Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Mentari Sofyan Putri
"Nelayan adalah jenis pekerjaan dengan risiko kelelahan kerja yang tinggi. Kelelahan kerja dapat disebabkan oleh penurunan kadar elektrolit akibat dehidrasi yang dicetuskan oleh pajanan tekanan panas atau peningkatan kadar asam laktat akibat beban kerja yang tinggi. Salah satu cara mencegahnya adalah asupan cairan yang cukup. Sebagai contoh, air kelapa yang mudah ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pengaruh suplementasi air kelapa kemasan terhadap waktu reaksi dan kadar asam laktat. Desain penelitian ini adalah true experimental, comparison pre intervension-post intervension group. Intervensi berupa air kelapa kemasan dengan air mineral kemasan sebagai kontrol. Subjek berjumlah 18 orang pada kelompok intervensi dan 19 orang pada kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terpimpin menggunakan kuesioner serta pemeriksaan kelelahan dengan waktu reaksi dan asam laktat. Pengukuran waktu reaksi setelah intervensi berbeda signifikan (p 0.001) antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada rangsang cahaya yang tidak ditemukan pada rangsang suara. Begitu pula dengan pemeriksaan asam laktat (p 0.121) antar kelompok. Hipotesis terbukti bahwa air kelapa kemasan berpengaruh lebih besar dalam mencegah kelelahan kerja berdasarkan waktu reaksi rangsang cahaya dan tidak ada pengaruh pemberian air kelapa kemasan terhadap perubahan kadar asam laktat.

Fishermen are a type of work with a high risk of work fatigue. Fatigue can be caused by a decrease in electrolyte levels due to heat stress-induced dehydration or an increase in lactic acid levels due to high workloads. One way to prevent this is adequate fluid intake. For example, coconut water is easily found in Indonesia. Therefore, this study aims to reveal the effect of supplementation of packaged coconut water on reaction time and lactic acid levels. The design of this study is true experimental, comparison pre intervention-post intervention group. Interventions in the form of packaged coconut water with packaged mineral water as a control. Subjects numbered 18 people in the intervention group and 19 people in the control group (after drop out). Data retrieval was carried out by guided interviews using questionnaires and measurement of fatigue with reaction time and lactic acid. The measurement of reaction time after intervention differed significantly (p 0.001) between the intervention group and the control group in visual stimuli, which was not found in the auditory stimuli. Similarly, the lactic acid examination did not differ significantly (p 0.121) between groups. The hypothesis is proven that packaged coconut water has a greater effect in preventing work fatigue based on visual reaction time and there is no effect of giving packaged coconut water to changes in lactic acid levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58734
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafael Nanda Raudranisala
"Latar Belakang: Tingginya pajanan tekanan dan beratnya aktivitas fisik saat bekerja menyebabkan nelayan berisiko kehilangan cairan dan elektrolit tubuh. Kehilangan elektrolit ini dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan dan mempengaruhi produktivitas. Salah satu cara mencegahnya adalah dengan mengkonsumsi cairan isotonik. Air kelapa merupakan cairan isotonik alami yang mudah didapat dan banyak beredar dalam bentuk kemasan dipasaran. Disisi lain mengkonsumsi air kelapa berisiko meningkatkan tekanan darah akibat peningkatan asupan harian natrium. Sehingga diperlukan adanya studi untuk mengungkap pengaruh suplementasi air kelapa kemasan terhadap kadar elektrolit darah dan tekanan darah pada nelayan
Metode: Penelitian true experimental pada populasi nelayan penangkap ikan dan pencari kerang dengan total subjek sebesar 37 yang dibagi secara random dan blinding menjadi 18 subjek untuk kelompok intervensi dan 19 subjek untuk kelompok kontrol. Subjek secara single blind diberikan cairan intervensi berupa air kelapa kemasan yang diberikan bersama dengan air mineral sebagai cairan kebutuhan dasar. Pengambilan data kadar elektrolit darah dan tekanan darah dilakukan sebelum dan sesudah bekerja.
Hasil: Dari hasil analisa statistik sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok suplementasi air kelapa terdapat penurunan bermakna kadar natrium darah (p 0.012) dan klorida darah (p 0.011), sedangkan kadar kalium dan tekanan darah tidak mengalami perubahan bermakna. Perbandingan kadar elektrolit darah dan tekanan darah setelah intervensi antara dua kelompok tidak menunjukan adanya perbedaan bermakna.
Kesimpulan. Secara statistik konsumsi air kelapa kemasan sebagai cairan suplementasi menyebabkan penurunan kadar natrium dan klorida darah mesikipun tidak bermakna secara klinis. Disisi lain jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, air kelapa tidak berbeda dalam mempengaruhi kadar elektrolit darah dan tekanan darah.

Background: Being expose to heat stress and heavy physical work make fishermen at risk of losing body fluid and electrolyte. This condition can cause serious health problem and affect productivity. Consuming isotonic water will prevent those risk. Coconut water is a natural isotonic solution that widely available on commercial packaged. In other hand, consuming coconut water can increase daily sodium intake and increase blood pressure. Further study is needed to reveal the effect of packaged coconut water on blood electrolyte level and blood pressure among fisherman.
Method: True experimental study was conducted among fisherman and clam seeker. A total of 37 subjects was divided randomly into interventional group (18 subjects) and control group (19 subjects). Subject was single blindedly given packaged coconut water as interventional solution accompenied by mineral water as basic fluid needs. Blood electrolyte and blood pressure was obtained before and after work.
Result:Statistically analysed on pre and post intervention of packaged coconut water supplementation group, showed a significant decrease of blood sodium level (p 0.012) and blood chloride level (p 0.011). While post interventional comparison between two groups show no difference neither blood electrolyte level nor blood pressure.
Conclusion: Statistically consuming packed coconut water as supplementation resulting on a decrease of blood sodium and chloride level, eventhough the decrease is not clinically significant. In other hand comparing to control group, packed coconut water has no difference on affecting blood electrolyte level and blood pressure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ma`rifatul Mubin
"Sindrom Kelelahan Kronik adalah kumpulan gejala dari penurunan substansial kemampuan dalam aktivitas pekerjaan, pendidikan, sosial, atau pribadi selama lebih dari 6 bulan dan disertai kelelahan, malaise pasca-kerja, dan tidur yang tidak menyegarkan ditambah setidaknya satu dari dua manifestasi gangguan kognitif dan intoleransi ortostatik. Salah satu dampak pajanan logam berat adalah terjadinya sindrom kelelahan kronik pada pekerja. Ada banyak bukti bahwa beberapa bentuk kelelahan dapat disebabkan atau diperburuk oleh kerja. Hubungan kerja dan sindrom kelelahan kronis dapat dipertanyakan, tetapi unsur-unsur di tempat kerja dapat memperburuk gejala sindrom kelelahan kronis. Pekerja tambang emas skala kecil menggunakan merkuri dalam pekerjaannya, sehingga berisiko tinggi mengalami keracunan kronik merkuri, apalagi Pekerja Emas Skala Kecil termasuk populasi pekerja yang tidak dilindungi. Pekerja jarang menggunakan alat pelindung diri dalam melakukan pekerjaannya. Salah satu masalah kesehatan akibat pajanan merkuri adalah terjadinya sindrom kelelahan kronik yang belum pernah diteliti pada PESK.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk mencari hubungan antara variabel bebas seperti usia, jenis kelamin, masa kerja sebagai penambang, jenis aktivitas bekerja, kadar merkuri urin dan kadar merkuri urin kumulatif dengan variabel terikat adalah sindrom kelelahan kronik pada pekerja PESK di provinsi Nusa Tenggara Barat dan Banten. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner asesmen kesehatan populasi terpajan merkuri dari WHO UNEP, pemeriksaan match box test, dan kadar merkuri urin terkoreksi kreatinin.
Hasil: Prevalensi sindrom kelelahan kronik pada pekerja PESK di provinsi Nusa Tenggara Barat dan Banten didapatkan sebesar 17,9%. Berdasarkan hasil, faktor usia, jenis kelamin, masa kerja, jenis pekerjaan, dan kadar merkuri urin kumulatif tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan sindrom kelelahan kronik (p > 0,05).
Kesimpulan: Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, masa kerja, jenis pekerjaan, dan kadar merkuri urin kumulatif dengan sindrom kelelahan kronik pada pekerja PESK.

Introduction: Chronic fatigue syndrome is a collection of symptoms from a substantial reduction in the ability to engage in preillness levels of occupational, educational, social, or personal activities that persists for more than 6 months and is accompanied by fatigue, post-exertional malaise, unrefreshing sleep. One of the effects of heavy metal exposure is the occurrence of chronic fatigue syndrome in workers. There is plenty of evidence that some form of fatigue can be caused or exacerbated by work. The working relationship and chronic fatigue syndrome can be questioned, but the elements in the workplace can worsen the symptoms of chronic fatigue syndrome. Small-scale gold miners use mercury in their work, so there is a high risk of chronic mercury poisoning. Workers rarely use personal protective equipment in doing their jobs. One of the health problems due to exposure to mercury is the occurrence of chronic fatigue syndrome that has not been studied at Artisanal and Small scale Gold Mining (ASGM).
Method: This study uses a cross-sectional design to find the relationship between independent variables such as age, sex, working period as a miner, type of work activities in ASGM, and cumulative urinary mercury levels with chronic fatigue syndrome in ASGM workers in West Nusa Tenggara and Banten province. The instrument used is a health assessment questionnaire of mercury-exposed population established by WHO UNEP, match box test, and creatinine-corrected urinary mercury levels.
Results: The prevalence of chronic fatigue syndrome in ASGM workers in West Nusa Tenggara and Banten provinces was 17,9%. Based on the results, the factors of age, sex, work period, type of work, and cumulative urinary mercury levels did not have a statistically significant relationship with chronic fatigue syndrome (p> 0.05).
Conclusion: There was no significant relationship between age, sex, work period, type of work, urinary mercury level and cumulative urinary mercury levels with chronic fatigue syndrome in ASGM workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muchammad Arief Gunawan
"Latar Belakang : Gangguan otot merupakan penyakit akibat kerja yang paling banyak terjadi di duni, dari data World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat gangguan otot rangka mencapai 60% dari semua penyakit akibat kerja, di Indonesia menurut data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2005 sebanyak 40,5% pekerja di Indonesia mempunyai keluhan nyeri otot. Pada pabrik pengolahan ikan PT X telah dilakukan survey awal pada 64 responen dan didapatkan 48% dari responden mengeluh nyeri tengkuk. Salah satu cara untuk mengurangi rasa nyeri adalah dengan melakukan peregangan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh peregangan terhadap penurunan dari nyeri tengkuk tersebut.
Metode : Studi analitik dengan desain Pre-Post Test. Membandingakan nilai nyeri dengan bantuan Visual Analog Scale (VAS) sebelum dilakukan peregangan dengan sesudah dilakukan peregangan sebanyak dua kali dalam sehari pada 5 hari dalam satu minggu dengan waktu penelitian selama 2 minggu.
Hasil : Didapatkanya nilai prevalensi nyeri tengkuk sebanyak 78.3% serta terdapat perbedaan bermakna dari nilai nyeri sebelum dilakukan peregangan ( VAS = 5 (3-6)) dengan nilai nyeri setelah dilakukan peregangan ( VAS = 2 (0-3)), tidak terdapat perubahan yang bermakan terhadap faktor individu baik umur, status gizi, pendidikan, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok dan faktor masa kerja.
Kesimpulan : Peregangan dapat menurunkan nilai nyeri tengkuk yang diukur berdasarkan Visual Analog Scale (VAS) dengan peregangan sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari dalam 1 minggu selama 2 minggu.

Background: Muscle disorders are the most common occupational diseases in the world, from World Health Organization (WHO) data in 2003 there was musculoskeletal disorder reaching 60% of all occupational diseases, in Indonesia according to data from the Ministry of Health of the Republic of Indonesia in 2005 as many as 40.5% of workers in Indonesia have complaints of muscle pain. In PT X fish processing factory has been conducted initial survey on 64 respondents and found 48% of the respondents complained of neck pain. One way to reduce pain is to doing a stretching. This study aims to see the effect of stretching on the decrease of the neck pain.
Methods: Analytic studies with Pre-Post Test design. Analyze the value of pain with the help of Visual Analog Scale (VAS) before stretching compare to after stretching twice a day for 5 days in a week with a 2-week research period.
Result: The prevalence value of cervical pain was 78.3% and there was significant difference of pain value before stretching (VAS = 5 (3-6)) with pain value after stretching (VAS = 2 (0-3)), no change which are related to individual factors in terms of age, nutritional status, education, exercise habits, smoking habits and work-time factors.
Conclusion: By stretching 2 times daily for 5 days in 1 week for 2 weeks can decrease the value of neck pain measured by Visual Analog Scale (VAS).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita
"Latar Belakang. Selain hasil produksi, kebugaran, health cost dan sickness absence merupakan parameter produktivitas yang penting bagi perusahaan. Salah satu yang mempengaruhi sickness absence adalah individu pekerja itu sendiri berupa gaya hidup tidak sehat seperti kurangnya aktivitas fisik, pola makan yang buruk, merokok dan stress. Oleh sebab itu, saat ini banyak berkembang program wellness di tempat kerja, sebagai upaya meningkatkan kesehatan dan kebugaran pekerja. Tujuan penelitian ini adalah menilai pengaruh suatu program yang dikemas dalam bentuk kompetisi latihan fisik untuk meningkatkan kebugaran terhadap penurunan sickness absence pekerja.
Metode. Penelitian dengan desain cohort retrospektif dengan total sampling dilakukan di perusahaan kimia A, kota Cilegon pada bulan Mei-Juni 2019. Pada penelitian diamati hasil program latihan fisik yang dilakukan di perusahaan selama tahun 2018. Pencatatan latihan fisik dilakukan kolektif melalui aplikasi smartphone, dan evaluasi kebugaran periodik menggunakan test jalan Rockport untuk mengukur kadar VO2 max. Data sickness absence dihitung berdasarkan total hari kerja hilang selama satu tahun berjalan setelah program dimulai. Analisis data menggunakan SPSS Statistik versi 22.0.
Hasil. Sebanyak 91 subjek, peserta program latihan fisik, dianalisis data programnya utuk mencari peningkatan kebugaran dan penurunan sickness absence berdasarkan data latihan fisiknya selama satu tahun. Analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara Active Group (AG) dan Innactive Group (IG) dalam meningkatkan kebugaran (adjusted RR 4,821, 95% CI 1,544-15,052) dan penurunan sickness absence (adjusted RR 3,458, CI 95% 1,034-11.572). Probabilitas penurunan sickness absence tidak berbeda antara yang mengalami peningkatan kebugaran dan yang tidak. Selain itu, ditemukan bahwa peserta dengan berat badan normal lebih berpeluang untuk meningkatkan kebugaran dibandingkan dengan peserta dengan kelebihan berat badan lebih/obesitas (adjusted RR 3,565, 95% CI 1,093-11,635).
Simpulan. Keaktifan dalam program latihan fisik terbukti meningkatkan kebugaran (nilai VO2 max) dan menurunkan sickness absence. Seseorang dengan status gizi normal lebih berpeluang untuk meningkatkan kebugaran dibandingkan status gizi lebih.

Background. Besides production, employee fitness status, health costs and sickness absence are important productivity parameters for the company. One of the contributing factors of sickness absence is an individual factor, with unhealthy lifestyle such as an unhealthy diet, lack of exercise, smoking and stress. Therefore, there are many wellness programs developed in the workplace, as an effort to improve worker's health and fitness. The aim of this study was to assess effect of physical exercise program for fitness improvement (value vo2 max) on sickness absence.
Methods. Study with a retrospective cohort design and total sampling was carried out in chemical company A, Cilegon in May-June 2019. This study was conducted by observing the results of the workers' physical training program in the company during 2018. Records of physical exercise were carried out collectively through a smartphone application, and fitness evaluation periodically use the Rockport walking test to measure VO2 max levels. The sickness absence data is calculated based on the total lost working days during the current year after the program starts. Data analysis using SPSS Statistics version 22.0.
Result. Data from 91 subjects of this study were observed to look for improvement in fitness and decrease in sickness absence based on one year's exercise data. 35 (38.5%) subjects increased their fitness (VO2 max value) and 31 (34.1%) subjects decreased in sickness absence. The factors that influence both of these are active physical exercise that carried out by 21 (23.1%) subjects. The analysis showed that there was a significant difference between Active Group (AG) and Innactive Group (IG) in improving fitness (adjusted RR 4.821, CI 95% 1.544-15.052) and decreasing sickness absence (adjusted RR 3.458, CI 95% 1.034-11.572). The probability of decreasing sickness absence does not differ between those who improve their fitness and those who do not. In addition, it was found that participants with normal weight were more likely to increase fitness compared to participants with overweight/obesity (adjusted RR 3.565, 95% CI 1.093-11.635).
Conclusion. Being active in a physical training program has been shown to improve fitness level and reduce sickness absence. And normal nutritional status is more likely to improve fitness than overweight or obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenni Dhamayanti
"Latar belakang :
Melihat belum adanya parameter yang spesifik untak pengakuran kelelahan umum pekerja serta sedikitnya penelitian yang telah dilakukan. Sehingga perlu dilakukan suatu studi yang hertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan terhadap timbulnya kelelahan umum dengan menggunakan parameter waktu reaksi L77 Lakassidaya secara objektif dan perasaan kelelahan secara subjektif dengan menggunakan Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK,).
Metode:
Penelitian ini menggunakan desain cross sectionaL Pengumpulan data dilakukan bulan Februari 2009 pada total populasi pekerja laki-laki sebuah call center bagian inbound jasa layanan C PT X Jakarta dari data primer dan data sekunder.
Hasil :
Dari 131 pekerja yang memenuhi persyaratan didapat prevalensi kelelahan mnum adalab 34 orang pekerja (25,9%) dan prevalensi perasaan kelelahan adalah 126 orang pekerja (96,2%). Secara statistik tidak ditemukan hubungau yang bermakna antara penyelesaian panggilan dengan kelelahan umum (OIMJ,79, 95o/.C/=0,3l-2,02) dan perasaan kelelahan (KS value= 1.000). Yang mendekati kemaknaan adalah faktor pencahayaan (OR= 2,26, 95o%CI=0,84-6,08), pelatihan sebelmn bekerja (OR l,80, 95%CI=0,&0-4,05) dan kebiasaan merokok (OR=0,47 95%Cl=0,21-l,06)

Background :
Specific parameter to measure general fatigue of workers has not been established yet and there were only few researches has been conducted. Thus, it is necessary to conduct a research to measure the prevalence and its factor related to general fatigue using reaction time L77 Lakassidaya objectively and fatique feeling using KAUPK, subjectively.
Method:
This study uses Gross sectional design. Data collection is performed at Call Center at lnbound Department ofC services at PT X Jakarta in February 2009. Sample is taken from total population of male worker at call center. Data collection is performed using primary and secondary data.
Result:
From 131 male workers of which comply with criteria, prevalence of general fatigue is 34 worker (25,9%), prevalence of fatigue feeling is 126 workers (96,2%). Statistically there is no significant relation between call handling accomplishment with general fatigue (OR=0.79. 95%CI=0.31-2.02) and fatigue feeling (KS value=1.000). Close factor are lighting (OR=2,26, 95%CI =0,84-6,08), pre-work training (OR=1,80 95%Cl=0,80-4,05) and smoking habit (OR=0,47 95%Cl=0,21-1,06).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T31993
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Heppi Baral Nafy
"Latar belakang. Pekerjaan angkat angkut merupakan aktivitas fisik berat di tempat kerja. Sistem kerja yang berulang dan dengan beban keija yang berat dapat menimbulkan masalah kesehatan yang berakibat penurunan ketahanan kardiorespirasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui variasi status ketahanan kardiorespirasi dan faktor-faktor yang berhubungan pada pekerja angkat angkut.
Metode. Disain penelitian menggunakan metode potong lintang. Subyek penelitian berasal dari bagian distribusi. Aktivitas fisik diternpat keija diketahui dari kuesioner dengan mengidentifikasi jenis pekerjaan, jenis kemasan, lama kerja, pekeijaan sampingan, lama istirahat kecil dan jumlah rit per bari. Tingkat ketahanan kardiorespirasi diukur menggunakan metode YM'CA·3Minute step test.
Hasil. Subyek penelitian adalah I 05 pekerja angkat angkut berumur antara 20 - 50 tahun. Sebanyak 59,1 % subyek rnemiliki ketahanan kardiorespirasi yang kurang. Faktor risiko yang berkaitan dengan status ketahanan kardiorespirasi kurang adalah jumlah anak. Faktor demografi, risiko pekeijaan aktivitas rurnah tangga, kebiasaan olahraga, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan pvstur tubuh tidak terbukti mempertinggi risiko ketahanan kardiorespirasi kurang.
Status ketahanan kardiorepirasi tidak berhubungan dengan aktivitas fisik berat di tempat keija. Faktor lainnya yaitu kebiasaan olahraga sedikit mempengaruhi ketahanan kardiorepirasi.. Subyek yang tidak mempunyai anak, mempunyai resiko 9.38 kali terhadap risiko ketahanan kardiorespirasi kurang (OR:9,38 ; CI 95 % : 1,06- 82,95).
Kesimpulan. Status ketahanan kardiorepirasi tidak berhubungan dengan aktivitas fisik berat di tempat kerja. Faktor lainnya yaitu kebiasaan olahraga sadikit mempengaruhi ketahanan kardiorepirasi.

Background. Loading unloading worker had heavy occupational physical activity. System of work and repeated heavy work load may cause health problems that result in a decrease in cardiorespiratory fitness. This study aims to find out the variation of cardiorespiratory fitness and related factors.
Methods. In this cross sectional study, subject were invited and choose purposely from distribution department. Heavy occupational physical activity with a note from the questionnaire by identify the type of job, type of packaging, work period, side job, mini break and work trip . Cardiorespiratory fitness was measured using YMCA-3 minute step test method.
Results. The subject of this study were 105 loading worker aged 20 - 50 years old. We noted that 59,1 % of the subject had low cardiorespiratory fitness. Risk factors that related to low cardiorespiratory fitness were demographic factor, risk of work, household physical activities, sport activities, Brinkmann index, body mass index and posture rating score were not likely correlated to low cardioreSpiratory fitness.
Cardiorespiratory fitness is not related to the heavy occupational physical activity. Other factors such as exercise habits were less likely related to cardiorespiratory fitness. Subject that does not have any children have 9.38 times to low cardiorespiratory fitness (OR=9,38 ; CI 95 % : 1,06 - 82,95).
Conclusion. Cardiorespiratory fitness is not related to the heavy occupational physical activity. Other factors such as exercise habits were less likely related to cardiorespiratory fitness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T31637
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Marganda D.A.
"Tujuan: Untuk mengetahui prevalens gangguan obstruksi saluran napas dan asma kerja, hubungan gangguan obstruksi saluran napas dan asma kerja dengan pajanan debu biji padi, dan faktor-faktor yang berhubungan seperti usia, jenis kelamin, masa kerja, lama kerja, kebiasaan merokok, indeks massa tubuh, tingkat pendidikan, ISBB, kelembaban udara, kadar debu dan kebiasaan berolah raga pada petani dengan riwayat batuk berdahak.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain penelitian cross sectional. Pcngumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, pengamatan langsung, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spirometri menggunakan alat spirometer, arus puncak ekspirasi (APE) mcnggunakan peak flowmeter dan pengukuran kadar debu menggunakan stationerer dust sampler di lapangan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 11.5. Terhadap semua variabel dilakukan nji bivariat, kemudian variabel yang mempunyai nilai p < 0.25 dilakukan uji multivariat.
Hasil: Prevaiens gangguan obstruksi saluran napas adalah 2,6%. Tidak ditemukan prevalens asma kerja. Pada analisis bivariat, tidak ditemukan adanya hubungan yang bemakna antara faktor usia, jenis kelamin, masa kerja, lama kerja, kebiasaan merokok, indeks massa tubuh, tingkat pendidikan, ISBB, kelembaban udara, kadar debu dan kcbiasaan berolah raga, dengan gangguan obstruksi saluran napas dan asma kerja. Hasil pengukuran kadar debu, berkisar < 3mg/m3, sedangkan indeks APE berkisar 3,38 dan l0,5. Analisis multivariat tidak dilakukan karena hanya terdapat satu faktor risiko yang memenuhj syarat yaitu kebiasaan berolah raga.
Kesimpulan: Prevalens gangguan obstruksi saluran napas adalah 2.6%. Tidak ditemukan prevalens asma kerja, serta tidak terdapat hubungan yang bemakna antara pajanan debu biji padi, dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan obstruksi saluran napas dan asma kerja.

Objectives: The aim of this study, was to know the prevalence of obstructive pulmonary disease and work-related asthma and relation between it with dust exposure from grain and the other related factors likes age, sex, length of employment, work period, smoking habits, body mass index, level of education, wet and buld globe temperature (WBGT), humidity, level of dust from grain and exercise habits among rice farmers with phlegm-cough history in Samarang village.
Method: The study design was a cross-sectional study which data was collected by using questionnaire, field observation, meastutement of workplace environment and physical examination. Interview and their questionnaire were used to collect data about demography, health and smoking habits. Spirometry test was done to diagnose obstructive pulmonary disease and peak-Flowmeter test to diagnose work-related asthma. All variable were bivariate tested by using Chi-square test or Fischer test. The variables which have p value < 0.25 were included into multivariate analysis by using binary logistic regression.
Result: It was found that prevalence of obstructive pulmonary disease was 2.6%. Bivariate analysis shows that no significant relationship between related factors like age, sex, length of employment, work period, smoking habits, body mass index, level of education, wet and buld globe temperature (WBGT), humidity, level of dust from grain and exercise habits with obstructive pulmonary disease and work-related asthma. The range level of dust from grain was < 3 mg/m3 with peak flowmeter index was 3.38 and l0.5. Multivariate analysis was not done because only one factor like exercise habits have p value < 0.25.
Conclusion: There is no significant relationship between obstructive pulmonary disease and work-related asthma with dust exposure from grain and the other related factors. Prevalence of obstructive pulmonary disease was 2.6%
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32310
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shierly Halim
"Sekitar 50% pekerja mengalami nyeri punggung bawah sederhana per tahun. Sikap tubuh janggal saat bekerja dengan beban angkat yang melebihi beban yang dianjurkan oleh NIOSH merupakan faktor risiko potensial terjadinya cidera pada punggung bawah. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk menentukan prevalensi nyeri punggung bawah sederhana dan faktor yang berpengaruh pada pekerja angkat angkut.
Metode : Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan seluruh total populasi. Pengumpulan data dilakukan di PT A (Jakarta Timur) pada bulan Januari dan Februari 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pengamatan sikap tubuh saat bekerja. Variabel yang diteliti adalah karakteristik pekerja, faktor agen, lingkungan kerja dan komponen lifting index.
Hasil : Dari 128 responden didapatkan 90 responden (70.3%) mengalami nyeri punggung bawah. Faktor sikap tubuh fleksi lebih dari 45°(odds ratio(0R) sesuaian'-=29.l8), composite IWng index lebih dari 3.0 (OR sesuaian =26.02) memiliki hubungan bermalma dengan nyexi punggung bawah sederhana. Faktor komponen lifting index yang bermakna terhadap nyeri punggung bawah sederhana adalah vertikal multyvlier < 0.89 (OR sesuaian=38.60), falctor asirnetri multqnlfer <2 0.90 (OR sesuaian= 24.6l) dan horisontal multiplier < 0.63 (OR sesuaian =8.23).
Kesimpulan dan saran : Faktor risiko yang paling dominan terhadap tirnbujnya nyeri punggung bawah sederhana pada pekerja angkat anglcut adalah sudut fleksi lebih dari 45°. Faktor komponen I$ing index yang paling dominan adalah vertikal muitiplier < 0.89. Perlu dilakukan pelatihau pada pekerja mengenai cara angkat angkut yang ergonomi dan pengaturan kembali mengenai ketinggian asal benda.

Background : Around 50% labors have simple low back pain per year. The awkward position during lifting with over limit has been suggested by NIOSH, could be a potential risk of back injury. This study aims to identity prevalence of simple low back pain (LBP) and affected factors of manual handling labors.
Methods : The study conducted cross sectional design with total population. Data collected between January and February 2009 at company A (East Jakarta). The data was gathered by interview, physical examination, neurological examination and working posture analysis. The variable studied were host factors, agent factors, environment and component of lifting index.
Results : Out of 128 respondents, 90 respondents (70.3%) suffered simple LBP. The angle flexion factor greater than 45° (adjusted Odds ratio (OR) =29.l8), composite lifting index NIOSH more than 3.0 (adjusted OR =26.02) had a significant relation with simple LBP. The Components of lifting index that had a significant association with simple low back pain were vertical multiplier < 0.89 (adjusted OR =38.60), asymmetry multiplier < 0.90 (adjusted OR = 24.6l) and horizontal multiplier < 0.63 (adjusted OR =8.23), have significant relation with simple LBP.
Conclusion and Suggestion : The predominant factor causing simple LBP was angle flexion greater than 45°. The predominant component lifting index causing simple LBP was vertical multiplier <1 0.89. It is important to concern training ergonomic manual handling and need to set reposition vertical origin of the object.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32907
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Magdalena Wartono
"Latar Belakang: Pekerja mebel di Kelurahan Pondok Bambu adalah pekerja informal yang dalam pekerjaannya terpajan dengan pelarut organik seperti toluen. Telah terbukti adanya pengaruh pajanan toluen terhadap kejadian gangguan penghidu. Belum ditemukan prevalensi gangguan penghidu akibat pajanan kimia di tempat kerja di Indonesia. Gangguan penghidu ini sering kali tidak dikeluhkan oleh penderita. Menurunnya fungsi penghidu dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan pekerja karena akan terus menginhalasi zat kimia berbahaya.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Subjek adalah pekerja mebel di RW 01, Kelurahan Pondok Bambu yang berjumlah 44 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi penghidu dengan Sniffin Sticks dan pemeriksaan kadar lingkungan toluen dengan personal sampling.
Hasil: Dari 44 subjek, 37 (84,1%) dari mereka mengalami gangguan penghidu, yang termasuk kategori risiko pajanan tinggi adalah 14 (31,8%) orang dan yang berisiko pajanan rendah 30 (68,2%) orang. Sebanyak 13 (92,9%) subjek yang berisiko tinggi mengalami gangguan penghidu, sedangkan yang berisiko rendah 24 (80%). Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dengan terjadinya gangguan penghidu. Median Kadar toluen rata-rata adalah 0,48 ppm (0,002 – 7,72). Didapatkan hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan gangguan penghidu, p = 0,02, OR = 26,4 ( IK 95% 1,59 - 453,77). Variabel lain seperti kebiasaan minum alkohol, gejala rinitis kronik dan riwayat atopi tidak ada yang secara signifikan berhubungan dengan gangguan penghidu.
Kesimpulan: Kejadian gangguan penghidu pada subjek penelitian ini tidak berhubungan dengan besar risiko pajanan toluen di tempat kerjanya tetapi berhubungan dengan kebiasaan merokok.

Background: Workers at the furniture industry of Pondok Bambu village are informal workers who may be occupationally exposed to organic solvents such as toluene. The influence of toluene exposure on smell disorders has been proven. The prevalence of smell disorders due to chemical exposure in the workplace in Indonesia is not yet been found. Occupational- related smell disorder is rarely complained by the patient. Decreasing of smelling function can affect the health and safety of workers as he will continue to inhale harmful chemicals.
Methods: This study used a cross-sectional design. 44 subjects recruited from the furniture industry in RW 01, Pondok Bambu village were studied. Data were collected through interviews, physical examination, quantitative smell function test with Sniffin Sticks and personal sampling airborne toluene levels measurement.
Results: Among the fourty-four studied subjects, 37 (84.1%) subjects had smell disorder. Fourteen (31.8%) of them were categorized as high-risk exposure group and 30 (68.2%) as low-risk exposure group. Thirteen (92.9%) subjects from the high-risk exposure group had smell disorder, whereas from the low-risk group were 24 (80%) subjects. Exposure risk status was not statistically significant with smell disorder. The median score of airborne toluene levels is 0.48 ppm (range from 0.002 to 7.72). Smoking habit was the only variable that statistically significant with smell disorder, p = 0.02, OR = 26.4, (95% CI 1.59 to 453.77). Other variables such as alcohol consumption, chronic rhinitis symptoms and atopic history were not statistically significant.
Conclusion: The smell disorders on the studied subjects is not associated with the exposure risk to toluene in the workplace but related to smoking habit.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>