Ditemukan 44 dokumen yang sesuai dengan query
Larasati Affandi
"Ketika berkomunikasi, penutur menerapkan prinsip kerja sama yang terdiri dari empat kategori, yaitu maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Adanya pelanggaran terhadap sebagian atau keseluruhan maksim tersebut akan bermasalah apabila membuat mitra tuturnya tidak atau salah memahami pesan dari penutur meskipun dalam beberapa kasus komunikasi masih dapat berjalan. Pelanggaran maksim yang menimbulkan kesalahpahaman dilakukan oleh Bocchi pada Anime Bocchi the Rock yang mengidap gangguan kecemasan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jenis-jenis maksim yang dilanggar oleh Bocchi serta dampak dari gangguan kecemasan sosial terhadap terjadinya pelanggaran maksim tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan data penelitiannya berupa percakapan antara Bocchi dengan orang-orang di sekitarnya. Data dikumpulkan dengan mengobservasi semua percakapan di dalam 12 episode Anime Bocchi the Rock. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bocchi melanggar keempat jenis maksim. Terdapat sebanyak 40 data yang memiliki pelanggaran tersebut. Dari semua data ini, peneliti mengkaji lebih lanjut enam data yang dianggap menarik, mewakili keempat jenis pelanggaran maksim, dan menggambarkan karakteristik dari penderita gangguan kecemasan sosial. Pengkajian ini menyimpulkan bahwa gangguan kecemasan sosial bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran maksim yang dilakukan Bocchi. Gangguan tersebut membuat Bocchi takut berinteraksi sosial sehingga mengakibatkannya berbicara dengan gagap dan terengah-engah (melanggar maksim cara). Gangguan tersebut juga membuat Bocchi takut menyinggung perasaan orang lain dan dinilai negatif sehingga mengakibatkannya memberikan tanggapan yang tidak berhubungan dengan topik pembicaraan sebelumnya (melanggar maksim relevansi), memberikan informasi yang berlebihan (melanggar maksim kuantitas), dan berbohong (melanggar maksim kualitas). Gangguan tersebut juga menimbulkan kecenderungan bagi Bocchi untuk berbicara dengan sangat pelan (melanggar maksim cara) dan bersifat tertutup yang membuatnya tidak mampu memenuhi maksim relevansi.
When communicating, speakers apply the cooperative principle which consists of four categories, maxim of quantity, quality, relevance, and manner. This violation will be problematic if it makes the hearer not understand or misunderstand the speaker’s message, although in some cases communication can still be carried out. Maxim violations that cause misunderstanding are done by Bocchi in the Anime Bocchi the Rock who suffers from social anxiety disorder. This research aims to examine the types of maxims violated by Bocchi and the impact of social anxiety disorder on the occurrence of those maxim violations. This research is qualitative research with research data in the form of conversations between Bocchi and the people around her. These data were obtained by observing all conversations in twelve episodes of the Anime Bocchi the Rock. The research findings reveal that Bocchi violates all four kinds of maxims. A total of 40 data have those violations. From all these data, the researcher further examines six data that appeal to the researcher, represent the violation of all four maxims, and depict characteristics of social anxiety disorder sufferers. The examination concluded that the disorder makes Bocchi afraid of having social interactions which causes her to stutter and speak out of breath (violates the maxim of manner). The disorder also makes her afraid of hurting others’ feelings and being judged negatively which causes her to give irrelevant responses to the previous conversation topic (violates the maxim of relevance), conveying excessive information (violates maxim of quantity), and lying (violates the maxim of quality). The disorder also causes tendencies for Bocchi to speak in a very soft voice (violates the maxim of manner) and be withdrawn which makes her unable to fulfil the maxim of relevance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Muhammad Lazuardi Imani
"Kebudayaan Jepang dipengaruhi oleh posisinya sebagai persimpangan jalur perdagangan. Pada abad ke-16 dan 17, bangsa Portugis bersama dengan bangsa Eropa yang lain berdagang dengan bangsa Jepang. Bangsa Portugis, yang saat itu bersama dengan bangsa Spanyol disebut nanban oleh bangsa Jepang, membawa pengaruh kuliner dari negara dan daerah jajahan mereka sendiri ke dalam masakan Jepang. Tempura, kasutera, dan konpeitou merupakan contoh hasil dari akulturasi tersebut. Sekarang, masakan Jepang yang dipengaruhi oleh masakan Portugis disebut nanban ryouri.
The culture of Japan is influenced by its strategic position on global trade routes. In the 16th and 17th centuries, the Portuguese and other European nations traded with the Japanese. The Portuguese, who along with the Spanish at the time were called nanban by the Japanese, brought culinary influences from their own country and colonies into Japanese cuisine. Tempura, kasutera, and konpeitou are examples of the result of this acculturation. Nowadays, Portuguese-influenced Japanese cuisine is known as nanban ryouri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Keizo Azzuhdi Pradipta Rizal
"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas metode mnemonik semantic encoding dalam penghapalan makna kanji ketika dibandingkan dengan metode pengajaran ceramah dalam jangka waktu pendek. Penelitian ini juga bertujuan untuk mencari tahu efektivitas mnemonik ketika sebagian aspek dari mnemonik yang digunakan tidak akrab di benak pengguna. Tujuan ini berangkat dari adanya kebutuhan sebuah metode pembelajaran yang efektif agar dapat memaknai dan menghapalkan kanji dalam waktu singkat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melaksanakan pre-test kepada test group mengenai pengetahuan kanji setelah diberikan daftar kanji yang akan dipelajari dan diberikan kesempatan menghafal, lalu diberi perlakuan dan mengambil data kembali pada post-test. Setelah dilakukan pengumpulan data, responden dari grup mnemonik diwawancarai untuk mencari tahu resepsi responden terhadap metode mnemonik. Penelitian ini membuktikan bahwa metode mnemonik semantic encoding lebih efektif dibandingkan metode ceramah dalam menghapal makna kanji di kurun waktu singkat, dan perbedaannya signifikan secara statistik. Penelitian ini juga menemukan bahwa metode mnemonik semantic encoding tidak dapat distandarisasi, karena pengalaman pribadi dan latar belakang budaya yang berbeda-beda menentukan berterima atau tidaknya sebuah mnemonik. Penelitian ini juga menemukan bahwa diperlukan konteks budaya untuk memahami koneksi antara makna komponen kanji dan makna kanji secara keseluruhan, dan oleh karenanya, makna kanji secara keseluruhan tidak selalu dapat dipahami hanya dengan menggunakan makna komponen.
This study aims to examine the effectiveness of semantic encoding mnemonic in memorizing kanji meanings compared to the lecture method in a short period of time. This study also aims to find out the effectiveness of mnemonics when some aspects of the mnemonic used are unfamiliar to the user’s mind. The goal of this study comes from the problem in learning kanji for non-native speaker, which is the need for an effective learning method to memorize and understand kanji within a short period of time. The method used in this study is the mixed method. The data in this study was collected by carrying out a pre-test on the test group, which was given after the list of kanji to be memorized, then given the treatment and then given a post-test. After collecting data, respondents from the mnemonic group were interviewed to find out the respondent's reception of the mnemonic method. This study proves that the semantic encoding mnemonic method is more effective than the lecture method on memorizing the meanings of kanji within a short timeframe and the difference is statistically significant. This study also finds that the semantic encoding mnemonic method cannot be standardized, because different personal experiences and cultural backgrounds determine whether a mnemonic is logically sound. This study also found that the cultural context needed to understand the connection between the meaning of the kanji components and the meaning of the kanji, and therefore, the meaning of the kanji cannot always be reached only by using the meaning of the components."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Arthanovia Nurbaity Wicaksonoputri
"Terdapat tiga jenis aksara bahasa Jepang, yaitu hiragana, katakana, dan kanji. Umumnya, kanji memiliki dua cara baca, yaitu on’yomi dan kun’yomi. Namun terdapat situasi dimana suatu kanji memiliki cara baca yang tidak termasuk dalam on’yomi maupun kun’yomi, yang disebut dengan ateji. Penelitian ini bertujuan memahami pemaknaan ateji dan alasan penggunaannya melalui analisis komponen makna dan relasi makna ateji yang memiliki dua atau lebih cara baca berbeda. Penelitian dilakukan dengan metode content analysis pada lirik lagu dari duo musisi Two-Mix. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fleksibilitas ateji membuat pencipta karya mampu memberikan beragam cara baca dengan beragam relasi makna pada kanji yang sama sesuai keinginan. Jenis ateji yang paling banyak muncul pada data adalah ateji ungkapan-kontrastif yang sangat bergantung pada konteks, sementara relasi makna yang kerap muncul adalah majas metafora yang berfungsi untuk menciptakan atau menegaskan kesan, suasana, atau pesan tertentu dengan mempertahankan atau menambahkan aspek puitis lagu.
The Japanese writing system has three characters which are hiragana, katakana, and kanji. Generally, kanji has two ways of reading, namely on'yomi and kun'yomi. However, there are situations where a kanji has a way of reading that is different from on'yomi or kun'yomi, which is called ateji. This study aims to understand the meaning of ateji and the reasons for its use through an analysis of semantic components and the relation of the meaning of ateji that have two or more different reading ways. This study was conducted using the content analysis method on song lyrics from the musician duo Two-Mix. This study shows that the flexibility of ateji allows the creator of the work provides various reading ways with various meaning relations on the same kanji. The type of ateji that appears the most in the data is a contrastive-expression ateji which is highly context-dependent, while the meaning relation that often appears is a metaphor, which is used to create or emphasize a certain impression, atmosphere, or message by maintaining or adding to the poetic aspects of the song."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Sihombing, Hasianna Omega Tessalonika
"Sebagai bahasa yang bergantung pada penggunaan konteks, bahasa Jepang memiliki banyak tuturan dengan informasi yang disampaikan secara implisit. Informasi tersebut dapat berupa presuposisi dan implikatur percakapan. Penelitian ini membahas mengenai persamaan dan perbedaan presuposisi dan implikatur percakapan yang terkandung dalam satu tuturan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan hubungan presuposisi dengan implikatur percakapan dalam tuturan bahasa Jepang. Penelitian dilakukan mengacu pada teori prinsip kerja sama oleh Herbert Paul Grice dan teori presuposisi oleh George Yule dan Robert Stalnaker. Data penelitian diambil dari serial drama Keibuho Daimajin yang dikumpulkan dengan metode simak catat. Penyajian data dilakukan dengan menuliskan aksara Jepang, romaji, glossing, dan terjemahan bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan 28 data dengan implikatur, 14 data dengan presuposisi, dan enam data dengan presuposisi dan implikatur percakapan dalam satu tuturan. Presuposisi dan implikatur percakapan sama-sama tidak diutarakan secara eksplisit, tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Implikatur percakapan adalah maksud sebenarnya penutur, tetapi presuposisi adalah informasi tambahan yang diselipkan dalam tuturan secara implisit.
Japanese has many utterances with implicitly conveyed information as a language that depends on context. Such information can be in the form of presuppositions and conversational implicatures. This study discusses the similarities and differences between presuppositions and conversational implicatures in an utterance. This study aims to explain the relations between presupposition and conversational implicature in Japanese utterances. The research referred to the theory of cooperation principle by Herbert Paul Grice and the theory of presupposition by George Yule and Robert Stalnaker. The research data were taken from the drama series Keibuho Daimajin and collected by observation and note. Data was presented by writing Japanese characters, romaji, glossing, and translating into Indonesian. The results showed 28 data with implicature, 14 with presupposition, and six with presupposition and conversational implicature in the same utterance. Presupposition and conversational implicature are not explicitly stated, but there are differences between the two. Conversational implicature is the speaker's intention, but presupposition is additional information tucked into the utterance implicitly."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Yuuki Canna
"Penelitian ini mengeksplorasi teknik humor audiovisual dalam anime Asobi Asobase. Penelitian ini menggunakan teknik humor audiovisual, benign violation theory (teori pelanggaran tanpa ancaman), wacana kishotenketsu, dan prinsip kerjasama Grice sebagai kerangka teoritisnya. Teori benign violation menjelaskan humor sebagai respon terhadap situasi yang melibatkan pelanggaran yang tidak mengancam, sedangkan wacana Kishotenketsu digunakan untuk menjelaskan penyampaian humor dalam anime. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah setiap situasi yang melibatkan ketidaksesuaian secara otomatis menciptakan humor, dan bagaimana wacana kishotenketsu menjelaskan penyampaian adegan lucu dalam media audiovisual Jepang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan pengumpulan data dari anime Asobi Asobase untuk menganalisis elemen humor dalam konteks kerangka teori. Penelitian ini memberikan kontribusi pada pemahaman yang lebih dalam tentang korelasi antara ketidaksesuaian linguistik dan humor dalam konteks media audiovisual Jepang, khususnya anime. Penggunaan teknik seperti peculiar voice, exaggeration, dan peculiar music menunjukkan bahwa media audiovisual memiliki keunggulan dalam menghadirkan humor dengan beragam teknik audiovisual.
This study explores audiovisual humor techniques in the anime Asobi Asobase. This study uses audiovisual humor techniques, benign violation theory, kishotenketsu discourse, and Grice's cooperative principle as its theoretical framework. Benign violation theory explains humor as a response to situations involving non-threatening violations, while Kishotenketsu discourse is used to explain the delivery of humor in anime. This study aims to analyze whether every situation involving incongruity automatically creates humor, and how kishotenketsu discourse explains the delivery of humorous scenes in Japanese audiovisual media. This research uses a qualitative descriptive method and data collection from the anime Asobi Asobase to analyze humor elements in the context of the theoretical framework. This research contributes to a deeper understanding of the correlation between linguistic incongruity and humor in the context of Japanese audiovisual media, particularly anime. The use of techniques such as peculiar voice, exaggeration, and peculiar music shows that audiovisual media has the advantage of presenting humor with a variety of audiovisual techniques."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Kinanti Kanya Niramaya
"Wakamono kotoba adalah variasi bahasa dialek sosial yang digunakan oleh kelompok umur tertentu, yaitu anak muda Jepang. Salah satu wakamono kotoba yang sedang populer di kalangan anak muda Jepang adalah kata pien. Kata pien mulai berkembang sejak 2019 hingga sekarang, dan telah memperoleh berbagai nominasi sebagai kata nomor satu yang paling sering digunakan oleh anak muda. Namun karena wakamono kotoba hanya digunakan oleh kelompok anak muda, kelompok usia lain ataupun orang asing mengalami kesulitan untuk memahami wakamono kotoba, seperti kata pien ini. Sehingga tujuan penelitian ini adalah pemaknaan kata pien dalam wakamono kotoba bahasa Jepang berdasarkan metode korpus. Data dalam korpus yang dicermati adalah ujaran wakamono kotoba yang ditulis pada media sosial Twitter. Hasil analisis menunjukkan bahwa kata pien lebih sering digunakan di akhir ujaran setelah (i) verba, (ii) partikel final, (iii) nomina, (iv) adjektiva, dan (v) kopula. Kata pien juga digunakan sebagai onomatope gitaigo untuk mengungkapkan ekspresi rasa sedih dan ekspresi rasa senang.
Wakamono kotoba is a social dialect language variation that is used by certain age group, namely the Japanese youth. One of the wakamono kotoba that is currently popular among the Japanese youth is the word pien. The word pien has been developing since 2019 until now, and has received various nominations as the number one most used word by young Japanese people. However, because wakamono kotoba is only used by young people, other age groups or foreigners have difficulty in understanding wakamono kotoba, for instance, the word pien. The purpose of this research is to understand the word pien in Japanese wakamono kotoba based on the corpus method. This research’s corpus consists of wakamono kotoba discourses written on Twitter. The result shows that the word pien is more often used at the end of discourse after (i) verbs, (ii) final particles, (iii) nouns, (iv) adjectives, and (v) copula. The word pien is also used as a gitaigo onomatopoeia to express an expression of sadness and an expression of happiness "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Sarah Oxa Amalya Afda
"Aksara 作る, 造る, dan 創る memiliki cara baca yang sama, yaitu `tsukuru`. Ketiga aksara itu juga memiliki satu komponen makna yang sama, yaitu `membuat`. Cara baca dan komponen makna yang sama itu tampaknya menimbulkan kesulitan bagi pemelajar bahasa Jepang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian atas ketiga aksara tersebut. Penelitian ini berfokus pada kolokasi verba tsukuru (作る), tsukuru (造る), dan tsukuru (創る) dengan nomina, khususnya objek nomina pada suatu kalimat. Data penelitian diambil dari korpus Yourei.jp. Dilakukan pencermatan data untuk menemukan nomina apa saja yang berkolokasi dengan verba tsukuru (作る), tsukuru (造る), dan tsukuru (創る). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari data yang diamati, ditemukan pola dari nomina yang berkolokasi dengan ketiga verba tersebut, yaitu (i) verba tsukuru (作る) berkolokasi dengan objek nomina `benda yang dibuat secara alamiah`, (ii) verba tsukuru (造る) berkolokasi dengan objek nomina `benda yang dibuat secara rumit`, dan (iii) verba tsukuru (創る) berkolokasi dengan objek nomina `benda baru`.
The scripts 作る, 造る, and 創る have the same readings, which is `tsukuru`. 作る, 造る, and 創る also have a semantic component that is identical to each other, which is `to make`. The similarities of the readings and the semantic components seem to be causing difficulties for Japanese language learners. Hence, a research concerning those three scripts is needed to be done. This research is focused on the collocations of verbs tsukuru (作る), tsukuru (造る), and tsukuru (創る) with nouns, especially object nouns in a sentence. The data of this research were taken from corpus Yourei.jp. Obtained data were analyzed, leading to the findings of nouns that collocate with verbs tsukuru (作る), tsukuru (造る), and tsukuru (創る). After conducting the analysis, some patterns of the nouns that collocate with the three verbs were found as such: (i) the verb tsukuru (作る) collocates with object nouns which are `entities that are made with one`s natural ability`, (ii) the verb tsukuru (造る) collocates with object nouns which are `entities that are made complexly`, and (iii) the verb tsukuru (造る) collocates with object nouns which are `entities that are newly invented`."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Christian Marcellino Budiman
"Penelitian ini meneliti tentang tuturan memuji dalam 14 data dalam bentuk unggahan dalam media sosial Instagram dengan tulisan pendek berbahasa Jepang tentang produk roti yang terlampir dalam penelitian ini melalui perspektif dari J. L. Austin (1962), John Searle (1979), dan I Dewa Putu Wijana (1996). Penelitian ini diteliti dengan teknik analisis wacana dan menjelaskan secara deskrpitif sehingga bisa dimasukkan kepada dua kategori dengan tujuan menentukan jenis tuturan memuji. Penelitian ini telah menemukan adanya tuturan memuji langsung dan taklangsung pada data yang terlampir.
This research has done a research of compliment speech acts in 14 pieces of data in the form of Instagram posts of bread-related products that have captions in Japanese language that was attached onto this research with the perspectives of J. L. Austin (1962), John Searle (1979) and I Dewa Putu Wijana (1996). This research was done using the discourse analysis method and giving descriptive explanations toward the compliment acts that is categorized within two categories with the purpose of determining what kind of speech act is used. This research has found the usage of direct and indirect speech act on the aforementioned attached data."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Qalbin Salim Satyadarma
"Herbert Paul Grice (1913 – 1988) adalah seorang filsuf bidang bahasa asal Inggris yang mengemukakan teori prinsip kerjasama (cooperative principle) yang bertujuan untuk mengatur jalannya percakapan. Dengan teorinya, Grice menetapkan 4 aturan yang disebut empat maksim Grice (The Four Gricean Maxims). Dengan menggunakan teori Grice sebagai landasan penelitian, penulis melakukan sebuah penelitian pada anime “Tekken: Bloodline” (??????????), sebuah karya adaptasi dari permainan video berjudul “Tekken 3” (??3). Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana pemenuhan dan pelanggaran terhadap prinsip kerjasama Grice diimplementasikan ke dalam plot anime tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif dan dibantu dengan teknik simak catat untuk mengumpulkan data. Penulis menyimpulkan bahwa prinsip kerjasama terimplementasi dalam pengembangan alur cerita anime Tekken: Bloodline”, dengan ditemukannya pemenuhan maksim, pelanggaran yang menyesatkan (violating) dan pelanggaran yang tidak menyesatkan (flouting) yang terkandung pada tuturan tokoh-tokoh dalam anime dan berimplikasi pada keberlangsungan cerita. Maksim yang paling berkontribusi dalam jalannya plot adalah maksim kualitas, maksim kuantitas, dan maksim relasi. Di luar maksim, terdapat juga peran implikatur percakapan yang membantu menyampaikan pesan ke tokoh utama secara tersirat.
Herbert Paul Grice (1913 – 1988) is an english philosopher who excels in the area of linguistics. He proposed the theory widely known as “Cooperative Principle (CP)” with a purpose of making sure that conversation between individuals is done orderly. With the aforementioned theory, Grice established the “Four Gricean Maxims”. Using the Cooperative Principle as the base theory, this paper is a research conducted on the anime “Tekken: Bloodline” (??????????), a 6-episode Original Net Anime (ONA) adaptation of a fighting game “Tekken 3” (??3). This study aims to find out how Grice’s Cooperative Principle implemented in the aforementioned anime. Datas are gathered by taking notes of certain utterances from certain episodes. This paper summarizes that Grice’s Cooperative Principle (CP) is indeed implemented in the dialogues of the anime, and the flouts and violations of the maxims found in the utterances contributed in extending the storyline in some way. In addition to the maxims, speech implicatures also played quite significant role in exposing the mystery element of the story."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library