Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irnawaty Rasyid
"Prevalensi obesitas cenderung meningkat di berbagai belahan dunia sehingga dapat meningkatkan risiko kardiometabolik pada berbagai penyakit. Salah satu tata laksana obesitas yang paling efektif adalah modifikasi gaya hidup, yaitu pengaturan diet. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan dengan desain uji klinis acak tersamar ganda, paralel, dua kelompok, bertujuan mengetahui pengaruh suplementasi serat larut dan diet rendah kalori seimbang (DRKS) selama 4 minggu berturut-turut terhadap berat badan (BB), kadar kolesterol highdensity lipoprotein (HDL) dan trigliserida (TG) serum pada subyek obes I usia 30-50 tahun. Berdasarkan kriteria inklusi, didapatkan 31 subyek yang dibagi menjadi dua kelompok, 15 orang kelompok perlakuan (KP) mendapat DRKS 1200 kkal/hari dan psyllium husk (PH) 8,4 g/hari, dan 16 orang kelompok kontrol (KK) mendapat DRKS 1200 kkal/hari dan plasebo. Sebanyak 28 subyek menyelesaikan penelitian ini. Suplementasi PH ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek samping yang serius. Jumlah asupan energi total subyek KP 1130,9 ± 221,9 kkal/hari lebih tinggi signifikan (p = 0,02) daripada KK 1024,3 ± 269,9 kkal/hari. Asupan serat subyek rendah; KP 17,2 ± 2,8 dan KK 8,6 (5,2−15,2) g/hari, walaupun dengan suplementasi PH. Penurunan BB dan peningkatan kadar kolesterol HDL serum sedikit lebih banyak tidak signifikan pada KP (-1,8 ± 0,8 kg dan 0,0 ± 4,3 mg/dL) dibandingkan KK (-1,6 ± 0,9 kg dan -0,4 ± 5,9 mg/dL). Penurunan kadar TG serum KP -1,5 (-416−77) mg/dL lebih rendah tidak signifikan dibandingkan dengan KK -10,0 ± 31,3 mg/dL. Pada penelitian ini belum dapat dibuktikan suplementasi PH 8,4 g/hari dan DRKS 1200 kkal/hari dibandingkan DRKS 1200 kkal/hari saja selama 4 minggu berturut-turut lebih baik dalam menurunkan BB dan mempengaruhi kadar kolesterol HDL dan TG serum pada subyek obes I.

The prevalence of obesity has been increasing globally, thus it likewise made an escalation the risk of cardio metabolic diseases. One method to encounter obesity is lifestyle modification such as the diet. This research was a preliminary study with double blinded randomized clinical trial, parallel, two groups, aims to understand the effects of soluble fiber suplementation and low calorie balanced diet (LCBD) on weight, high-density lipoprotein (HDL) cholesterol and triglycerides serum for obese I subjects age 30-50 years, for four weeks successively. Base on inclusion criteria, 31 subjects are divided into two groups, 15 subjects for treatment (T) receive 1200 kcal/day of LCBD and 8,4 g/day of psyllium husk (PH) and 16 subjects for control (C) receive 1200 kcal/day of LCBD and placebo. 28 subjects accomplish this research. PH suplement were being tolerate decently, and no serious side effect developed. Total energy intake from all T subjects were 1130,9 ± 221,9 kcal, significantly higher (p = 0,02) than C subjects 1024,3 ± 269,9 kcal/day. Subjects intake of fibers were low, even adding PH supplementation; 17,2 ± 2,8 for T subjects and 8,6 (5,2-15,2) g/day for C subjects. Weight loss and HDL cholesterol serum level enhancement were insignificantly higher on T subjects (-1,8 ± 0,8 kg and 0,0 ± 4,3 mg/dL) compared to C subjects (-1,6 ± 0,9 kg and -0,4 ± 5,9 mg/dL). TG serum level derivation on T subjects are -1,5 (-416−77) mg/dL insignificantly lower than C subjects -10,0 ± 31,3 mg/dL. This research has still yet able to prove that suplementation of PG 8,4 g/day and LCBD 1200 kcal/day in compare to only 1200 kcal/day of LCBD and placebo in 4 weeks consecutively are better in weight loss and affect the level of HDL cholesterol and TG serum on obese I subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Kurniadhi
"Latar belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Diluar dari faktor risiko konservatif yang sudah diketahui berhubungan PJK ternyata didapatkan pula sejumlah faktor non konservatif yang berhubungan dengan PJK, salah satu faktor risiko yang paling menonjol adalah resistensi insulin. Data penelitian yang melihat peranan dan hubungan antara resistensi insulin dengan kejadian dan beratnya PJK masih menjadi kontrovesi, dimana sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran nilai resistensi insulin pada pasien PJK dan tersangka PJK yang menjalani angiografi koroner dan korelasi antara resistensi insulin dengan beratnya PJK, yang dinilai dengan derajat stenosis arteri koroner.
Metode: Resistensi insulin dinilai dengan menggunakan HOMA IR sedangkan beratnya derajat stenosis koroner dinilai dengan sistem skoring dari Gensini.
Hasil: Sebanyak 39 subyek yang menjalani angiografi koroner karena PJK dan tersangka PJK mengikuti penelitian ini. Nilai HOMA IR pada penelitian ini tidak mengikuti distribusi normal, dengan nilai median 4,63 (0,73 – 26,9). HOMA IR menunjukkan korelasi yang bermakna dengan beratnya derajat stenosis arteri koroner dengan arah korelasi positif dan kekuatan korelasi sedang (r: 0,44, p < 0,05). Korelasi ini tetap bermakna meskipun telah dilakukan penyesuaian dengan sejumlah variabel perancu.
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna antara resistensi insulin dengan beratnya PJK yang dinilai dengan Gensini skor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febrini Damayanti
"Latar belakang: Di Indonesia, tingkat kunjungan Antenatal Care (ANC) masih mengalami tantangan serius dengan angka yang terus menunjukkan tingkat partisipasi yang sangat rendah atau kepatuhan pemeriksaan yang rendah. Hal ini dipengaruhi oleh predisposing factors, enablings factors, dan reinforcing factors. Seiring perkembangan teknologi, dalam meningkatkan kepatuhan pemeriksaan ANC tersedia layanan telemedicine.
Tujuan penelitian: Untuk mengetahui hubungan karakteristik pada pasien pengguna telemedicine dengan pasien kunjungan langsung terhadap kepatuhan pasien kunjungan antenatal care di RSIA Marissa Palembang
Metodologi penelitian: Penelitian ini merupakan jenis penelitian mixmethode dengan desain sequential explanatory dengan maksud untuk mengetahui tentang kepatuhan pasien yang menggunakan telemedicine dan yang tidak menggunakan dalam kunjungan rutin antenatal care. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2024 hingga Mei 2024.
Hasil penelitian: Terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik pengetahuan, sikap,kondisi lingkungan, dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan pemeriksaan antenatal care pada pasien pengguna telemedicine maupun bukan pengguna telemedicine.
Kesimpulan: Telemedicine tidak membuat pasien malas berkunjung, penggunaan telemedicine sangat membantu pasien dengan akses terbatas ke fasilitias kesehatan sehingga program ini direkomendasikan bagi RSIA Marissa sehingga dapat membantu masyarakat dalam hal akses pelayanan kesehatan. Peningkatan faktor enablings dan reinforcing memainkan peran penting dalam meningkatkan angka kepatuhan pemeriksaan antenatal care pada pasien

Background: In Indonesia, the level of Antenatal Care (ANC) visits still faces serious challenges, with participation rates remaining very low and compliance with examinations being inadequate. This situation is influenced by predisposing factors, enabling factors, and reinforcing factors. With the advancement of technology, telemedicine services are available to enhance compliance with ANC examinations.
Objective: To determine the relationship between the characteristics of telemedicine users and in-person patients on compliance with antenatal care visits at RSIA Marissa Palembang.
Methode: This study is a mixed-method research with a sequential explanatory design, aimed at understanding the compliance of patients using telemedicine versus those not using it in routine antenatal care visits. The research will be conducted from March 2024 to May 2024.
Results: There is a significant relationship between the characteristics of knowledge, attitude, environmental conditions, and family support with compliance to antenatal care examinations among both telemedicine users and non-users.
Conclusion: Telemedicine does not make patients reluctant to visit; instead, it greatly assists patients with limited access to healthcare facilities. Therefore, this program is recommended for RSIA Marissa to help the community access healthcare services. Enhancing enabling and reinforcing factors plays a crucial role in improving compliance rates for antenatal care examinations among patients.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Puspasari
"Tujuan penelitian adalah diketahuinya pengaruh pemberian 100 gram tempe per hari selama empal minggu tcrhadap kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus (DM) tipc 2 usia lanjut (usila). Penelitian ini merupakan uji klinis parael, acak, terbuka. Subyck penelitian adalah 30 orang pcndcxita DM tipc 2 usila yang tinggal di empat panti wredha di Jakarta. Alokasi acak dengan cara randomisasi blok diiakukan untuk membagi subyek menjadi dua kelompok. Seluruh subyek dibesikan pengaturan diet DM sesuai PERKENI. Kelompok sebanyak I6 orang yang diberikan 100 gram tempe, sedangkan kelompok K sebanyak I4 orang yang diberikan kacang-kucangan pengganti tcmpe. Data yang diambil meiiputi usia, jenis kelamin., berat badan dan indeks massa tumbuh (IMT), serta data asupan dengan metodc food record, Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa (GDP) dan glukosa darah 2 jam poslprandial (GDPP) dilakukan pada awal dan akhir pcrlakuan. Analisis data menggunakan uji t tidak berpasangan dan uji Mann Whitney dengan batas kemaknaan 5%. Subyek yang mengikuti penelilian secara lengkap sebanyak 27 orang yang terdiri dari 15 orang kclompok perlakuan dan i2 orang kelompok kontrol. Kcrata usia suhyek adalah ?70,4:b9,5 rahun. Mayoritas subyck (63,5%) adalah perempuan, dan hampir setengah jumlah subyek mempunyai status gizi normai berdasarkan lMT. Sebagian besar (80%) subyck bclum menerima obat DM. Pada awal penclitian, usia, jenis kelamin, IMT, asupan kalori dan zat gizi subyek tidak menunjukkan pcrbcdaan bermakna (p>0,05). Seluruh subyek tidak dapat mematuhi anjuran diet DM yang dibcrikan, asupan Iemak subyek tinggi sedangkan asupan secara rendah. Setelah perlakuan terlihat kecenderungan penurunan kadar GDP dan peningkatan kadar GDPP yang tidak bcfbeda bermakna antam keiompok P dan K. Pcmbcrian 100 glam tempc selama empat minggu tidak menumnkan kadar GDP dan GDPP.

Aim of this study was to investigate the effect of daily intake of 100 gram tempe for four weeks on plasma glucose level in elderly patients with type 2 diabetes mellitus. 'this study was a parallel randomized clinical trial. Subjects were 30 diabetic elderly living in four nursing homes in Jakarta. In the study, subjects were assigned into two groups using block randomization. All subjects had to take diabetic regiment with calorie and macronutrient following diabetic recommendation diet. The treatment group (n=I6) received tempe, while control group (n=14) received legumes other than tempe. Data collection included age, sex, body weight, body mass index, and nutrient intake using 3x24 hours food records. In addition isotlavone intake was also assessed. Fasting plasma glucose levels (FPG) and 2 hours postprandial plasma glucose (PPPG) levels were assessed before and after intervention Unpaired t-test and Mann Whitney wen: used to analysed data with the 5% significance level. There were 27 subjects completed the study: I5 of treatment group and I2 of control group. Mean of age were 70.4 :L 9.5 years. Majority (63.5%) of subjects were female, and almost half subjects had normal BMI. About 80% of subjects did not use diabetic medication. At base line age, BMI, sex, use of diabetic medication, calorie and macronutrient intake wene comparable. All subjects could not comply with diabetic regiment: high fat and low fiber intakes Far, tiber and isotiavoue intake were signiticantly higher in treatment group compare to control group. Decrease in FPG and increase in PPPG alter intervention were observed but were statisticaly insigniticant. In conclusion, daily intake of 100 gram tempc for four weeks did not decrease PPG and PPPG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32291
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Krishna Adi Wibisana
"Latar Belakang : Penyakit arteri perifer PAP ekstremitas bawah merupakan salah satu komplikasi makrovaskular DM tipe 2 yang memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Proses inflamasi telah diketahui berperan dalam terjadinya PAP pada penyandang DM tipe 2. Rasio neutrofil limfosit atau neutrophil lymphocyte ratio NLR telah digunakan sebagai penanda inflamasi kronik. Sejauh penelusuran kepustakaan yang dilakukan, belum didapatkan studi yang meneliti hubungan antara NLR dengan kejadian PAP ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara NLR dengan kejadian PAP ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2.
Metodologi : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan subjek penyandang DM tipe 2 yang menjalani pemeriksaan ankle brachial index ABI di poliklinik divisi Metabolik Endokrin RSCM periode Oktober 2015 ndash; September 2016. Didapatkan 249 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan pengambilan data sekunder dari rekam medis mengenai data ABI, NLR, data demografik serta faktor perancu. Subjek dinyatakan menderita PAP ekstremitas bawah jika memiliki nilai ABI le; 0,9 dengan pemeriksaan probe Doppler. Data NLR kemudian dikategorikan berdasarkan median nilai NLR dan dicari hubungan nilai NLR dengan kejadian PAP ekstremitas bawah. Uji chi square digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logistik digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil : Penyakit arteri perifer ekstremitas bawah ditemukan pada 36 subjek 14,5. Didapatkan nilai median NLR total sebesar 2,11. Nilai median NLR didapatkan lebih tinggi pada kelompok PAP daripada tanpa PAP 2,46 vs 2,04. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai NLR ge; 2,11 dengan kejadian PAP ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2 PR 2,46, 95 IK 1,23 ndash; 4,87; p=0,007. Dengan menggunakan uji regresi logistik, diketahui bahwa hipertensi merupakan variabel perancu.
Simpulan : Terdapat hubungan antara rasio neutrofil limfosit dengan kejadian penyakit arteri perifer ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2.

Background : Lower extremity peripheral artery disease PAD is one of diabetic macrovascular complication which has high rate of morbidity and mortality. Chronic inflammation has been known to have a role in the pathogenesis of PAD in diabetic patient. Recently, neutrophil lymphocyte ratio NLR has been used as a marker of chronic inflammation. To the best of our knowledge, there are no prior studies about the relationship between NLR and PAD in type 2 diabetic patients.
Aim : To determine the relationship between neutrophil lymphocyte ratio and lower extremity peripheral artery disease in type 2 diabetic patient.
Methods : This was a cross sectional study on 249 patients with type 2 diabetes mellitus who underwent ankle brachial index ABI examination at Metabolic and Endocrinology Divison in Cipto Mangunkusumo Hospital between October 2015 ndash September 2016. The data were retrospectively collected from medical record. Lower extremity peripheral artery disease was defined as having ABI value le 0,9 by probe Doppler. Neutrophil lymphocyte ratio were categorized based on the median value and the relationship with lower extremity PAD were determined. Chi square test was used for bivariate analysis and logistic regression was used for multivariate analysis against confounding variables.
Result : Lower extremity peripheral artery disease was found in 36 subject 14,5. Median of NLR was 2,11. The median value of NLR was found higher in subjects with lower extremity PAD than without PAD 2,46 vs 2,04. There was an association between NLR value ge 2,11 and lower extremity PAD in type 2 diabetic patient p 0,007 PR 2,46 and 95 CI 1,23 ndash 4,87. By using logistic regression, it was known that hypertension was the confounding variable.
Conclusion : There is a relationship between neutrophil lymphocyte ratio and lower extremity peripheral artery disease in type 2 diabetic patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyanto
"Salah satu penanganan obesitas melalui proses pencoklatan yang meningkatkan thermogenesis. Proses pencoklatan melibatkan faktor transkripsi PPARγ dan PGC1α. Saat ini diketahui pengaruh H. sabdariffa dalam menghambat adipogenesis, namun pengaruhnya pada proses pencoklatan masih belum diketahui. Tujuan penelitian untuk mengatahui pengaruh H. sabdariffa pada proses pencoklatan. Penelitian eksperimental menggunakan 24 ekor tikus Sprague Dawley jantan (Rattus Norvegicus) dengan berat 90-160 gram, usia 6-10 minggu, dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok kontrol (KH0), kelompok kontrol obes dengan pakan khusus (OH0), kelompok obes diberikan ekstrak H. sabdariffa 200 mg/KgBB (OH200), Kelompok obes diberikan ekstrak H. sabdariffa 400 mg/KgBB (OH400). Pemberian H. Sabdariffa dilakukan selama 5 minggu, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan RT-qPCR. Pemberian ekstrak H. sabdariffa meningkatkan ekspresi PPARγ dan PGC1α sebagai faktor transkripsi proses pencoklatan. Hal ini didukung dengan penurunan Indeks Lee hingga normal. Kesimpulan: Ekstrak H. sabdariffa meningkatkan ekspresi faktor transkripsi proses pencoklatan PPARγ dan PGC1α sehingga memberikan hasil penurunan Indeks Lee yang merupakan salah satu indikator obesitas pada tikus.

The browning process that increase thermogenesis become one of the option to treat obesity. Beiging process involves PPARγ and PGC1α transcription factors. The effect of H. sabdariffa in holding adipogenesis is known, but its effect on the beiging process is still unknown. The purpose of this study was to determine the effect of H. sabdariffa on the beiging process. The experimental study used 24 male Sprague Dawley rats (Rattus Norvegicus) weighing 90-160 grams, 6-10 weeks old, divided into 4 groups known as control group (KH0), the obesity control group with high fat diet (OH0), the obesity group was given H. sabdariffa extract 200 mg/KgBW (OH200), the obese group was given H. sabdariffa extract 400 mg / KgBW (OH400). The administration of H. Sabdariffa was carried out for 5 weeks, then it was examined by RT-qPCR. The administration of H. sabdariffa extract increased the expression of PPARγ and PGC1α as transcription factors for beiging process. This is supported by the decline in the Lee Index to normal. Conclusion: H. sabdariffa extract increased the expression of browning process transcription factor PPARγ and PGC1α which resulted in decreased Lee index, an indicator of obesity in rat."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Kuntari Heruyanto
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pamberian bubuk susu kedelai
2x30 gramlbari, selama 8 minggu terhadap kadar
kolesterol LDL dan HDL serum pada wanita
parimenopause
Bertempat di Klinik Seruni Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas lndnesia, jalan Salemba Raya no.6, Jakarta
Penelitian dengan rancangan one group pre-post tes yang
telah disetujui Komite Etik FKUI. Subyek mendapat
suplementasi susu bubuk kedelai 2x30 g/hari selama 8
minggu. Pada awal (minggu 0); pertengahan (minggu IV);
dan akhir penelitian ( awal minggu IX) dilakukan
pemeriksaan kadar kolesterol LDL dan HDL. Data isilpan
zat gizi dilukukan sebelum dan selama penelitian
berlangsung, dengan menggnnakan food recall l x24 jam.
Uji statistik yang digunakan adalah uji t berpasangan jika
data berdistnbusi normal dan Wilcoxon, jika data
berdistribusi tidak normal. Tingkat kemaknaan yang
digunakan p<0,05.
Sebanyak 19 subyek penelitian yang dapat mengikuti
penelitian sampai selesai. Setelah delapan minggu
perlakuan, didapatkan adanya penurunan yang bermakna
(p<0,05) pada kadar kole-ol LDL, yaitu sebesar
8,59±17,31% di minggu IV dan 7,81±11,32% di minggu IX.
Kadar kolesterol HDL menurun pada minggu IV dan IX,
namun tidak bermakna (p>0,05). Rasio kolesterol LDL
terhadap HDL, men= secilla bermakna (p<0,05) di
minggu IV, yaitu sebesar 7,03±16,82%, sedangkan di
minggu IX terjadi penurunan, namun tidak bermakna
(p>0,05), sebesar 4,04±12,25%.
Pemberian bubuk susu kedelai 2x30 g/hari selama delapan
minggu, dapat menurunkan kadar kolesterol LDL serta
rasio LDLIHDL secara bermakna.

Abstract
This research aim to investigate the effects of2x30 lifd soy milk flour, for eight
. weeks on serumo cholesterol LDL andHDL levels in
hypercholesterolemic perimenopausal women
Located at Seruni Clinic, Depar1ment of Nutrition, Faculty of Medicine
University of Indonesia
The study was a one group pre-post test design, which was
approved by The Ethical Clearance Research Committee of
Faculty of Medicine University of Indonesia. The subjects
received 2x30 g/d soy milk powder for eight weeks. Serum LDL
and HDL cholesterol levels were determined at the heghming
(week 0), the middle (week4), and the end of the stndy(early
week 9). Dietery intakes were assessed using lx24 hours food
recall. Statistical analysis was performed using dependent t tes
for normal distribution and Wilcoxon for not normal distribution
data. The level of significancy was 5% (p<0,05)
There were 19 subjects who completed the study. After eight
weeks intervention, there was 8.59±17.31% significant decreased
in LDL cholesterol levels at the 4th week of the study and
7.81±1 1.32% at the s"' week of the study (p<0,05).HDL
cholesterol levels decreased at the 4\h and 8" weeks, but not
significant(p>0,05). The ratio ofLDL to HDL was 7,03±16,82o/o,
which was significant decreased at the 4" week (p<0,05), while at
the 9th week the decrement was not significant (4.04±12.25%),
p> 0.05.
Consuming soy milk powder 2 x 30 g/dduring eight weeks, can
reduce the LDL cholesterol level and LDLIIIDL ratio
significantly."
2009
T32816
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marie Antoinette Cherie Winokan
"ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah diketahuinya kadar seng serum pada pasien DM tipe 2
dan hubungannya dengan asupan seng, protein hewani, fitat, dan serat. Penelitian
ini merupakan studi potong Iintang pada pasn DM tipe 2 usia 40-64 tahun yang
berobat jaian di Poliklinik Metabolik Enclokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM pada bulan Mei sampai Juni 2009. Sebanyak 68 pasien DM tipe 2
menyatakan kesediaannya mengikuti penelitian ini dan di akhir penelitian terdapat
58 subjek (85,29%) yang mengikuti penelitian ini dengan lengkap. Data diperoieh
dari wawancara, pengukuran antropometri, evaluasi asupan makanan
menggunakan rntode jizod recaff 2 x 24 jam, food record tiga hari, dan FFQ
semikuantitatifl Selain ilu juga dilakukan pemeriksaan kadar Seng serum, kadar
glukosa darah puasa, dan kadar giukosa darah dua jam setelah makan. Nilai
median asupan seng dari food record didapatkan sebesar 5,95 mg (4,92 - 7,l3
mg) pada laki-Iaki dan pada perempuan sebesar 5,|6 mg (4,54 »- 6,03 mg), hanya
3,-45% subjek yang mempunyai asupan seng yang cukup menurut AKG. Sebanyak
8l,03% subjek memiliki proporsi asupan protein hewani yang lebih rendah
daripda rekomendasi dan 93,l0% subjek memiliki tingkat estimasi tingkat
absorpsi Seng yang rendah, serta asupan sera! yang cukup. Sebagian besar (77,6%)
subjek penelitian termasuk kategori hiperglikemik dan sebanyak l2,07% subjek
penelitian memiliki kadar seng serum rendah, yaitu 3,45% pada laki-laki dan
8,62% pada perempuan. Didapatkan korelasi lemah bemnakna (r = 0,226, p =
04344) antara ltadar seng serum dengan asupan protein hewani, dan persentase
asupan protein hewani memiliki korelasi derajat cukup (r=0,375) dengan kadar
Seng serum (p=0,0U2). Tidal-t didapatkan hubungan bermakna antara kadar song
serum dengan asupan seng, protein hewani, serat, dan estimasi tingkat absorpsi
seng."
2009
T32879
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Cahyanur
"Latar Belakang : Adenoma hipofisis merupakan tumor intrakranial yang berasal dari jaringan hipofisis anterior. Manifestasi klinis yang ditimbulkan terkait dengan pendesakan massa dan gangguan sekresi hormon. Salah satu gangguan hormonal yang ditimbulkan adalah hipotiroidisme sekunder. Hipotiroidisme sekunder terkait dengan penurunan kualitas hidup serta peningkatan risiko kardiovaskular.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi hipotiroidisme sekunder dan gambaran klinis pasien adenoma hipofisis.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang. Data diambil dari rekam medis pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam kurun waktu tahun 2007-2012. Data demografis pasien (usia, jenis kelamin), karakteristik klinis, jenis adenoma, data radiologis, serta hasil pemeriksaan hormon (T4 bebas dan TSH) dievaluasi pada peneltian ini.
Hasil : Selama kurun waktu 2007-2012 terdapat 63 pasien adenoma hipofisis di RSCM. Sebanyak 45 pasien memiliki data yang lengkap dan diikutsertakan sebagai subyek pada penelitian ini. Sebagian besar subyek adalah wanita (62,2%). Keluhan utama subyek adalah gangguan penglihatan (55,6%). Gejala atau tanda yang sering ditemukan adalah sakit kepala (86,7%), gangguan penglihatan (77,8%). Pada subyek wanita manifestasi yang pertama kali muncul adalah gangguan penglihatan dan gangguan fungsi seksual (39,3% dan 32,1%). Usia gejala pertama kali muncul lebih muda pada kelompok adenoma fungsional dibandingkan non fungsional (32,9 vs. 40,6). Hampir seluruh kasus yang ditemukan adalah makroadenoma (97,8%). Proporsi subyek yang mengalami hipotiroidisme sekunder adalah 40%. Subyek dengan hipotiroidisme sekunder lebih banyak mengeluhkan gangguan penglihatan dan gangguan ereksi.
Simpulan : Gangguan penglihatan adalah keluhan utama yang sering ditemukan. Pada subyek wanita, keluhan gangguan fungsi seksual bersama dengan gangguan penglihatan adalah manifestasi yang pertama kali muncul. Proporsi hipotiroidisme sekunder pada penelitian ini adalah 40,0 %. Subyek dengan hipotiroidisme sekunder lebih banyak mengeluhkan gangguan penglihatan, gangguan ereksi.

Background : Pituitary adenoma is intracranial neoplasm that arise from anterior pituitary tissue. Clinical manifestations are caused by mass effect and hormonal secretion disorder. One of the hormonal disorder is secondary hypothyroidism. Secondary hypothyroidism is related with increased cardiovascular morbidity and decreased quality of life.
Objectives: This study described the proportion of secondary hypothyroidism and and clinical features of pituitary adenoma patients.
Methods: This study was a cross sectional study. Data were collected from medical record in Cipto Mangunkusumo Hospital, from 2007 to 2012. Demographic data (age, gender), clinical characteristic, radiological result, adenoma type, and hormonal evaluation (free T4 and TSH) were evaluated.
Result : During 2007-2012 there were 63 patients with pituitary adenoma in Cipto Mangunkusumo Hospital.There were 43 patientswho fulfilled the study criteria. Majority of patients were female (62,2%). Visual disturbance was the most common presenting symptom (55,6%). Headache and visual disturbance were symptoms that commonly found, respectively (86,7% and 77,8%). Female subjects suffered visual disturbance and sexual dysfunction as their first occured symptoms, 39,3% and 32,1% respectively. Age at first symptom was younger in the subjects with functional adenoma compared non functional (32,9 vs. 40,6). Almost all cases were macroadenoma (97,8%). Secondary Hypothyroidism proportionin this study was 40 %. Subjects with secondary hypothyroidism had higher frequencies of visual distrubance and erectile dysfunction.
Summary : Visual disturbance is most common presenting symptom. Female subjects tend to had visual disturbance and sexual dysfunction as their first symptom. Secondary Hypothyroidism proportion in this study was 40 %. Subjects with secondary hypothyroidism had larger tumor diameter. Visual disturbance and erectile dysfunction commonly found in subjects with secondary hypothyroidism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susie Setyowati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit Graves merupakan penyebab terbanyak hipertiroidisme. Remodeling pada hipertiroidisme dilaporkan meningkat terutama resorpsi tulang. Peningkatan turnover tulang terus menerus bertanggung jawab terhadap percepatan keropos tulang. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat korelasi antara status tiroid dengan kadar ALP, OC sebagai penanda formasi tulang dan CTx sebagai penanda resorpsi tulang.
Metode: Metode yang digunakan adalah potong lintang dengan consecutive sampling pada wanita penyakit Graves usia reproduktif di Poliklinik Metabolik Endokrin RSCM pada periode Juli–September 2014. Analisis statistik dilakukan dengan Mann Whitney, korelasi Spearman dan analisis ROC.
Hasil: Pada 68 subyek penelitian, didapatkan 28 (41.2%) eutiroid, 23 (33.8%) hipertiroid subklinis dan 17 (25%) hipertiroid. Terdapat perbedaan median kadar penanda remodeling tulang antara kelompok eutiroid dan kelompok belum eutiroid (hipertiroid subklinis/hipertiroid) yaitu ALP (71 U/L [40-165] vs 91.5 U/L [39-256]), OC (19.48 ng/mL [10.95-92.70] vs 32.46 ng/mL [13.31-137.0]), dan CTx (0.36 ng/mL [0.11-1.24] vs 0.613 [0.11-1.93]).
Pada uji Spearman didapatkan tidak ada korelasi yang bermakna antara FT4 dengan ALP (r=0.106 p=0.389); terdapat korelasi positif yang bermakna FT4 dengan OC dan CTx (r=0.289 p=0.017 dan r=0.265 p=0.029); terdapat korelasi negatif yang bermakna antara TSH dengan ketiga penanda tulang yaitu ALP (r=- 0.240 p=0.049), OC (r=-0.450 p=<0.001) dan CTx (r=-0.420 p<0.001). Sensitivitas dan spesifisitas diskriminasi TSH dengan kadar serum CTx adalah baik dengan nilai 70.72% dan 70.96% dan titik potong TSH yang didapatkan adalah 0.015 μIU/mL.
Simpulan: Median ALP, OC dan CTx pada kelompok belum eutiroid lebih tinggi daripada kelompok eutiroid. Terdapat korelasi positif yang bermakna antara FT4 dengan OC dan CTx. Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara TSH dengan ALP, OC dan CTx. Titik potong TSH 0.015μIU/mL merupakan penanda yang sensitif dan spesifik untuk kadar serum CTx.

ABSTRACT
Background: Grave's disease (GD) is one of the main causes of hyperthyroidism. Bone remodelling has been reported to increase in hyperthyroidisme, especially bone resorption. Continuous increase in bone remodelling has been held responsible for accelerated bone loss. The aim of this study is to find correlation between thyroid status and serum ALP and OC levels as bone formation marker as well as serum CTx as bone resorption marker.
Methods: This is a cross-sectional study involving reproductive-age women with GD who attended endocrine metabolic outpatient clinic Cipto Mangunkusumo General Hospital from July to September 2014. Sampling was conducted by mean of consecutive sampling. Statistical analysis was performed using Mann-Whitney, Spearman correlation and ROC analysis.
Results: From 68 subjects, 28 (41.2%) were euthyroidism, 23 (33.8%) were subclinical hyperthyroidism and 17 (25%) were hyperthyroidism. We found the difference in median concentration of bone markers between euthyroidism group and non euthyroidism group (subclinical hyperthyroidism/hyperthyroidism) i.e. ALP (71 U/L [40-165] vs 91.5 U/L [39-256]), OC (19.48 ng/mL [10.95-92.70] vs 32.46 ng/mL [13.31-137.0]), and CTx (0.36 ng/mL [0.11-1.24] vs 0.613 [0.11- 1.93]). Spearman test used to find correlation between FT4 and bone markers showed no significant correlation between FT4 and ALP (r=0.106, p=0.389). Nevertheless, FT4 was significantly correlated with OC and CTx in a positive manner (r=0.017 and r=0.265, p=0.029). Correlation between TSH and bone markers was found to be significantly negative (ALP [r=-0.240, p=0.049], OC [r=-0.450, p=<0.001] and CTx [r=-0.420, p=<0.001]). Sensitivity and specificity of TSH discrimination with serum concentration of CTx was 70.72% and 70.96% respectively with obtained cut off for TSH was 0.015 μIU/mL.
Conclusion: Median value of the three bone markers are higher in non euthyroidism group compared to that of euthyroid group. The correlation between FT4 and OC or CTx is positive and significant. Cut-off point of 0.015 μIU/mL for TSH is a sensitive and specific marker for serum concentration of CTx."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>