Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inggita Adya Rari
"Kajian ini berisi analisa gaya candi di Sawa Tengah, abad VII - IX Masehi. Pendekatan yang dilakukan pada kajian ini adalah pendekatan kuantitatif guna menguji hipotesa Edi Sedyawati tentang kesatuan gaya seni area di Candi Roro Jonggrang dan Plaosan Lor. Adapun hipotesa tersebut menyatakan bahwa kesatuan gaya seni area yang ada di Candi Roro Jonggrang dan Plaosan Lor terjadi lebih dipengaruhi oleh kedudukan suatu kelompok kemasyarakatan sebagai pusat atau pinggiran dibandingkan dengan penganut agamanya.
Pengelompokan masyarakat tersebut bisa dilihat dari pengelompokan tinggalan yang ada. Hipotesa tersebut akan diterapkan pada gaya bangunan candi yang ada di wilayah yang sekarang bernama Jawa Tengah (termasuk wilayah DIY).
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah 40 candi berbahan batu andesit yang berasal dari abad VII - IX M. Data tersebut dihasilkan setelah terjadi proses pemilihan yang disesuaikan dengan keadaan candi yang masih ada bagian bangunan yang dapat diamati. Setelah data terpilih, data tersebut diamati dengan menggunakan ragangan penelitian candi (merupakan modifikasi dari ragangan bangunan tradisional oleh Edi Sedyawati). Setelah data dimasukkan dalam ragangan. Hasil tersebut diolah dengan menggunakan tabel-tabel yang sudah terdapat pada program komputer SPSS . Adapun tujuannya adalah untuk diadakan pengujian antar variabel dengan cara uji chi-squre.
Sebaran candi-candi berbahan batu andesit di Jawa Tengah, abad VII - IX Masehi pada peta terlihat mengelompok. Adapun pengelompokan yang tersebut adalah di Dataran Tinggi Dieng, di Daerah Ungaran dan sekitarnya, di Dataran Kedu, dan di Daerah sekitar Prambanan. Berdasarkan hal tersebut maka pengujian yang dilakukan terhadap variabel-variabel pengamatan diuji dengan faktor pengelompokan lokasi. Selain dengan faktor lokasi dilakukan juga pengujian dengan latar belakang keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka memperbandingkan faktor manakah yang lebih menunjukan hubungan yang bermakna terhadap keberadaan variabel-variabel pengamatan candi.
Berdasarkan analisa kuantitatif yang dilakukan dengan bantuan program komputer yaitu SPSS 10 diketahui bahwa faktor lokasi (mengacu pada masyarakat pembuatnya) mempunyai pengaruh yang lebih signifikan daripada faktor latarbelakang agama. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa penelitian ini mendukung hipotesa Edi Sedyawati bahwa gaya seni di suatu wilayah dipengaruhi oleh kedudukan suatu kelompok kemasyarakatan (yang diwakili dengan pengelompokan tinggalan yang ada di suatu lokasi pada penelitian ini) sebagai pusat atau pinggiran dibandingkan dengan penganut agamanya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11117
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Jenny Sista
"Permasalahan dalam tulisan ini, adalah: "Mengapa Upacara adat Perkawinan dan tata rias pengantin Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Upacara Ritual Kenegaraan menjadi Upacara Populer?". Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan latar belakang upacara adat perkawinan dan tata rias pengantin Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai upacara ritual kenegaraan dan menjelaskan konteks meluasnya upacara adat perkawinan dan tata rias pengantin Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dari upacara ritual kenegaraan menjadi upacara popular.
Perubahan upacara adat perkawinan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat antara masa Hamengkubuwana VII, VIII dan IX, terlihat dari urutan acara, busana dan tata rias pengantin, peralatan dan perlengkapan pengantin, sesaji dan gamelan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kemudian konsep yang melandasi nilai budaya pelaku upacara adat pekawinan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai upacara ritual kenegaraan masa Hamengkubuwana VII dan VIII. Saat upacara adat perkawinan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi milik masyarakat masa Hamengkubuwana IX terlihat pergeseran nilai-nilai, yang terlihat pada urutan acara, busana dan tata rias pengantin, peralatan dan perlengkapan pengantin, gamelan dan sesaji telah berbeda dan tidak dipergunakan seperti dahulu lagi.
Upacara ritual kenegaraan yaitu upacara adat yang dilaksanakan berdasarkan norma-norma budaya khas Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, hanya boleh dilaksanakan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan aturan-aturan tertentu dan menjadi salah satu upacara kenegaraan.
Upacara populer yaitu upacara yang disesuaikan dengan rasa, keperluan dan tingkat pendidikan masyarakat umum sehingga menjadi upacara untuk siapa saja, tidak terbatas untuk kalangan atas tertentu.
Dalam menganalisa permasalahan dan tujuan penelitian digunakan teori barokisasi dari Darsiti Soeratman dan teori pilihan rasional dari Michael Hester. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan strukturis dari Christopher Lloyd, dan metode pengumpulan data ialah metode sejarah dari Marc Bloch.

Traditional Ceremony of Wedding of Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat: The Development from State Ritual Ceremony to Popular Ceremony (1877 - 1988)The problem in this writing is: Why traditional ceremony of wedding and bridal art of cosmetics of Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat as the state ritual ceremony becomes popular ceremony?. The purpose of this writing is to explain the background of traditional ceremony of wedding and bridal art of cosmetics of Kraton Ngatogyakarta Hadiningrat as the state ritual ceremony and to explain the context of expanding the traditional ceremony of wedding and the bridal art of cosmetics of Kraton Ngayogyakarha Hadiningrat from the state ritual ceremony to popular ceremony.
The changes of the traditional ceremony of wedding of Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat between the period of Hamengkubuwana VII, VIII, and IX can be seen from the sequence of the agenda, clothes and bridal art of cosmetics, equipment and bridal outfit, ritual offerings and gamelan orchestra at Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Then the concept that is based on the cultural value of the doers of the traditional ceremony of wedding of Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat as the state ritual ceremony at the period of Hamengkubuwana VII and VIII. When the traditional ceremony of wedding of Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat becomes the property of the society at the period of Hamengkubuwana IX, occur the changes of the value that can be seen at the sequence of the agenda, clothes and bridal art of cosmetics, equipment and bridal outfit, gamelan orchestra and ritual offerings which are different and not used anymore as they were.
State ritual ceremony is a traditional ceremony that is carried out the basis of typical cultural norms of Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat may only do it with the certain rules and it becomes one of the state ceremonies.
Popular ceremony is a ceremony that is synchronized with the taste, need and education level of the society so that it becomes the ceremony for public and is not limited for upper class only.
In analyzing the problems and research objectives the writer used Barokisasi theory from Darsiti Soeratman and theory of rational choice from Michael Hechter. In this research she used structural approach from Christopher Lloyd and data collecting methods from Marc Bloch."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T11420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Watie Moerany
"Kajian sejarah mengenai Soekarno telah banyak dilakukan oleh sejumlah peneliti, seperti Adams (1966), Dahm (1966), Legge (1972), Solichin Salam (1981), Giebels (1999), Ayub Ranoh (1999). Masing-masing kajian tersebut cenderung mengungkap dimensi kesejarahan Soekarno dari sisi politik, kepemimpinan kharismatik, kenegarawanan dan tokoh pergerakan nasionali. Sedangkan kajian yang mengarah ke dimensi lain, seperti dimensi kesenian belum banyak dilakukan. Padahal justru pada dimensi inilah sosok Soekarno menampakkan cita dan citranya sebagai manusia yang menyimpan aneka bakat, pengagum keindahan, pemerhati kesenian dan pencipta seni.
Keberbakatan dan keberminatannya pada dunia seni sudah menggejala sejak usia muda hingga akhir hayatnya. Kecintaannya pada karya seni (khususnya lukisan dan patung) semakin menemukan momentum yang tepat ketika diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia (1945) hingga kejatuhannya (1967). Selama masa kepresidenannya, telah tercatat hampir 3000 karya seni rupa, meliputi lukisan, patung, porselin dan kriya. Ribuan koleksi tersebut dibukukan dalam tiga jilid buku susunan Dullah, pelukis Istana Presiden (1950-1960), dan lima jilid buku, susunan Lee Man Fong, pelukis Islam Presiden (1961-1966). Ribuan koleksi yang bernilai historis itu keberadaannya tersebar di Istana Merdeka, Istana Negara, Istana Bogor, Istana Batu Tulis, Gedung Agung Jogjakarta, Istana Tampak Siring. Khusus di Istana Bogor, tercatat 479 lukisan dan 155 patung, terdiri dari 28 patung batu, 21 patung kayu, 75 patung perunggu, dan 31 patung marmer.
Keberadaan koleksi tersebut hingga kini masih dalam status kurang jelas, yaitu antara milik pribadi Soekarno atau sudah dihibahkan menjadi koleksi negara (state collection). Hal ini disebabkan antara lain situasi akhir pemerintahan Presiden Soekarno yang chaos, hingga akhirnya ia meninggalkan Istana tanpa membawa barang-barang milik pribadinya. Selain itu juga tidak ada wasiat dan Presiden Soekarno secara tertulis (eksplisit) tentang penghibahan karya seni yang telah dikoleksinya. Dan hingga kita juga belum ada payung hukum yang memberikan status jelas tentang koleksi tersebut.
Ribuan koleksi lukisan dan patung tersebut, diperoleh dart berbagai upaya Soekarno, karena dilandasi minat dan apresiasi Soekarno yang tinggi pada karya seni. Pengoleksian karya seni itu dilakukan dengan cara membeli langsung ke seniman pembuatnya, barter, atau merupakan hadiah dari sejumlah seniman maupun sahabat-sahabatnya dari luar negeri. Sebagian besar koleksi lukisannnya cenderung berkaitan dengan perasaan romantisnya pada alam, kecantikan wanita, kebudayaan dan kisah perjuangan bangsa Indonesia. Sedangkan koleksi patungnya paling banyak berupa wanita telanjang (mrde). Ia pada dasarnya memang pengagum visi keindahan Mooi Indie (Hindia Belanda Jelita), yaitu suatu faham keindahan atau seni yang cenderung mengekploitasi eksotika panorama alam dan kehidupan manusia di Hindia Belanda.
Koleksi Soekarno baik secara tekstual (estetis) maupun kontekstual menggambarkan perkembangan dunia seni rupa mulai abad ke-20 hingga era pemerintahan Soekarno. Dari koleksi tersebut terbaca bahwa sebelum era Soekarno, perkembangan seni rupa berkaitan dengan perkembangan sosial, politik dan kultural, baik pada zaman kolonial Belanda (1900-1942) dan Jepang (1942-1945). Pada zaman kemerdekaan dan sesudahnya, perkembangan seni rupa berkaitan dengan situasi perjuangan dan semakin gencarnya perdebatan wacana seni rupa, baik dalam tataran ideologis dan praksis. Di samping itu, berkat motivasi Soekarno sebagai seorang patron yang sangat berpengaruh, mulai tumbuh medan sosial seni rupa, yaitu pendidikan formal, sanggar, galeri dan kolektor.
Dilihat dari tujuan dan manfaatnya, secara praktis, penelitian ini memberikan kontribusi pada usaha pendokumentasian, pemeliharaan, penampilan, perlindungan dan penyelamatan benda-benda seni bernilai sejarah. Dari segi teoritis, kontribusinya terletak pada penelusuran sejarah pengoleksian lukisan dan patung yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dan menempatkan koleksi tersebut dalam perspektif sejarah seni rupa Indonesia.
Penelitian ini didesain sebagai penelitian sejarah dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitik. Sumber primer diperoleh dari buku Koleksi Lukisan dan Patung Presiden Soekarno, buku inventaris lukisan dan patung di Istana Bogor, artefak (lukisan dan patung) di Istana Bogor. Sumber sekunder berupa sejumlah tulisan-tulisan pendek dan risalah seputar informasi Soekarno dan seni, yang dipublikasikan di berbagai media massa dan diterbitkan secara khusus. Sumber-sumber lain yang mendukung diperoleh dari buku sejarah seni rupa Indonesia dan diperkuat hasil wawancara dengan informan kunci yang dinilai mengetahui seputar sejarah seni rupa Indonesia dalam kaitannya dengan Soekarno sebagai patron, kolektor atau maesenas seni rupa Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prapto Yuwono
"Hukum Jawa dalam konteks masyarakat Jawa abad ke-18 memiliki ciri-ciri: (1) hukum yang lahir akibat adanya perjanjian Giyanti (1755), yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua; Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, (2) hukum yang berisi norma-norma, aturan-aturan, dan undang-undang yang menyangkut kepentingan kedua kerajaan (bilateral) mengenai kemasyarakatan, pengawasan keamanan, perpajakan, hubungan birokrasi, pertanahan, peradilan. dan sebagainya, (3) hukum yang dalam perkembangan selanjutnya diberlakukan juga untuk wilayah Mangkunegaran (perjanjian Salatiga, 1757) dan Pakualaman (tahun 1812). Hukum Jawa tersebut adalah (1) Nawala Pradata Dalem (Surat Peradilan Raja), (2) Angger Sadasa (Undang-Undang Sepuluh), (3) Angger Agerrg (Undang-Undang Tertinggi), (4) Angger Redi (Undang-Undang Pekerja Gunung) dan (5) Angger Arubiru (Undang-Undang Gangguan Ketentraman).
Pemberlakuan hukum Jawa seperti itu tampaknya tidak mempertimbangan eksistensi dan perkembangan masing-masing kerajaan. Dengan kata lain, secara hipotesis, tidak terjadi perubahan struktur masyarakat Jawa pada waktu itu, meskipun dalam kenyataan, perjanjian Giyanti telah memecah belah kekuasaan Mataram. Pada sisi lain ditunjukkan bahwa pemberlakuan hukum jawa secara hipotesis adalah untuk pengendalian sosial bersama. sebagai akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Jawa di kerajaan masing-masing.
Kedua permasalahan tersebut menarik untuk dibahas, terutama melalui pemahaman struktur hukum Jawa yang dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu di mana hukum itu diberlakukan. Pemahaman seperti itu akan menjawab tentang bagaimanakah sistem hukum Jawa yang berlaku pada waktu itu. Membicarakan sistem hukum berarti juga membicarakan dinamika struktur hukum yang bersangkutan dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga lain di luar yang dianggap ikut menentukan dinamika struktur hukum yang dimaksud. Dengan latar belakang itu maka ditetapkanlah tujuan penelitian adalah (1) menganalisis struktur hukum Jawa sebagai upaya memahami fungsi unsur-unsurnya, (2) memahami sistem hukum Jawa dalam kaitannya dengan konteks sosial budaya masyarakat Jawa pada waktu itu, dan (3) merumuskan secara jelas postulat-postulat hukum Jawa atau anggapan-anggapan dasar mengenai hukum yang dianut masyarakat Jawa pada waktu itu.
Berkenaan dengan permasalahan dan tujuan penelitian itu dan dikaitkan dengan "karakter" hukum Jawa, maka pendekatan yang dipergunakan adalah antropologi hukum dan sejarah. Pendekatan antropologi hukum dipergunakan untuk mencari gambaran bagaimana hukum mempertahankan pranata-pranata yang ada dalam masyarakat, bagaimana masyarakat merumuskan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum, sehubungan dengan cita-cita mengenai apa yang baik dan buruk menurut anggapan dalam kebudayaan yang bersangkutan. Pendekatan sejarah dipergunakan untuk mencari gambaran bagaimana proses perubahan pola dan aspek-aspek hukum Jawa dalam kurun waktu sejak penyusunan hukum Jawa (1755) sampai pada suatu batas hipotesis saat hukum Jawa kehilangan fungsinya lagi karena hegemoni politik kolonial Belanda (1830).
Setelah dilakukan analisa terhadap permasalahan-permasalahan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa (1) Hukum Jawa merupakan sistem yang berfungsi untuk pengendalian sosial bersama, masyarakat Jawa yang sedang mengalami perubahan akibat perjanjian Giyanti (1755), (2) Berfungsinya sistem hukum Jawa tersebut sangat didukung oleh berfungsinya unsur-unsur hukum yakni otoritas, maksud untuk diberlakukan secara universal, obligatio dan sanksi, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Jawa pada waktu itu, dan (3) Sistem hukum Jawa yang diberlakukan pada waktu itu, dikatakan berhasil dan relevan karena terbukti dapat memberikan kontribusi ikut melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa dengan mempertahankan nilai-nilai, pranata-pranata, lembaga-lembaga dan pandangan-pandangan hidup Jawa hingga bertahan sampai saat ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raras Miranti
"Masalah penelitian ini adalah mengenai strategi adaptasi kelompok musik Tanjidor dalam menghadapi perubahan. Seiring dengan pertumbuhan kota Jakarta sebagai kota metropolitan kehadiran berbagai kesenian (dalam dan luar negeri) semakin semarak hingga ke pelosok-pelosok desa, yang kemungkinan dapat mendesak kesenian setempat.
Seperti halnya pada kelompok musik Tanjidor, karena kehadiran berbagai macam kesenian itu maka kelompok musik Tanjidor semakin terdesak ke pinggiran Jakarta dan juga mengalami perubahan. Perubahan itu sendiri dapat dilihat antara lain adanya pertambahan alat musik yang dimainkan, repertoar yang dimainkan lebih bervariasi, pemainnya yang terdiri atas kaum muda dan generasi tua.
Dengan adanya berbagai macam pengaruh yang ada, termasuk di dalamnya kemajuan teknologi, maka pelaku Tanjidor harus melakukan adaptasi agar tetap bertahan. Masalahnya dapatkah kelompok musik Tanjidor bertahan akibat arus berbagai macam kesenian masuk ke Jakarta? Karena itu penelitian ini dilakukan untuk mendapat jawaban masalah tersebut.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan cara pengamatan, wawancara, dan dokumentasi visual dan auditif.
Dari hasil pengamatan dan penelitian di lapangan maka dapat dikatakan kelompok musik Tanjidor masih dapat bertahan hingga kini. Walaupun saat ini tawaran main tidak segencar di tahun 1950-an."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nusi Lisabilla Estudiantin
"Pura-pura kuno yang menjadi objek dalam kajian ini adalah pura-pura yang yang memiliki tapak (pondasi) kuna dan diperkirakan dibangun pada abad 8 hingga 18 Masehi, yang dibagi .menjadi Bali masa PraMajapahit (8-13 Masehi), Bali masa Majapahit (14-15 Masehi dan Bali PascaMajapahit (16-18 Masehi). Permasalahan yang dihadapi dalam kajian ini adalah bahwa pura di Bali, khususnya pura kuna yang menjadi objek kajian ternyata tidak semuanya terdiri dari tiga halaman, karena ada pura yang hanya terdiri dari dua halaman dan ada pulayang terdiri dari empat halaman.
Kajian ini menggunakan metode komparatif dalam upaya menjawab permasalahan yang dihadapi. Pura-pura kuno yang menjadi objek kajian diperbandingkan dengan kompleks percandian Panataran dan punden berundak di Crunung Penanggungan yang diwakili oleh bangunan Candi Carik (Kep. I) dan Candi. Kendalisodo:(Kep. LXV).
Berdasarkan perbandingan yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pada dasarnya pura-pura di Bali terdiri dari tiga halaman, yakni jaba (profan), jaba tengah. (setengah profan/setengah sakral). dan jeroan (sakral) serupa dengan konsep bangunan suci masa Majapahit, namun pada saat ini halaman depan atau jaba pada sebagian pura di Bali kini dapat berupa halaman terbuka, jalan raya, lahan pertanian bahkan pemukiman. Keadaan ini dapat saja terjadi karena sangat mungkin disebabkan keterbatasan lahan mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat,.selain itu bagian halaman yang "hilang", yakni jaba memiliki sifat profan sehingga tidak mengganggu keberadaan pura itu sendiri, mengingat bagian paling panting dari pura adalah jeroan yang bersifat suci dan sakral; tempat para umat melakukan pemujaan. Dengan demikian pelaksanaan aturan pembangunan pura bedasarkan konsep Triloka dan Tri Angga tidak lagi bersifat kaku dan disesuaikan dengan keadaan yang ada sekarang, namun tidak mengurangi nilai kesakralan pura itu sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T12627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryaning Dewanti
"BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Semarang merupakan Ibukota Jawa Tengah yang terletak di pesisir pantai pulau Jawa, dengan posisi 110° 23? 5779? BT dan 1100 55? 6? LS dan 6°58? 18" LS. Jatuhnya kota Semarang pada pemerintah konial Belanda adalah dikarenakan Perkumpulan Dagang Hindia Timur atau yang sering disebut dengan VOC, mengalami kebangkrutan pada tahun 1799. Pada awalnya Kota Semarang diduduki oleh VOC tanggal 15 Januari 1678, namun sejak kebangkrutan itu Semarang langsung diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda dan sejak saat itu diterapkan pemerintahan kolonial Belanda. Di bawah kekuasaan Belanda pada awal abad 18, Semarang telah memenuhi persyaratan sebagai kota. Hal tersebut dapat terlihat dari fasilitas sosial, sistem administrasi dan kondisi fisiologisnya.l Selama pemerintahan Belanda di Semarang, Belanda banyak melakukan pembangunan fisik baik berupa gedung-gedung maupun infrastruktur, contohnya adalah jalan dan transportasi. Namun dengan berjalannya waktu maka untuk kondisi suatu gedung maupun infrastruktur akan mengalami banyak hal, baik rusak dimakan oleh usia, bencana alam ataupun karena vandalisme2. Terutama pada bangunan-bangunan kuno, tentu lebih banyak mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh pelapukan karena dimakan usia dan tidak terawat.
Tidak sedikit bangunan kuno yang pada akhirnya dihancurkan untuk diganti dengan bangunan yang baru, atau dirombak secara keseluruhan. Contoh di Semarang adalah Gedung GRIS, yaitu kepanjangan dari Gedung Rakyat Indonesia Semarang, yang sebelumnya bernama Sociteit Harmonie yang terletak di Jalan Mpu Tantular Semarang, pada tahun 2001 gedung ini sudah karena tanahnya dibeli oleh investor dan Gedung tersebut dihancurkan, namun sampai sekarang masih berupa tanah kosong belum ditindak lanjuti dengan pembangunan.
Salah satu bangunan kolonial yang masih berdiri di Semarang adalah Lawang Sewu. Mengutip peryantaan Kusumaningrat, Sartono, dengan topik Arsitektur ETnik Gedung Lawang Sewu Semarang, pada http: / /www.tembi.org/situs/11000.htrn, mengatakan bahwa, "Bangunan Gedung Lawang Sewu merupakan salah satu bangunan kuno dari 102 bangunan kuno yang terdapat di Kota Semarang. Demikian seperti yang tercantum dalam SR Walikota Semarang no. 650/50/1992. Bangunan ini telah menjadi salah satu identitas kota Semarang."
Lawang Sewu yang merupakan identitas kota berarti merupakan Landmark3 Kota Semarang yang menjadi kebanggaan warga yang juga sebagai warisan arsitektur. Lokasi Lawang Sewu terletak di pertemuan Jalan Pemuda dan Jalan Pandanaran, daerah ini meupakan daerah pusat pemerintahan, perdagangan, dan perkantoran. Selain itu di depan gedung Lawang Sewu terdapat sebuah Tugu Muda yang didirikan pada tahun 1951 atas prakarsa Walikota Semarang, Hadisoebeno Sasrowedojo, yang merupakan simbol Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Kondisi Lawang Sewu saat ini merupakan bangunan yang tidak berfungsi setelah pada tahun 1994 Kodam VII Diponegoro (sekarang Kodam IV), mengembalikan kepada Departemen Perhubungan dibawah unit PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api), Jawa Tengah. Alasan Kodam VII mengembalikan Lawang Sewu pada Jawatan Kereta Api dikarenakan Kodam VII Diponegoro, yang sebelumnya menempati Lawang Sewu sudah memiliki tempat dan bangunan sendiri di daerah Watu Gong Semarang. Apabila dilihat secara sekilas, bangunan tersebut masih terlihat sangat bagus, kuat dan megah. Namun apabila kita perhatikan dari jarak dekat, kondisi bangunan tersebut terlihat berlumut pada dinding-dinding bangunannya, dinding-dinding bangunan sudah mengalami keretakan dimana-mana, pegangan pintu pada bangunan Lawang Sewu sebagian besar sudah hilang sehingga pintu pada bangunan tersebut tidak bisa dikunci, termasuk pada pintu utama bangunan, langit-langit dan dinding bangunan terlihat banyak ditumbuhi jamur dan lumut yang dikarenakan kelembaban ruangan yang tidak terkondisi dengan baik, belum lagi ruang bawah tanah yang dipenuhi dengan lumpur.
Melihat kondisi bangunan yang seperti ini, perlu tindakan khusus untuk dapat memfungsikan kembali bangunan Lawang Sewu tersebut. Apabila didiamkan saja, maka cepat atau lambat bangunan ini akan hancur dengan sendirinya, ditutup oleh debu, ditumbuhi oleh tanaman-tanaman lumut. Apabila sudah terjadi hal seperti itu maka akan jauh lebih sulit merevitalisasi Lawang Sewu karena selain biayanya juga jauh lebih besar, diperlukan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15364
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Greysia Susilo-Junus
"Studi mengenai Cina di Indonesia merupakan lapangan studi yang membutuhkan eksplorasi luas. Klenteng sebagai salah satu wujud material agama orang-orang Cina di Indonesia memiliki bentuk bangunan yang khas Cina dengan atribut-atribut kuat sebagai penanda bangunan dan atribut-atribut lemah sebagai bagian dari gaya I style.
Penelitian mengenai klenteng-klenteng abad 16 hingga paruh awal abad 20 di DKI Jakarta merupakan suatu penelitian awal untuk memahami klenteng sebagai salah satu wujud kebudayaan orang-orang Cina yang bermukim di Indonesia sejak lama, terutama pemahaman mengenai agama dan aspek sosialnya.
Penelitian memakai atribut-atribut bentuk, material, ukuran dan detail bagianbagian bangunan sebagai alat utama dan latar belakang konsep pendirian klenteng di Cina sebagai data penunjang untuk menghasilkan suatu tipologi bangunan klenteng yang berada di DKI Jakarta.
Kentalnya unsur-unsur bangunan Cina dalam klenteng-klenteng di Jakarta menandakan bahwa bangunan merupakan manifestasi identitas bagi masyakarat Cina di manapun mereka berada. Penambahan unsur-unsur tokoh lokal Indonesia pada dewa-dewi yang dipuja merupakan bagian akulturasi orang-orang Cina dengan konsep kepercayaan lokal di mana mereka bermukim.
Klenteng yang berada di DKI Jakarta merupakan bangunan klenteng yang memiliki konsep bangunan daerah Selatan Cina yang jauh dari pemerintah pusat di bagian Utara sehingga memiliki gaya yang berbeda. Klenteng di Jakarta tidak memiliki konsep Klenteng Kerajaan yang resmi dibangun pemerintah Cina yang. berkuasa tempi memiliki konsep bangunan 'rumah =wall' yang biasa dibangun para pedagang-pedagang kaya di daerah Selatan Cina. Hal ini terlihat pada sebagian besar atributnya yang merupakan ciri khas bangunan daerah Selatan Cina."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririet Surjandari
"Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk membahas perdagangan lokal di kerajaan Majapahit yang berlangsung selama lebih kurang 200 tahun dari abad XIII-XV. Adapun data yang digunakan ada dua macam, yaitu data primer berupa sumber tertulis yang terdiri dari prasasti dan teks, dan data sekunder berupa artefak yang terdiri dari mata uang, relief dan anak timbangan. Sistem perdagangan lokal pada masa kerajaan Majapahit dapat dilihat dari komponen komoditi, sistem produksi, transportasi, pelaku ekonomi dan pemerintahan. Komponen tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan data tertulis berusaha diungkapkan bagaimana perdagangan lokal yang terjadi di dalam wilayah kerajaan Majapahit dengan Cara memilah komponenkomponen perdagangan yang terdapat di dalam sumber tertulis. Penelitian ini kemudian dicocokkan dengan data artefaktual yang mendukung masalah perdagangan, yang berasal dari masa yang sejaman ataupun dari wilayah Trowuian dan sekitarnya, yang diyakini oleh para ahli sebagai pusat ibukota kerajaan Majapahit.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa adanya pembatasan perdagangan yang terjadi di dalam suatu sima dengan adanya pungutan pajak, yang bertujuan untuk mengantisipasi kelebihan pedagang dalam satu sima. Dengan demikian, Majapahit sebagai sebuah kerajaan yang besar denan wilayah yang luas menerapkan sistem perdagangan lokal yang membatasi produksi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T14841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Moersid
"Masalah penelitian ini adalah relasi antara ruang, ritual, dan pemaknaan konsep kekuasaan oleh pendukung kultur Keraton Surakarta Hadiningrat Tujuan penelitian adalah mendeskripsilcan pemaknaan masyarakat di lingkungan keraton Surakarta Hadiningmt tentang ritual Tingalandalem Jumenengan. Selain itu juga dibuat deskripsl dari orientasi pelaksanaan ritual di dalam ruang pada saat ritual berlangsung. Setelah itu dibuat analisis struktur relasi antara ruang, ritual dan kedudukan raja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif Metode pengumpulan data penelitian adalah wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan studi dokumentasi.
Temuan-temuan penelitian ini, yaitu (1) lokasi ritual yaitu pendapa Sasana Sewaka diteguhkan kesakralannya dengan tarian sakral Bedhaya Ketawang dan poros simbol kekuasaan yang berpusat di raja. Temuan penelitian ini menguatkan pendapat Ossenbruggen (1916), von Heine-Geldem (1982), Moertono (1985), dan Anderson (l99O), (2) ritual Tingalandalem Jumenengan di Keraton Surakarta Hadiningmt merupakan sebuah upaya penguatan kekumsaan spiritual. Pada saat dimana konscp bins negara yang diterapkan kini hanya tinggal dalam artian simholik,karena Keraton Surakarta Hadiningrat kini tak lagi mcmpunyai kekuatan politik danbirokratis dalam konteks nasional, dcngan sendirinya raja hanya menjadi penguasa dalam aspek spiritual. Sebagaj kompensasinya, kekuasaan yang pudar harus diteguhkan melaiui ritual yang dilaKukan secara siklikal, (3) upaya penegasan KeKuasaan absolut, tunggal, dan tidak terbagi dinyatakan dalam ritual Tingalandalem Jumengan. Konsep ini disimbolisasikan dengan ungkapan ?Ngendi ana Surya Kembar tak ada dua matahari menerangi dunia, hanya ada satu yaitu raja yang duduk di tahta dhampar kencana. Kekuasaan merupakan esensi utama ritual Tingalandalem Jumenengan. Ritual ini menlpakan legitimasi kekuasaan raja dan menegaskan bahwa kekuasaan tidak terbagi, tunggal dan tidak ada dua penguasa.
Temuan penelitian ini menguatKan pendapat von Heine-Geldem (1982), Moertono (1985), dan Andemon (1990), (4) hadimya ruang temporal simbolik dalam hubungarmya dengan gerakan tarian salcral Beclhaya Ketawang menunjukkan adanya konsep ritual yang ?meruang?, yaitu mampu membentuk dan memberi makna pada ruang, menyatakan kekuasaan, mengkomunikasikan informasi dan menyimpan sistem-sistem nilai. Temuan penelitian ini ntienguatkan pendapat Mangunwijaya (1992) dan Rapoport (1979), (5) Ritual Tingalandalem Jumenengan di Keraton Surakarta Hadiningrat menunjukkau adanya relasi antara Ruang, Ritual dan Konsep Kekuasaan. Struktur Ruang, tak bisa dipisahkan dari strulctur Ritual dan struktur Konsep Kekuasaau. Temuan penelitian ini menguatkan pendapat Lévi-Strauss (1963)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>