Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dede Erni Kartikawati
Abstrak :
Makna Hidup sangat bermanfaat dan diperlukan untuk menjadi pedoman bagi kehidupan seseorang. Manusia dibagi dalam 2 (kelompok) pertama, adalah kelompok yang masih mencari makna hidupnya dan kedua adalah mereka yang telah menemukan makna hidupnya. Mereka yang masih belum berhasil dalam pencarian makna hidup sebagai manusia dalam keraguan " People in doubt " , bagi mereka kehidupan ini dirasakan membingungkan dan mempersepsikannya secara negatif dan pada akhirnya mereka dapat menjadi manusia dalam keputus asaan 1 " People in despair " sehingga hidupnya berjalan tanpa pedoman dan perilakunyapun cenderung negatif dengan memenuhi keinginan dan kebutuhannya tanpa memperdulikan niiai-nilai moral dan aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan perkara 1 pasal, seseorang menjadi " Offender" ( pelanggar hukum ) dapat disebabkan karena intensi 1 kesengajaan atau tanpa intensi 1 ketidak sengajaan. Perilaku kriminal pada kasus-kasus yang dilakukan dengan intensi I kesengajaan, cenderung diulangi di dalam LAPAS tidak terlepas dari berbagai sebab yaitu faktor ekstemal dan faktor internal narapidana itu sendiri. Selain faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perilaku narapidana, faktor internal juga layak diperhitungkan , karena tidak semua narapina melakukan pengulangan perilaku kriminal,. Pada kondisi eksternal ( lingkungan LAPAS ) yang sama, ternyata perilakunyapun dapat berbeda. Sebagian besar dapat melakukan penyesuaian diri yang baik, namun ada pula yang yang tidak dapat melakukan penyesuaian diri dengan melanggar aturan tata tertib (mengulangi perilaku kriminal kembali di dalam LAPAS). Sampai saat ini Program Pembinaan Kepribadian masih banyak kelemahannya dan belum menyentuh aspek-aspek psikologis narapidana. Untuk mengurangi pengulangan perilaku kriminal di dalam LAPAS, maka penulis mencoba untuk mengaplikasikan program Makna Hidup untuk Narapidana. Pada awalnya program ini disosialisasikan terlebih dahulu dalam bentuk pelatihan terhadap petugas dan selanjutnya petugas sebagai fasilitator yang dapat membimbing narapidana untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya, sehingga perilaku kriminal tidak lagi dilakukan dan gangguan keamanan dan ketertiban di dalam LAPAS pun berkurang. Dalam menyusun rancangan program ini, penulis merujuk pada Teori Containment, Penemuan Makna Hidup. Berdasarkan uraian di atas, maka disusun langkah-langkah menemukan makna hidup dalam " Panca Cara Menemukan Makna Hidup, yaitu : ? Pemahaman Pribadi ( identik dengan self evaluation ) ? Berlindak Positif ( identik dengan acting as if ) ? Pengakraban Hubungan ( identik dengan personal encounter ) ? Pendalaman Tri Nilai ( identik dengan exploring human values ) ? Ibadah. ( identik dengan spiritual encounter ). Untuk efektifnya program Makna Hidup, maka sebelumnya petugas perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan menjadi " trainer " yang baik, sehingga " Training For Trainer " bagi petugas akan sangat mendukung terselenggaranya Program Pelatihan Makna Hidup bagi narapidana.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T 17812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bety Diana
Abstrak :
ABSTRAK
Gangguan autis adalah suatu gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya mulai tampak pada tiga tahun pertama (Simpson, 2005). Gangguan ini khususnya ditandai dengan adanya kesulitan dalam interaksi sosial, hendaya pada kemampuan berbahasa dan komunikasi, serta tidak dapat disembuhkan. Kehadiran seorang anak autis seringkali membawa kesedihan bagi suami-istri tersebut. Hasil diagnosis anak juga akan memunculkan banyak masalah baru. Selain itu menurut Powers (1989), pasangan suami-istri yang mempunyai anak autis harus melakukan beberapa perubahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Mereka akan memperoleh banyak tambahan tugas rumah tangga (domestic tasks), seperti menyediakan lebih banyak waktu untuk mengurus dan mengawasi perilaku anak mereka, memikirkan bentuk pengobatan atau terapi yang diperlukan, memikirkan permasalahan seputar pendidikan yang akan diberikan bagi anak autis mereka, dan masih banyak lagi. Semua ini menuntut ekstra waktu, perhatian, dan tenaga, serta memerlukan kerja keras dan adaptasi yang besar. Perjuangan yang terus menerus dari orangtua seringkali dapat membuat mereka lupa menjaga keseimbangan hidupnya dan hubungannya dengan orang lain, khususnya dengan pasangan. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anak autisnya secara pasti akan berdampak pada pola interaksi di antara pasangan suami-istri tersebut. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman), kehidupan seksual, dll yang pada akhirnya akan mempengaruhi kepuasan pernikahan pada masing-masing pasangan. Kepuasan pernikahan adalah suatu evaluasi subjektif mengenai keseluruhan aspek pernikahan dari individu yang bersangkutan (www.charismatest.comlresearch141what-is marital-satisfaction,1999). Menurut Rosen-Grandon, Myers, & Hattie (2004) kepuasan pernikahan ini dapat dilihat dari 6 (enam) pola interaksi yang terjalin di antara pasangan suami-istri. Berdasarkan fenomena di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan mendalam mengenai kepuasan pernikahan pada pasangan suami-istri yang mempunyai anak autis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Subjek penelitian yang digunakan terdiri dari 2 (dua) pasang suami-istri yang diambil dengan menggunakan metode "snowball". Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa kehadiran anak autis sedikit banyak akan mempengaruhi pola interaksi yang terjalin di antara pasangan suami-istri dan seringkali menambah keragaman konflik yang terjadi. Pada satu pasangan, kehadiran anak autis menyebabkan menurunkya kepuasan pernikahan mereka. Kehadiran anak autis cukup menyita waktu mereka sehingga waktu yang diberikan kepada pasangan semakin berkurang. Pada akhirnya hal ini akan mempengaruhi keintiman dan kemesraan (ekspresi afeksi) di antara mereka, komunikasi juga menjadi memburuk. Sedangkan kehadiran anak autis pada satu pasangan lainnya tidak menurunkan kepuasan pernikahan mereka. Waktu dan perhatian yang mereka berikan untuk pasangan masing-masing tidak jauh berbeda dari sebelumnya sehingga keintiman di antara mereka tetap terjaga. Pada akhirnya keintiman yang terjalin juga akan mempengaruhi kehidupan seksual mereka dan pola interaksi yang lain. Perbedaan penghayatan kepuasan pemikahan di antara kedua pasangan ini dapat disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menghayati kehadiran anak autis. Kemungkinan lainnya juga dapat disebabkan karena urutan anak yang menderita autis pada kedua pasangan responden ini berbeda sehingga besarnya stres atau tekanan yang dialami oleh kedua pasangan juga berbeda. Oleh karena itu kedua hal di atas perlu dipertimbangkan untuk dikontrol atau diteliti pada penelitian selanjutnya.
2006
T18092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Gracesiana H.P.
Abstrak :
Melajang, baik sebagai sebuah situasi atau suatu pilihan hidup membawa pengaruh pada setiap individu baik laki-laki apalagi perempuan. Masyarakat dewasa ini masih meyakini bahwa perempuan akan memperoleh kesempurnaannya jika ia menikah, berkeluarga dan mempunyai anak. sebagian besar masyarakat juga mengharapkan bahwa perempuan dewasa sudah seharusnya menikah dan memberikan batasan usia (jam sosial) bilamana perempuan harus menikah.
Oleh karena itu apabila ada perempuan yang belum menikah pada batas usia tersebut, masyarakat masih memiliki pandangan negatif terhadap perempuan yang melajang. Turner & Helms (1994) menyatakan bahan pandangan serta tuntutan masyarakat mampu menurunkan konsep dan kepercayaan diri perempuan lajang. Belum lagi pihak keluarga yang merupakan bagian dalam masyarakat turut memberikan tekanan-tekanan pada perempuan yang bersangkutan. Oleh karena itu mau tidak mau, perempuan hams mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan tersebut. Penyesuaian diri ini tentunya dipengaruhi Oleh kepribadian sang perempuan karena menyangkut bagaimana perempuan lajang menjalankan fungsi dasarnya seperti emosi, kontrol dan diri serta fungsi intelektualnya Semua fungsi ini tercakup dalam aspek yang diukur oleh Tes Wartegg.
Cakupan diagnostik dari tes Wartegg adalah menggali fungsi- dasar kepribadian seperti emosi, imajinasi, dinamika, kontrol dan fungsi realitas yang dimiliki oleh individu (Kinget, 1964). Dasar dari tes ini adalah bahwa tiap individu memiliki cara-cara yang berbeda di dalam memersepsi dan bereaksi terhadap situasi yang tidak terstruktur dan cara-cara ini merupakan pembeda bagi masing-masing kepribadian (Kinget, 1964). Tes Wartegg atau Drawing Completion Test merupakan suatu alat yang digunakan untuk evaluasi kepribadian (personality assessment). Tes ini adalah tes proyektif yang merupakan kombinasi dad teknik completions dan expressions karena telah memiliki stimu1us~stimulus yang perlu diselesaikan_ (dengan mengekspresikan suatu gambar (Lanyon & Goldstein, 1997; Nieizel & Bemstein,1987).
Sedangkan pengel-Lian Perempuan Lajang dalam penelitian ini adalah perempuan yang tidak mcnikah saat ini dan yang tidak melakukan kohabitasi (Stein dalam Levinson, 1995). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif melalui studi pustaka dan penggunaan alat tes terstandar sebagai alat yang utama (primer). Subyek dalam penelitian ini berjumlah (enam) perempuan lajang di atas 30 tahun. Tes Warlegg diadministrasikan secara individual, demikian juga dengan wawancara yang membcri koniinnasi interpretasi tes Wartegg. Tes Wartegg diinterpretasi sesuai dengan interpretasi Kinget (1964) (S-D-R., content dan execution). I-Iasil tes dianalisis dengan menggunakan metode narrative presentation dan memaparkan hasil Wartcgg dari keenam subyek penelitian secara keseluruhan tes Wartegg para Subyek, baik stimulus drawing relation, content maupun execution cukup adekuat hal ini menunjukkan bahwa secara umum enam subyek perempuan lajang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri yang cukup adekuat.
Berdasarkan interpretasi tes Wartegg, perempuan lajang dalam penelitian ini memiliki ciri kepribadian feminin (féminine personality make-up). Tiga dari enam orang memiliki fungsi emosional yang lebih menonjol dibandingkan dengan fungsi rasional-kehendak. Dua orang dengan ihngsi rasional-kehendak yang menonjol dan satu orang cenderung seimbang antara kedua fungsi tersebut. Seluruh subyek memiliki fungsi imajinasi yang diperoleh dari pengalaman sensoris, realitas nyata serta fakta-falcta yang ada. Untuk fungsi intelektual lima orang memiliki fungsi intelektual yang praktis yang tertuju pada hal-hal konkret, obyektif, aplikatif dan cenderung matter of fact. Fungsi aktivitas cenderung bervariasi antara tipe dinamis dan terkontrol yaitu tiga orang dengan fungsi aktivitas yang dinamis dan tiga orang fungsi aktivitas tipe terkontrol.
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mayang Fitria Kusumasari Mustakim
2003
S3285
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Yulianti
2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Retno Hascaryani
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T38336-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library