Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitra Mandela
"

Tulisan ini membahas The Martian (2011), novel fiksi ilmiah keras karya Andy Weir sebagai sebuah alegori supremasi serta superioritas bangsa Amerika. Argumen ini dapat dilihat dengan analisis mendalam pada keakuratan representasi teknologi dan ilmu pengetahuan. Dalam analisisnya, tesis ini mengaplikasikan konsep alegori berdasarkan pemahaman dari Walter Benjamin ditambah dengan konsep fiksi ilmiah keras. Dapat disimpulkan keakuratan dan sisi realisitis ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan alegori dari dua nilai spesifik bangsa Amerika yaitu supremasi dan superioritas mereka, walaupun di saat bersamaan nilai-nilai bangsa puritan beserta supremasi dan superioritas tersebut bisa juga dilihat sebagai mitos-mitos yang dipercaya oleh bangsa Amerika.


This article discusses The Martian (2011), a hard science fiction written by Andy Weir, as an allegory of Americans’ supremacy and the superiority. This argument is obtained by conducting an analysis on the representations of the technology and science in the novel. In the analysis, this thesis uses theory of allegory by Walter Benjamin and added with the theory of characterization by Rimmmon and Keenan. From that, this thesis concludes that the the representations of the accurate or nearly-accurate technology and science in the novel are the allegory of the supremacy and superiority of America. This thesis also argues that American superioty through its accurate techonology and science are no more that just myth of American nation believed.

"
2018
T51875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mona Audryn Margaretha
"ABSTRAK
Lagu dapat diwujudkan sebagai instrumen penting di dalam dunia sosio-politik yang luas. Kadang kala lapisan elemen-elemen linguistik digunakan untuk menyamarkan tujuan dan arti tersebut dalam lagu dan komunikasi visualnya. Setelah rilisnya lagu This is America oleh Childish Gambino (2018) lirik dan musik videonya banyak diasumsikan menyamarkan banyak fitur semiotik yang mengkritik ketidakadilan politik ras di Amerika terhadap komunitas
kulit hitam. Untuk melihat penggunaan semiotik yang lebih dalam, analisis ini menggunakan Lyrics Analysis oleh Machin (2010) dan Visual Grammar oleh Kress dan van Leeuwen(2006) untuk menganalisis elemen semiotik tersebut. Kedua teori tersebut merupakan dua pendekatan analisis wacana multimodal yang menggabungkan komponen teks dan visual untuk menciptakan makna. Artikel ini menemukan bahwa Gambino benar mempertanyakan praktik diskriminasi terhadap orang kulit hitam mellalui kekerasan senjata dan polisi di Amerika saat ini, dengan menggunakan jarak dalam pemilihan katanya dan gerakan tubuh
yang berlebihan dalam visualnya sebagai pengalihan. Elemen tersebut sengaja digunakan untuk menimbulkan observasi yang dalam dari penonton, sehingga diskusi mengenai isu diskriminasi dapat terwujud dalam skala yang lebih besar. Selain itu, dalam musik video This is America ditemukan juga aspek-aspek komikal sebagai alat yang melapisi maksud lagu ini sesungguhnya. Melalui elemen humor semiotik, ditemukan bahwa Gambino ingin menggarisbawahi isu komodifikasi dari seni masyarakat kulit hitam dalam musik videonya.

A song can manifest itself as a critical instrument in the vast socio-political atmosphere. Often times a song conceals its real meaning within layers of linguistic elements and through visual communication. Upon the release of Childish Gambinos This is America (2018), the music video has been assumed widely assumed to contain semiotic elements that criticize the injustice politics of race in America. To dig deeper into this assertion, we use Machins Lyrics
Analysis (2010) and Kress and van Leeuwens Visual Grammar approach (2006) to analyze
the illustrated semiotic elements. Both frameworks are two Multimodal Discourse Analysis approaches that explore interdisciplinary analysis in the discourse-oriented research. This article
finds that Gambino does question the practice of black discrimination through gun and police violence in present America by utilizing distant words and excessive gestures in his visual communication as a diversion. They are purposefully placed to gain a profound observation from the audience, and thus able to spark a conversation regarding the issue in a
greater scale. Furthermore, it is found that This is America applies comical aspects in the visual elements as a layering device. Through humorous semiotic elements, Gambino is discovered to highlight the commodification of black art in his music video.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lentina Salsabila
"Perang yang terjadi di Afghanistan akibat dari serangan 11 September 2001 telah menginspirasi Hollywood untuk memproduksi film yang sering menceritakan dan menstereotip komunitas Muslim di Amerika. Representasi yang ditampilkan pun berubah dari waktu ke waktu. Sekarang, Hollywood tidak lagi sepenuhnya menggambarkan tokoh Muslim sebagai musuh dari dunia barat. Contohnya, film 12 Strong (2018) adalah salah satu film yang menceritakan perang Afghanistan. Film ini dipuji karena terlihat menampilkan representasi Muslim yang baik. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana tokoh Muslim bersatu dengan tentara Amerika melawan teroris. Artikel ini akan melihat lebih jauh bagaimana tokoh Muslim direpresentasikan dalam film 12 Strong menggunakan konsep Orientalisme Edward Said. Temuan dalam artikel ini menunjukkan bahwa film ini menampilkan representasi yang bertolak belakang mengenai Muslim yang “baik” dan Muslim yang “buruk” dengan fokus utama yaitu Muslim pria. Karakterisasi Muslim yang “buruk” dikonstruksi dari gabungan sudut pandang Amerika dan Muslim Afghanistan, sedangkan karakterisasi Muslim yang “baik” dikonstruksi dari sudut pandang Amerika. Jadi, alih-alih memberikan representasi kritis Muslim dalam konteks Afghanistan, film ini mereproduksi narasi terpolarisasi yang mirip dengan film Hollywood sebelumnya.

The war that took place in Afghanistan as a result of 9/11 event has inspired Hollywood to create many movies which often address and stereotype Muslim communities in the country. This representation, however, shifts from time to time. Nowadays, Hollywood no longer completely depicts Muslim characters as totally the opposite of the Western world. 12 Strong (2018), for example, is one of the Afghan war movies that is celebrated for presenting a seemingly positive Muslim representation. This is depicted in how the Muslim characters unite with the American characters in the film to fight terrorism. This essay seeks to further examine how Muslims are represented in 12 Strong by using Edward Said’s Orientalism –framework. Findings in this article demonstrate that the film produces a polarization of “good” Muslims and “bad” Muslims in which one is juxtaposed with the other and with an exclusive focus on Muslim men.  Furthermore, the characterization of the “bad” Muslims is constructed from a combination of the perspectives of the American characters and the Muslim Afghan characters, while the characterization of “good” Muslims in the film is constructed from the Americans’ point of view. Thus, instead of providing a critical representation of Muslims in an Afghan context, this film reproduces polarized narratives similar to previous Hollywood movies that depict Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Calvin Chandra
"Konflik antara anggota-anggota di dalam lingkungan kita merupakan suatu masalah yang sering diperlihatkan dalam film. Ide tentang penyimpang yang baik melawan penguasa yang jahat merupakah sebuah hal umum dalam naratif yang menyandung isu tersebut. Sons of Anarchy (2008), disutradarai oleh Kurt Sutter, menujukan beberapa aspek yang berhubungan dengan konflik ini yang unik dbandingkan dengan karya lain dengan menggunakan lensa klub motor kriminal. Melalui riset ini, konsep kekuasaan dan hubungan kekuasaan yang direpresentasikan oleh karakter-karakter dan naratif akan ditelusuri untuk menujukan idelogi milik Sutter tentang masalah ini. Riset kualitatif ini akan menggunakan kode televisi milik John Fiske, analisis film Graeme Turner (2012), dan teori representasi milih Stuart Hall (1997). Beberapa adegan, karakter, dan dialog yang menjadi symbol dan representasi akan dianalsis. Hasil dari riset ini menunjukan tentang sifat daur penyimpangan dimana disaat para pemberontak berhasil mengambil alih kekuasaan, penguasa sebelumnya akan mengambil posisi kosong dalam lingkungan dan menjadi kelompok yang tertindas yang baru.

The issue of conflict between the different members of our society has been highlighted in many movies. The idea of good deviant versus evil ruling power has been a staple in most narrative that tackles the issue. Sons of Anarchy (2008), directed by Kurt Sutter, has shown some aspects related to this conflict that are unique from other works regarding the matter through the lens of an outlaw motorcycle club. Through this research, the concept of power and power relation that are represented by the characters and the narrative will be explored to reveal Sutter`s ideology regarding the matter. This qualitative research will be using John Fiske`s codes of television, Graeme Turner`s (2012) film analysis, and Stuart Hall`s (1997) theory of representation. Several scenes, characters, and dialogues that serve as symbols and representations will be analyzed. The result of this research shows the recycling nature of deviance as when the rebels manage to take over and become the controlling power, the former power will fill the empty space and become the new oppressed."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Guntur Farhan
"Penelitian ini mengkaji kode kultural di musik video `This Land` dan kaitannya dengan sejarah diskriminasi, penindasan, dan kekerasan rasial di Amerika menggunakan teori semiotika Roland Barthes dan representasi Stuart Hall. Menggunakan kedua teori tersebut, penelitian ini menemukan bahwa video musik “This Land” menguak akar settler colonialism dalam ideologi supremasi kulit putih yang melegitimasikan sistem penindasan terhadap orang kulit hitam dan orang kulit berwarna. Dengan demikian, video musik ini merepresentasikan isu rasisme kontemporer sebagai sebuah sistem yang bertahan sepanjang sejarah dan tetap direpresentasikan melalui simbol-simbol. Terakhir, penelitian ini menemukan bahwa `This Land` mendekonstruksi ideologi supremasi kulit putih dan wacana rasisme yang diwakilkan melalui simbol-simbol tersebut.

This study examines the cultural codes linked to the history of racial discrimination, oppression, and violence in America in the music video of `This Land`, by applying Barthes` classification of codes and Hall`s theory of representation. The music video foregrounds American settler colonial roots of white supremacy ideology that legitimizes a system of oppression towards black people and colored people alike. As such, the music video represents racial issue in contemporary America as a system that persists throughout the history, and remains represented through symbols. Lastly, this study finds that “This Land” deconstructs and subverts the ideology of white supremacy and discourse of racism embodied in the symbols."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kipuk Giyandari
"Penelitian ini menjabarkan pemilihan kata yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkan kata bermuatan budaya pada novel. Novel yang digunakan adalah novel berbahasa Inggris dan memiliki latar belakang budaya Venesia. Novel The Glassblower of Murano akan diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diberikan anotasi. Anotasi atau catatan adalah bentuk pertangggungjawaban seorang penerjemah dalam menerjemakan kata bermuatan budaya yang ada pada novel. Metode penerjemahan yang digunakan adalah metode komunikatif mengacu pada teks sumber yang merupakan teks ekspresif. Teknik penerjemahan yang digunakan adalah teknik deskripsi, amplifikasi, adaptasi, peminjaman, kalke, kreasi diskursif, dan kompensasi. Selain itu, penerjemah juga mencari padanan yang tepat dengan menggunakan sumber internet dan studi pustaka. Dari penelitian ini dapat disimpulkan, kata bermuatan budaya dapat diterjemahkan ke teks sasaran dengan teknik penerjemahan yang berbeda pada tiap katanya. Pemilihan kata bermuatan budaya untuk teks sasaran didapatkan dari sumber informasi yang akurat, sehingga dapat dimengerti oleh pembaca sasaran

This study explains translators words choice in translating cultural words in the novel titled The Glassblower of Murano. The novel is written in English but sets Venice as its.cultural background. In this research, the novel will be translated into Indonesian and annotations will be added. Annotations or footnote is translators liability in translating cultural words within the novel. This research uses a communicative translating method that positions sources text as expressive text. Meanwhile, the translation techniques that is used are description, amplification, adaptation, borrowing, calqeu, discursive creation, and compensation. In addition, the translator also elaborates internet and literature sources in order to receive appropriate equivalent words. This research concludes each cultural words can be translated into the target text with a varied translation techniques. Therefore, the choice of cultural words toward the target text should be obtain from accurate source of information, thus the target may able to gain understanding."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Rofidah Destriana
"The significance of Asian representation in media resides in its capacity to encapsulate the intricacy of realities and cultural tapestry inherent within Asian communities. By manifesting a spectrum of Asian experiences, such representation assumes a pivotal role in illuminating the diverse narratives and identities that shape Asian cultures. This paper focuses on how Crazy Rich Asians (2018) promotes a Western point of view that only certain Asians possess desirable traits like wealth, elitism, and aristocracy, thereby creating a portrayal of an "Ideal" Asian within the Western world. This paper applies the concepts of “model minority” Petersen (1966) to analyze what attributes participate in establishing the image of the “Ideal” Asian as well as the theory of “Othering” to show the impact of the “model minority” narrative in the film. The result of this research is presented by multiple evidences on how the movie ignored the diversity and complexity of Asian identities and experiences by sidelining or excluding other Asian groups and constructing the "Other" Asians that do not fit with the “Ideal” Asian within the Asian community. The outcome of this study can deepen the understanding of the role of Crazy Rich Asians (2018) in representing Asian cultures and identities in global media. Furthermore, it could facilitate the creation of media regulations and procedures that are respectful and inclusive, recognizing and promoting the diverse spectrum and intricate nature of Asian experiences and perspectives.

Representasi budaya Asia dalam media memiliki peranan yang sangat penting dalam menggambarkan keaslian dan keutuhan budaya-budaya dalam komunitas orang Asia. Dengan menampilkan beragam adegan yang mewakili budaya-budaya Asia, representasi tersebut membantu khalayak memahami identitas dan keberagaman yang membentuk budaya Asia. Makalah ini berfokus pada cara Crazy Rich Asians (2018) mempromosikan budaya Asia, namun terkadang melalui sudut pandang media Barat yang mengasosiasikan pemeran Asia dengan sifat-sifat seperti kekayaan, elitisme, dan aristokrasi. Hal ini mengakibatkan gambaran orang Asia yang "ideal" dalam media Barat melalui film tersebut. Makalah ini menggunakan konsep "model minority" oleh Petersen (1966) untuk menganalisis atribut yang memperkuat gambaran orang Asia yang "ideal," serta teori "othering" untuk menunjukkan akibat dari narasi "model minority" dalam film tersebut. Hasil penelitian ini akan disajikan dengan bukti yang menunjukkan bagaimana film ini mengabaikan keragaman dan kompleksitas identitas orang Asia dengan mengisolasi dan mengesampingkan kelompok-kelompok lain dalam komunitas Asia, serta membangun narasi yang meremehkan kelompok etnis Asia lain yang tidak memenuhi standar "ideal" Asia. Penelitian ini bertujuan untuk mendalamkan pemahaman tentang peran Crazy Rich Asians (2018) dalam merepresentasikan budaya dan identitas Asia dalam media global. Selain itu, penelitian ini dapat membantu menyusun regulasi dan prosedur yang mempromosikan saling menghormati, inklusifitas, dan penggambaran yang adil terhadap semua aspek budaya Asia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ra'idah Azyyati Fauziyah
"Tesis ini mengkaji dua film produksi Hollywood, The Great Wall (2016) dan Doctor Strange (2016), yang memperlihatkan gejala supremasi kulit putih di dalamnya. Untuk mengkaji kedua film sebagai teks, tesis ini menggunakan pendekatan cinema studies yang menganalisis aspek naratif dan sinematografis (Boggs & Petrie, 2008). Selanjutnya, digunakan teori semiotik struktural dari Roland Barthes untuk membaca simbol-simbol yang mendukung penghadiran supremasi kulit putih dalam teks. Penelitian ini menunjukkan bahwa logika cerita dibentuk melalui peristiwa-peristiwa penting dalam teks yang memperlihatkan keunggulan tokoh kulit putih. Penokohan tampak di dalam teks melalui konstruksi tokoh kulit putih yang hadir secara dominan dalam tataran peristiwa dan interaksi dengan tokoh lainnya. Tempat-tempat yang dihadirkan di dalam kedua teks tidak sekadar menjadi latar yang melengkapi unsur naratif film, tapi berperan pula sebagai ruang ideologis yang memperlihatkan dominasi tokoh kulit putih. Sementara itu, simbol-simbol dan objek-objek dominan yang hadir di dalam teks dapat dibaca sebagai penanda supremasi kulit putih. Supremasi kulit putih menjadi ideologi teks The Great Wall dan Doctor Strange.

This thesis examines two Hollywood films, The Great Wall (2016) and Doctor Strange (2016), which show symptoms of white supremacy in them. To study the two films as texts, this thesis uses a cinema studies approach which analyzes narrative and cinematographic aspects (Boggs & Petrie, 2008). Next, Roland Barthes' structural semiotic theory is used to read symbols that support the presence of white supremacy in the text. This research shows that the logic of the story is formed through important events in the text that show the superiority of white characters. Characterization appears in the text through the construction of white characters who are dominantly present at the level of events and interactions with other characters. The places presented in the two texts do not just serve as backgrounds that complement the film's narrative elements, but also act as ideological spaces that show the dominance of white characters. Meanwhile, the dominant symbols and objects present in the text can be read as markers of white supremacy. White supremacy is the ideology of the texts of The Great Wall and Doctor Strange."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyna Vidyantari
"Penelitian bertujuan menimbang strategi yang efektif untuk menerjemahkan istilah TI dari bahasa Inggris ke bahasaIndonesia khususnya di bidang pelokalan. Teknik analisis yang digunakan adalah model deskriptif dengan kajian pustaka. Tahap pertama analisis adalah menyatakan ideologi penerjemahan dari teks dan metodenya, lalu memilah prosedur yang paling banyak digunakan dalam menerjemahkan istilah TI. Kemudian strategi dinilai kesesuaiannya dengan fungsi dantujuan teks, serta konteks. Dari 64 istilah TI yang dianalisis, ditemukan bahwa ideologi yang digunakan adalah pengasingan dengan metode semantis. Beberapa prosedur yang paling sering digunakan dan berhasil mencapai skopos, yaitu prosedurtransferensi sebanyak 24, pemadanan harfiah sebanyak 13, kalke sebanyak 7, naturalisasi sebanyak 8, pemadanan kulturalsebanyak 2, pemadanan berkonteks sebanyak 2, transkreasi sebanyak 2, penghapusan sebanyak 1, serta gabungan dari beberapa prosedur (kuplet) sebanyak 3. Prosedur itu berhasil menghasilkan terjemahan yang dapat dipahami olehpengguna dan mencapai fungsi dari sebuah teks petunjuk pengguna.

This study aims to consider effective strategy for translating IT terms from English to Indonesian especially in localizationindustry. The analysis method used is a descriptive model with a literature review. The first stage of the analysis is to sortout what translation ideology and methods were used and what techniques were most widely used in translating IT terms.Then the strategy was assessed for its suitability with the function and purpose of the text, as well as the context. Of the 64 IT terms analyzed, it was found that foreignization is the ideology of the text with the semantic translation method. Several translation techniques were found and were most frequently used and succeeded in achieving skopos, namely 24transferences, 13 literals, 7 calques, 8 naturalizations, 2 cultural equivalence techniques, 2 contextual conditioning, 2transcreations, 1 deletion, and 3 combinations of several techniques (couplets). The techniques have succeeded in producing a translation that can be understood by the user and fulfilled the function of a user manual text."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Diba Widjaya
"Penyihir perempuan adalah salah satu tokoh paling ambivalen dalam film horor karena mereka dapat bertindak sebagai kekuatan subversif, namun juga tokoh yang sesuai dengan stereotip misoginis perempuan. Berdasarkan buku Barbara Creed tentang monstrositas keperempuanan (monstrous-feminine), serta teori 'hina' (abject) dari Julia Kristeva, makalah ini mengeksplorasi bagaimana seksualitas dan kekuasaan perempuan direpresentasikan melalui figur penyihir dalam film horor—khususnya dalam konteks film Suspiria versi 2018 dan film The Lords of Salem (2012). Melalui pendekatan psikoanalitik terhadap narasi, karakter, serta simbol, yang dihubungkan dengan konsep monstrositas keperempuanan dan teori ‘hina,' makalah ini mencoba menggambarkan interpretasi tentang perempuan yang kompleks—dan seringkali saling bertentangan—dalam film horor bertema penyihir, di mana mereka sering digambarkan sebagai perempuan yang merdeka dan berkuasa tetapi pada dasarnya masih dianggap sebagai sesuatu yang 'lain' dan menakutkan. Penulis menemukan bahwa penggambaran sifat keibuan dan fungsi reproduksi perempuan dalam kedua film tersebut berperan dalam membangun ketakutan bawah sadar terhadap seksualitas dan kekuasaan perempuan. Selanjutnya, analisis ini menunjukkan bahwa kekuasaan perempuan masih digambarkan di bawah pengaruh konstruksi patriarki, terutama terkait dengan gagasan kuno tentang kecemasan pengebirian (castration anxiety). Pada akhirnya, penulis berpendapat bahwa representasi penyihir dalam kedua film masih penuh dengan ambiguitas, yang menjadikan mereka sebagai representasi pemberdayaan perempuan yang masih kurang stabil.

The female witch is one of horror cinema’s most ambivalent figures as they may act as a subversive force while still conforming to older misogynistic stereotypes of women. Drawing primarily on Barbara Creed’s book about the monstrous-feminine, as well as Julia Kristeva’s theory of the abject, this paper explores the way female sexuality and power are represented through the witch figures in horror cinema–specifically in the context of the 2018 version of Suspiria and the horror film The Lords of Salem (2012). Through a psychoanalytic examination of the narratives, characters, and symbols, in conversation with the concept of monstrous-feminine and ‘the abject,’ the paper attempts to illustrate the complex—and often conflicting—interpretation of women in witch-themed horror movies, in which they are frequently portrayed as liberated and empowered but are still being fundamentally regarded as ‘other’ and terrifying. The writer finds that the portrayal of the maternal traits and female reproductive function in both movies are instrumental in constructing the subconscious fear towards female sexuality and power. Furthermore, the analysis suggests that female power is still portrayed under the influence of patriarchal construction, particularly related to the ancient notion of castration anxieties. Ultimately, the writer contends that the representations of the witch in both movies are still fraught with ambiguities, which render them as an unstable figure of female empowerment. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>