Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mutiara Nurul Huda
"Latar belakang: Sepsis adalah penyebab kematian utama pada bayi dan anak. Tunjangan
nutrisi enteral (NE) dalam 48 jam pertama direkomendasikan untuk memenuhi kebutuhan
metabolik yang meningkat, sedangkan tunjangan nutrisi parenteral (NP) diberikan apabila
terdapat intoleransi atau kontraindikasi terhadap NE. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara tunjangan nutrisi dalam 72 jam pertama dengan
mortalitas dan lama rawat sepsis pada anak.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan menggunakan data rekam medis pasien anak
yang dirawat di RSCM tahun 2014-2019 dengan diagnosis sepsis menurut kriteria
konsensus sepsis anak internasional. Pasien dikelompokkan berdasarkan tipe tunjangan
nutrisi (NE, NP, atau kombinasi) yang diberikan dalam 72 jam pertama perawatan.
Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square dan uji Mann Whitney dilakukan untuk
membandingkan kejadian kematian dan lama rawat antara kelompok NP dengan
kelompok NE dan kombinasi (NE+NP).
Hasil: Terdapat 134 pasien yang diinklusikan dengan median usia 12 bulan dan sebagian
besar (59,7%) diberikan NP saja dalam 72 jam pertama. Fokus infeksi terbanyak adalah
paru-paru (59%) dan saluran cerna (36,6%). Sebanyak 96 (71,6%) pasien meninggal
dengan rerata lama rawat secara keseluruhan adalah 4 hari. Pemberian NP saja dalam 72
jam pertama (n=63; p=0,018; RR 1,78; IK 95% 1,06-3,00) dan NP pada hari ketiga (n=77;
p=0,006; RR 1,79; IK 95% 1,12-2,85) berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan NE dan kombinasi. Tidak ditemukan hubungan antara tunjangan nutrisi 72
jam pertama dengan lama rawat (p=0,945).
Kesimpulan: Pada pasien sepsis anak, tunjangan nutrisi dalam 72 jam pertama
(parenteral saja dibandingkan enteral/kombinasi) berhubungan dengan mortalitas, namun
tidak berhubungan dengan lama rawat.

Background: Sepsis is the leading cause of death in pediatric population. Enteral
nutrition (EN) in the first 48 hours is recommended to meet the increased metabolic
demands, whereas parenteral nutrition (PN) is given if intolerance or contraindications to
EN was present. This study aims to determine the relationship between nutritional support
in the first 72 hours with mortality and length of stay (LOS) in pediatric sepsis.
Methods: A retrospective cohort study was conducted using medical record data of
pediatric patients admitted to RSCM in 2014-2019 with sepsis according to International
Pediatric Sepsis Consensus criteria. Patients were classified into groups based on the type
of nutrition (PN, EN, or combination) given in the first 72 hours of treatment. Bivariate
analysis using Chi-square test and Mann Whitney test is conducted to compare mortality
and average LOS between PN group and EN/EN+PN group.
Results: In total, 134 patients were included with a median age of 12 months and the
majority (59.7%) receiving PN alone in the first 72 hours. The most common site of
infection were lungs (59%) and gastrointestinal tract (36.6%). Overall, mortality rate was
71.6% and median LOS was 4 days. PN within the first 72 hours (n=63; p=0.018; RR
1.78; 95%CI 1.06-3.00) and PN on the third day (n=77; p=0.006; RR 1.79; 95%CI 1.12-
2.85) was associated with higher mortality compared to EN/EN+PN. There was no
significant difference in hospital LOS between PN and EN/EN+PN group (p=0.945).
Conclusion: In pediatric sepsis, nutritional support in the first 72 hours (PN vs
EN/EN+PN) is associated with mortality, but has no effect on LOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Safira
"Latar belakang. Selama sepsis, terjadi penglepasan ICAM-1 yang dipercaya berperan dalam kerusakan otak. Sedangkan S100β telah diteliti sebagai penanda kerusakan sel otak.
Tujuan. Mengetahui rerata nilai ICAM-1, protein S100β, korelasi antara ICAM-1 dengan skala koma Glasgow (GCS), korelasi antara protein S100β dengan GCS, dan korelasi antara ICAM-1 dengan S100β.
Metode. Deskriptif analitik potong lintang pada 34 anak sepsis, pengukuran kadar ICAM-1 dan S100β dalam darah pada hari pertama dan ketiga sejak sepsis ditegakkan.
Hasil. Median ICAM-1 hari pertama 548,1 (158,6 – 1256,1) ng/mL dan ketiga 596,5 (185,5 – 1264,5) ng/mL (p=0,164). Median S100β pada sepsis berat lebih tinggi secara signifikan dibandingkan sepsis ringan pada hari pertama maupun ketiga (p=0,008 dan p=0,021). Hari ketiga, kadar S100β berkorelasi negatif dengan GCS (r= - 0,452; p=0,003). Korelasi antara ICAM-1 dan S100β pada hari pertama r=0,146 (p=0,409) dan ketiga r=0,184 (p=0,298).
Simpulan. Prevalens ensefalopati sepsis 5,9%. Median ICAM-1 hari ketiga sepsis lebih tinggi dibandingkan hari pertama. Median S100β pada sepsis berat lebih tinggi secara signifikan dibandingkan sepsis ringan. Tidak terdapat korelasi antara ICAM-1 dengan GCS pada kelompok sepsis ringan maupun berat. Terdapat korelasi negatif antara S100β dengan skor GCS pada hari ketiga sepsis. Tidak terdapat korelasi antara ICAM-1 dan S-100β pada hari I dan III sepsis.

Background: ICAM-1 release during sepsis is perceived to be related to brain injury. Whereas S100β has been known as one of brain injury markers.
Objective: To measure mean value of ICAM-1, S100β, to find correlation between ICAM-1 and Glasgow Coma Scale (GCS), between S100β and GCS, also ICAM- 1 and S100β.
Methods. Analytical cross sectional study in 34 sepsis children, measurement of ICAM-1 and S100β plasma levels within day 1 and 3 since diagnosis of sepsis.
Results. Median level of ICAM-1 day one 548,1 (158,6 – 1256,1) ng/mL and day three 596,5 (185,5 – 1264,5) ng/mL (p=0,164). S100β median is significantly higher in severe than mild sepsis (p=0,008 dan p=0,021). On third day S100β was negatively related to GCS (r= - 0,452; p=0,003). The correlation observed between ICAM-1 and S100β on day one was r=0,146 (p=0,409) while on third day was r=0,184 (p=0,298).
Conclusion. The prevalence of encephalopathy sepsis is 5.9%, Median ICAM-1 is higher on day three. Median of S100β is higher in severe than mild sepsis.There is no correlation between ICAM-1 and GCS in both sepsis. There was negative correlation between S100β and GCS on 3rd day of sepsis. No correlation between ICAM-1 and S100β on both measurement days.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tuty Rahayu
"Latar belakang Hiperglikemia pada anak sepsis dan syok septik merupakan keadaan yang sering ditemukan serta mempunyai luaran yang buruk. Patofisiologinya belum jelas mungkin berbeda dengan dewasa yaitu terdapatnya hipofungsi sel beta pankreas dibandingkan dengan resistensi insulin.
Tujuan Mengetahui adanya hipofungsi sel beta pankreas dengan didapatnya penurunan kadar insulin melalui pemeriksaan kadar C peptida pada anak sepsis dan syok septik dengan hiperglikemiaMetode. Penelitian dilakukan di PICU Pediatric Intensive Care Unit dan IGD Instalasi Gawat Darurat. Penelitian ini merupakan suatu uji deskriptif analitik dengan memeriksa kadar C peptida pada anak sepsis dan syok septik dengan hiperglikemia Kadar gula darah dan C peptida diperiksa secara periodik selama 48 jam
Hasil Hiperglikemia dan penurunan kadar C peptida ditemukan pada 59 dan 52 pasien anak dengan sepsis dan syok septik Keadaan hiperglikemia hanya ditemukan pada 12 jam pertama perawatan. Perbedaan kadar gula darah dan C peptide tampak pada 1 jam pertama yaitu 229 vs 192 mg dl dan 0 5 vs 1 5 ng ml nilai p 0 409 p 0 025 Skor PELOD lebih tinggi pada kadar C peptida rendah 11 vs 1. Penggunaan ventilator inotrops kortikosteroid dan lama rawat PICU tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok.
Simpulan Terdapat penurunan kadar C peptida di bawah normal pada anak sepsis dan syok septik dengan hiperglikemia dan meningkat ke normal dalam 48 jam Penurunan gula darah terjadi 12 jam pertama hal ini menunjukkan perlunya infus glukosa pada keadaan akut sepsis. Apakah hiperglikemia merupakan respons normal tubuh dan hipofungsi sel beta pankreas akibat beratnya penyakit pada anak sepsis perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

Background Hyperglycemia in children sepsis is a condition that is often found Pathophysiology is unclear may differ from the adult that the presence of hypofunction of pancreatic beta cells compared with insulin resistance.
Objective To determine the hypofunction pancreatic beta cells with decreased levels of C peptide insulin in children with sepsis hyperglycemiaMethods The study was conducted in the PICU and ER. This study was a descriptive analytic test by examining the levels of C peptide in children with sepsis hyperglycemia Checked blood sugar levels and C peptide during 48 hours on a periodic basis.
Results Hyperglycemia and decreased levels of C peptide were 59 and 52 in children with sepsis respectively Hyperglycemia was found only in the first 12 hours Differences in blood sugar levels 229 vs 192 mg dl p value 0 409 and C peptide 0 5 vs 1 5 ng ml p value 0 025 appeared at the first 1 hour. Further analysis between normal and low C peptide showed PELOD score was higher in low C peptide level 11 vs 1. Ventilators inotrops corticosteroids and PICU LOS was should no difference in the two groups.
Conclusions There was a decrease in C peptide level below normal in children with sepsis hyperglycemia and increased to normal within 48 hour. The decrease in blood sugar occurs in the first 12 hours which demonstrates the need for infusions of glucose in acute sepsis Further research whether hyperglycemia was a normal response of the body and hypofunction pancreatic beta cells due to the severity of the disease in children sepsis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunnie Trisnawati
"Latar belakang Algoritme pemberian nutrisi enteral secara dini direkomendasikan sebagai strategi pelaksanaan pemberian nutrisi pada anak sakit kritis sehingga target kalori dapat dicapai dalam waktu singkat Saat ini belum ada algoritme pemberian nutrisi enteral standard di PICU RSCM untuk mencapai target kalori optimal.
Tujuan mengevaluasi lama waktu tercapainya target kalori Predicted Energy Expenditure PEE dengan menggunakan algoritme pemberian nutrisi enteral dibandingkan dengan lama waktu tercapainya PEE sebelum algoritme diterapkan di PICU RSCM.
Metode Penelitian dilakukan di PICU RSCM dengan pasien berusia 1 bulan 18 tahun dan lama rawatan di atas 24 jam dan mendapatkan nutrisi enteral. Penelitian retrospektif dilakukan pada 37 rekam medis pasien rawatan PICU pada bulan Juli - September 2015 kelompok sebelum menggunakan algoritme nutrisi enteral. Penelitian prospektif dilakukan di bulan Oktober ndash Desember 2015 pada 37 pasien yang mendapatkan nutrisi enteral sesuai algoritme kelompok menggunakan algoritme nutrisi enteral
Hasil Kelompok yang menggunakan algoritme memiliki lama waktu tercapainya PEE lebih singkat dibandingkan kelompok sebelum menggunakan algoritme median 24 jam vs 74 jam p

Background Early implementation of enteral nutrition EN algorithm is recommended as a strategy in overall nutritional support of the critically ill children Until nowadays there is no standard EN algorithm used for critically ill children in PICU RSCM
Objective To evaluate the time to reach energy goal predicted energy expenditure PEE before and after implementation EN algorithm for achieving optimal EN energy goal in PICU
Methods Patients admitted to PICU RSCM aged 1 mo ndash 18 yo who stayed more than 24 hours who received EN Retrospective data was collected from 37 medical records of patients admitted to PICU from July - September 2015 before implementation EN algorithm group Prospective data enrolled from October ndash December 2015 with 37 consecutive patients who received EN using algorithm after implementation algorithm group. Nutritional audit and time to reach PEE was compared in both groups
Results We found the median time to reach PEE was decreased from 74 hrs to 24 hrs p."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Fadlurahman
"Latar belakang: Cedera gastrointestinal akut kerap terjadi pada pasien dengan sakit kritis. Fungsi saluran menjadi salah satu pertimbangan dalam pemberian nutrisi pasien. Komplikasi pada saluran cerna dapat menghambat pemberian nutrisi enteral yang lebih direkomendasikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral pada pasien anak sakit kritis.
Metode: Penelitian ini memiliki desain studi potong lintang menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien anak sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM dari September 2019 sampai Agustus 2020. Cedera gastrointestinal akut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi WGAP ESICM. Asupan nutrisi diambil dari data rekam medis pasien. Data dianalisis menggunakan Uji Saphiro-Wilk dilanjutkan Uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capian nutrisi enteral pasien. Data diolah menggunakan aplikasi IBM SPSS for windows versi 20.
Hasil: Sampel penelitian berjumlah 26 pasien. Median presentase capaian nutrisi enteral hari ketiga (% laju metabolik basal) setiap derajat yaitu derajat satu 40,08 (0-144,39); dua 0,00 (0-219); tiga 19,10 (0,00-38,20); dan empat 0,00 (0,00-130,30) dengan hasil uji Kruskal-Wallis (p=0,904). Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama capaian 25% nutrisi enteral dengan derajat cedera gastrointestinal akut (Kruskal-Wallis, p=0,556). Pada penelitian, faktor lain seperti status gizi (p=0,952), penggunaan ventilator mekanik (p=0,408), dan riwayat pascaoperasi (p=0,423) tidak mempengaruhi presentase nutrisi enteral hari ketiga.
Kesimpulan: Pada pasien anak kritis, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral.

Background: Acute gastrointestinal injury (AGI) is usually found in critically ill patients. Gastrointestinal function can determine the route od nutritional therapy. Gastrointestinal abnormalities may delay enteral nutrition therapy in patients. Therefore, this study aims to determine the association between the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcome in critically ill children.
Methods: This study had a cross-sectional study design using the medical records of critically ill children in PICU RSCM from September 2019 until August 2020. AGI patients was classified based on WGAP ESIM grading system. Nutritional outcomes were assessed using data from medical record. Data were analyzed the Kruskal-Wallis test to determine the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcomes. The Data were analysed using SPSS for windows version 20.
Results: The study sample was 26 patients. The medians of day three enteral nutrition percentage were grade one 40,08 (0-144,39); grade two 0,00 (0-219); grade three 19,10 (0,00-38,20); dan grade four 0,00 (0,00-130,30) with Kruskall-walis test result (p=0,904). There was no significant association between AGI and the duration of 25% basal metabolic rate (Kruskal-Wallis, p=0,556). In this study, Other factors such as nutritional status (p=0,952), ventilator usage (p=0,408), and post-operative history (p=0,423) did not associate with day three enteral nutrition percentage.
Conclusion: In critically ill children, there was no significant association between the acute gastrointestinal injury and the outcome of enteral nutrition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadholirrahman Naufal Raditya
"Latar belakang: Cedera gastrointestinal akut seringkali terjadi secara sekunder terhadap penyakit kritis, namun penilaiannya tidak rutin dilaksanakan. Penilaian gagal organ pada pasien anak yang banyak digunakan di Indonesia adalah skor PELOD-2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan gagal organ yang dinilai berdasarkan skor PELOD-2 pada pasien anak sakit kritis.
Metode: Studi potong lintang dengan data sekunder dari rekam medik pasien anak dengan cedera gastrointestinal akut di PICU RSCM dari bulan September 2019-September 2020. Derajat cedera gastrointestinal akut dinilai menggunakan kriteria AGI grading system, sedangkan gagal organ dinilai menggunakan skor PELOD-2. Uji statistic Chi Square, Kruskal Wallis dan Mann-Whitney dilakukan menggunakan aplikasi SPSS IBM versi 20.
Hasil: Didapatkan 25 sampel dengan median skor PELOD-2 pada derajat satu sebesar 1 (0-5), dua sebesar 1 (0-9), tiga sebesar 9 (n=1), dan empat sebesar 9 (7-11). Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik (P= 0,004) dan terdapat peningkatan skor PELOD-2 pada derajat yang lebih tinggi. Selain itu hasil uji Chi Square menunjukkan terdapat hubungan antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan mortalitas pasien (P= 0,014).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan skor PELOD-2 dan luaran mortalitas pada pasien anak sakit kritis.

Background: Acute gastrointestinal injury can be secondary to critical illness, however it is not often assessed. The instrument used to assess organ dysfunction in children is Pediatric Logistic Organ Dysfunction-2 (PELOD-2) Score. This study aims to explain association between AGI grade and organ dysfunction using PELOD-2 in critically ill pediatric patients.
Methods: This is a cross-sectional study with data collected from medical records of pediatric patients with AGI in PICU of Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, starting from September 2019 to 2020. Patients were classified based on AGI grade. The severity of organ dysfunction was measured using PELOD-2. Data were analysed with Chi Square, Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test using SPSS IBM version 20.
Results: From 25 included pediatric patients, median of PELOD-2 score in AGI grade 1, 2, 3 were 1, 1, 9 respectively. There is only one sample of AGI grade 3, therefore the median of PELOD-2 score cannot be calculated.. Kurskal-Wallis test showed significant association (P: 0.004) with higher PELOD-2 score in more severe AGI grade. Chi Square test also showed significant association (P= 0,014) with higher mortality rate in more sever AGI grade.
Conclusion: There is significant association between AGI grade with PELOD-2 score and mortality rate in critically ill pediatric patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Wahyu Puspaningtyas
"Latar Belakang: Sepsis saat ini masih merupakan masalah utama di bidang perawatan dan pelayanan neonatus dengan angka mortalitas 24% pada tahun 2012. Gangguan sistem koagulasi pada sepsis akibat aktivasi endotel dan pengeluaran faktor jaringan ditandai dengan eksaserbasi proses koagulasi, gangguan sistem anti-koagulasi, dan penurunan degradasi fibrin yang mengakibatkan terbentuknya trombosis mikrosirkulasi, deposisi bekuan fibrin, hipoperfusi jaringan serta hasil akhir berupa disfungsi organ. Kaskade koagulasi menunjukkan trombin memiliki peran penting dan salah satu komponen antikoagulan utama diperankan oleh antitrombin (AT). Seratus persen neonatus dengan sepsis menderita defisiensi AT namun belum ada data pada neonatus yang secara klinis menderita sepsis.
Tujuan: Mengetahui profil dan perubahan kadar antitrombin pada neonatus yang secara klinis menderita sepsis awitan dini di unit perawatan Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian bersifat deskriptif prospektif yang dilakukan pada bulan Agustus-November 2013. Subjek penelitian adalah neonatus usia gestasi 28-40 minggu (berat lahir >1000 gram) yang secara klinis terdiagnosis sepsis dan dirawat di ruang Perawatan Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dilakukan pengukuran kadar serum AT secara serial pada perawatan hari pertama, ketiga dan kelima. Kadar serum AT disajikan dalam bentuk nilai rerata dan simpang baku. Analisis statistik dilakukan untuk melihat perbedaan antar rerata AT pada hari pertama, ketiga dan kelima perawatan dengan menggunakan uji Anova (analisis bivariat).
Hasil: Penelitian ini dilakukan pada 62 neonatus yang secara klinis menderita sepsis. Pada penelitian ini didapatkan peningkatan rerata AT yang meningkat secara bermakna pada ketiga pengukuran AT (P=0,000) dan kecenderungan peningkatan kadar AT yang lebih tinggi pada pasien yang hidup dibandingkan pasien yang mati. Terdapat 56,5% neonatus dengan defisiensi antitrombin pada pemeriksaan hari pertama perawatan dengan profil nilai rerata AT pasien penelitian sebesar 30,01% (SD 17,36) pada pemeriksaan hari pertama, 37,9% (SD 19,34) pada pemeriksaan hari ketiga dan 47,05% (SD 18,25) pada pemeriksaan hari kelima perawatan.
Simpulan: Terdapat profil kadar AT yang rendah dan peningkatan kadar AT pada pasien neonatus yang secara klinis menderita sepsis. Antitrombin masih mungkin memiliki peran sebagai faktor prognostik.

Background: Neonatal sepsis still becomes one of major problems in neonatal care. The problem can be seen from the 24% mortality in 2012. Within the pathophysiology of sepsis, coagulation derangements caused by endothelial activation and secretion of tissue factor, are characterized by coagulation exacerbation, impaired anticoagulation system, and decreased fibrin removal. These derangements are marked by the generation of microcirculation thrombosis with deposition of microclots and obstruction of circulation, impairing blood flow contributing to tissue hypoperfusion and consequently organ dysfunction. In addition to this, coagulation cascade demonstrates that thrombin has major role in the formation of fibrin. One of the main anticoagulant against the coagulation activity is played by antithrombin (AT). Eventhough all neonate with neonatal infection have AT deficiency, there is no data in clinically early-onset neonatal infection.
Objectives: This study was designed to identify the profile and changes in AT in clinically early-onset neonatal infection in Perinatology ward Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: A descriptive in prospectively was conducted from August until November 2013. Subjects were neonate 28-40 weeks gestational ages (birth weight >1000 gram) who clinically diagnosed with neonatal infection and hospitalized in Perinatology ward Cipto Mangunkusumo Hospital. Serum AT level was measured serially in the first, third, and fifth day of the hospitalization. Data AT profile was presented by the mean and confidence interval. Anova test was used to analyze the difference between measurements (bivariate analysis).
Result: This study found that the mean of serum AT level increase significantly in the serial measurement (p=0,000) and there was a trend showing higher increamental level of AT in survived patient compared to the died one. These results are taken from samples of 62 neonates with clinically early-onset neonatal infection. From the samples, 56,5% of neonates were having antithrombin deficiency from the first day of the hospitalization. In addition to this, the means serum AT level was 30,01% (SD 17,36) in the first day, 37,9% (SD 19,34) in the third day and 47,05% (SD 18,25) in the fifth day of hospitalization.
Conclusion: There was low level of antithrombin profile and increasing serum level AT in clinically early-onset neonatal infection. Antithrombin may have beneficial effect as a prognostic factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitti Aizah Lawang
"Latar Belakang: Tujuan penelitian untuk melihat neutrophil gelatinase associated lipocalin (NGAL) pada pasien sepsis. Dimana NGAL merupakan biomarker yang dini untuk acute kidney injury (AKI). Metode Penelitian Penelitian kualitatif dengan desain uji diagnostik Pengambilan sampel secara cross sectional dan consecutive sampling pada 50 orang anak yang sepsis yang terdiri dari 28 sepsis, 22 sepsis berat di ruang rawat intensif anak di RS. Ciptomangunkusomo Jakarta dan RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Hasil: Kadar NGAL urin pada pasien sepsis berat lebih tinggi dibandingkan sepsis. Nilai sensitifitas NGAL urin 100% dan spesifisitas 63,63%. NGAL urin meningkat lebih dulu bila dibandingkan dengan kreatinin serum. Kesimpulan NGAL dapat dipakai sebagai petanda dini terjadinya AKI.

Introduction: The aim of this study to observe the neutrophil gelatinase associated lipocalin (NGAL) in pediatric sepsis. From previous study NGAL was early biomarker for AKI. Methods. This study is a qualitative study for diagnostic test. Sample was collected by cross sectional and consecutive sampling on 50 sepsis children, consist of 28 sepsis, 22 severe sepsis in pediatric intensive care unit Ciptomangunkusomo Hospital Jakarta and Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar.
Result: The value of urinary NGAL in severe sepsis is higher than sepsis. The Sensitivity and specificity is 100% and 63,63% this study suggest that urinary NGAL increase earlier than serum creatinine. Conclusion. Therefore urinary NGAL can be used as early biomarker for AKI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Martuti
"Malnutrisi sering ditemukan pada anak dengan pasca pembedahan dan berhubungan dengan luaran sepsis atau infeksi luka operasi. Penelitian observasional analitik ini bertujuan mengetahui pengaruh malnutrisi terhadap luaran pasien pasca pembedahan dengan mengukur penurunan kadar RBP pada hari pertama dan kelima pasca pembedahan. Dilakukan pengukuran kadar RBP, kortisol, CRP pada hari pertama dan kelima pasca pembedahan, luaran infeksi dinilai berdasarkan skor ASEPSIS. Hasil penelitiaan ini menunjukkan penurunan RBP, peningkatan CRP, usia dan skor ASA berturut-turut memberikan risiko 4,4;3,3;1,2 dan 1,3 kali terjadinya infeksi luka operasi pada pasien pasca pembedahan mayor, namun tidak didapatkan perbedaan yang bermakna.

Malnutrition is often found in children with post-surgery and associated with poor outcomes such as sepsis or surgical wound infections. This analytic observational study aims to determine the effects of malnutrition on the outcomes of patients after surgery by measuring the decrease in Retinol Binding Protein (RBP) levels on the first and fifth day post-surgery. We measured levels of RBP, cortisol, CRP in the first and fifth day post-surgery and infection outcomes were evaluated according to ASEPSIS score. The results of this study showed a decrease in RBP, an increase in CRP, age and ASA score consecutively provide risk 4.4; 3.3, 1.2 and 1.3 times for occurrence of surgical wound infections in patients after major surgery, but there were no statistically differences."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrina Istanti
"Malnutrisi sering ditemukan pada pasien pasca bedah dan berhubungan dengan penurunan fungsi otot, respirasi, imun serta terganggunya penyembuhan luka. Penelitian observasional analitik ini bertujuan mengetahui faktor yang mempengaruhi status nutrisi akut pascabedah. Dilakukan pemeriksaan kadar retinol binding protein (RBP) hari ke-1 dan ke-5 pasca bedah sebagai indikator status nutrisi akut. Asupan nutrisi dan prosentasenya terhadap resting energy expenditure (REE) diukur tiap hari. Dilakukan pemeriksaan kortisol dan C-reactive protein (CRP) sebagai marker respons inflamasi. Dari 35 subyek penelitian sesuai kriteria inklusi disimpulkan kadar RBP hari ke-1, kortisol dan CRP berpengaruh terhadap status nutrisi akut pascabedah.

Malnutrition is common in postoperative patients and is associated with decreased muscle function, respiratory, immune and disruption of wound healing. This analytic observational study aims to determine the factors that affect the nutritional status of acute post operative patients. We examined the levels of retinol binding protein (RBP) on day 1 and 5 post-operative as an indicator of acute nutritional status. Nutrient intake was calculated for each day and the percentage from resting energy expenditure (REE). We also examined cortisol and C-reactive protein (CRP) as markers of inflammatory response. Of the 35 study subjects who met the inclusion criteria, we can conclude that RBP levels, cortisol and CRP in day 1 are indicators of acute post-operative malnutrition"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>