Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Zaini
Abstrak :
Sejak Mei 1998, bangsa Indonesia mengalami perubahan politik yang biasa dikenal dengan sebutan reformasi. Reformasi, tentu saja dikaitkan dengan usaha untuk melakukan perubahan menuju sistem politik yang demokratis, baik nasional maupun lokal. Tentu saja perubahan-perubahan yang terjadi akan membawa implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan politik nasional. Salah satu yang paling menonjol adalah perubahan sistem kepartaian, dari sistem tiga partai menjadi sistem banyak partai. Kemenangan PDI Perjuangan pada pemilihan umum 1999 di kab. Serang, menarik untuk dikaji tentang variabel-variabel yang menyebabkan partai Islam kurang mendapat respon positif dari pemilih muslim. Fenomena tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: bagaimana pandangan masyarakat terhadap hubungan agama dan politik, bagaimana pandangan masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan umum 1999, dan mengapa partai politik Islam kurang mendapat dukungan suara pada pemilihan umum 1999 di kabupaten Serang. Tesis ini membatasi masalah di sekitar pelaksanaan Pemilihan Umum 1999. Penelitian ini berlokasi di kabupaten Serang, dengan sampel empat kecamatan, yaitu kecamatan Petir, Cikeusal, Pamarayan, dan Cikande. Sedangkan penentuan responden digunakan teknik sampling, yaitu area random sampling. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan didukung oleh teori-teori kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, angket, wawancara, observasi, sedangkan analisis data menggunakan pendekatan kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pemilihan umum 1999 dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia saat ini. Meskipun masih diliputi oleh berbagai kekurangan, masalah, dan penyimpangan dalam pelaksanaannya, pemilihan umum 1999 dinilai oleh banyak pihak lebih demokratis dan memenuhi syarat sebagai free and fair election. Kemenangan PDI Perjuangan pada pemilihan umum 1999 menunjukkan bahwa penggunaan isu-isu agama untuk dimanipulasi bagi kepentingan politik sudah tidak mempan lagi. Hasil ini membuktikan bahwa PDI Perjuangan justru mendapat dukungan yang signifikan dari umat Islam sebagai pemilih mayoritas di kabupaten Serang.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanto Supriyatno
Abstrak :
Pemilihan umum merupakan suatu keikutsertaan rakyat di dalam memilih anggota Badan Perwakilan Rakyat yang akan menjadi wakil mereka untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Oleh karena itu keikutsertaan rakyat dalam Pemilu selain berfungsi sebagai salah satu bentuk partisipasi rakyat juga berfungsi sebagai implementasi kekuasaan yang sah dari rakyat. Pemilihan pada satu Organisasi Peserta Pemilu terbentuk oleh suatu proses sosialisasi yang memakan waktu cukup panjang sehingga keyakinan untuk memilih salah satu partai bisa sepanjang masa atau berubah tergantung sejauhmana proses sosialisasi itu dilakukan. Memudar dan menguatnya keyakinan pemilih padfa suatu partai berpengaruh terhadap dukungan suaru yang diperoleh OPP pada pelaksanaan Pemilu. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai beberapa faktor penyebab kemenangan PDI-P pada Pemilu 1999 di Kota Bekasi. Pertanyaan tesis adalah ; Bagaimana terjadinya penegakan kepercayaan masyarakat terhadap PDI-P sehingga mempengaruhi kemenangan pada Pemilu 1999 di Kota Bekasi?. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel penyebab yaitu faktor identifkasi partai, faktor mitos, faktor tradisi, faktor program partai, faktor calon dan faktor kepemimpinan politik. Sedangkan variabel terpengaruh adalah kemenangan PDI-P pada Pemilu 1999 di Kota Bekasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori mengenai Sosiologi Politlk, Sosialisasi Politik dan Partisipasi Politik. Guna menjawab pertanyaan penelitian tersebut dilakukan melaiui wawancara mendalam dengan berbagai pihak yang dipandang mengetahui persoalan tersebut. Penetapan responden ditentukan melalui teknik purposive sampling dan Jens peneltian ini bersifat kualitatif. Kesimpulan yang diperoleh: Beberapa Faktor penyebab kemenangan PDI-P dalam Pemilu 1999 adalah faktor identifikasi partai yang didasarkan pada catatan tradisi/adat merupakan salah satu yang menjadi penyebab kemengan PD1-P pada Pemilu 1999. Faktor lainnya adalah faktor calon yang ditawarkan terutama yang didasarkan pada kharisma dan popularitas calon juga menjadi penyebab kemenangan PDI-P dan yang juga faktor program penegakan hukum, faktor mitos, faktor tradisi dan kepemimpinan politik.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12316
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sulastri
Abstrak :
Dilihat dari jumlahnya, perempuan merupakan warga negara terbesar di Republik Indonesia. Data menunjukkan bahwa lebih dari separuh warga negara ini berjenis kelamin perempuan. Jumlah yang sedemikian besar menunjukkan bahwa suara perempuan sangat signifikan dalam menentukan hasil Pemilihan Umum. Dan kelompok perempuan pulalah yang merupakan konsumen terbesar dari kebijakan politik yang dikeluarkan oleh negara. Meskipun perempuan merupakan obyek kebijakan politik yang terbesar, namun keikut sertaan perempuan dalam pengambilan kebijakan tersebut justru sangat terpinggirkan, hal ini terlihat dari kecilnya jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga-lembaga politik pengambil kebijakan publik, termasuk didalamnya lembaga legislatif. Dalam lembaga legislatif hasil Pemilihan Umum tahun 1999 jumlah perempuan hanya mencapai 9 persen. Sedikitnya jumlah perempuan ini tidak lepas dari peranan partai politik sebagai lembaga yang menjalankan fungsi rekrutmen politik. Oleh karena itu dalam penelitian ini ingin meneliti tentang bagaimana proses rekruitmen partai politik pada pemilu 1999. Dan sebagai studi kasus diambil Partai Persatuan Pembangunan, dengan pertimbangan partai ini merupakan partai lama, namun ternyata dalam rekruitmen perempuannya justru yang terendah, dibandingkan partai lain termasuk partai-partai baru. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif dengan analisa deskriptif. Adapun pengambilan data ditempuh melalui wawancara dan dokumentasi. Narasumber yang diwawancara adalah pengurus partai politik PPP dan kader PPP dimana penentuan respondennya dipakai sistem purposive. Dari hasil penelitian, didapatkan data bahwa selama ini perempuan dalam lembaga legislatif Indonesia sepanjang kesejarahannya selalu menempati posisi minoritas, baik di lembaga-lembaga legislatif pusat maupun daerah. Dan perempuan-perempuan yang ada dalam lembaga legislatif tersebut -meskipun secara kuantitas masih rendah- memiliki kualitas yang tinggi. Ini terlihat dari tingkat pendidikan anggota legislatif perempuan yang semakin meningkat. Pada Pemilihan Umum tahun 1999, jumlah perempuan yang direkrut oleh PPP hanya mencapai 9,41 % dari keseluruhan caleg DPR RI. Rendahnya jumlah caleg perempuan ini disebabkan karena PPP dalam rekrutmen caleg perempuan, sering menggunakan standar ganda. Dan penentuan akhir untuk pilihan caleg diserahkan kepada Lembaga Penetapan Caleg dimasing-masing tingkatan pengurus. Anggota Lantap ini terdiri dari Ketua Pimpinan Partai dan beberapa orang anggota lain dari pengurus. Sedangkan dari hasil penelitian juga didapat bahwa jumlah perempuan dalam kepengurusan ini sangat terbatas. Struktur Organisasi yang sangat elitis, dimana penentu kebijakan adalah sebagian kecil elit tersebut, dan elit yang dimaksud didominasi oleh laki-laki menjadikan perempuan semakin terpinggirkan termasuk untuk memperoleh kesempatan direkrut menjadi caleg. Kondisi ini diperparah dengan adanya perspektif gender elit politik partai PPP yang ternyata dan hasil penelitian ini menunjukkan belum sensitif jender. Artinya banyak elit politik PPP yang belum menyadari tentang kesetaraan gender bahkan beberapa elit rnasih tidak menyetujui perempuan duduk dalam lembaga politik. Perspektif elit yang demikian ini disebabkan karena digunakannya ideologi Islam konservatif yang memberikan tafsiran Al Qur'an maupun Hadist, dengan perspektif maskulin. Perspektif gender elit PPP dan penafsiran atas ideologi Islam yang digunakan merupakan faktor perpektif teologis yang amat berpengaruh dalam rekruitmen caleg perempuan termasuk faktor lain yaitu belum melembaganya organisasi PPP dalam bentuk aturan-aturan yang belum jelas dan terlembaga.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhana Ulfa Azis
Abstrak :
Keterlibatan artis di dalam dunia politik khususnya di partai politik sudah berlangsung sejak dari Orde Lama hingga Pasca-Orde Baru. Namun pada kedua masa pemerintahan itu keterlibatan artis sangat terbatas karena hanya sebagai pendukung ideologi politik pemerintah yang otoriter. Sehingga yang terjadi adalah artis berpolitik hanya sebagai pajangan dan penghias, serta penghibur belaka dan hanya terbatas pada kepentingan artis untuk mempertahankan status dan profesinya agar penguasa membiarkannya hidup. Karena kekuatan otoriter pemerintah maka potensi keartisan sebagai pencipta karya budaya menjadi terbatas ditambah lagi dengan keterbatasan media sebagai mitra artis dalam mempopulerkan dunia keartisan. Namun ketika keadaan relatif berubah setelah Soeharto jatuh oleh gerakan pro-reformasi pada bulan Mei 1998, terutama menjelang dan pasca-pemilu tahun 1999, kesadaran artis mulai berubah dari sekedar melaksanakan fungsi `penghibur politik' menjadi aktivis politik untuk melaksanakan peran politik yang lebih dalam. Dan menjadi sangat menarik lagi ketika menjelang pemilu 2004 dimana para artis ramai-ramai memasuki partai politik dan menjadi calon legislatif untuk selanjutnya dapat duduk parlemen. Perubahan itu membuat pula sejumlah faktor-faktor penyebab masuknya artis dalam partai politik semakin bervariasi. Metode penelitian yang digunakan studi ini meliputi lima aspek. Pertama, pendekatan kualitatif. Kedua, tipe penelitian deskriptif analitis. Ketiga, teknik pengumpulan data dengan studi dokumentasi dan dilengkapi dengan wawancara. Keempat, teknik analisis dengan kualitatif. Dengan penggunaan metelogi penelitian tersebut di atas studi ini akhirnya menghasilkan sejumlah temuan-temuan baru. Adapun hasil dari penelitian adalah : Pertama, faktor popularitas, yang melihat pecan media massa dan. Sehingga terbentuknya image baru para artis berpolitik. Kedua, faktor tujuan politik artis yang melihat orientasi politik artis melalui agenda, visi dan misi politik para artis. Ketiga, faktor self identification yaitu faktor pengidentifikasian diri atas kemampuan berpolitik yang ditinjau dari faktor kecakapan politik, dengan melihat sosialisasi politik (political socialitation) dan pengalaman politik (political experiences), faktor kemampuan ekonomi, dan faktor nilai lebih keartisan. Ketiganya merupakan sejumlah temuan dari faktor yang mendorong artis masuk partai politik. Faktor popularitas (public figure) bagi artis sebenarnya merupakan potensi yang inheren dengan profesi keartisannya. Artis populer karena banyak disukai orang atas karya seninya maupun gaya hidupnya Melalui media seperti televisi sebagai lembaga industri dan komersialisasi gaya hidup artis yang sedang berpolitik semakin populer. Popularitas artis berpolitik juga menimbulkan image baru yang menandai keseriusan para artis untuk menampilkan kemampuan dan intelektualitas berpolitik. Artis berpolitik kemudian menjadi topik menarik di tengah masyarakat. Dengan menyandang popularitas dan intelektualitas artis tidak hanya menarik perhatian masyarakat tetapi juga sejumlah partai politik kembali mengajak artis bergabung di partainya dan menjadikannya sebagai calon legislatif. Hal ini cukup membuktikan bahwa masuknya artis dalam partai politik merupakan konsekwensi logis dari popularitasnya (public figure). Faktor tujuan politik artis terlihat dari nisi, mini dan agenda politik para artis yang sesungguhnya didasari dari persepsi para artis terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dianggap belum cukup maksimal memperlihatkan hasilnya. Walaupun tujuan politik mereka beragam namun mereka berkeyakinan bahwa mereka akan berbuat lebih baik demi rakyat dan bangsa Faktor kecakapan politik yang terdiri dari sosialisasi politik dan pengalaman politik merupakan faktor yang diakui oleh artis untuk menutupi alasannya masuk partai politik dan alasan partai politik yang merekrut artis karena kepopulerannya. Melalui kecakapan politiknya, artis sangat yakin dapat melaksanakan tanggung jawab politik bila kaiak dipercaya oleh rakyat menjadi wakilnya. Sosialisasi politik yang mereka dapatkan dari keluarga, pendidikan formal dan media komunikasi, dan pengalaman politik yang mereka telah ialui di organisasi sosial cukup membuat mereka yakin akan kemampuan dirinya. Dengan kecakapan politiknya pula artis merasa yakin kalau tidak terkalahkan oleh sejumlah politisi regular yang sudah lama menggeluti dunia politik. Faktor berikutnya yang mendorong artis masuk partai politik adalah kemampuan ekonominya. Melalui kepemilikan uang yang tergolong tinggi memberi kesempatan besar bagi artis untuk masuk partai politik. Lebih dari itu dengan penghasilannya yang tergolong tinggi artis berharap dapat menepis seluruh anggapan bahwa keterlibatannya dalam partai politik adalah untuk mengejar uang. Dan yang terakhir sebagai faktor identifikasi diri. Faktor ini sangat terkait dengan profesi keartisannya. Artis adalah penggelut dunis seni atau dunia estetika. Dari apa yang didapatkan dalam menggeluti dunia seni para artis mengakui bahwa mereka memiliki rasa sensitivitas yang tinggi. Dengan sensitivitas ini para artis berkeyakinan bahwa mereka mampu merespon aspirasi yang muncul terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang sedang terjadi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Candrasari
Abstrak :
Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan pembuat kebijakan masih sangat rendah baik pada demokrasi yang sudah mapan maupun bagi yang baru tumbuh. Jumlah perempuan menurut data statistik lebih dari 50 persen populasi, namun keterwakilan perempuan tidak proporsional pada semua tingkat pengaruh, pengambil keputusan dan pembuat kebijakan. Ketimpangan keterwakilan demokrasi yang sangat besar sebenarnya bergantung pada political will di tingkat para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan yang pertama-tama harus dimulai di dalam sebuah partai politik sebagai stake holder. Sebenarnya konsep kesetaraan gender sama sekali bukan hal mewah dan sudah tidak dapat ditangguhkan lagi bagi negara untuk memberlakukannya. Dalam dunia politik Perbedaan gender yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan gender atau gender inequalities dan budaya patriarkhi yang dimaksud merupakan suatu sistem dari struktur dan praktek-praktek sosial dalam mana kaum laki-laki menguasai dan menghisap, kata kuncinya adalah kekuasaan laki-laki atas perempuan. Ketidakadilan gender ini dapat dilihat dari hasil Pemilu 1999 jumlah perempuan yang mendapatkan kursi di tingkat nasional DPR RI hanya mencapai 9 persen dan hasil Pemilu 2004 ada sedikit peningkatan yakni menjadi 11,08 persen. Dan sebagai studi kasus dalam tesis ini diambil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dengan pertimbangan sebagai salah satu partai terbesar dan partai nasionalis. Dari hasil penelitian data perempuan di struktur harian PDI Perjuangan terutama pada Jabatan Ketua dan Sekretaris hampir dibawah 1 persen mengakibatkan posisi tawar untuk caleg jadi juga rendah karena ada peraturan yang dikeluarkan Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan yakni di dalam SK 304 dan SK 267,tahun 2004 tentang tata cara penjaringan dan penyaringan yang mengatur jabatan Ketua dan Sekretaris berhak mendapat prioritas utama untuk mendapat nomor unit jadi. Adanya standar ganda yang dipergunakan dan masih sangat bias gender karena tidak adanya political will dari para elit-elit partai. Tim penjaring dan penyaring untuk caleg PDI Perjuangan 99, 9 persen terdiri dari laki-laki yang sekaligus para elitis pengurus partai. Para elit di struktur harian partai di PDI Perjuangan-beranggapan dengan memberikan quota 30 persen bagi perempuan adalah sangat tidak demokratis karena mengacu pada hak istimewa bagi perempuan sehingga mengabaikan laki-laki. Sehingga di dalam perjalanan perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang setara dengan laki-laki di dunia politik dirasakan perlu di definisikan kembali tentang peran gender dan mengkoreksi stereotip-strereotip dan ketidakseimbangan untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap sumber daya. Jumlah halaman : 141 : pustaka : 56 buku : 8 dokumen : 12 artikel Surat Kabar/majalah :30 narasumber wawancara : 12 Tabel : 6 lampiran)
Daily Structural Position Influence in the Indonesia Democratic Party the Struggle Against Legislative Recruitment Pattern in the 2004 ElectionWomen involvement in decision and policy making is still underprivileged both in well established and the under developing democracy. Statistical data stated that women were more than 50 percent of population; nevertheless, women's representation is less likely proportional in every influencing level, within the decision and policy makers. This overwhelmingly unbalanced of democratic representation is actually depends on political will amongst those decision and policy makers, which initially started within a political party as the stake holder. Literally, the gender equality concept is not something considered as an inapplicable luxury, and it should not be postponed for the state to apply. In the political world, gender differential, in which ends up by creating gender inequalities and patriarchy culture, meaning as a system of structure and social practices, where men rules and absorbs, the keyword is men rules over women. This gender inequality can be seen from the result of the 1999 Election, where the number of women earned positions in the DPR RI at national level were only 9 percent, and from the result of the 2004 Election, there was only a minor increase to 11,08 percent. In consideration as one of the largest political and nationalist party, the case study for this thesis was taken from the Indonesia Democratic Party the Struggle (PDI Perjuangan). Taken from the study on women's data in the daily structure of the Indonesia Democratic Party the Struggle, focused on its chairman and secretary, which nearly less than 1 percent causing ineffective position to inaugurated legislatives recruits, also low for the policy pronounced by the Central Administration Board of the Indonesia Democratic Party the Struggle, in its SK 304 and SK 267, year 2004, regarding procedures and conducts of recruitment and screening, which placing the Chairman and Secretary position in primary priority to have inaugurate serial number. The use of existing double standard and refractivity in gender caused by lack ness of political will from the Party's elites. The legislative recruitment and screening team of the Indonesia Democratic Party the Struggle were 99.9 percent are men; who also elite of the Party's administrative. Elites in daily structure of the Indonesia Democratic Party the Struggle considers that, by giving 30 percent of quota to women is so not democratic, because it points to the women's special rights, thus ignoring men. So that in women's journey toward equality of rights against men in political world is necessary to redefine the gender role and correcting stereotypes and inequalities, in regard to ensure that each citizen is having equal access to resources. Pages : 141 : Literatures : 56 books : 8 documents : 12 newspaperlmagazine articles : 30 informant interviews : 12 tables : 6 appendixes)
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13708
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nyoman Tisnawati
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi partisipasi perempuan dalam politik dan keterwakilan dalam politik, serta secara khusus untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakterwakilan perempuan Bali di DPRD Provinsi Bali hasil Pemilu 1999 lalu. Penelitian berangkat dari sebuah fenomena dan rasa ingin tahu penulis tentang mengapa perempuan Bali tidak terwakili di DPRD Provinsi Bali hasil pemilu 1999 lalu. Metode Penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan dan menguji hubungan antar variabel, dengan tipe penelitian yang bersifat desktiptif-analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode in depth interview dan studi pustaka, sedangkan kerangka teori yang digunakan adalah teori-teori gender, partai politik, keterwakilan politik serta sistem pemilu, dengan satuan analisis Provinsi Bali. Hasil penelitian menunjukkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa Perempuan Bali tidak terwakili dalam DPRD Provinsi Bali berdasarkan hasil pemilu 1999. yaitu sebagai berikut: Pertama, budaya masyarakat Bali yang bersifat Patriarkhi. Dalam masyarakat Bali, doktrin-doktrin sistem patriarkhal sudah melekat sekurang-kurangnya ke dalam empat sendi kehidupan dengan sub-sistemnya masing-masing: agama, hukum, keluarga dan media. Kedua, faktor lain yang berpengaruh terhadap ketidakterwakilan perempuan di DPRD Bali hasil pemilu 1999 adalah kurangnya Political Will dan Perspektif Gender Elit Partai Politik. Keterwakilan perempuan dalam parlemen juga sangat berkaitan dengan tipe dari sistem pemilu yang digunakan. Ketiga, Selain kedua hambatan atau faktor penyebab ketidakterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Bali hasil pemilu 1999, masih terdapat suatu faktor yang juga cukup berperan yaitu faktor yang berasal dari perempuan Bali itu sendiri atau faktor internal yaitu: sumber daya manusia (SDM) perempuan Bali di bidang politik masih relatif rendah/kurang. (158 ; xvi + 14 tabel + Lampiran + Bibliografi : 43 buku, makalah, dokumen, Koran, majalah
Factors Influencing Women's Under-Representation In DPRD Bali Province on 1999 ElectionThis research aims to describe the condition of women's political participation and their representation in politics, in particular to analyze factors which influence Balinese women's under-representation in DPRD of Bali Province in 1999 election. This research began from a phenomena and the writer's curiosity on how the Balinese women were not represented at DPRD of Bali Province from the 1999 election. The writer used qualitative method of research, which aim explain and test the inter-variable relation by using descriptive-analytical method. The data collection technique was done by in-depth interview and literature study, while theoretical framework used was on theories of gender, political party, political representation and election system with Bali Province as the unit analysis. The result of this research shows same factors which influence why Balinese women were not represented in DPRD of Bali Province according to the result of 1999 election, as follows: First, patriarchy culture of Balinese society, the patriarch system of doctrines has been implanted in Balinese society on four subsystem of life: religion, legal, family and media. Second, other factor which influence the under-representation of women in Bali's DPRD resulted from 1999 election was the lack of political Will and Gender Perspective of Political Party's Elite. The representation of women in parliament is also related strongly with the type of election system being implemented. Thirdly, aside these problems of under-representation of women in DPRD of Bali Province from the result of 1999 election, one internal factor which come from the Balinese women themselves also playing an important role, which is the relatively low level of human resource factor of Balinese women in political sphere. (158; xvi + 14 tables + appendices + bibliography (43 books, articles, documents, newspapers, magazine)
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Busyro Karim
Abstrak :
Pada muktamar XXX NU tahun 1999, NU mengeluarkan keputusan tentang Islam dan kesetaraan jender, di mana di dalamnya dibahas masalah kepemimpinan politik perempuan. NU secara institusi dapat menerima kepemimpinan politik perempuan. Hal ini merupakan langkah maju bagi NU, ketika beberapa kaiangan menolak keberadaan pemimpin politik perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan sumber data dokumentasi. Adapun teori yang dipakai adalah teori demokrasi, kepemimpinan dan budaya patriarkhi. Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis dengan maksud untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, akurat tentang faktafakta yang akan diteliti. Hasil penelitian menunjukkan, landasan berpikir yang digunakan oleh NU dalam menerima pemimpin politik perempuan adalah; penggunaan legitimasi agama untuk menolak pemimpin politik perempuan bertentangan dengan semangat kesetaraan jender dan keadilan politik. Penafsiran keagamaan yang melahirkan sikap bias jender seharusnya ditafsirkan ulang yang disesuaikan dengan realitas sosial. Model kepemimpinan dalam masyarakat modern adalah kepemimpinan yang terlembaga. Dalam perdebatan tentang kepemimpinan politik perempuan terdapat dua kelompok yang saling berseberangan. Kelompok pertama berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin politik, karena setiap individu mempunyai hak politik yang sama. Penolakan terhadap pemimpin perempuan merupakan diskriminasi hak politik perempuan dan bertentangan dengan nilai-nilai persamaan (equality) dalam demokrasi. Agama Islam tidak melarang perempuan untuk menjadi pemimpin politik. Sedangkan kelompok yang menolak pemimpin politik perempuan berpendapat, dalam agama Islam perempuan tidak boleh menjadi pemimpin politik, karena kepemimpinan merupakan hak mutlak laki-laki. Dalam Islam tidak boleh memberikan wilayah (kekuasaan) kepada perempuan. Perempuan diperboiehkan berperan aktif dalam politik, namun bukan untuk jabatan sebagai kepala negara dan pemerintahan. Inti dari perdebatan ini adalah perbedaan interpretasi dasar keagamaan dan dominasi budaya patriarkhi di antara masing-masing kelompok. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keluamya keputusan Islam dan kesetaraan jender adalah munculnya kelompok yang menginginkan perubahan wacana dalam NU. Tekanan dari lembaga perempuan NU. Dinamika politik Indonesia pada kurun waktu 1996-1999, yaitu munculnya isu presiden perempuan.
In muktamar XXX 1999, NU issued a decision about Islam and gender equality, which in it discussed women politics leadership matter. NU institutionally able to accept women politics leadership. it is one step a head for NU, while sum of other factions reject the women politic leader existence. This observation uses qualitative method which is using data collecting technique through interviews and data documentation source. The theory which was used is democracy theory, leadership and patriarchy cultural. This study uses descriptive analytic approach in order to make visualization systematically, factual, accurate in the facts which will be observed. The observation's result shows, the main idea which is used by NU in accepting women politics leader is; using religion's legitimacy to reject women politics leadership which is contrary to the gender equality spirit and political justice. Religious interpretation which produced a bias gender form should be reinterpreted which is fitted in the social reality. The leadership model in modem society is the institutionalized leadership. In the women politics leadership debate there were two groups which were contrary. The first group thought that women may became politics leader, as every individual has the same rights in politics. Rejection to the women leader was a women politics rights discrimination and contradictory to the equality value in democracy. Islam does not forbid women of being politics leader. While the group which rejected women politics leader thought in Islam, women can not be political leaders, as the leadership is the men absolute rights. In Islam can not give territory (power) to women. Women are allowed to do active in politics, but not for the profession as the head of state and governmental. The quintessence in this debate is the differences in basic religious interpretation and patriarchy cultural domination between each groups. The factors which influence the issues of Islam decision and gender equality is the appearance of groups which wanted changes in discourse of NU. The Indonesian politics dynamic in the last 1996-1999, that is women president issue appears.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslim Mufti
Abstrak :
Studi tentang lembaga perwakilan baik lembaga perwakilan nasional atau Dewan Perwakilan Rakyat maupun lembaga perwakilan daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah banyak dilakukan, dengan tema dan judul yang beragam. Studi atau penelitian ini juga mengambil tema tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Era Otonomi Daerah yang banyak memberikan berbagai kewenangan dan kekuasaan kepada daerah. Implikasi dari adanya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah salah satunya adalah bahwa DPRD menjadi sebuah lembaga yang punya kekuasaan yang cukup besar di daerah, sehingga seringkali dengan kekuasaannya DPRD dapat menjatuhkan seorang Bupati/Walikota bahkan Gubemur. Kekuasaan DPRD yang besar itu juga yang seringkali dipergunakan oleh DPRD untuk menekan eksekutif daerah dalam laporan pertanggungjawabannya, sehingga seringkali terjadi money politics, konflik-konflik antara eksekutif dan legislatif di daerah, bahkan kerapkali legislatif itu sendiri yang melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Studi ini bermula dari keinginan peneliti untuk mengkaji tentang perilaku atau dinamika politik yang terjadi di DPRD Jawa Barat, yang berbentuk konflik dan konsensus, balk konflik dan konsensus antar anggota DPRD, intra fraksi maupun antar fraksi dalam rangka penyelesaian dana kaveling. Tujuan Penelitian adalah untuk mengkaji proses atau dinamika politik yang terjadi di DPRD Jawa Barat, dan menganalisa konflik-konflik dan konsensus politik yang terjadi serta kepentingankepentingan yang dipunyal oleh partai politik dan anggota DPRD Jawa Barat dalam konflik-konflik dan konsensus politik yang terjadi di DPRD Jawa barat tentang penyelesaian kasus "dana kaveling" Untuk menjelaskan konflik dan konsensus politik tentang penyelesaian dana kaveling, maka peneliti menggunakan kerangka teori tentang Konflik Politik dan Konsensus Politik. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Pendekatan Kualitatif. Tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif-analitis, dengan teknik pengumpulan data yaitu dengan menggunakan studi kepustakaan, wawancara mendalam (depth interview). Hasil penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara mendalam memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi adalah antara anggota dan fraksi yang bersedia mengembalikan dana kaveling dengan anggota dari fraksi yang tidak bersedia mengembalikan dana. Sumber Konflik Politik yang terjadi di DPRD Jawa Barat dalam penyelesaian dana kaveling adalah karena adanya perbedaan nilai-nilai moralitas antar anggota DPRD, adanya kepentingan-kepentingan yang dipunyai oleh masing-masing anggota dan fraksi-fraksi di DPRD Jawa Barat terutama kepentingan politik dalam rangka menghadapi pemilihan umum 2004 serta juga karena kepentingan ekonomi untuk mendapatkan dana/uang untuk kepentingan kesejahteraan anggota DPRD Jawa Barat. Konflik politik tersebut memang tidak menjadi berlarut-larut dan dapat diselesaikan melalui kompromi diantara fihak-fihak yang terlibat dalam konflik sehingga melahirkan konsensus di antara mereka untuk tidak mengembalikan dana kaveling kepada pemerintah propinsi Jawa Barat, dan mereka lebih memilih penyelesaian kasus ini melalui mekanisme hukum bukan mekanisme politik. Mereka atau anggota dan fraksi yang menolak untuk mengembalikan dana kaveling beralasan bahwa proses pemberian dana kaveling sudah sesuai dengan prosedur dan tata tertib DPRD, serta sudah merupakan kesepakatan antara eksekutif (Gubernur Jawa Barat R. Nuriana) dengan legislatif (yang diwakili oleh Pimpinan DPRD dan para Ketua Fraksi), yang kemudian dianggarkan dalam APBD Jawa Barat tahun 2000, 2001 dan 2002. Model konsensus yang dilakukan adalah model dimana ada kesepakatan pendapat antara berbagai fihak yang terlibat konflik, serta model dimana ada kesepakatan diantara mereka tetapi dengan model adanya dominasi pendapat dan keputusan yang dilakukan oleh fraksi-fraksi dengan jumlah anggota yang lebih banyak seperti FPDIP, FPartai Golkar serta FPPP. Dominasi pendapat dan keputusan yang melandasi konsensus itu adalah bahwa ada kesamaan kepentingan diantara mereka yaitu kepentingan ekonomi (dana tersebut diperuntukan bagi kesejahteraan anggota DPRD), kepentingan politik untuk menghindari citra buruk anggota DPRD (menghindari sebutan "politisi busuk" dari masyarakat), serta dalam kerangka lebih luas adalah untuk kepentingan politik dalam menghadapi pemilu 2004.
Conflict And Consensus In Region Legislative Institution Study Of Conclusion Case "Dana Kaveling" In DPRD West Java ProvinceStudy about representative institution in nationally or regionally have many already done, with variety of theme and title. This study or research also takes the theme about region of house of representative (DPRD) in region autonomy era which gives many authorities in each region. Implication from constitution No. 2211999 about region government that one include about region of house of representative (DPRD) becomes an institution that have big authority in it's region. Being that oftenly governor or major can be fell by DPRD. The big authority of DPRD. oftenly used for pressing region executive in responsible report, then money politics it could be happened. Unfortunately legislative itself which makes corruption or abuse of power? This study began from researcher intend to be studying about conflicts and consensus of politics behavior that happened in West-Java DPRD. Conflicts and consensus which researched in this study focused in West-Java DPRD. It takes a place between individual (member of DPRD), infra fraksi, inter fraksi to find conclusion about "Kaveling Fund". The aim of research to know about conflict and consensus that happens in West-Java DPRD, and analyzing about interest of political party which settled in DPRD about conclusion of "Kaveling Fund" case. Explaining conflict and consensus politic about conclusion of "Kaveling Fund", researcher using basic theory of political conflict and political consensus approaching that used in this research is qualitative. Type of research that used is "descriptive-anilities". with data technique by bibliography, also using depth interview. Result from the research shows that conflict that happen is between individuals in DPRD who wants to get back Kaveling Fund and some of them who don't want to give back the find. The source of conflict caused there are many factors gradually the different of moral from the individuals besides there are interest of political intend from each person in fraksi. Mainly to face the national election 2004, and economy factors to individual prosperity in DPRD. The political conflict can be "finished" by compromise between the individuals who involved until take the consensus to "keep" the Kaveling Fund. They prefer to choose the solve of case through the law mechanism not political mechanism. The people in DPRD who refuse to give back the fund had a reason that Kaveling Fund had been following the procedure of DPRD and following the agreement between the executive and legislative, later it's estimated budget in West Java APBD on 200, 2001, 2002. Type of consensus is agreement between each side who is involved in conflict, or agreement that comes from the majority argument which usually come from big fraksi like FPDIP, FPartai Golkar and FPPP. Base the agreement caused there are same interested among them economically (prosperity fund for each member), to avoid bad image from each member of DPRD. (Avoid "Politisi Busuk" from society). More widely the consensus is taken to get the interest of political to face national election 2004.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Abidin
Abstrak :
Dengan penerapan sistem pemerintahan yang sangat sentralistik pada masa pemerintahan Orde Baru telah melahirkan ketidakadilan secara sosial, ekonomi, pemerintahan dan hukum di Daerah Istimewa Aceh yang menyebabkan timbulnya kekecewaan yang sangat mendalam ditengah masyarakat. Salah satu akibat yang ditimbulkannya adalah muncul berbagai tuntutan dan protes dari masyarakat baik( secara diplomasi maupun dengan perlawanan bersenjata yang apabila tidak direspon dengan arif dan bijaksana akan dapat mengancam keutuhan negara Republik Indonesia.

Di penghujung abad kedua puluh Indonesia dilanda oleh gelombang reformasi yang menuntut perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang. Salah satu tuntutan yang bergulir adalah pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Sehubungan dengan itu, untuk menyikapi tuntutan reformasi dan untuk meredam konflik di Aceh, MPR-RI telah membuat ketetapan No.IV/MPR-R1/1999 tentang pemberian Otonomi Khusus kepada Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang diatur dengan Undang-Undang.

Untuk menindaklanjuti ketetapan MPR tersebut, DPR-RI bersama pemerintah telah membahas suatu Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh yaitu UU No.18 tahun 2001.

Yang menarik untuk diteliti adalah bahwa sebagian besar materi yang dibahas dalam Undang-undang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh berasal dari DPRD, Pemerintah Daerah dan tokoh masyarakat Aceh, yaitu berasal dari bawah. Dan hal ini terjadi diluar kebiasaan dari DPR-RI dalam menetapkan suatu undang-undang.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, sementara untuk menjelaskan pokok perrnasalahan dipergunakan teori konflik, teori konsensus, teori partisipasi dan teori demokrasi.

Dalam penelitian ini ditemukan terjadinya konflik kepentingan antara pemerintah dengan angota DPR-RI, khususnya anggota DPR-RI yang menjadi angota Pansus RUU NAD yang berasal dari daerah pemilihan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Konflik terjadi dalam banyak masalah, namun yang paling menonjol adalah menyangkut penetapan persentase bagi hasil sumber daya alam minyak bumi dan gas alam antara pemerintah dengan Daerah Istimewa Aceh.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14357
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sarwanto
Abstrak :
Studi dalam tesis ini mengenai politik ekonomi pada Pemerintahan Megawati Soekarnoputri : Studi kasus privatisasi PT. Indosat, Tbk., tahun 2002-2003. Secara umum privatisasi BUMN merupakan kebijakan pemerintah yang sangat dilematis. Pada satu sisi harus segera dilaksanakan agar tercapai efisiensi dan terbentuknya rata pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) untuk menghadapi globalisasi perdagangan, pada sisi yang lain justru kebijakan itu tidak popular di tengah masyarakat dan memunculkan tudingan bahwa pemerintahan bagian dari antek neoliberalis. Pro dan kontra mewarnai kebijakan privatisasi di Indonesia untuk menganalisis persoalan itu penelitian tesis ini menggunakan teori demokratisasi ekonomi; demokratisasi politik dan teori konflik politik. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif-analitis. Data-primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan terpilih (purposive) sedangkan data sekunder berasal dari studi literature, jurnal ekonmi, artikel, surat kabar, dokumen tertulis atau foto, dan internat. Kebijakan privatisasi terhadap PT. Indosat Tbk. tidak hanya dilakukan oleh pemerintahan Megawati Soekarnoputri, namun sudah dilakukan sejak pemerintahan Orde Baru (1994); kemudian oleh pemerintahan transisi BJ. Habibie (1998) dan Abdurrahman Wahid. Muncul perbedaan yang sangat mencolok antara periode sebelum tahun 2002 dengan sesudahnya, khususnya reaksi pro dan kontra yang dilakukan oleh berbagai pihak terhadap kebijakan itu. Pada masa Orde bare hingga pemerintahan transisi Abdurrahman Wahid, tidak muncul penolakan yang berarti atas privatisasi PT. Indosat Tbk. Malah di antara eksekutif dan legeslatif saling mendukung. Namun berbeda reaksi yang muncul pada saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengeluarkan kebijakan privatisasi terhadap perusahaan yang sangat strategis dan menguntungkan itu. Penolakan muncul dari banyak kalangan misalnya para karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Indosat (SPI), Anggota Dewan (khususnya Fraksi Reformasi), Ketua MPR; KPPU: Iluni Jakarta serta ormas dan tokoh masyarakat. Studi terhadap privatisasi PT. Indosat Tbk. menunjukkan bahwa alasan yang paling mendasar dari kebijakan privatsisi di Indonesia adalah hanya untuk menutupi kebutuhan defisit anggaran tambahan pemerintah tahun 2002-2003 sebesar Rp. 6.2 triliun. Kebijakan privatisasi oleh pemerintah pada saat ini tidak direncanakan secara matang dan baik bahkan terkesan "asal-asalan" atau asal laku terjual. di samping itu juga pada saat pelaksanaannya ada indikasi KKN. Konflik politik sebagai akibat dari kebijakan privatisasi bukanlah konflik pribadi, namun sebagai bentuk dari konflik ideologi atau kepentingan antar elit partai politik. Metode privatisasi di Indonesia tidak harus meniru kebijakan di Negara lain yang sukses melaksanakan kebijakan privatisasinya, karena di Indonesia persoalan status kepemilikan perusahaan berpengaruh kepada kinerja perusahaan secara keseluruhan. Strategi restrukturisasi BUMN disarankan melalui (1) membuat regulasi yang memihak kepada kepentingan bangsa Indonesia dan kesejahteraan rakyat banyak (2) Membentuk Korporasi perusahaan agar tercipta manajemen dan budaya kerja yang efisien dan produktif (3) penciptaan pasar yang lebih kompetitif atau mengurang/mencabut monopoli. (4) kebijakan privatisasi yang transparan.(ags).
Political Economy Study on the Ruling of Megawati Soekarnoputri; Case Study of PT Indosat Tbk. Privatization 2002 - 2003. The study in this thesis discussed the political economy analysis of the ruling of Megawati Soekarnoputri with a case study on privatization of PT Indosat Tbk in 2002 - 2003. In general, privatization of BUMN (state-owned enterprises) is a very dilemmatic public policy. On the one hand, it has to be implemented immediately to reach higher efficiency and the establishment of good corporate governance in order to deal with trading globalization. On the other hand, the policy was actually not popular in society and inviting accusation that the government has served as part of neo-liberal supporters. Pros and cons saturated the privatization policy in Indonesia. In order to analyse this phenomena, the research on this thesis will use economical and political democratization theory, as well as political conflict theory. This research used descriptive-analytical approach method. Primary data was collected through in-depth interview with purposively selected informants, while secondary data was collected from literature study on journals of economics, articles, news papers, printed documents and interact articles. Privatization policy on PT Indosat Tbk was not only done during the ruling of Megawati Soekarnoputri, but has already don since the New Order rule (1994), followed by BJ Habibie transitional government (1998) and during Abdurrahman Wahid's presidency. Significant differences took place between these periods before 2002 and during the 2002 - 2003, especially in the existence of pros and cons from many actors over this policy. During the New Order until the transitional government of Abdurrahman Wahid, there was no significant rejection over the privatization of PT Indosat Tbk. Instead, executive and legislative members were supporting each other in this policy. However, contradictive reaction submerged when Megawati Soekarnoputri produced the privatization policy over this extremely strategic and profitable company. Rejection came from many subjects such as employers of Serikat Pekerja Indosat (SPI or Indosat Labour Union), members of parliament (especially those from Reformasi Faction), Head of MPR, KPPU, Jakarta's Iluni and other prominent mass organizations and leaders. The study on privatization of PT Indosat Tbk shows that the basic reason of privatization policy in Indonesia was only to cover up the deficit of state's budget during 2002 - 2003 which amounted to Rp 6.2 trillions. Privatization policy by the government at that time was not well planned and gave an impression of being hastily put together that as long as it can be sold, then it was acceptable. In addition, there was also some indications of corruption and nepotism (KKN) took place during the implementation of the policy. Political conflicts resulted from privatization policy was not personal conflicts, but instead took form as ideological or interest conflict between political parties' elites. Privatization method conducted in Indonesia does not have to be a duplication of other methods used by other countries who have been successful with their privatization policies, because in Indonesia the status of company's ownership can influence the overall company's performance. The restructuring strategy on BUMN should be conducted through: (1) Creation regulation which serves the best interest of Indonesian people and their overall prosperity. (2) Creation of corporate company in. order to build efficient and productive management and professional culture. (3) Creation of more competitive market and decreasing monopoly rights. (4) Creation of transparent privatization policy.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14367
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>