Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyan Novitalia
Abstrak :
Studi ini mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian amputasi mayor pada pasien Acute Limb Ischemia (ALI) klasifikasi Rutherford IIb dan seberapa besar pengaruhnya. Penelitian ini berdesain kuantitatif dengan desain kohort retrospektif terhadap semua pasien RSCM pada tahun 2014-2019 dengan diagnosis ALI Rutherford IIb. Data demografi dan faktor risiko, dianalisa untuk mendapatkan korelasinya dengan tindakan amputasi mayor. Pada penelitian ini,  insiden amputasi mayor pada total subjek adalah 39,2%. Rata-rata subjek berusia 60 tahun, dengan insiden komorbiditas diabetes mellitus 32,4%, gangguan ginjal kronik 19,6%, hipertensi 41,2%, dan penyakit jantung koroner 39,2%. Hasil analisis menunjukkan hipertensi meningkatkan risiko amputasi mayor 27,4 kali, riwayat penyakit jantung koroner meningkatkan risiko 10,7 kali, dan diabetes mellitus meningkatkan risiko 9,8 kali, semua secara signifikan. Merokok ditemukan sebagai faktor risiko tidak langsung terhadap kejadian amputasi mayor. Kata kunci: Acute limb ischemia, Amputasi mayor, Rutherford IIb
This study identifies the factors associated with major amputation in patients with Acute Limb Ischemia (ALI) Rutherford Stage IIb and how much they affect it. This is a quantitative study with retrospective cohort design for all patients with ALI in Rutherford IIb stage in 2014-2019. Demographics and risk factors were all analyzed in order to find the correlation with the incidence of major amputation. In this study, the incident of major amputation on the overall subject was 39.2%. The mean age for the subjects was 60 years old, and the comorbidity incidence of diabetes is 32.4%, chronic kidney disease is 19.6%, hypertension is 41.2%, and coronary heart disease is 39.2%. The result of the analysis shows that hypertension increases the risk of major amputation in patients with ALI in Rutherford IIb stage by 27.4 times, while coronary heart disease does by 10.7 times and diabetes does by 9.8 times, all statistically significant. Smoking is also found as an indirect risk factor to the incident of major amputation. Key words: Acute limb ischemia, Major amputation, Rutherford IIb
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umayah Asnandri
Abstrak :
Pendahuluan: Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan untuk mengetahui pengaruh tekanan darah sistolik dan diastolik terhadap maturasi arteriovenous fistula (AVF) pada pasien gagal ginjal kronis stadium akhir dengan diabetes melitus tipe 2, sehingga nantinya dapat dijadikan pertimbangan dalam pembuatan akses AVF di divisi Bedah Vaskular RSCM. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain historical cohort di Divisi Vaskular Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCM, Jakarta. Dengan dilakukan consecutive sampling, semua penderita penyakit ginjal kronik stadium akhir dengan diabetes melitus tipe 2 yang direncanakan untuk hemodialisis dengan akses vaskular AVF brakiosefalika. Hasil: Didapatkan 64 subjek gagal ginjal kronik dengan diabetes melitus tipe 2 menjalani prosedur pemasangan akses brakiosefalika. Sebanyak 75% yang matur dari keseluruhan subjek yang diikutsertakan. Rerata tekanan sistolik pra bedah antar kedua kelompok menunjukan angka maksimal berada di 165,15 mmHg dan minimum 123.19 mmHg pada kelompok matur dan angka maksimal berada di 164,65 mmHg dan minimum 125,26 mmHg pada kelompok tidak matur dengan nilai p = 0,922. Rerata tekanan diastolik prabedah antar kedua kelompok dimana angka maksimal berada di 93,04 mmHg dan minimum 72,6 mmHg pada kelompok matur dan angka maksimal berada di 90,34 mmHg dan minimum 75,78 mmHg pada kelompok tidak matur. Sehingga secara statistik tidak memberi kemaknaan (p = 0,982). Kesimpulan: Tekanan darah sistolik-diastolik pra bedah tidak memiliki kemaknaan terhadap maturitas AVF brakiosefalika pada penderita penyakit ginjal kronik stadium akhir dengan dibetes melitus tipe 2. Kata Kunci: tekanan darah sistolik-diastolik, maturitas AV fistula, brakiosefalika, diabetes melitus. ......Introduction: This study is a preliminary study to see the effect of systolic and diastolic blood pressure on arteriovenous fistula maturation (AVF) in end-stage chronic renal failure patients with type 2 diabetes melitus, in the future this study can be considered as reference in making AVF access in the Vascular Surgery division of RSCM. Methods: This study was conducted with a historical cohort design at the Division of Vascular Surgery Department of the Faculty of medicine University Indonesia- Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. We are using consecutive sampling, all patients with end-stage chronic kidney disease with type 2 diabetes melitus that have planned for hemodialysis with brachiocephalic AVF vascular access. Result: There were 64 subjects with chronic renal failure with type 2 diabetes melitus undergoing brachiocephalic access insertion procedures. There are 75% of mature subjects were enrolled. The mean preoperative systolic pressure between the two groups showed the maximum number was 165.15 mmHg and minimum was 123.19 mmHg for the mature group, and we also found the maximum number is 164.65 mmHg and the minimum 125.26 mmHg for the immature group with P value 0.922 (P=0.922). The mean preoperative diastolic pressure between the two groups, where the maximum number was 93.04 mmHg and the minimum 72.6 mmHg for the mature group and the maximum number is 90.34 mmHg and the minimum 75.78 mmHg for the immature group. The result was statistically not significant with P value 0.982 (P=0.9820). Conclusion: Preoperative systolic-diastolic blood pressure has no significance meaning on the maturity of the brachiocephalic AVF in patients with end-stage chronic kidney disease with type 2 diabetes melitus. Keywords: Systolic-diastolic blood pressure, AV fistula maturity, brachiocephalica, end-stage chronic kidney disease, diabetes melitus.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benjamin Ngatio
Abstrak :
Pendahuluan: Revaskularisasi segera jaringan yang telah iskemia, tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Berbagai reaksi yang timbul dari pembentukan reactive oxygen species dan aktivasi sistem komplemen menyebabkan cedera iskemia reperfusi. Ischemia preconditioning PRC dan hipotermia diduga dapat mengurangi efek dari cedera iskemia reperfusi. Metode: Penelitian eksperimental ini adalah lanjutan dari penelitian sebelumnya, di mana dilakukan uji statistika terhadap kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan, yaitu cedera reperfusi IRI, ischemia preconditioning PRC, dan hipotermia. Data kelompok kontrol dan IRI diambil dari penelitian sebelumnya. Kelompok PRC dan hipotermia masing-masing menggunakan enam hewan coba Oryctolagus cuniculus. Pada kelompok PRC dilakukan ligasi arteri femoralis komunis kanan selama dua menit, dilepaskan tiga menit sebanyak dua siklus. Pada kelompok hipotermia dilakukan pembungkusan ekstremitas bawah kanan dengan es. Kemudian kedua kelompok dilanjutkan dengan dilakukan pengikatan arteri femoralis komunis kanan selama empat jam, dan kemudian ikatan dilepaskan selama delapan jam. Kemudian dilakukan laparotomi, dan diambil organ gaster. Bagian antrum diambil untuk pemeriksaan histopatologi dan biokimia. Pemeriksaan biokimia dilakukan menggunakan malondialdehid MDA. Hasil: Uji hipotesis dari perbedaan histopatologi dan biokimia secara keseluruhan bermakna secara statistik. Derajat kerusakan secara histopatologi pada kelompok ischemia preconditioning lebih rendah dengan signifikan dibandingkan kelompok IRI; namun secara biokimiawi, lebih tinggi namun tidak signifikan. Derajat kerusakan secara histopatologi pada kelompok hipotermia lebih rendah namun tidak signifikan dibandingkan dengan kelompok IRI; namun secara biokimiawi, lebih tinggi dengan signifikan dibandingkan dengan kelompok IRI. Bila membandingkan PRC dan hipotermia, secara histopatologi, PRC lebih rendah dengan signifikan. Secara biokimia, rerata PRC lebih rendah namun tidak signifikan. Kesimpulan: Ischemia preconditioning memiliki efek protektif terhadap dampak destruktif yang yang dihasilkan oleh ischemia reperfusion injury terhadap organ jauh. terhadap organ jauh. Hipotermi juga memiliki efek protektif, namun tidak sebaik ischemia preconditioning. ...... Background: Immediate revascularization of ischemic tissue, does not always produce the expected results. Various reactions that arise from the formation of reactive oxygen species and the activation of the complement system cause ischemia reperfusion injury. Ischemia preconditioning PRC and hypothermia are thought to reduce the effects of ischemic reperfusion injury. Methods: This experimental study was performed on the control group and three treatment groups, namely reperfusion injury IRI, ischemia preconditioning PRC, and hypothermia. Two experimental animals were used in control group and six experimental animals were used in IRI, PRC and hypothermia groups. In IRI group, right common femoral artery was ligated for four hours, and released for eight hours. In the PRC group, ligation of right common femoral artery was performed for two minutes and released for three minutes in two cycles. In the hypothermia group, right lower extremity was wrapped with ice. Subsequently, in the two groups, the right common femoral artery was ligated and released like IRI group. Then, laparotomy was performed and the stomach was taken. The antrum part is acquired for histopathology and biochemistry assay. Biochemical examination was performed using malondialdehyde MDA. Results: The hypothesis test of histopathologic and biochemical differences in general was statistically significant. The degree of histopathological damage and MDA in IRI group was significantly higher than control group. The degree of histopathological damage in the PRC group was significantly lower than in the IRI group but biochemically, higher but not significant. The degree of histopathologic damage in the hypothermia group was lower, but not significant, compared to the IRI group but biochemically, significantly higher than the IRI group. When comparing PRC and hypothermia, histopathologically, PRC is significantly lower. Biochemically, the mean PRC is lower but not significant. Conclusion: Ischemia preconditioning has a protective effect on the destructive impact of ischemia reperfusion injury in distant organs. Hypothermia also has a protective effect, but is not as good as ischemia preconditioning.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Kezia Martina
Abstrak :
Latar belakang: Strategi terapi sarkoma jaringan lunak (SJL) ekstremitas cukup menantang. Hal ini karena diagnosis sering terlambat dan gambaran klinisnya yang tidak spesifik sehingga hampir 50% pasien yang baru didiagnosis mengalami kematian. Berbagai modalitas terapi digunakan untuk meningkatkan angka kesintasan pasien sarkoma jaringan lunak ekstremitas. Namun faktor klinikopatologis dapat memengaruhinya angka kesintasan sehingga memengaruhi efektivitas terapi. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka dan faktor-faktor yang memengaruh kesintasan hidup (overall survival) lima tahun pascaterapi pasien sarkoma jaringan lunak ekstremitas di RSCM tahun 2011-2015. Metode: Sebanyak 42 pasien sarkoma jaringan lunak ekstremitas ditegakkan dengan histopatologis dan menjalani terapi di RSCM tahun 2011-2015 menjadi subjek dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan dengan metode Kapplan Meier, uji Cox Regression, dan Cox Regression with Time Dependent Variable Hasil penelitian: Median kesintasan hidup pascaterapi pasien sebesar 6 tahun ( 3 bulan - 8,25 tahun) dengan persentase kesintasan hidup lima tahun sebesar 52,4%. Faktor yang berpengaruh terhadap kesintasan hidup lima tahun pascaterapi pasien SJL adalah tindakan pembedahan berupa limb saving surgery (HR 0,852 IK95% 0,68 - 1,07, p =0,163). Kesimpulan: Kesintasan hidup lima tahun pada pasien sarkoma jaringan lunak ekstremitas adalah sebesar 52,4%, Kesintasan hidup dipengaruhi oleh derajat SJL tinggi, terapi tidak lengkap, dan stadium klinis metastasis. Kata kunci: kesintasan, sarkoma jaringan lunak ekstremitas. ......Background: The strategy for treating limb soft tissue sarcoma (SJL) is quite challenging. This is because the diagnosis is often delayed and the clinical picture is non-specific so that almost 50% of newly diagnosed patients die. Various therapeutic modalities are used to increase the survival rate of patients with extremity soft tissue sarcoma. However, clinicopathological factors can influence the survival rate and thus affect the effectiveness of therapy. This study aims to determine the numbers and factors that influence overall survival five years after therapy for patients with soft tissue sarcoma of the extremities at RSCM in 2011-2015. Methods: A total of 42 patients with soft tissue sarcoma of the extremities were histopathologically established and underwent therapy at the RSCM in 2011-2015 as subjects in this study. Data analysis was carried out using the Kapplan Meier method, Cox Regression test, and Cox Regression with Time Dependent Variable. Results: The median survival after therapy for patients was 6 years (3 months - 8.25 years) with a five-year survival percentage of 52.4%. Factors that affect five-year survival after SJL patients are surgical procedures in the form of limb saving surgery (HR 0.852 95% CI 0.68 - 1.07, p = 0.163). Conclusion: The five-year survival rate for patients with soft tissue sarcomas of the extremities was 52.4%. Overal survival is affected by higher sarcoma grade, incomplete therapy, and worse clinical stage. Keywords: survival, extremity soft tissue sarcoma.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Bunga Syafina
Abstrak :
Pendahuluan: Volume hati sangat penting diketahui untuk menentukan kesesuaian graft pada Living Donor Liver Transplant (LDLT) dan untuk menentukan resektabilitas organ. Salah satu kunci kesuksesan dari LDLT adalah dengan diketahuinya volume parenkim hati yang adekuat baik untuk donor maupun resipien. CT Volumetri merupakan gold standard dalam menghitung volume hati non invasif. Namun pada pelaksanannya terdapat keterbatasan fasilitas, terbatasnya ketersediaan piranti lunak, dan membutuhkan waktu yang lama. Sampai saat ini belum disepakati formula biometrik yang sesuai dalam memprediksi volume hati pasien donor hati di Indonesia. Metode: Desain penelitian ini cross sectional untuk mengetahui formula yang mendekati prediksi volume hati pada pasien donor transplantasi dewasa di Indonesia. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo berdasarkan data pasien dari 1 Januari 2010 – 3 Oktober 2019. Hasil: Perbedaan antara ELV dengan CLV didapatkan paling kecil pada formula Poovatumkadavil dkk dengan perbedaan -24.484cm3, kemudian Vauthey dkk dengan nilai perbedaan -27.153 dan disusul Yoshizumi dkk dengan hasil beda -44.253. Pada grafik Bland-Altman dapat dilihat bahwa perbedaan terkecil ada pada formula yang diusulkan oleh Poovatumkadavil disertai dengan limit of agreement paling kecil dibandingkan formula lainnya. Kesimpulan: Formula biometrik yang diajukan oleh Poovatumkadavil dkk didapatkan paling akurat dalam memprediksi volume hati dewasa di RSCM berdasarkan prediksi volume hati dengan CT volumetrik. ......Liver volume calculation is very important in living donor liver transplant (LDLT) in assessing the compatibility and resectability of the graft. Accurate liver volume calculation to estimate adequate liver volume is one of the predictors of successful LDLT. CT volumetry is the gold standart for liver volume estimation, although there are some limitation in the software and facility availability and time. There are still no biometric formula agreed to predict liver volume in Indonesia. This study is conducted to acquire the best biometric formula for liver volume estimation in Indonesian population. The design of this study is cross-sectional study conducted in dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital on 1st January 2010 – 3rd October 2019. The result of this study shows formuls by Poovatumkadavil has the least difference between estimated liver volume (ELV) and CT liver volume (CLV) with -24.4 cm3 difference. Formula by Vauthey and Yoshizumi also shows minute volume difference with -27.14cm3 and -44.25cm3 respectively. Bland-Altman graph shows the narrowest limit of agreement in Poovatumkadavil formula compared to the others. In conclusion, biometric formula by Poovatumkadavil is shown to be the most accurate in estimating liver volume in Indonesian population compared with CT volumetry.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58949
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zamzania Anggia Shalih
Abstrak :
Latar Belakang: Penolakan cangkok akut pascatransplantasi hati anak dapat berakibat cangkok tidak berfungsi. Angka kejadian yang mencapai 31% di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) membutuhkan evaluasi faktor risiko untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Metode: Rekam medis 44 resipien anak pascatransplantasi hati donor hidup dari tahun 2010-Januari 2020 dievaluasi, dan dianalisa menggunakan fisher test. Hasil: Sebelas subjek (25%) mengalami penolakan cangkok akut pascatransplantasi dengan median waktu 12 hari (jarak waktu 6-70 hari) pascatransplantasi. Total 44 subjek, 29 (65,9%) berusia > 1 tahun dan 30 (68,1%) bergizi kurang. Kejadian penolakan cangkok akut pada kelompok usia ≤1 tahun, adalah 5 (33%) dan pada usia >1 tahun, 6 (20%). Penolakan cangkok akut terjadi pada 6 subjek (20%) dengan gizi kurang, dan 5 subjek (35,7%) dengan gizi baik. Hasil analisa menunjukkan tidak ada hubungan antara usia (p= 0,468; 95% CI 0,47-0,77; OR 1,917) dan status gizi (p=0,287; 95% CI 0,11- 1,85; OR 0,450) terhadap reaksi penolakan cangkok akut pascatransplantasi hati donor hidup anak di RSCM. Hasil observasi tiga bulan pertama memperlihatkan rerata kadar tacrolimus darah 6-8 ng/mL pada hari 12-15, tidak mencapai target untuk mendapatkan efek imunosupresi yang adekuat. Kesimpulan: Pada penelitian ini status gizi kurang dan usia resipien saat transplantasi hati tidak signifikan sebagai faktor risiko independen reaksi penolakan cangkok akut, tetapi dapat dipikirkan bahwa kedua faktor ini mempengaruhi imunitas resipien, yang selanjutnya berperan dalam reaksi penolakan cangkok akut. Penggunaan imunosupresan yang adekuat juga harus diperhatikan dalam menekan reaksi penolakan cangkok pascatransplantasi hati. ......Background: Acute rejection post-liver transplant in children may result in graft failure. The incidence rate of up to 31% at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) needs further evaluation of risk factors to lower morbidity and mortality. Methods: 44 medical records of post living donor liver transplant pediatric recipients between 2010 until January 2020 were evaluated and analyzed using Fisher’s test. Results: Eleven subjects (25%) were found to experience acute rejection post-transplant with a median time of 12 days (range 6-70 days) after surgery. Of the 44 recipients, 29 subjects (65,9%) were >1 year old and 30 subjects (68,1%) were undernourished. Acute rejection occurred in 5 subjects (33%) ≤1 year-old and in 6 subjects (20%) that were >1 year old. Acute rejection of the transplant occurred in 6 subjects (20%) that were undernourished and in 5 subjects (35,7%) with good nutritional status. Analysis of the data found no relationship between age (p= 0,468; 95% CI 0,47-0,77; OR 1,917) and nutritional status (p=0,287; 95% CI 0,11-1,85; OR 0,450 to acute rejection in pediatric living donor liver transplant at RSCM. Observation in the first three months post-transplant reveal that mean levels of tacrolimus in the blood were 6-8 ng/mL on days 12-15, insufficient of reaching the target of obtaining an adequate immunosuppressive effect. Conclusion: In this study, age and nutritional status of recipients during the time of transplant were found to be insignificant independent risk factors of liver transplant acute rejection. However, these two factors can be thought to effect recipients’ immune status, which plays a role in acute rejection post-transplant. The use of adequate immunosuppressant needs to be carefully monitored in suppressing rejection reactions post-liver transplant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mounti Martias
Abstrak :
Latar belakang: Ventricle septal defect (VSD) merupakan penyakit jantung kongenital yang paling sering ditemukan diseluruh dunia. Komplikasi hipertensi pulmonal dapat menyertai 40% kasus VSD dan meningkatkan kejadian mortalitas pascaoperasi hingga 7%. Di Indonesia banyak rumah sakit yang dapat melayani kateterisasi jantung pasien pediatrik namun masih sedikit rumah sakit yang dapat melayani operasi penutupan defek jantung pasien pediatrik VSD dengan hipertensi pulmonal dikarenakan luaran pascaoperasi yang berat dan memerlukan tata laksana yang lebih rumit. Penelitian ini bertujuan untuk menilai luaran pascaoperasi tutup defek pada pasien pediatrik VSD dengan hipertensi pulmonal berdasarkan hasil kateterisasi jantung. Metode: Dilakukan studi retrospective cohort di divisi bedah jantung pediatrik Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita melalui data rekam medis dari bulan Januari 2015 sampai bulan Juni 2020 merekrut subjek di bawah usia 18 tahun yang menjalani pasien pediatrik dengan VSD dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan kateterisasi jantung dan menjalani operasi koreksi defek jantung. Hasil: Terdapat 372 subjek pada penelitian ini. Usia rerata subjek studi ini 47 bulan. Pada penelitian ini terdapat peningkatan yang signifikan (p<0,001) pada durasi ventilator, rawat ICU, rawat inap pascaoperasi pada kelompok nilai PARI 4-5,99 WU, 6-7,99 WU dan >8 WU dibandingkan dengan kelompok nilai PARI <4 WU. Luaran kelompok nilai PARI ≤2 WU setelah uji vasoreaktivitas oksigen lebih baik dibandingkan kelompok PARI 2,01-4 WU dengan mortalitas (1,1% vs 6,3%; p <0,031; OR 5,88), durasi ventilator (62,1% vs 20,3%; p <0,001; OR 6,44), durasi rawat ICU (47,7% vs 19,5%; p <0.001; OR 8,73), durasi rawat inap (74,1% vs 33,8%; p <0.001; OR 5,62). Simpulan: Nilai PARI dari kateterisasi jantung dapat menjadi acuan tata laksana penutupan defek jantung pada pasien pediatrik VSD dengan hipertensi pulmonal sehingga rumah sakit di daerah dapat menentukan kasus yang dapat dilakukan koreksi defek jantung atau harus dirujuk ke rumah sakit sentra jantung ......Background: Ventricle septal defect (VSD) is the most common congenital heart disease. VSD with pulmonary hypertension may be found in 40% cases and mortality up to 7%. Indonesia have many hospitals can provide cardiac catheterization in paediatrics but only few hospitals can provide cardiac surgery for pediatrics with VSD with pulmonary hypertension because of postoperative requiring complicated management. This study aims to predict the postoperative outcome of defect closure in pediatrics with VSD and pulmonary hypertension based on cardiac catheterization. Methods: A retrospective cohort study in pediatric cardiac surgery division of Harapan Kita National Heart Center Hospital. Data were taken from medical record from January 2015 to June 2020 with subjects under 18 years old with VSD with pulmonary hypertension who underwent cardiac catheterization and heart defect correction surgery. Results: 372 subjects were included in this study. The mean age of subjects was 47 months. In this study, there was significant increase (p <0.001) duration of mechanical ventilation, ICU hospitalization, postoperative hospitalization group PARI 4-5,99 WU, 6-7,99 WU, and >8 WU compared to PARI 4-5,99 WU group. Outcome patients with PARI post oxygen vasoreactivity test ≤2 WU was better than PARI 2,01-4 WU in mortality (1,1% vs 6,3%; p <0,031; OR 5,88), duration mechanical ventilation (62,1% vs 20,3%; p <0,001; OR 6,44), duration of ICU care (47,7% vs 19,5%; p <0.001; OR 8,73), duration postoperative hospitalization (74,1% vs 33,8%; p <0.001; OR 5,62). Conclusions: Value of PARI can be reference for management in pediatric patients VSD with pulmonary hypertension so regional hospitals can determine cases that can be corrected or referred to cardiac center hospital
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimitry Garry
Abstrak :
Latar Belakang: Obstruksi usus strangulata merupakan masalah kegawatdaruratan yang sering ditemui, mencakup 20% dari total pasien di unit gawat darurat. Obstruksi usus strangulata memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Terdapat banyak faktor yang memengaruhi luaran pascaoperasi obstruksi usus strangulata, dan sebgaian besar berhubungan dengan komplikasi respirasi, infeksi daerah operasi, dan acute kidney injury (AKI). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi morbiditas dan mortalitas pascaoperasi pada pasien dengan obstruksi usus strangulata. Metode: Studi kohort retrospektif dengan menggunakan total sampling dari registrasi Divisi Bedah Digestif dari tahun 2015-2019. Analasis bivariat digunakan dengan menggunakan studi Chi Square, Fisher, Mann Whitney, dan Spearman. Total 133 pasien tercakup di dalam analisis studi. Hasil: Angka mortalitas obstruksi usus strangulata di RS Cipto Mangunkusumo sebesar 7,5%. Angka kejadian acute kidney injury (AKI) pascaoperasi sebesar 30,1%. Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan luaran morbiditas dan mortalitas, seperti usia pasien, onset strangulata, kondisi sepsis, dan kadar asam laktat serum. Kesimpulan: Faktor-faktor seperti usia pasien, onset strangulata, kondisi sepsis, dan kadar asam laktat serum berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas pascaoperasi pada pasien dengan obstruksi usus strangulata. Beberapa faktor lain juga berhubungan dengan luaran mortalitas
Background: Strangulated bowel obstruction is common emergency problem, included 20% of total patients registered to emergency department. Strangulated bowel obstruction is serious medical conditioin with high morbidity and mortality. There are many factors influencing postoperative outcome of strangulated bowel obstruction, and most related to respiratory complications, surgical site infection, and acute kidney injury. The objective of this study is to find out which factors contributing to postoperative morbidity and mortality in patients with strangulated bowel obstruction. Method: A cohort retrospective with total sampling is used from Digestive Surgery Division registry by the year 2015-2019. Bivariate analysis has been done using Chi Square, Fisher, Mann Whitney, and Spearman study. Total of 133 patients were included in the analysis Result: Mortality rate of strangulated bowel obstruction was 7,5% in Cipto Mangunkusumo Hospital. The acute kidney injury morbidity rate was 30,1%. There are some factors related to the postoperative morbidity and mortality outcome, such as age, strangulation onset, sepsis condition, and lactate acid serum level. Conclusion: Factors such as age, strangulation onset, sepsis condition, and lactate acid serum level are contributing to postoperative morbidity and mortality outcome in patients with strangulated bowel obstruction. Some of these factors also related to mortality outcome.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Euis Maryani
Abstrak :
Latar belakang: Trauma toraks memiliki spektrum klinis yang luas sehingga kemungkinan komplikasi dan lama rawat berbeda-beda. Lung Injury Score LIS dapat dipakai untuk menilai disfungsi respirasi yang terjadi sehingga dapat dijadikan prediksi mortalitas dan lama rawat. Metode: Penelitian dengan desain kohort retrospektif untuk menguji validitas LIS pada kasus trauma toraks baru le; 24 jam yang ditangani di RSCM pada periode Januari 2017 ndash; Maret 2018. Variabel-variabel LIS foto toraks, P/F rasio, PEEP, dan komplians paru dicatat dan dihitung skornya kemudian dihubungkan dengan luaran berupa mortalitas dan lama rawat, Pada uji statistik dihitung menggunakan Mann Whitney mortalitas dan Rank-Spearman Correlation lama rawat . Cut off point diukur menggunakan kurva ROC. Hasil: Didapatkan total 56 pasien yang memenuhi kriteria. Mortalitas pada 3 pasien. rata-rata LIS 1,52. Rata-rata lama rawat 10 hari. Tidak ada korelasi yang bermakna antara LIS dengan mortalitas p=0,52 , didapatkan korelasi yang bermakna antara LIS dengan lama rawat p < 0.001 . Dari kurva ROC, didapatkan cut off point LIS dengan mortalitas pada skor 2,25, namun tidak bermakna secara statistik, dan cut off point LIS terbaik untuk lama rawat 8 hari pada skor 1,25. Kesimpulan: LIS memiliki korelasi yang bermakna dengan lama rawat, namun tidak memiliki korelasi dengan mortalitas. LIS dapat digunakan untuk memprediksi lama rawat pada pasien yang tidak membutuhkan ventilator dengan Cut off point LIS terbaik pada skor 1,25 untuk lama rawat 8 hari.
Introduction : Thoracic trauma has wide clinical spectrum, resulting in complications and different hospital length of stay. The Lung Injury Score LIS is assumed could be used for measuring degree of respiratory disfunction and degree of thoracic trauma and predicts mortality and length of stay. Methods : Validity study was performed on 56 new trauma cases le; 24 jam treated in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2017 ndash; March 2018 with cohort retrospective design. LIS rsquo; variables was measured thoracic X-ray, P/F ratio, PEEP and lung compliance and converted into LIS then connected with hospital length of stay and mortality as the outcome. Statistical analysis using Mann Whitney Whitney mortality dan Rank-Spearman Correlation length of stay . Cut off point measured using ROC. Results : We have 56 patients, with 3 mortality cases, average of LIS is 1,52, average of length of stay are10 days. There is no significant correlation between LIS and mortality p=0,52 , but LIS has significant correlation with length of stay p < 0.001 Cut off point LIS-mortality was at 2,25 and cut off point LIS-8 days length of stay was at 1,25. Conclusions : LIS has significant correlation with length of stay but not with mortality. LIS could be used to predict hospital length of stay in thoracic trauma patients without ventilators with cut off point 1.25.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Irawati
Abstrak :
ABSTRAK Karsinoma sel skuamosa kepala leher (KSSKL) menempati peringkat ke-6  kanker tersering di seluruh dunia.  Perkembangan  dalam  hal  terapi yang menggunakan  beragam modalitas untuk mengontrol  lokal dan  regional masih belum dapat meningkatkan angka survival lima tahun yang hanya sekitar 50% selama tiga dekade terakhir.  Metastasis jauh  menjadi penyebab utama  morbiditas dan  mortalitas pada KSSKL.  Sebagian besar pasien dengan metastasis jauh tidak terdeteksi secara klinis dan  radiologi.  Hingga saat ini sistem staging dan radiologi konvensional tidak mampu mendeteksi metastasis sejak dini . Mikrometastasis  merupakan proses awal dari suatu makrometastasis, sehingga sel tumor yang bersirkulasi dianggap sebagai silent predictor. Deteksi  CTC dianggap sebagai metode yang inovatif, sensitif, dan spesifik untuk dapat memprediksi kemungkinan terjadinya metastasis pada pasien-pasien  KSSKL. Penelitian ini menggunakan 90 sampel darah pasien penderita KSSKL stadium I-IV yang berobat di poli Bedah Onkologi dan THT RSUPNCM  pada periode Januari hingga Desember 2018.  Sampel darah  sebanyak 8 ml dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik FKUI/RSUPNCM untuk dianalisa jumlah CTC -nya dengan  menggunakan flow cytometry, penanda epitel EpCAM dan CK19 serta penanda lekosit CD45. Analisa statistik dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya asosiasi antara status klinikohistopatologi pasien KSSKL dengan deteksi CTC. Flow cytometry mampu  mendeteksi CTC positif sebanyak 28 dari 90 sampel darah (31.1%). Dari analisa bivariat dan multivariat, tidak didapatkan adanya asosiasi yang bermakna antara status klinikohistopatologi pasien KSSKL dengan deteksi CTC (p>0.05).    Pasien dengan stadium lanjut  memiliki kecenderungan 4.192 kali untuk mendapatkan CTC positif dibandingkan dengan stadium awal. Begitu pula pasien  yang memiliki sublokasi  tumor di daerah  faring  dan  laring   memiliki  kecenderungan 2.634 kali  untuk mendapatkan CTC positif bila dibandingkan dengan sublokasi anatomi bibir, rongga mulut, hidung dan sinus paranasal. Flow cytometry mampu mendeteksi CTC pada KSSKL dengan presentase 31.1%  bila menggunakan dua penanda epitel. Tidak terdapat asosiasi yang bermakna antara status klinikohistopatologi pasien KSSKL dengan deteksi CTC. Diperlukan studi lanjutan untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas serta mengkonfirmasi dapat tidaknya CTC dipakai sebagai prediktor dan prognostikator di bidang KSSKL.
ABSTRACT HNSCC is the sixth most common cancer worldwide. The therapy of choice for newly diagnosed patients consists of combined modality treatment for locoregional control. Despite of improvement in treatment, for all stages combined, the 5-year survival rate is approximately 50% and this rate has not changed significantly in the last 3 decades. As distant metastases develop, the chance for cure becomes low and survival decreases. Tumor metastasis is an important contributor to mortality in cancer patients. Mostly distant metastases are not seen by clinical examination and/ or conventional imaging. To date, TNM staging  system and  the existing image technology are not sufficient to detect tumor metastasis in early stages. The concept of the development of metastasis involves a tumor cell that dissociates from the primary tumor (micrometastasis) and circulates within lymphatic or vascular channels. The true utility of a circulating tumor cell (CTC) is that it acts as a silent predictor of metastatic disease. Detection of CTCs serves as an innovative, sensitive and specific marker and providing early and definitive evidence of metastatic disease. In this study, peripheral blood samples from 90 patients with SCCHN stage I-IV from Surgical Oncology and ENT OPD were taken. CTCs were quantified using flow cytometry of anti-EpCAM, CK19 and CD45. Their detection was correlated with clinicohistopathologic characteristics. CTCs were identified in 28 (31.1%) patients at any time point with a mean + standard deviation of  0.9 + 3.2 CTCs. In bivariate and  multivariate analysis, we observed no significant correlation between the presence of CTCs and clinicohistopathologic characteristics (p>0.05). However the odds for the patients with advanced stages to have positive CTCs  is 4.192 times higher than early stage. Moreover, patients with pharynx and larynx cancer have the odds 2.634 times higher than those with lips, oral cavity and paranasal sinuses cancer. The rate of CTCs detection in HNSCC by flow cytometry was 31.1%. Detection of CTCs does not correlate with any clinicohistopathological characteristics. Further studies is needed to increase the sensitivity and specificity  and  also to confirm the potential of CTC to serve as a predictor and prognosticator in patients with HNSCC.
[Depok, Depok, Depok]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>