Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fielda Djuita
"ABSTRAK
Terapi radiasi nerupakan salahsatu cara mengobati penyakit kanker. Telah banyak usaha untuk memperbaiki teknik ini setiap waktunya terutama untuk mengurangi efek samping yang mungkin timbul selama pengobatan. Maka, pasien selama pengobatan radiasi diamati keadaan umum dan status nutrisinya, termasuk meninjau berat badan dan nilai hemoglobinnya."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini Mutrikah
"Tujuan: Membandingkan distribusi dosis respon akhir RE dan efek samping akut RE teknik konvensional dan teknik konformal pada kasus kanker serviks lokal lanjut Metode Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien kanker serviks II B dan III B yang mendapat RE pra brakiterapi di Dept Radioterapi RSCM.
Hasil: Didapat 51 pasien menjalani RE teknik konvensional 25 dengan Cobalt 60 26 dengan Linac dan 29 pasien menjalani teknik konformal Sesuai ketentuan ICRU 50 dan 62 prescribed dose dan cakupan volume target teknik konvensional Cobalt lebih kecil p 0 001 dan 1 kasus dari 25 pasien mendapatkan PTV 95 Prescribed dose dan cakupan volume target teknik konvensional Linac lebih besar p 0 001 dibanding teknik konformal Rerata conformity index teknik konvensional sebesar 2 dan teknik konformal 1 02 p 0 001 Dosis dan volume pada buli rektosigmoid dan bowel teknik konvensional lebih besar p 0 001 Respon komplit akhir RE teknik konvensional adalah 42 dan teknik konformal adalah 58 p 0 001 Faktor independen respon akhir RE yaitu stadium FIGO dini dan ukuran tumor sebelum RE kecil le 4cm Pada semua kasus tidak didapatkan efek samping akut lokal yang berat RTOG grade 3 4 Proporsi efek samping ringan RTOG grade 1 2 pada gastrointestinal vesikourinaria dan kulit lebih banyak pada teknik konvensional secara berurutan 72 Vs 28 p 0 002 78 Vs 22 p 0 003 dan 78 Vs 22 p 0 01.
Kesimpulan: RE teknik konformal lebih unggul dibanding teknik konvensional dalam distribusi prescribed dose dan cakupan volume target atau organ kritis yang berdampak pada respon tumor akhir RE dan efek samping.
......Purpose: To compare the dose distribution acute tumor response and acute side effects between conventional and conformal techniques EBRT in locally advanced uterine cervical cancerMethods and materials Retrospective cohort study was done in stage II B and III B uterine cervical cancer underwent EBRT before brachytherapy in Dept Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Results: Fifety one patients underwent conventional technique EBRT and 29 patients of conformal technique EBRT The average of target prescribed dose and volume coverage of 2 techniques EBRTwas in accordance with criteria of ICRU 50 and 62 smaller p 0 001 only 1 case of Cobalt conventional technique EBRT showed PTV 95 Conformity index of conventional technique EBRT was 2 and conformal technique EBRT was 1 02 p 0 001 Dose and volume of vesicourinary rectosigmoid and distal large bowel of conventional technique EBRT was greater p 0 001 Complete response of conventional technique was 42 and conformal technique was 58 p 0 001 Independent factors were early FIGO stage and tumor size before EBRT le 4cm There were no severe acute side effects RTOG grade 3 4 in both groups Acute side effects RTOG grade 1 2 of conventional techniques was more than conformal gastrointestinal vesikourinaria and skin respectively 72 vs 28 p 0 002 78 vs 22 p 0 003 and 78 vs 22 p 0 01.
Conclusion: Conformal technique EBRT was superior to conventional technique EBRT in prescribed dose distribution target volume coverage and organ at risk dose that impact on acute tumor response and side effects "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Mahati
"ABSTRAK
Karsinoma nasofaring menempati urutan ketiga dari keganasan yang dicatat di Pavilyun Yohannes RSCM. seta-lab Karsinoma Mamma dan Karsinoma Serviks Uteri.
Beberapa penulis menyatakan penanganan karsinoma nasofaring terpilih adalah terapi radiasi berdasarkan radiosensitivitas den lokalisasinya yang tercakup dalam lapangan radiasi
Sebagian baser dari penderita ka {karsinoma} nasofaring disertai pembesaran kelenjar regional. Bahkan Fletcher mendapatkan 90% ka nasofaring disertai pembesaran kel. (kelenjar) regional.
Pengamatan respons radiasi pada pembesaran kel. regional ka nasofaring ini dilakukan berdasarkan banyaknya penderita yang datang di pavilyun Yohannes dengan pembesaran kel. regional dan evaluasi terhadap respons radiasi mudah dilaksanakan dan dilihat secara klinis.
Tujuan pengamatan ini adalah untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan terapi radiasi terhadap pembesaran kel. regional serta faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulhasril
"ABSTRAK
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), merupakan salah satu penyakit viral yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Sampai saat ini penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius, karena pada waktu-waktu tertentu dapat menyebabkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering berakibat fatal (P2M & PLP,1981). Insiden tertinggi kasus DBD di Indonesia terjadi pada tahun 1987 dan tahun 1988 yaitu 23846 kasus dan 47573 kasus, dengan angka kematian 4,7 % dan 3,2 % Pada tahun 1990 dan tahun 1991 kembali terjadi ledakan kasus DBD walaupun angkanya tidak setinggi seperti tahun sebelumnya, yaitu hanya 20692 kasus dan 21120 kasus dengan angka kematian 3,7 % dan 2,7 %. Dalam tahun 1992, terdapat 17620 jumlah penderita yang terjangkit DBD di Indonesia namun angka kematian hanya 2,9 % (cumber P2M & PLP yang dikutip dari Suroso 1991 dan Hoedojo 1993)
Nyamuk yang berperan sebagai penular utama penyakit DBD di Indonesia adalah Aedes aegypti. Selain sebagai penular penyakit DBD, nyamuk ini diketahui dapat pula menularkan demam chikungunya ( Oda, dkk, 1983 ), filariasis (Taylor, 1960 ), juga beberapa penyakit karena virus seperti demam-kuning dan ensefalitis (Faust, et.a1.,1973).
Pada umumnya di Asia Tenggara termasuk Indonesia, wabah DBD dikaitkan dengan distribusi Aedes Aegypti, karena nyamuk ini sangat dekat hubungannya dengan manusia seperti misalnya dalam berkembang biak, memilih tempat perindukan yang terdapat di dalam rumah dan nyamuk ini lebih bersifat antropofilik (Halstead, 1975 dalam Sumarmo, 1989). Kepadatan populasi Ae.aegypti yang tinggi merupakan faktor yang dapat menunjang terjadinya wabah penyakit DBD . Dengan melakukan pemantauan dan menekan populasi nyamuk ini memungkinkan untuk dapat membantu mengevaluasi adanya ancaman penyakit DBD, dan tnencegah terbentuknya suatu daerah endemik (P2M & PLP,1981) Salah satu program dalam upaya pemberantasan penyakit DBD adalah dengan memutuskan mata rantai penularan antara manusia sebagai hospes dan nyamuk penularnya.
Berbagai cara telah diupayakan oleh Instansi Pemberantasari Penyakit Menular (P2M), untuk mengendalikan vektor penyakit DBD ini antara lain: melakukan pengendalian lingkungan terutama meniadakan tempat perindukan nyamuk, yaitu dengan membersihkan Tempat Penampungan Air (TPA) satu minggu sekali. Program ini ternyata kurang berhasil dalam mencapai sasaran, terbukti masih adanya ledakan wabah penyakit DBD yang sering terjadi pad waktu-waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena masih kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya arti kebersihan dan kesehatan lingkungan, sehingga masyarakat kurang berperan aktif dalam mebabantu program. Faktor ini yang menyebabkan populasi vektor penyakit DBD meningkat, terutama pada waktu musim hujan karena lebih banyak terdapat tempat-tempat perindukan nyamuk tersebut, sehingga kasus penyakit DBD cenderung meningkat.
Selain Cara pengendalian tersebut di atas, telah pula dilaksanakan program pengendalian vektor penyakit DBD dengan menggunakan insektisida, terutama fogging dengan malation dan abatisasi dengan temefos. Keuntungan cara pengendalian ini hasilnya dapat terlihat dengan cepat, tetapi bila dalam pelaksanaan program hanya digunakan satu macam insektisida secara terus menerus, tanpa memperhitungkan dosis yang digunakan dengan tepat dan tanpa pengawasan yang baik memungkinkan terjadinya resistensi nyamuk vektor terhadap insektisida tersebut. Kerugian lain yang mungkin timbul dari cara pengendalian ini adalah terjadinya polusi terhadap lingkungan, sehingga dapat mengakibatkan kematian pada organisme yang bukan sasaran dan menyebabkan gangguan keseimbangan lingkungan."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Liman
"Telah dilakukan penelitian tentang manfaat dari pemeriksaan Tomografi komputer untuk mendeteksi hidrosefalus anak pada stadium dini. Penelitian dilakukan di bagian Radiology RSCM periode 1 Januari 1988 sampai 31 Desember 1990, terdapat sejumlah 83 penderita yang dilakukan distribusi menurut umur 0-12 tahun, jenis kelamin, jenis hidrosefalus, letak sumbatan, penyebab sumbatan dan derajat hidrosefalus.
Dari 62 penderita yang dapat diukur derajatnya, dilakukan penelitian statistik hubungan korelasi dan regresi dengan pengukuran kepala dari skanogram Tomografi komputer ( yang telah dilakukan konversi). Ternyata ukuran biparietal, anteroposterior, tinggi I dan tinggi II berhubungan bermakna dengan derajat hidrosefalus. Untuk umur di bawah 2 tahun, diameter anteroposterior paling baik untuk mendeteksi hidrosefalus dini dengan batas terbawah sebesar mean dari standar Schmid, sedangkan untuk umur 2 sampai 12 tahun diameter tinggi I merupakan yang terbaik dengan batas terbawah sebesar mean dikurangi satu standar deviasi.

The use of Computed tomography had been discussed for the detection of hydrocephalus in children in the department of Radiology, University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital in the period of January 1988 till December 1990 recently.
There were 83 patients that had been distributed into age from 0 till twelve years old, sex distribution, type of hydrocephalus, site of obstruction, cause of obstruction and the grading of hydrocephalus.
Grading of hydrocephalus had been detected in 62 patients and correlated with statistical study with the head measurement from the tomographic scannogram that had been conversed primarily. It was showed that biparietal, anteroposterior, and cephalocaudal diameter had correlated with the grading.
For the age of under 2 years old, the anteroposterior diameter got very highly correlation to detect early stage of hydrocephalus with the limit above the normal Schmid standard, and for 2 years till twelve years old, the cephalocaudal diameter ( measure from tuberculum of cella to the point of junction between sagital and coronal suture ) was very dependable with the limit above the normal Schmid minus one standard deviation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danielle Tahitoe
"ABSTRAK
Infeksi virus hepatitis ditemukan di seluruh dunia dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Dari semua infeksi virus hepatitis yang paling penting adalah Hepatitis B (WHO,1982).
Diperkirakan di dunia terdapat sekitar 300 juta karier virus hepatitis B (VHS) kronis (WH0,1988). Prevalensi karier terendah terdapat di Amerika Utara dan Eropa Barat (0,1-0,5 %) sedangkan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara dan Afrika Sub Sahara (8-20%).
Di dunia sebagian besar karier VHB nya terdapat di Asia menyusul Afrika (WHO,1988).
VHB mengakibatkan manifestasi klinis berupa hepatitis B akut dan berbagai komplikasinya. VHB sangat penting dalam epidemiologi penyakit, bila dikaitkan dengan karier VHB kronis yang dapat merupakan sumber penularan bagi lingkungannya (WH0,1988).
Karier VHB dapat ditentukan bila dalam darahnya mengandung hepatitis B surface antigen (HBsAg). Adanya HBsAg dapat diukur dengan cara radio immuno assay (RIA) atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Selain HBsAg dalam darah pengidap juga dapat (hepatitis B "e"antigen ) dan anti HBe.
Prevalensi HBsAg di Indonesia berkisar 5 - 10% dan di beberapa daerah mencapai 15% - 19%. Keadaan ini membuat Indonesia tergolong daerah dengan endemisitas hepatitis B sedang sampai tinggi. Tingginya prevalensi HBsAg dan petanda VHB lainnya pada penyakit hati kronis, terutama karsinoma hepatoseluler menimbulkan dugaan bahwa penyakit hati kronis di Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan infeksi VHB (Sulaiman,1987).
Sebelum penemuan HBsAg oleh Blumberg pada tahun 1964, diperkirakan bahwa penularan virus hepatitis terjadi secara parenteral, yaitu melalui penyuntikan darah dari pengidap. Lebih lanjut diperjelas bahwa cara penularan klasik VHB dengan jalan parenteral justru hanyalah merupakan bagian kecil saja dari cara penyebaran VHB (Prince, 1970 ; Blumberg, 1970).
Pada awal penelitian penderita Hepatitis B di negara tropis, diketahui bahwa sebagian besar penderita hepatitis B tidak mempunyai riwayat mendapat suntikan, transfusi darah atau cara penularan lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi oleh virus."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sunarsih
"Data mengenai dosis permukaan berkas sinar-X 6 dan 10 MV, dari pesawat linear accelarator, yang diukur menggunakan parallel-plate NACP chamber, untuk efek ukuran lapangan radiasi, jarak penyinaran (SSD), penggunaan tray acrylic, blok metal pembentuk berkas, filter wedge dan MLC (multileaf collimator) Dosis permukaant meningkat dengan lapangan dari 5x5 cm² sampai dengan 20x20 cm² (5-17% untuk sinar-X 6 MV dan 6-19% untuk10 MV). Dengan menggunakan tray, dosis permukaan meningkat untuk semua lapangan (<1% - 6% untuk sinar-X 6 MV, dan <1% - 7% untuk 10 MV). Pemakaian filter wedge secara umum menunjukkan, dosis permukaan lebih rendah jika dibandingkan dengan lapangan terbuka. Ketika wedge-tray digunakan, tray merupakan kontributor terbesar, karena kontaminasi elektron yang berasal dari wedge akan diserap oleh tray. Blok sebagai pembentuk berkas juga akan meningkatkan dosis permukaan, tetapi tray blok cenderung mengurangi dosis permukaan pada perlakuan dengan berkas energi tinggi pada lapangan kecil. Efek pemakaian MLC, dosis permukaan cenderung hampir sama dengan pemakaian blok, tetapi mempunyai nilai yang lebih kecil. Dengan penurunan SSD akan meningkatkan dosis permukaan yang dominan pada lapangan 20x20 cm, dan juga akan semakin bertambah dengan adanya penambahan blok tray acrylic.

A comprehensive set of data on surface dose for 6 MV and 10 MV photon beams from a medical linear accelerator was measured using a parallel-plate chamber to document the effect of field size, source-to-distance (SSD), acrylic block tray, wedge, metal block and multileaf collimator (MLC). The surface dose increased as field size increased from 5 x 5 cm to 20 x 20 cm (5% to 16% for 6 MV and 6% to 19% for 10 MV). With the use of an acrylic block tray, the surface dose increased for all field size (<1% to 6% for 6 MV and <1% to 7% for 10 MV ). The surface dose with a wedge showed, generally lower than the dose for an open field. When both wedge and block tray were used, the tray was a major contributor to the surface dose because some of the contaminant electrons from the wedge assembly were absorbed by the block tray. Field-shaping blocks increased the surface dose, but, interestingly, the block tray reduced the surface dose small blocked fields treated with a high-energy photon beam. The effect of an MLC on surface dose was very similar to that of metal block, but its magnitude was less. As SSD decreased, the surface dose increased, and this effect was dominant in 20 x 20 cm². The SSD effect was enhanced in the presence of an acrylic block tray."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2007
T21009
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rawina Winita
"Latar Belakang
Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang yang beriklim tropis. Lebih dari 40 % ( 2 milyar) penduduk dunia mempunyai risiko menderita penyakit malaria dan tiap tahun terdapat 1-2 juta orang meninggal karena penyakit malaria (Who,1993).
Di Indonesia, sampai saat ini penyakit malaria juga masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Angka kesakitan penyakit ini masih tinggi, terutama di daerah luar Jawa dan Bali. Di Indonesia Bagian Timur, prevalensinya masih cukup tinggi yaitu lebih dari 5% pada tahun 1984-1989 (Arbani, 1991). Berbagai usaha telah dilakukan untuk menanggulangi penyakit malaria di Indonesia, antara lain dengan pengendalian vektor malaria, pengobatan penderita dan perbaikan lingkungan (DepKes, 1991a).
Dalam program pengendalian vektor malaria, Cara yang umum dilakukan adalah penyemprotan rumah dengan insektisida (racun serangga) efek residu. Penyemprotan rumah dilakukan pada waktu-waktu tertentu oleh petugas penyemprot yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat (DepEes, 1991a). Di dalam aplikasinya di lapangan Cara ini membutuhkan peran berita yang aktif dari masyarakat karena penduduk harus mengizinkan petugas penyemprot rumah masuk ke dalam rumah mereka. Adanya keengganan penduduk untuk mengizinkan petugas penyemprot masuk ke dalam rumah mereka dapat merupakan penghambat bagi program ini. Hal lain yang dapat menjadi penghambat program penyemprotan rumah adalah adanya konstruksi rumah yang tidak cukup melindungi penghuninya dart gigitan nyamuk (DepKes,1991b). Oleh karena itu, diperlukan cara alternatif untuk penanggulangan vektor malaria, yang merupakan cara yang sederhana, mudah, efektif dan dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Penggunaan kelambu (mosquito bed nets) sebagai usaha perlindungan terhadap gigitan nyamuk dan serangga lainnya telah lama dilakukan oleh masyarakat karena kelambu dapat berperan sebagai sawar antara nyamuk atau serangga lainnya dengan manusia (Lindsay & Gibson,1988). Penelitian di Gambia (Forth & Boreham,1982) dan Papua New Guinea (Charlwood, 1986) menunjukkan bahwa penggunaan kelambu dapat menurunkan jumlah blood fed mosquitoes di dalam suatu ruangan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiastuti
"Latar Belakang
Debu banyak dijumpai di mana-mana termasuk di dalam atau di luar rumah, ditemukan terutama pads musim panas Debu terdiri dari partikel detrimen yang berasal dari rambut, daki, bulu binatang, sisa makanan serbuk sari, serpihan kulit manusia, bakteri, jamur, virus, serangga kecil dan lain-lain (Voorhorst dkk, 1969). Debu rumah merupakan komponen alergen inhalan yang panting, karena berperan sebagai pencetus timbulnya asma alergi yang telah dikenal sejak satu abad yang lalu (Voorhoret dkk, 1969).
Dalam debu rumah terdapat Tungau Debu Rumah (TDR) yang banyak ditemukan pada rumah yang lembab, kasur kapuk,bantal, guling, serta perabot rumah yang lain. Sumber debu dengan jumlah TDR terbanyak adalah debu kamar tidur terutama debu di kasur (Voorhorst dkk,1969). Aulung dkk {1989) melaporkan bahwa sejumlah 226 dari 429 TDR terdapat pada kasur anak dan dikumpulkan dari seluruh ruang tidur yang terdiri dari kasur, lantai, dinding dan lubang angin, menempati urutan teratas dalam jumlah. Sundaru dkk (1993) melaporkan bahwa pada pengumpulan berbagai jenis tungau dari 3 macam kasur yang diteliti (masing-masing 20 kasur) secara sangat bermakna (p < 0,01) kasur kapuk mengandung populasi TDR jenis D. pteronyss inns dan I). farinae yang paling besar
jika dibandingkan dengan kasur pegas dan kasur busa. Manan dkk {1993) melaporkan bahwa dari masing-masing 10 kasur penderita asma yang diperiksa, kasur kapuk dihuni oleh 359 TDR terbukti sangat berbeda bermakna (p <0,05) jika dibandingkan dengan kasur busa yang dihuni oleh spesies TDR yang lama.
Peranan TDR terhadap asma bronkial secara epidemiologis telah diteliti oleh Dowse dkk (1985). Pada penelitian tersebut terbukti bahwa adanya perubahan pola hidup penduduk setempat dari cara hidup yang sangat bersahaja menjadi moderen antara lain menggunakan selimut tebal, dapat meningkatkan prevalensi penderita asma sebesar 3,3%. Selain itu TDR berperan penting terhadap berbagai penyakit alergi antara lain rinitis dan dermatitis atopik (Carswel, 1988). Pada survei awal di tahun 1994 terhadap penderita asma yang berobat di Runah Sakit Cipto Mangunkusumo ternyata 85,7% penderita menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidur dan pad penelitian pendahuluan yang dilakukan di perumahan STN, 90% menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidur.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsella Dervina Amisi
"Albumin serum, berat badan dan kekuatan genggaman merupakan parameter penilaian status gizi yang berhubungan dengan kadar protein tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar albumin serum terhadap persentase penurunan berat badan dan kekuatan genggaman. Penelitian dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher dengan usia ≥18–65 tahun yang telah menjalani radiasi ≥25 kali di Departemen Radioterapi RSUPNCM. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 55,76% subjek memiliki kadar albumin <3,4 g/dL. Rerata penurunan berat badan selama radiasi – 9,42 ± 7,76%, dengan 79,6% subyek mengalami penurunan berat badan ≥5%. Rerata kekuatan genggaman tangan dominan 39,48 ± 9,15 kg. Tidak terdapat korelasi antara kadar albumin serum dengan persentase penurunan berat badan (r = - 0,129; p = 0,364) dan kekuatan genggaman tangan (r = 0,048; p = 0,733). Kesimpulan, kadar albumin serum tidak memengaruhi penurunan berat badan dan kekuatan genggaman selama radiasi. Sangat penting untuk mempertahankan status gizi selama menjalani radioterapi salah satunya dengan pemakaian NGT di awal radiasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain kohort prospektif untuk mendapatkan data yang lebih konklusif.
......Serum albumin, body weight and hand grip strength is a parameter of assessment of nutritional status related to body protein. This study was conducted to determine the correlation between serum albumin levels with the percentage of weight loss and hand grip strength. A cross sectional study design in the head neck cancer patients with ge 18 65 years of age who have undergone radiation at least 25 times in the Department of Radiotherapy RSUPNCM. The results showed approximately 55,76 of the subjects had levels of albumin below 3,4 g dL. Mean weight loss during radiation ndash 9,42 7,76 , with 79,6 of subjects experienced weight loss ge 5 . Mean dominant hand grip strength 39,48 9,15 kg. There is no correlation between serum albumin levels with percentage of body weight loss r 0,129 p 0,364 and hand grip strength r 0,048 p 0,733 . Conclussion, serum albumin levels did not affect body weight loss and handgrip strength during radiation. It is essential for head and neck cancer patients undergoing radiotherapy to maintain nutritional status with NGT in the initial radiation. Further research with prospective cohort design is needed to obtain more conclusive data. Keywords Serum albumin, weight loss percentage, handgrip strength, head and neck cancer, radiotherapy "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>