission. An analysis of the difference in mean 25-OH-D levels between remission versus active subjects was performed both in subjects with ulcerative colitis and Crohn's disease.
Results. A total of 76 subjects met the inclusion and exclusion criteria, 48 subjects had ulcerative colitis and 28 had Crohn's disease. A total of 65,3% of female subjects with the mean age of the subject was 46,39 (SB 16,25). The prevalence of vitamin D deficiency in IBD patients was 46,1% with 32,1% in Crohn's disease and 54,2% in ulcerative colitis. There was no significant median difference between subjects with Crohn's disease in remission (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) and active (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), as well as subjects with ulcerative colitis in remission (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) and active (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Conclusion. Prevalence of vitamin D deficiency in IBD is 46,1%. There was no significant difference in 25-OH-D levels in patients with active IBD compared with remission.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Salsabila
"Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem imun dengan tahap akhir berupa AIDS (acquired immunodeficiency syndrome). Penyebab kematian pada penderita HIV dapat dikelompokkan menjadi terkait AIDS dan tidak terkait AIDS. Sejak digencarkannya pemberian ARV, beberapa penelitian menunjukkan penurunan tren mortalitas serta perubahan tren penyebab mortalitas menjadi penyakit yang tidak terkait dengan AIDS. Penelitian terbaru diperlukan untuk mengevaluasi penyebab kematian pada pasien HIV rawat inap di RSCM selama periode 2020-2023. Metode Penelitian deskriptif observasional dengan metode kohort retrospektif ini menggunakan data rekam medis rawat inap RSCM periode Juli 2020-Juni 2023. Variabel yang diamati diantaranya adalah luaran, status terapi ARV, dan penyebab kematian. Hasil Dari total 497 pasien yang dianalisis dalam penelitian ini, proporsi mortalitas pasien sebesar 21,1% dengan proporsi tertinggi pada tahun 2020 (25,9%) dan mengalami penurunan hingga tahun 2023. Penyebab mortalitas didominasi oleh penyebab terkait AIDS (76,2%), dengan penyebab terbanyak berupa syok sepsis (20%). Sebanyak 81,6% pasien yang tidak pernah/putus terapi ARV mengalami kematian akibat penyebab terkait AIDS. Kesimpulan Proporsi mortalitas pasien HIV rawat inap RSCM mengalami penurunan dari tahun 2020 hingga 2023. Penyebab mortalitas masih didominasi oleh penyebab terkait AIDS, khususnya pada kelompok tidak pernah/putus terapi.

Introduction Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a virus that attacks the immune system, with the final stage being Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). The causes of death in HIV patients can be categorized as AIDS-related and non-AIDS-related. Since the intensification of ARV administration, several studies have indicated a shift in the trend of mortality causes towards non-AIDS related cause of death. New research is needed to evaluate the causes of death in HIV inpatients at RSCM during the period 2020-2023. Method This observational descriptive study with a retrospective cohort design utilizes medical records data of hospitalized patient at RSCM from July 2020 to June 2023. Observed variables include outcomes, ARV therapy status, and causes of death. Results Of the total 495 patients analyzed in this study, the patient mortality rate was 21.1%, with the highest mortality rate in 2020 (25,9%) and continue to decrease until 2023. Mortality causes were predominantly AIDS-related (76,2%), with the most common cause being septic shock (20%). A total of 81,6% of patients who never/discontinued ARV therapy experienced death due to AIDS-related causes. Conclusion The proportion of mortality in HIV inpatients at RSCM has decreased from 2020 to 2023. The causes of mortality are still predominantly AIDS-related, especially in the group with no/interrupted therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oriana Zahira Putri
"Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan berbagai organ dan sistem tubuh. Pasien dengan LES tidak bisa disembuhkan, melainkan dikontrol dengan pendekatan terapi treat-to-target bertujuan mencapai low lupus disease activity state (LLDAS) atau remisi. Pemantauan dilakukan secara berkala setiap 3-6 bulan sekali untuk menghindari kerusakan organ lebih lanjut. Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien LES di RSCM. Didapatkan total 66 pasien yang telah berobat selama 6 bulan pada Mei 2021—Juni 2022. Respons yang dilihat yaitu status aktivitas penyakit berdasarkan skor SLEDAI-2K pada bulan pertama dan keenam serta luaran penyakit, meliputi remisi, perbaikan, persisten aktif, dan perburukan.
Hasil: Sebagian besar pasien LES adalah perempuan (95,5%), rerata usia 31,23 tahun, dan keterlibatan organ terbanyak muskuloskeletal (93,9%). Hidroksiklorokuin dan metilprednisolon merupakan terapi yang paling banyak didapatkan pasien. Setelah 6 bulan terapi, status aktivitas penyakit pasien membaik dengan luaran penyakit perbaikan (33,3%) dan remisi (10,6%).
Kesimpulan: Setelah menjalani pengobatan selama 6 bulan, status aktivitas penyakit pasien membaik dari kategori aktivitas penyakit sedang (37,9%) menjadi ringan (48,5%). Terdapat perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik dan klinis antara skor SLEDAI-2K bulan pertama dengan bulan keenam (p = 0,000).

Introduction: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease that involve various organs and body systems. Patients with SLE cannot be cured, but rather controlled with a treat-to-target therapy approach aimed at achieving low lupus disease activity state (LLDAS) or remission. Monitoring is carried out regularly every 3- 6 months to avoid further organ damage.
Method: Observational analytical study with retrospective cohort design using database from medical records of SLE patients at RSCM. There were a total of 66 patients who had received treatment for 6 months in May 2021—June 2022. The interests were disease activity based on the SLEDAI-2K score in the first and sixth months as well as disease outcomes, such as remission, improvement, persistently active, and flare.
Results: Most SLE patients were women (95.5%), the average age was 31.23 years, and the most organ involvement was musculoskeletal (93.9%). Hydroxychloroquine and methylprednisolone are the most common therapy received by patients. After 6 months of therapy, the overall patient's disease activity status improved with an outcome of improvement (33.3%) and remission (10.6%).
Conclusion: After undergoing treatment for 6 months, the patient's disease activity status improved from moderate (37.9%) to mild (48.5%) disease activity category. There was a statistically and clinically significant difference between the SLEDAI-2K score for the first month and the sixth month (p = 0.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hananda Putri Shabira
"Latar Belakang Tuberkulosis resisten obat (TB RO) merupakan fenomena penambah insidensi Tuberkulosis yang sudah menjadi masalah kesehatan kritis secara global. Di dunia, dari 7,5 juta kejadian TB 73% nya merupakan TB RO. Insidensi TB RO di Indonesia sebanyak 24.000 atau 8,8/100.000 penduduk. Salah satu faktor risiko yang penting untuk menjadi perhatian adalah status gizi pasien, dimana didapatkan malnutrisi dapat mempengaruhi prognosis dan keberhasilan pengobatan. Parameter penilaian status gizi secara umum menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang sudah diklasifikasikan oleh WHO untuk penilaian status gizi. Metode Penelitian menggunakan desain kohort retrospektif dengan subjek sebanyak 90 sampel yang diambil menggunakan simple random sampling dengan rekam medis di RSUP Persahabatan tahun 2018-2022. Hasil Karakteristik subjek didapatkan mayoritas laki-laki (56,7%) dan berusia 25-64 tahun (82,2%). Tipe resistensi obat yang paling banyak adalah resistensi rifampisin (71,1%). Sebelum pengobatan, 42,2% pasien berada dalam kategori underweight. Setelah pengobatan, proporsi pasien underweight menurun menjadi 23,3%, sementara pasien normal-overweight dan obesitas masing-masing meningkat menjadi 55,6% dan 21,1%. Peningkatan IMT yang signifikan diamati post-pengobatan (perbedaan rata-rata 1,581, p=0,00). Analisis regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa usia (25-64 tahun) secara signifikan berkorelasi dengan peningkatan IMT, sementara pasien dengan TB resisten rifampisin dan pre-XDR menunjukkan kemungkinan lebih besar untuk penurunan IMT. Kesimpulan Terdapat peningkatan signifikan dalam IMT post-pengobatan yang menunjukkan dampak positif dari terapi TB RO terhadap status gizi pasien. Usia dan tipe resistensi obat berperan signifikan dalam mempengaruhi perubahan IMT setelah pengobatan.

Introduction Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) is a phenomenon that increases the incidence of tuberculosis, which has become a critical global health issue. Worldwide, among the 7,5 million TB cases, 73% were diagnosed with DR-TB. The incidence of DR-TB in Indonesia is 24,000 or 8,8/100,000 population. One of the important risk factors to consider is the nutritional status of the patient, where it was found that malnutrition can affect prognosis and treatment success. The general parameter for assessing nutritional status is the Body Mass Index (BMI) which has been classified by the WHO for nutritional assessment of patients. Method This study used a retrospective cohort design with 90 samples taken using simple random sampling of the medical records at Persahabatan Hospital from 2018-2022. Results The characteristics of the subjects found mostly were male (56,7%) and aged 25-64 years (82,2%). The most common type of drug resistance was rifampicin resistance (71,1%). Before treatment, 42,2% of patients were in the underweight category. After treatment, the proportion of underweight patients decreased to 23,3%, while the normal-overweight and obese patients each increased to 55,6% and 21,1%. A significant increase in BMI was observed post-treatment (average difference 1,581, p=0,00). Ordinal logistic regression analysis showed that age (25-64 years) was significantly correlated with an increase in BMI, while patients with rifampicin-resistant and pre-XDR TB were more likely to have a decrease in BMI. Conclusion There was a significant increase in BMI post-treatment, indicating the positive impact of DR-TB therapy on patient nutritional status. Age and type of drug resistance play a significant role in influencing BMI changes after treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>