Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gerry Sanjaya
"Latar Belakang: Gangguan psikologis pada pekerja dapat berdampak pada gangguan kesehatan fisik, penurunan produktivitas kerja hingga kecelakaan kerja. Kuesioner yang digunakan di beberapa dunia untuk menilai gangguan psikologis adalah kuesioner Brief Symptom Rating Scale-5 (BSRS-5). Namun kuesioner tersebut masih belum ada versi Bahasa Indonesia. Pada penelitian ini dilakukan validitas transkultural (adaptasi lintas budaya), uji validitas dan reliabilitas agar kuesioner dapat digunakan sebagai instrumen penilaian gangguan psikologis pada pekerja di Indonesia.
Metode: Penelitian ini diawali dengan penerjemahan dan penyesuaian kultural dari kuesioner asli. Tim peneliti melakukan modifikasi kuesioner asli yang berbahasa asing diterjemahkan ke Bahasa Indonesia agar kuesioner dapat digunakan di lingkungan kerja. Penelitian dilanjutkan dengan pengumpulan data menggunakkan kuesioner BSRS-5 versi Bahasa Indonesia yang sudah melewati validitas transkultural kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji validitas konstruk, validitas eksternal dengan Depression, Anxiety dan Stress Scale-21 (DASS-21), analisa faktor dan uji reliabilitas.
Hasil: Kuesioner BRS-5 dihasilkan dari validasi transkultural dengan metode ISPOR. Hasil dari uji validitas konstruk semua pertanyaan (0.634-0.781) dengan tingkat signifikansi < 0.05. Kemudian dilakukan analisa faktor semua pernyataan > 0.3 dan didapatkan kelima item dengan nilai Eigenvalue 1. Cronbach's Alpha adalah 0.770. Nilai Corrected Item Total Correlation semua pernyataan antara 0.634-0.781. Hasil uji validitas eskternal dengan DASS-21 didapatkan BSRS-5 berkolerasi dengan DASS-21 dimensi depresi dan dimensi stres dengan nilai korelasi 0.397 dan 0.399. Sedangkan untuk BSRS-5 dengan DASS-21 dimensi anxiety menunjukkan tidak adanya korelasi dengan nilai korelasi 0.237. Oleh karena itu, diperlukan penilaian kuesioner gold standard lainnya apabila terbukti mengalami gangguan psikologis dari setiap komponen yang terdapat di BSRS-5.
Kesimpulan: Penelitian menghasilkan kuesioner Brief Symptom Rating Scale-5 (BSRS-5) yang valid dan reliable untuk digunakan oleh pekerja khususnya tenaga medis umum di Indonesia. Namun, untuk menindaklanjuti gangguan psikologis yang didapat setelah mengisi kuesioner BRSS-5 versi Bahasa Indonesia diperlukan gold standard kuesioner lain atau bantuan profesional untuk evaluasi lebih lanjut.
......Background: Psychological distress in workers is associated with physical health problems and decreased work productivity costing the impact of workplace accidents. One of the questionnaires used in several countries to assess psychological distress is the Brief Symptom Rating Scale - 5 (BSRS-5). However, the BSRS-5 is not available in the Indonesian version. In this study, researchers do transcultural (cross-cultural adaptation), construct validity, external validity and reliability tests. To make BSRS-5 provide an instrument for assessing psychological distress for workers in Indonesia. Methods: This study started with the cultural adaptation of the original questionnaire. The research team modified the original questionnaire in a foreign language and translated it into Indonesian language so that the questionnaire could use in the work environment. The study continued with data collection using the Indonesian version of the BSRS-5 questionnaire, which had passed transcultural validity. Then it continued with construct validity tests, factor analysis, external validity with Depression, Anxiety and Stress Scale-21 (DASS-21), and reliability testing. Results: The BSRS-5 questionnaire was produced from transcultural validation using the ISPOR method. The results of the construct validity test for all questions between (0.634-0.781) with a significance level < 0.05. The factor analysis values for all statements > 0.3 were all items having Eigenvalues > 1. The Corrected Item Total Correlation value for all statements is between 0.634-0.781. Cronbach's Alpha score is 0.770. The external validity test results with DASS-21 showed that BSRS-5 correlated with the DASS-21 dimensions of depression and stress with correlation values of 0.397 and 0.399. In opposition to correlated BSRS-5 with the dimension of anxiety in DASS-21 showed no correlation with a correlation value of 0.237. Therefore, another standard gold questionnaire is required to evaluate physiological distress based on each item in BSRS-5. Conclusion: The absence of correlation with anxiety in this assessment tool need another gold standard questionnaire or professional assistance is required for further evaluation to follow up on psychological disorders. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketty Sjarifuddin
"Latar Belakang: Kualitas tidur seorang pekerja merupakan hal penting dalam menjaga status kesehatan juga produktivitas kerja karena melalui tidur terjadi proses pemulihan pada tubuh. Kualitas tidur yang tidak baik dapat berdampak buruk pada masalah kesehatan, menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan resiko kecelakaan. Kualitas tidur dipengaruhi oleh faktor individu, pekerjaan dan lingkungan. Studi global meta analisis sebanyak 30% pekerja industri mengalami kualitas tidur buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas tidur pekerja teknisi alat berat di perusahaan X dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pekerja dimana belum adanya penelitian yang berfokus pada kualitas tidur teknisi alat berat. 
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Menggunakan data sekunder hasil MCU karyawan Perusahaan X. Total sampling sebanyak 105 teknisi alat berat, dianalisa multivariate dengan regresi logistik batas kemaknaan p<0.05 untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur. Instrumen terdiri dari kuesioner terbuka karakteristik responden, kuesioner PSQI untuk menilai kualitas tidur yang telah divalidasi dalam bahasa Indonesia (α Cronbach 0.79), dan kuesioner SOFI untuk menilai kelelahan yang telah divalidasi dalam bahasa Indonesia (α Cronbach  0.969). 
Hasil: Prevalensi pekerja yang mengalami kualitas tidur buruk didapatkan sebesar 48.6%. Hanya faktor kelelahan kerja yang memiliki hubungan bermakna dengan kualitas tidur  (p=0.026, aOR 11.7, CI95% 1.333- 102.76) 
Kesimpulan: Terdapat kualitas tidur yang buruk pada pekerja teknisi alat berat dengan kelelahan kerja menjadi faktor resiko yang bermakna secara statistik dengan kualitas tidur yang buruk.  
......Background: Sleep quality of a worker is important in maintaining health status as well as work productivity because the proccess of recovery is sleeping. Poor sleep quality can have a negative impact on health problems, reduce work productivity, increase the risk of accidents. Sleep quality is influenced by individual, occupational and environmental factors. A global meta-analysis study found that 30% of industrial workers experience poor sleep quality. This study aims to determine the sleep quality of heavy equipment technicians at company X and the factors related to the sleep quality of workers where there has been no research that focuses on the sleep quality of heavy equipment technicians.
Methods: This study uses cross-sectional methods. Using secondary data from MCU result of workers at Company X. A total sample of 105 heavy equipment technicians was analyzed multivariat  using a regression logistic. The instruments consisted of an open questionnaire on respondent characteristics, a PSQI questionnaire to assess sleep quality which had been validated in Indonesian (Alpha Cronbach 0.79), and a SOFI questionnaire to assess fatigue which had been validated in Indonesian (Alpha Cronbach 0.969).
Results: The prevalence of workers experiencing poor sleep quality was 48.6%. Only work fatigue had a significant relationship with sleep quality (p=0.026, aOR 11.7, 95% CI 1.333-102.76).
Conclusion: There is poor sleep quality in heavy equipment technician workers with work fatigue being a statistically significant risk factor for poor sleep quality."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Dwi Astuti
"Latar Belakang Pekerja emping bekerja dengan postur menunduk selama waktu kerja yang dapat menyebabkan nyeri tengkuk. Untuk merencanakan tempat kerja yang ergonomis diperlukan ukuran tinggi meja dan kursi yang sesuai. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kesesuaian tinggi meja dan kursi dengan tinggi siku duduk serta poplitea terhadap penurunan skala nyeri tengkuk.
Metode Penelitian menggunakan desain eksperimen one group pre-post. Skala nyeri tengkuk diukur meggunakan Visual Analog Scale. Intervensi yang dilakukan adalah penyesuaian tinggi meja dan kursi dengan tinggi siku duduk serta poplitea selama 14 hari. Kemudian dilakukan uji T berpasangan untuk rerata beda skala nyeri tengkuk pre dan post intervensi. Terhadap variabel bebas dilakukan uji bivariat terhadap perubahan skala nyeri tengkuk yang dilanjutkan uji multivariat.
Hasil Besar sampel penelitian 31 orang dan didapatkan prevalensi nyeri tengkuk sebelum intervensi 82%. Hipotesis terbukti yakni terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata skala nyeri tengkuk sebelum dibandingkan sesudah penyesuaian meja dan kursi kerja selama 14 hari dengan nilai p=0,000, 95%CI=3,35-4,13.
Kesimpulan Kesesuaian tinggi meja dan kursi kerja dengan tinggi siku duduk serta poplitea mempunyai hubungan yang bermakna terhadap penurunan skala nyeri tengkuk dengan masa intervensi selama empat belas hari.
......Background: Emping chips labors work in bent body posture may cause neck pain. Designing ergonomically workplace require compatible table and chair height. The objective of this research to understand the effect of table and chair heightadjustment with elbow sitting height and popliteal against changing scale of neck pain.
Research Methodology: The research used experimental design with one group pre-post method. Neck pain scale was measured with Visual Analog Scale. Purposely intervention was adjustment in table and chair height with elbow sitting height and popliteal within 14 (fourteen) days observation. Subsequently, paired T-test was performed to measure mean difference between pre and post intervention against neck pain scale. Uncontrolled variable was examined with bivariate testing toward changing scale of neck pain that continued with multivariate testing.
Result: Subject of the study were 31 employees, and the prevalence neck pain before intervention was 82%. Statistically proven that there was significant difference of mean scale of neck pain between pre and post intervention in adjustment of table and chair height during 14 (fourteen) days observation with p-value = 0.000 and 95% CI= 3.35 - 4.13.
Conclusion: There was significant effect of table and chair height adjustment with elbow sitting height and popliteal against reduction of neck pain scale during 14 (fourteen) days observation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Azhari Maulana
"Latar Belakang: Pandemi COVID-19 terjadi di seluruh Dunia. Semua sektor terkena imbas dari hal tersebut, termasuk tenaga kesehatan. Terjadi peningkatan resiko gangguan kesehatan fisik dan mental dari Tenaga Kesehatan saat Pandemi salah satu nya Burnout. Vaksinasi adalah salah satu usaha dalam memberikan imunitas kelompok pada masyarakat. Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah yang menerapkan percepatan dari vaksinasi pada masyarakat, hal tersebut dapat meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja yang menjadi anggota Tim Vaksinasi COVID-19 sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya kejadian Burnout pada anggota Tim Vaksinasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor faktor apa saja yang berhubungan dengan Burnout pada Tim Vaksinasi COVID-19 Kab.Subang 2020 -2022
Metode: Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei – Juli 2022 di seluruh puskesmas Kabupaten Subang dengan pembagian kuesioner via online google form. Metode sampling menggunakan simple random sampling. Jumlah sampling dihitung mengunakan metode Slovin dengan hasil 131 orang yang terdiri atas Tim Vaksinasi COVID-19 Kabupaten Subang. Variabel yang digunakan adalah demografi (umur, jenis kelamin, status pernikahan, dan status pendidikan) faktor pekerjaan (jarak antara rumah ke tempat kerja, lama kerja, dan tugas dalam Tim Vaksinasi), beban kerja mental, dan lokus kendali kerja. Analisis yang digunakan adalah analisis hubungan dengan chi square (Bivariat) dan analisis faktor yang paling berhubungan dengan regresi logistik (Multivariat)
Hasil dan diskusi: Hasil dari penelitian ini 44 (33,3%) orang dari Tim Vaksinasi mengalami Burnout. Pada penelitian ini tidak ada faktor demografis yang memiliki hubungan dengan Burnout (nilai p > 0.05). Faktor yang berhubungan dengan Burnout yaitu faktor masa kerja (nilai p = 0.022), faktor lokus kendali kerja (nilai p = 0.022), dan faktor beban kerja mental (nilai p = 0.009). Pada uji multivariat ditemukan faktor yang saling berhubungan adalah lokus kendali kerja(aOR =2,9) dibandingkan dengan faktor lain nya.
Kesimpulan: Faktor masa kerja, lokus kendali kerja dan beban kerja mental memiliki hubungan dengan Burnout. Faktor lokus kendali kerja merupakan faktor yang paling dominan berhubungan terhadap terjadinya Burnout pada Tim Vaksinasi COVID- 19 Kabupaten Subang.
......Background: The COVID-19 pandemic was happening worldwide. All sectors were impacted because of this pandemic, including health workers. The physical and mental health risks increased during this pandemic, including burnout. Vaccination was one of many methods for giving humans immunity against the disease. Because of that, Subang was one of many districts with a government policy for accelerating vaccinations. These policies may impact vaccination teams because high demand for the group can increase the potential for burnout.
Aim: This study is conducted to detect what factors are associated with burnout in the vaccination team in the Subang district.
Methods: The research was conducted in May – July 2022 in the public health care Subang district. The sampling method uses simple random sampling of vaccination team members, about 131 people. The variable factors in this research are characteristic sample (age, sex, marital status, education status), Work Factor (commuting distance, work periods, and job in vaccination team), mental workload, and work locus of control. This analysis will be conducted with the chi-square method for correlation in bivariate and logistic regression for correlation in multivariate.
Result and Discussions: in this research there are 44(33,3%) people of team members who have Burnout. No demographic factors have correlation with Burnout (p value > 0.05). There is correlation between work periods(p value = 0.022), mental workload (p value = 0.009 ) and work locus of control (p value = 0.022) to Burnout. In multivariate factors, this research found work locus of control (p Value = 0.012) have dominant correlation with Burnout (aOR= 2,9).
Conclusion: Work periods, mental workload, and work locus of control factor correlate with Burnout. Work locus of control is the most dominant factor correlates with a burnout in the vaccination team in the Subang district."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olieve Indri Leksmana
"Diketahui bahwa vaksinasi COVID-19 menurunkan angka kesakitan dan kematian, dan penurunan insiden dari infeksi SARS CoV-2 yang bergejala, namun fenomena yang ditemukan di berbagai negara adalah masih ditemukan infeksi SARS CoV-2 pada perawat yang telah divaksin walau dalam skala kecil. Perlindungan yang ditimbulkan oleh vaksinasi ini, dimediasi melalui interaksi yang kompleks antara imunitas bawaan, humoral, dan imunitas seluler karena itu kekebalan yang dibentuk pun sangat bervariasi dari individu satu ke yang lainnya dan dipengaruhi oleh berbagai faktor intrinsik dan ekstrinsik. Penelitian sebelumnya menyatakan stres menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan respon imun pada individu yang mendapatkan vaksinasi Pneumococcal Pneumoniae (p<0,03), Influenza (p =0,02) dan Hepatitis B (p <0.001). Stres kerja terus meningkat dan konstan diantara perawat pada kondisi pandemi COVID-19 dan angka kejadian COVID-19 didapat meningkat pada perawat dengan stres kerja (p<0,001). Stres kerja dapat memiliki hubungan dengan kejadian infeksi COVID-19 pada perawat yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 lengkap.
Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi Sars- CoV-2 diantara perawat yang telah mendapatkan vaksin COVID-19 lengkap
Metode penelitian : Penelitian menggunakan metode cross-sectional dengan kuesioner daring, terdiri dari kuesioner data diri, faktor komorbid, data okupasi, dan kuesioner ENSS yang terdiri dari 5 skala likert. Analisis univariat dilakukan untuk seluruh variabel, dan analisis bivariat dilakukan untuk menentukan variabel bebas mana yang paling berpengaruh.
Hasil : Faktor stres kerja adalah faktor determinan untuk kejadian Infeksi Sars-CoV-2 pada populasi perawat yang telah mendapatkan vaksinasi lengkap (OR = 1,5, 95% CI = 1,3 - 1,8; p <0,001fs). Faktor individu dan faktor lain dari pekerjaan, tidak ada yang menjadi faktor determinan terhadap kejadian infeksi Sars CoV-2 di antara perawat yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 lengkap.
......Introduction. During this pandemic era, nurses experienced a higher level of occupational stress and high exposure to COVID viruses at their workplace. This occupational stress could reduce their immune response, so they are more susceptible to COVID infection. This study aimed to understand the association between occupational stress and the incidence of COVID infection among completely vaccinated nurses (breakthrough infection).
Method. This was a cross-sectional study in which 161 nurses at the main referral hospital for COVID-19 in Pekanbaru were involved. We compare the incidence of breakthrough infections among nurses with high occupational stress and low occupational stress using the Extended Nursing Stress Scale (ENSS) questionnaire which were taken during February to April 2022. We also analyzed the individual and other occupational factors with the incidence of COVID breakthrough infections. Analysis was performed using fisher’s exact and chi-square bivariate analysis.
Results. A total of 17.4 % COVID-19 breakthrough infection was occurred in this study. Overall ENSS mean score is 58.39 (±30.56). About 49.7% of respondents with high occupational stress and the rest were low level. We found that high occupational stress is significantly associated with breakthrough infections (OR = 1.5; 95% CI : 1.3-1.8 p<0.001) among nurses. Individual factors such as age, gender, nutritional status, and marital status, as well as occupational-related factors, such as night shift and working unit, have no association with the breakthrough infection (p>0.05).
Conclusion. Occupational stress becomes the main contributor to infection among nurses who have been completely vaccinated. Thus, stress management is important to be enacted within the hospital to mitigate COVID infections on top of mandatory vaccination among healthcare workers. Future studies are needed to establish a robust connection between occupational stress in post-vaccinated nurses, particularly through thorough quantitative titer antibody assessment and prospective study method."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Sagita Novianty P.
"Penelitian tentang stres dan akibat yang ditimbulkannya lebih sering berfokus pada perawat pada umumnya, dan sedikit perhatian diberikan kepada perawat yang bekerja di Unit psikiatri/Rumah Sakit Jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat stresor kerja dan faktor risiko lainnya dengan timbulnya kecenderungan gangguan mental emosional pada perawat di rumah sakit jiwa. Penelitian ini mengunakan kuesioner Survey Diagnostik Stres, Symptom Check List (SCL-90), dan Skala Holmes Rahe pada 79 perawat yang terlibat langsung dengan penderita gangguan jiwa. Hasil penelitian mendapatkan prevalensi kecenderungan gangguan mental emosional sebesar 26,6%. Status belum menikah meningkatkan risiko untuk mendapatkan kecenderungan gangguan mental emosional yaitu sebesar 12,92 kali.( p=0,003, OR suaian = 12,92 , 95% IK =2,40-69,50 ). Bagian tempat kerja bangsal akut, kerja gilir dan stresor ketaksaan peran dengan tingkat stres sedang-berat juga memiliki hubungan yang bermakna dengan timbulnya kecenderungan gangguan mental emosional. Dapat disimpulkan bahwa status belum menikah adalah stresor yang paling dominan terhadap timbulnya kecenderungan gangguan mental emosional sementara faktor di luar pekerjaan tidak berhubungan dengan timbulnya kecenderungan gangguan mental emosional. Rumah sakit disarankan untuk mengadakan pusat konseling khusus bagi perawat yang belum menikah, kegiatan kegiatan bulanan khusus bagi karyawan yang belum menikah, kegiatan penyuluhan, team building, rotasi kerja gilir perawat, dan penetapan job description yang jelas agar didapatkan perawat yang sehat secara fisik dan mental.
......Research on stress and its consequences  often focused on nurses in general, little attention is given to nurses who work in a psychiatric ward/mental hospital. This research aimed to find  association between job stressors and other risk factors to the onset of mental emotional disorders tendency to nurse in a mental hospital. The research was conducted by using, Survey Diagnostic Stres, Symptom Check List (SCL-90), and Holmes Rahe Scale questionaire to 79 nurses directly involved with mental disorders patients. Results showed the prevalence of mental emotional disorders tendency of 26.6%. Unmarried marital status have a significant association with the onset of mental emotional disorders tendency in the amount of 12.92 times. ( p=0,003, OR adjusted = 12,92, 95% IK =2,40-69,50). Acute ward, shift work and role ambiguity with moderate-severe stress levels also had a significant association with the onset of mental emotional disorders  tendency. It can be concluded that  unmarried marital status is the most dominant stressors on the incidence of mental emotional disorders tendency while factors outside the job does not have a significant association with the onset of mental emotional disorders tendency. Hospital are advised to conduct a counseling center specifically for nurses who are unmarried, held a special monthly events, team building, job rotation, and setting a clear job description in order to  avoid any mental emotional disorders among unmarried nurses."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aziz Ari Wibowo
"Latar belakang Pelayaran singkat, pertukaran proses bersandar dan berlayar yang cepat, serta kepadatan lalu-lintas di jalur pelayaran Bakauheni menjadi tantangan bagi awak kapal feri roro dalam mempertahankan pola kerja dan menyebabkan tekanan psiko-emosional, yang dapat mengganggu kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan pola rotasi kerja terhadap kualitas tidur pada awak kapal feri roro, serta faktor lain yang berhubungan.
Metode Dengan desain potong lintang, awak kapal feri roro di Pelabuhan Bakauheni yang dipilih dilakukan penilaian kualitas tidur dengan menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Karakteristik pekerjaan yang dinilai: jabatan, durasi berlayar, masa kerja, jumlah shift kerja, jam kerja/shift, jam kerja/minggu. Getaran dan kebisingan diukur pada setiap kamar tidur awak kapal yang dipilih.
Hasil Sebanyak 107 responden dari 4 kapal berbeda dilibatkan dalam penelitian ini dengan karakteristik sebagian besar berusia >35 tahun (54,2%), masa kerja >10 tahun (59,8%), bekerja dalam pola shift (81,4%) dengan jam kerja ≤10 jam/shift (82,2%), serta waktu kerja total ≤72 jam/minggu (51,4%). Kualitas tidur buruk didapatkan pada 72,9% responden. Pola kerja 2- shift (OR: 34.67, 95% CI: 3.21–375.07) dan 3-shift (OR: 14.19, 95% CI: 1.26–159.35) merupakan faktor determinan kualitas tidur buruk pada awak kapal feri roro. Faktor lain yang berhubungan adalah jabatan (OR: 8,20, 95% CI: 1,90–35,39) dan getaran (OR: 3,83, 95% CI: 1,09–13,49).
Kesimpulan Dengan prevalensi kualitas tidur buruk yang cukup tinggi, pengawasan dan pengaturan pola rotasi kerja awak kapal feri roro perlu ditingkatkan. Perusahaan pelayaran harus melakukan pemeliharaan, modifikasi, atau pembaharuan akomodasi kapal untuk meningkatkan kualitas tidur awak kapal.
......Introduction
Crew members on roll-on roll-off (roro) ferries at the crossing port face many work challenges, including more port calls due to shorter voyages and challenging sailing conditions. These factors can lead to an irregular work schedule and psychological and emotional stress, that can induce sleep disruption. This study aims to analyse the association of work schedule and sleep quality, as well as other related factors.
Method
This cross-sectional study was conducted at Bakauheni port Lampung, Indonesia, which is renowned as one of the busiest ports in Indonesia, The Indonesian version of the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) was used to assess the quality of sleep. An interview was conducted to gather information regarding the job rank, duration on board, seafaring experience, shifts schedule, and working hours. Vibrations and noise levels were measured in the bedrooms of selected crews. The determining factor was analyzed using logistic regression.
Result
We conducted an analysis on a sample of 107 participants from four randomly selected ships that shared comparable characteristics. The majority of participants were over the age of 35 (54,2%), had more than 10 years of sailing experience (59,8%), worked in shifts (81,4%), and had total working hours of 72 hours or less per week (51,4%). Approximately 72.9% of the participants experience poor sleep quality. The 2-shift (OR: 34.67, 95% CI: 3.21–375.07) and 3-shift (OR: 14.19, 95% CI: 1.26–159.35) schedule are determining factors that associated with poor sleep quality. Additionally, job rank (OR: 8.20, 95% CI: 1.90–35.39) and exposure to vibration (OR: 3.83, 95% CI: 1.09–13.49) are other contributing factors.
Conclusion
There is a high of prevalence of poor sleep quality among roro ferry crews in Indonesia. The regulation of the work rotation schedule needs to be improved and supervised. Shipping companies are required to provide appropriate accommodation for the crews."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library